-

Tuesday, July 03, 2012

Menyoal Politik Berbahasa Sunda

MENGAPA menggunakan bahasa dan budaya sendiri saja harus diatur lewat Perda? Serendah inikah kesadaran masyarakat Kota Bandung akan bahasanya sendiri?

Demikian di antara tulisan Acep Hermawan yang berjudul Politik Berbahasa Sunda yang dimuat dalam kolom ini (Senin, 4/6). Menanggapi adanya Perda tentang penggunaan, pemeliharaan, dan pengembangan bahasa, sastra, dan aksara Sunda yang ditetapkan melalui sidang paripurna di gedung DPRD Kota Bandung, Senin (28/05).

Berkaitan dengan hal itu, penulis mempunyai beberapa tanggapan atas tulisan kang Acep tersebut. Menurut hemat penulis.

1) Tentang optimistis bahwa bahasa Sunda akan terus digunakan dalam percakapan masyarakat (Sunda). Mengenai hal ini penulispun setuju. Namun, sampai kapan digunakan terus dalam percakapan masyarakat Sunda? Secara teori gelombang bahwa Bandung merupakan salah satu ibu kota provinsi yang terdekat dari ibu kota negara setelah Serang, Banten. Suatu daerah semakin dekat ke wilayah ibu kota negara maka bahasa daerah tersebut lambat laun akan terkikis oleh bahasa yang digunakan secara mayoritas di ibu kota negara.

2) Di pedalaman dan di pasar-pasar tradisional di wilayah Jawa Barat, transaksi dan media komunikasinya mayoritas bersifat monolingual. Namun, khusus di wilayah kota Bandung yang kurang lebih mempunyai 40 pasar tradisional. Di pasar tradisional mana yang notabene pelakunya monolingual tersebut? Di pasar Kosambi, pasar Sederhana, pasar Dago, pasar Buah Batu, pasar Leuwipanjang, pasar Ujungberung, atau mungkin di pasar Saeuran? Di pasar-pasar tradisional di Kota Bandung pembelinya bilingual, antara bahasa Sunda dan bahasa Indonesia. Di sisi lain, keberadaan pasar tradisional omzetnya terus menurun. Kalau tidak ada revitalisasi tempat dan sarana. Namun, di sisi lain setelah terjadi revitalisasi maka keberadaan penuturnya pun akan multilingual. Salah satu contohnya Pasar Baru Bandung.

3) Di perkampungan atau pedalaman, penutur bahasa Sunda sangat mendominasi. Paling tidak pada generasi pertama (orang tua). Namun, pada generasi kedua (muda) telah terjadi campur kode. Terlebih pada generasi ketiga (anak-anak) kecenderungan kosakata bahasa Sundanya sangat sedikit dibandingkan dengan bahasa Indonesia, terutama pada usia TK dan SD. Nah, Perda tersebut ditetapkan untuk kota Bandung bukan untuk di pedalaman. Sementara ini daerah persisian atau yang dianggap kampung di kota Bandung sudah bercampur pula pengguna bahasanya. Penduduknya pun heterogen. Terlebih diperumahan-perumahan. Hal itu berbeda dengan perkampungan di wilayah kabupaten.

4) Keteladanan dari para pemuka masyarakat pun sangat terbatas. 5) Fiksi, sejarah, koran, dan majalah berbahasa Sunda pun tidak terlalu populer karena mayoritas masyarakat pengguna media massa terbiasa mengonsumsi media dengan bahasa bukan bahasa Sunda. Hanya terdapat beberapa media cetak, di antaranya majalah Cupumanik dan Mangle, tabloid Galura. Beberapa media elektroniknya RRI Bandung, TVRI Prov. Jawa Barat, dan beberapa radio dan tv swasta lokal yang sebagian kecil acaranya berbahasa Sunda.

Dengan demikian, keberadaannya sangat sedikit bila dibandingkan dengan media massa yang berbahasa nasional. Apalagi buku-buku cerita, komik, dan sebagainya. Semua media tersebut tampaknya tidak dapat menjadi andalan untuk pemertahanan bahasa Sunda. Kecuali kalau ada upaya untuk menghidupkan kembali media-media tersebut dari berbagai kalangan, termasuk pemkot. Istilah Kang Acep adalah pentingnya keterlibatan Pemda, antara lain dengan memberikan subsidi bagi penerbitan buku-buku yang secara ekonomis tidak menguntungkan, namun bermanfaat bagi perkembangan budaya dan bahasa Sunda.

5) Di sekolah pun sebagai bahasa resmi pengantar guru menyampaikan pelajarannya tidak dengan bahasa Sunda. Undang-undang kebahasaan Nomor 24 tahun 2009 menyatakan bahwa bahasa pengantar dalam pendidikan di sekolah dengan bahasa Indonesia. Kecuali pada mata pelajaran tertentu atau untuk tujuan tertentu, seperti menurut Perda adanya keharusan berbahasa Sunda setiap hari Rabu atau seperti dalam mengajarkan bahasa daerah dan bahasa asing maka diperbolehkan bahasa yang diajarkan sebagai bahasa pengantarnya.

Di sisi lain, pelajaran bahasa Sunda di setiap satuan pendidikan diajarkan hanya di sebagian kelas. Untuk itu, perlu adanya pelajaran bahasa Sunda di jenjang satuan pendidikan, termasuk di setiap kelasnya. Selain itu, pelajaran bahasa Sunda banyak diajarkan oleh guru nonbahasa Sunda. Oleh sebab itu, perlu adanya peningkatan profesionalisme guru dalam pelajaran bahasa Sunda.

Dari beberapa uraian di atas, kekhawatiran terjadi erosi bahasa Sunda di kota Bandung sangat beralasan. Perda merupakan salah satu kepedulian kalangan pemangku pemerintahan daerah terhadap keberlangsungan bahasa Sunda. Di sisi lain, sebagai pijakan para pejuang bahasa Sunda agar lebih percaya diri dalam mendakwahkan bahasa Sunda.
(Penulis, staf teknis Balai Bahasa Provinsi Jawa Barat, Badan Bahasa, Kemendikbud RI)**
Galamedia
jumat, 29 juni 2012 01:24 WIB
Oleh : ASEP JUANDA

Artikel yang Berkaitan

0 komentar:

-

Post a Comment