-

Saturday, January 21, 2012

Membedah Bukit Culah

Membabat Ilalang Mencari Secercah Harapan
KISAH ini dialami oleh Aan Kardian warga Desa Pakutandang Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung. Selepas SMA ia berniat untuk memberdayakan Bukit Culah -- sebuah bukit yang berada di sebelah barat kampungnya-- menjadi kawasan pertanian holtikultura, hutan lindung serta kawasan wisata alam. Di mata Aan, Bukit Culah tak ubahnya sebuah harta karun yang bisa mendongkrak tarap hidup masyarakat, asal ada kemauan dan dorongan pemerintah daerah. Aan pun naik gunung meski harus menyusuri jalan setapak yang berkelok dan terjal. Berikut kisahnya yang ditulis Denny Kurniadi.

MENGINJAK usia remaja Aan mengaku sering berkeluh kesah. "Apa yang harus dilakukan demi mempertahankan hidup dan juga masa depan?" gumannya. Seolah protes terhadap kondisi yang menyulitkan dirinya untuk memiliki pekerjaan.

Namun, Aan tak mau merengek atau jadi pemuda cengeng yang hanya berharap diberi lapangan kerja. Ia pun berpikir untuk hidup mandiri membuka lapangan kerja sendiri. Tentu tak semudah membalikan telapak tangan. Banyak rintangan yang harus dihadapi, terutama kendala yang muncul dari dirinya sendiri yaitu sifat malas.

Aan sadar akan itu. Ia lantas bangkit menghibaskan rasa malas itu. Tekadnya bulat untuk terus menapakkan kakinya di atas rumput ilalang seraya menatap mentari pagi. Barangkali masih ada secercah cahaya demi hidupnya di masa depan.

"Aku harus berkarya dan menghasilkan sesuatu baik bagiku juga bagi orang lain," ujarnya pada dirinya sendiri.

Kata orang, membuka usaha sendiri butuh ilmu dan modal finansial. Betulkah? Tidak selalu, kata Aan. Apakah artinya modal kalau tak diiringi motivasi kuat yang tertanam dalam diri. Menurutnya, finansial memang perlu, juga ilmu pengetahuan. Tapi hal itu akan sia-sia jika jiwa kita masih terbelenggu rasa malas untuk berkarya.

Kata-kata itu tak mau hanya sekadar ucapan. Aan ingin membuktikannya dan akhirnya cukup berhasil. Berkat keuletan dan semangat membara, Aan mampu membedah bukit Culah yang berada di sebelah barat kampungnya. Bukit yang semula hanya ditumbuhi ilalang dan pohon-pohon liar, dalam waktu kurang dari setahun sudah berganti wajah menjadi sebuah perkebunan yang menjanjikan.

Semula Aan memang hanya memiliki dua kotak sawah peninggalan almarhum ayahnya. Tentu saja untuk hidup keluarga tidaklah cukup. Panen padi empat bulan sekali itu hanya mampu untuk bekal makan dan menutupi kebutuhan lainnya sebulan saja. Oleh karena itu Aan mencoba untuk menggarap tanah bukit yang sering ia tatap saat senja hari.

Ia lantas berbicara banyak tentang Bukit Culah dengan Kepala Desa Pakutandang, Deni Daryanto, yang dikenal orang memiliki kepedulian sosial tinggi. Niat untuk mengambil tanah garapan di Bukit Culah itu dikabulkan Pak Kades. 700 tumbak lahan pun diserahkan jadi tanggungjawab Aan.

"Silahkan saja garap, jadikan lahan itu sebagai pengaman bahaya longsor dan erosi," ujar Pak Kades.

Semangat Aan makin membara. Ia berpikir bukit yang masih perawan itu tidak hanya bisa dijadikan bekal hidup, tapi lebih dari itu juga patut untuk dipelihara agar lestari. Ada tanggungjawab moral dari Aan untuk lingkungannya.

Lantas, apa yang harus ditanam di bukit itu? Muncul gagasan brilian. Aan tidak mau hanya berpikir untuk menanam sekadar kacang panjang, ketela pohon, atau cabe kriting. Ia berniat untuk menanam kayu-kayu besar seperti jati dan albasiah.

Nasib mujur diraih Aan. Pemerintah Kabupaten Bandung di awal tahun 2010 gencar menyukseskan program Gerakan Reboisasi Lahan dan Hutan (GRLH). Aan mencoba menindaklanjuti program yang patut didukung masyarakat itu. Ia menyodorkan gagasan meminta bibit albasiah untuk ditanam di bukit garapannya.

Seribu bibit albasiah pun ia terima. Namun, bukan didapat secara cuma-cuma. Bibit itu Aan beli seharga Rp 1.000 per batang/bibit. Kemudian ia berjalan naik turun bukit menanam dan memelihara bibit albasiah itu. Sekarang pohon albasiah itu sudah tumbuh besar mengelilingi bukit Culah.

Selain albasiah, juga ditanam pohon jati merah, dan tangkil. Pohon itu, kata Aan, cukup kuat menahan erosi. Tumbuhan lain yang bisa ditemukan di kebun Aan adalah sayuran seperti bayam, kacang panjang, saladah bokor, cabe keriting dan juga singkong sebagai tanaman psela.

Matahari sudah mulai bergera ke ufuk barat mengintip dari balik puncak gunung. Seolah-olah ingin mengungkapkan rasa bangganya terhadap anak manusia yang kini berdiri tegak di atas bukit dengan dada merekah.

Menembus Mitos Mistis Ramo Giling
SEBELUMNYA diceritakan Aan Kardian warga Desa Pakutandang Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung mencoba mencari aktivitas produktif dengan cara mengolah Bukit Culah. Orang-orang sempat mencibir dan menganggap Aan "gila" karena bukit tersebut masih perawan. Aan tak peduli anggapan orang orang lain. Ia pegang teguh tekadnya. Setelah mendapat izin dari kepala desa Aan pun membuka bukit. Lahan itu ditanami kayu jati dan albasiah. Sukseskah impiannya itu? Inilah lanjutan kisahnya yang ditulis Denny Kurniadi. Semoga bermanfaat.

OBSESI lain yang ada dalam benak Aan adalah ingin mengubah wajah Bukit Culah tidak sekadar sebagai kawasan perkebunan rakyat, tapi juga cocok untuk dijadikan obyek wisata. Pasalnya, Bukit Culah selain memiliki panorama yang indah juga akses jalannya tidak sulit. Dari jalan raya Pacet mudah dijangkau dengan berjalan kaki sepanjang 500 meter. Namun, di balik itu semua siapa sangka kalau Bukit Culah menyimpan cerita mistis yang cukup menyeramkan.

Seperti hari-hari sebelumnya, saat matahari mulai terasa hangat, Aan berjalan menyusuri jalan setapak menuju kaki Bukit Culah. Ransel hitam berisi bungkusan nasi dan lauk pauk seadanya serta sarung dan sajadah, ia gendong di punggungnya. Di pinggangnya terselip "Si Leunyay", sebilah golok panjang dan runcing miliknya. Cangkul pun ia kaitkan di pundaknya.

Hari itu Aan berniat menanam dua puluh batang bibit albasiah, sisa hari kemarin. Bibit itu akan ditanam di blok bukit yang lumayan melelahkan. Pasalnya, Aan harus naik gunung sekitar 200 meter. Sebuah lokasi yang masih rindang dengan ilalang, pohon bambu dan pohon-pohon besar berusia ratusan tahun.

Aan tahu blok bukit itu masih angker. Gelap dan menyeramkan. Kata orang, di blok bukit yang dinamakan Ramo Giling itu sering terjadi hal-hal gaib berbau mistis. Tak hanya suara-suara tanpa wujud yang kerap didengar orang, tapi juga bayangan-bayangan hitam yang menyeramkan seperti genderewo, iprit, dan dedemit sering muncul meski hanya sepintas saja.

Tapi itu dulu, kata Aan, sekarang entahlah, apakah masih sering muncul atau tidak, yang pasti mitos tentang Ramo Giling masih sering dibicarakan banyak orang. "Mudah-mudahan aku tak mengalami hal-hal yang menakutkan itu," ujar Aan dalam hatinya.

Awalnya, Aan memang ragu untuk berangkat sendiri ke blok bukit itu. Bahkan ia sempat membayangkan bagaimana kalau fenomena mistis itu terjadi, apa yang harus dilakukan. Lari atau malah berani mengusirnya? Semuanya berpulang pada keberanian Aan.

Namun, akhirnya Aan memutuskan untuk berangkat saja sendirian dan akan menghadapi apa pun yang terjadi nanti di sana. Aan berpikir kenapa harus takut pada jin dan dedemit? Toh manusia lebih mulia ketimbang mereka. "Justru mereka harus takluk di tanganku," ujar Aan penuh semangat.

Tepat jam sembilan, Aan melangkaha menapaki bukit. Perlahan tapi pasti. Kedua kakinya tanpa ragu menyusuri jalan terjal dan berliku. Ranting dan dedaunan yang menghalangi langkahnya ia hibas dengan golok "Si Leunyay". Sesekali ia harus berpapasan dengan ular sebesar tanganya. Aan hanya sedikit terkejut dan membiarkan ular itu melintas di hadapannya.

Aan kembali melangkahkan kakinya dengan napas yang ngos-ngosan. Keringat pun perlahan membasahi baju kampret hitamnya. Namun, rasa lelah itu bagi Aan justru jadi motivasi yang kuat untuk terus berjalan menaklukan bukit nan lebat itu.

Akhirnya, Aan sampai juga di sebuah tegalan tanah datar yang dipenuhi rumput-rumput liar dikelilingi pohon-pohon tinggi dan besar sebesar perut kerbau. Bahkan, di antara pepohonan itu ada satu pohon yang lebih besar dengan ranting dan dedaunan yang sangat lebat. Saking lebatnya sinar matahari tak bisa tembus, sehingga tegalan Ramo Giling itu gelap dan hanya diterangi titik-titik cahaya dari balik dedaunan.

Aan tahu bahwa saat itu ia sudah berada di blok Ramo Giling tempat yang ia tuju. Ia pun rehat, duduk di atas sebuah batu di sudut tegalan itu. Matanya nanar menatap sekeliling tegalan. Beberapa ekor burung sesekali terbang berpindah tempat dari satu dahan ke dahan lain sembari bersiul melantunkan irama alam yang merdu.

Saat itu Aan sangat merasakan betapa indahnya alam, betapa agungnya ciptaan Allah. Rasa cinta Aan tehadap alam pun semakin tumbuh dalam jiwanya. Aan berpendapat, harus ada harmoni antara alam dengan manusia. Karena keduanya saling membutuhkan. Hanya manusia gila yang tega merusak dan membabat alam tanpa tanggungjawab.

"Bagaimana mungkin manusia bisa merusak hutan. Padahal manusia sendiri membutuhkannya. Manusia tidak bisa hidup tanpa hutan, tanpa daun-daun, tanpa pepohonan, dan tanpa air yang mengalir dari akar-akarnya," ujar Aan. Bicara sendiri sambil menghela napas.

Bermimpi Berkelahi dengan Ular Sanca Besar
SEBELUMNYA diceritakan, Aan sudah sampai di Ramo Giling, sebuah lokasi yang selama ini diyakini masyarakat sebagai tempat yang berbau mistik. Padahal di tempat itu Aan ingin menanam Albasiah. Ia berpikir tempat itu pasti sangat subur dan cocok untuk kayu tersebut. Tekadnya yang kuat membawanya ke tempat itu dan ia menyaksikan betapa indahnya hutan tersebut. Aroma dan nyanyian alam menebar lalu menyusup ke dalam jiwanya. Ungkapan syukur pun keluar dari bibirnya. Benarkah tempat itu angker? Inilah akhir kisahnya yang ditulis oleh Denny Kurniadi. Semoga membawa hikmah.

DUA puluh bibit albasiah belum juga Aan tanam. Padahal, sudah hampir satu jam ia berada di tegalan itu. Aan malah bersantai duduk di atas sebuah batu di bawah rimbunan pohon beringin. Ia sangat menikmati sejuknya angin semilir. Aan memang kelelahan setelah berjalan menaiki tanjakan dari kaki bukit.

Nasi bungkus ia keluarkan dari ranselnya. Lalu ia makan dengan lahapnya. Tak biasanya Aan makan senikmat ini. Padahal, hanya dengan ikan asin, sambal, dan goreng jengkol. Tapi, nikmatnya luar biasa,kata Aan seraya meneguk air mineral hingga habis.

Hanya berselang beberapa menit saja setelah makan, Aan merasakan kantuk yang tiada tara. Ia pun tertidur tanpa takut ada binatang buas memangsanya atau terguling ke bawah bukit. Aan ngorok dan membiarkan bibit albasiah menunggunya untuk ditanam.

Aan pun bermimpi meneruskan pekerjaannya. Ketika Aan sedang menanam satu dua bibit albasiah, tiba-tiba ia mendengar suara desahan yang cukup kuat dari balik semak. Aan terkejut, ia tahu suara desahan itu adalah suara ular. Aan bersiap-siap mengambil golok dan cangkul. Pikirnya, jika ular itu menyerang akan ditebas dengan golok dan cangkulnya.

Benar saja, ketika Aan bersiap menyambut kedatangan ular, seekor ular sanca sebesar gulungan kasur muncul dari semak sebelah kirinya. Kepala ular menengadah dalam posisi siap mematuk mangsa. Aan kaget sekaget-kagetnya, nyalinya ciut ketika melihat begitu besarnya ular sanca itu. Tadinya ia berpikir paling sebesar pergelangan kaki sehingga bisa dengan mudah disabet golok. Tapi, ketika mendapati ukuran yang sangat besar, Aan jadi berpikir dua kali. Tak ada lagi jalan kecuali lari tunggang langgang.

Namun, seolah tak punya kesempatan untuk melarikan diri. Pasalnya, ular sanca itu sudah berada di hadapannya. Mau tidak mau Aan harus melawannya. Anehnya, golok dan cangkul yang sedari tadi berada dalam genggamannya, tiba-tba menghilang di tangannya. Raib entah ke mana. Mungkin terlempar saat ia kaget. Karuan saja Aan jadi bingung, bagaimana mungkin berkelahi dengan ular sanca besar dengan tangan kosong. Secepat kilat Aan meraih ranting pohon beringin yang tergolek di sisinya. Ranting itu digunakan laksana pedang dengan maksud untuk menghantam kepala ular jika ia akan memangsanya.

Aan bergulat dengan ular sanca sebesar gulungan kasur itu. Sebuah pergumulan yang tentu saja tidak seimbang. Aan lebih sering terbanting dan terjerembab ke tanah ketimbang ular itu yang tetap tegar dalam posisinya. Namun, Aan tak mau menyerah begitu saja. Jatuh bangun ia melawan sang ular, hingga akhirnya ular itu pergi begitu saja meninggalkan Aan yang ngos-ngosan. Saat bangun tubuh yang sudah basah kuyup bermandi keringat. Ia segera menghela napas panjang dan mengusap wajahnya seraya beristigfar.

Aan segera menggali tanah beberapa lubang untuk kemudian ditanami bibit albasiah. Aan terus berpikir kenapa ia bermimpi berkelahi dengan ular sanca, apakah karena dipengaruhi oleh suasana yang menyeramkan? Mimpi yang sebelumnya tak pernah ia alami.

Selesai menanam bibit albasiah, Aan bergegas meninggalkan lokasi. Namun, baru saja beberapa langkah turun gunung, Aan mendengar dengan jelas suara-suara aneh seperti suara tangisan seorang perempuan dan aungan srigala. Rasa takut menyelimuti perasaan Aan, maka ia mempercepat langkahnya, setengah berlari.

Tak lama kemudian Aan sampai di kaki bukit. Langit sudah terlihat gelap dan sayup-sayup terdengar suara azan magrib. Aan baru sadar bahwa ia seharian berada di blok bukit tadi. Padahal, untuk sekadar menanam bibit albasiah biasanya paling lama hanya dua jam saja. Tapi kenapa harus seharian. Aan pun merasa hanya tidur beberapa menit, namun ternyata seharian. Sebuah keganjilan yang tak pernah dimengerti oleh Aan.

Namun, yang jelas selama berada di blok bukit itu Aan kerap mendengar hal-hal aneh, seperti suara-suara perempuan dan binatang juga bayangan-bayangan hitam berukuran raksasa. Aan tidak tahu apakah itu benar-benar nyata atau hanya halusina saja. Demikian pula soal mimpinya, Aan masih bertanya-tanya apakah berkelahi dengan ular sebesar gulungan kasur benar-benar mimpi atau nyata? Walahualam. Yang jelas ia tetap bekerja menanam pohon dan sayuran untuk menyongsong masa depannya yang lebih baik. **

Artikel yang Berkaitan

0 komentar:

-

Post a Comment