-

Wednesday, December 21, 2011

Nasib Si Kecil dengan menjamurnya minimarket

Oleh: AGUS HERMAWAN

TRAGIS. Itulah barangkali kata yang tepat untuk mengungkapkan kondisi para pedagang kecil seperti kios dan warungan saat ini. Bagaimana tidak, menjamurnya minimarket hingga ke perdesaan dan kompleks perumahan, membuat perkonomian dan usaha mereka menjadi terpuruk.

Ironisnya, keterpurukan pedagang kecil itu tidak diketahui secara gamblang, bahkan luput dari perhatian pemerintah. Sementara para pedagang kecil sulit untuk memperjuangkan hak mereka karena keterbatasan.

Keterpurukan para pedagang kecil terlihat dari jumlahnya yang kian menyusut karena gulung tikar. Keberadaan mini market membuat mereka sulit bersaing. Tidak jarang dalam suatu wilayah ada 2 hingga 3 mini market yang berdekatan. Bahkan ada juga yang berdampingan, sehingga di antara mini market pun persaingannya cukup ketat.

Kondisi ini sangat memprihatinkan. Minimarket terus bertambah sehingga menggerus pedagang kecil. Sementara pemerintah seolah tidak memedulikan dan mengembalikan masalah tersebut pada mekanisme pasar. Pemerintah seakan menutup mata dan terus memberi izin pendirian minimarket. Yang lebih memprihatinkan, pendirian minimarket tidak memerhatikan aturan, baik dari sisi zonasi maupun jenis produk.

Para pedagang yang tergabung dalam perhimpunan pedagang warungan dan pasar tradisional (Pesat) Jawa Barat sempat merasa gerah. Mereka unjuk gigi, unjuk rasa, unjuk keprihatinan, mendatangi beberapa mini market yang menyalahi aturan. Mereka juga mencoba mengadukan nasib mereka ke pemerintah.

Hasilnya? Tidak ada. Hingga kini pemerintah seperti tutup mata tutup telinga. Suara nurani para pedagang dianggap angin lalu atau mungkin tidak dianggap apa-apa. Para pedagang kecil seolah-olah tidak dipandang sebagai masyarakat yang mempunyai hak yang sama. Padahal dalam UUD 45 dinyatakan dengan tegas, "Orang-orang miskin dipelihara oleh negara".

Saya jadi ingat ucapan kawan saya. "Itulah sebabnya, hingga kini banyak orang miskin dan dibiarkan terlantar karena mereka dipelihara oleh negara," ucapnya dengan nada sinis. Salah undang-undang atau salah manusia yang melaksanakannya? Saya pikir aturan dan undang-undang itu selalu baik atau bahkan mungkin istimewa, tapi apalah artinya jika para pelaksana hukum (pemerintah) tidak mau mengimplementasikannya.

Tidak berlebihan apabila Rhoma Irama dalam lagu berjudul "Indonesia" mengungkapkan kejengkelan dan rasa gundahannya, "Mengapa kehidupan tidak merata? Yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin". Padahal, menurutnya, Indonesia adalah negara yang subur makmur. Sayangnya, kesejahteraan hanya menjadi milik segelintir orang.

Dalam hati kecil saya bertanya, jangan-jangan di zaman reformasi ini praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme bagaikan api dalam sekam. Di permukaan tampak dingin dan rapi, ternyata di dalam masih tetap membara. Permainan, kelicikan, keinginan menang sendiri boleh jadi masih terus berkecamuk dalam dada oknum-oknum yang ingin enak sendiri.

Tidakkah mereka mendengar jeritan orang-orang kecil? Tidakkah mereka mendengar ratapan anakanak orang miskin? Tidakkah mereka melihat jutaan orang berjalan telanjang kaki telanjang dada dengan wajah memelas dan tubuh kurus kering? Tidakkah mereka berpikir, seandainya mereka menjadi adalah orang-orang yang kecil yang selalu terpinggirkan? Subhanalloh. Mari kita buka mata hati dan nurani kita. (Wartawan Galamedia)** Kamis, 08 Desember 2011

Artikel yang Berkaitan

0 komentar:

-

Post a Comment