-

Sunday, June 10, 2012

Pasulukan Siliwangi

SULUK adalah bahasa Arab. Biasa digunakan untuk menggambarkan perjalanan spiritual. Salik biasanya dinisbatkan kepada para pelaku (subjek) yang tengah mengarungi lautan spiritual, menyelami leuwi ruhaniah dengan sebuah asumsi bahwa hakikat dari kebenaran itu terletak dalam dasar lautan, bukan permukaan, di kedalaman rasa tidak pada pesona raga seperti dengan sangat bagus diilustrasikan Begawan Sunda sirna di rasa Haji Hasan Mustapa dalam kinanti "Tungtungna Ngahurung Balung" Mun aing suhud ka iwung/Tandaning lali ka awi/Susah keur nganyam ayakan/Eleh ku ngeunah sakali/Ngarasa kurang keur kurang/Butuh keur anyaman bilik/

Kenyataannya suluk itu bersifat universal, fenomena kearifan perenial yang dapat kita temukan pada setiap kepercayaan dan etnik. Substansi pesannya sama. Yang membedakan adalah nomenklatur dan ideom yang digunakan. Yang terakhir ini tentu saja biasanya menggunakan bahasa lokal untuk mewadahi seluruh realitas pengalaman yang dialaminya.

Dalam konteks Sunda juga tidak jauh berbeda, apalagi kultur Sunda sering diidentifikasi sebagai kawasan yang sangat menjunjung tinggi daulat rasa, lebih mengedepankan aspek batin khas masyarakat Timur.

Haji Hasan Mustapa adalah salah satu manusia Sunda yang cukup berhasil memotret kekayaan batin ini yang kemudian diformulasikannya dalam sejumlah dangding dan guguritannya. Sebut saja sebagai Pasulukan Siliwangi.

Dialog dengan kyai Kurdi

Salah satu isi suluk yang menarik untuk direnungkan adalah dialog HHM dengan Kyai Kurdi (Rosidi, 1983). Dalam dialog itu HHM meminjam mulut Nyi Dewi Asri yang nyengceurikan Mundinglaya Dikusumah karena telah terpikat deungeun-deungeun: sugan teh kukupu hideung/sihoreng obat kabeuleum/sugan teh kukuh katineung/sihoreng kabengbat deungeun/masing eling ka wiwitan/mangka awas ka wekasan.

Deungeun-deungeun di sini tidak harus dimaknai sebagai "perempuan", tapi lebih kepada hal ihwal yang dapat membetot seseorang dari tujuan hakiki. Itu dapat bernama kekuasaan yang korup, benda yang telah mengontrol seluruh hidup, agama yang telah dihilangkan pesan profetiknya dan atau tetek bengek yang telah menyandera kedirian dan akal sehatnya, mendangkalkan kedalaman nurani dan menumpulkan nalarnya.

Inilah jawaban Kyai Kurdi atas "keresahan" HHM itu: cai asa tuak bari/dileueut wayah janari/geura mulih ka sasari/nya ati di sanubari. Kemudian ditempas kembali HHM yang merasa tidak pernah berhenti mencari kebenaran, terus berupaya istiqamah dalam kepribadian yang otentik: euleung euy, euleung/ taneuh tela ledak dieu/nanjak jalan ka pareuntas/eureun euy eureun/ti baheula ge di dieu/teu nyaba ka alas pentas.

Karena keduanya, Kyai Kurdi dan Haji Hasan Mustapa, memiliki kepribadian yang sama dalam hal sama-sama menyimpulkan kehidupan sebagai bentangan sir (rasa) yang musti diselami untuk meraih mataholang-nya, keduanya berlayar di samudera rasa, dalam istilah Ajip Rasidi: silih jugjug nya panemu, silih sindiran nya pengeusi, silih simbeuhan ageman bari tuluy arulin di jero sir tak ubahnya gadis yang tengah di mabuk cinta, kegembang kabungbulengan: Euleung euy, euleung/ Hurang ulin di basisir/Ka darat loba kayakas/Eureun euy eureun/ Urang ulin di jero sir/Ku surat jiga wewekas/Ucang-ucang angge/Ka Lintung jalan ka Lembang/Ka Lembang ka Cibiana/Urang-urang hade/Kaduhung benang kagembang/Kagembang kieu rasana//

Dialog seperti ini mengingatkan saya pada titik tertentu kepada Maulana Jalaluddin Rumi dengan Syamsu Tabariez yang selalau intens bercakap-cakap termasuk percakapan imajinalnya. Tak ubahnya Haji Hasan Mustapa dengan "Kyai Kurdi" itu atau bahkan dengan tokoh-tokoh Sunda khayali yang sengaja dihidupkan kembali untuk menampung seluruh bayangan ruhaniahnya semisal Hariang Bangsa, Prabu Siliwangi, Ciung Wanara, Dayang Sumbi dan sebagainya.

Dialog kultural-estoterik seperti ini semakin meneguhkan di satu sisi bagaimana Haji Hasan Mustapa telah menjadikan seluruh cakrawala dan kosmologi Sunda sebagai bagian penting dari refleksi sufistiknya, dan di sisi lain menunjukkan ihwal irisan yang mempersatukan seluruh kearifan yang dimiliki setiap etnik dan agama di berbagai tempat.

Yang tidak pernah berhenti

Dalam pasulukan ini tergambarkan bagaimana kebenaran dicari bukan hanya tanpa mengenal lelah, namun juga dalam posisi yang tidak pernah mengenal kesimpulan. Justru sikap seperti ini yang kemudian telah membentuk salik menjadi pribadi lapang, dapat mengapresiasi keragaman sebagai fakta sosial yang tidak dapat dihindarkan.

Dialog menjadi pintu masuk bukan saja untuk memperkaya pengalaman ruhani namun juga menyelesaikan persoalan-persoalan sosial, politik dan kebadayaan. Pemaksaan kehendak sesungguhnya adalah mencerminkan manusia yang sisip budi juga ekspresi dari hilangnya sensitivitas rasa dan absennya akal sehat.

Ini menjadi penting untuk direnungkan justru pada saat arah kebangsaan sudah kehilangan atmosfer suluk-nya, ketika kemajemukan tidak lagi dianggap sebagai potensi positif untuk memperkaya horizon dengan diintensifkannya dialog produktif termasuk dialog dalam ranah batin .

Bagaimanapun ketika dialog ini punah maka yang tersisa adalah kegelapan dan kehendak primitif selalu ingin menyelesaikan hal ihwal lewat jalan kekerasan dan akhirnya, meminjam puisi Chairil Anwar: "Caya-Mu panas suci/tinggal kerlip lilin di malam hari." Atau dalam ungkapan HHM kehidupan berbangsa dan bernegara akan menjadi cawerang seperti dalam Wirahma Kumaha Rasa: Temahna dipicawerang/sada Sunda tapi lain/bongan saha bongan tembang/lain ku jamak nu urang/da ieu mah ngan hening/repeh kitu gandeng kitu/taya beda rasana/mun iklas tina rohani/moal beda dipisari dipicamplang.
(Asep Salahudin, pemerhati sosial budaya/dosen di IAILM dan UIN)**
Galamedia
senin, 28 mei 2012 01:13 WIB

Artikel yang Berkaitan

0 komentar:

-

Post a Comment