-

Tuesday, September 29, 2015

Teladan Ibrahim untuk Orang Tua

Ibrahim dan Ismail merupakan utusan Allah SWT yang darinya tumbuh generasi-generasi pilihan. Allah SWT melalui Alquran memerintahkan Muhammad SAW agar mengikuti agama Ibrahim yang hanif, seperti difirmankan dalam surah an-Nahl ayat 123, “Kemudian Kami Wahyukan kepadamu (Muhammad), ikutilah agama Ibrahim yang hanif, dan dia bukanlah termasuk orang musyrik.”

Ajaran Ibrahim AS sampai sekarang masih kekal dan diamalkan umat Islam, salah satunya yaitu melaksanakan ibadah kurban pada 10 Dzulhijah dan pada hari-hari tasyrik. Bentuk pengorbanan berupa ibadah kurban yang dimulai pada zaman Ibrahim dengan mengorbankan putranya, Ismail, bukanlah pengorbanan yang kecil.

Setelah beberapa lama belum dianugerahi putra, akhirnya Allah SWT mengabulkan doa Ibrahim dengan menganugerahinya seorang putra bernama Ismail. Namun, setelah Ismail mencapai usia remaja, Allah SWT memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih p utranya itu.

Ibrahim yang sudah sangat lama mendambakan seorang putra harus dihadapkan pada sebuah kenyataan yang sangat dilematis, yaitu harus menyembelih anaknya. Jika tidak ada keyakinan yang kuat di antara kedua manusia saleh ini, pastilah tidak akan terjadi pengabdian yang total atas perintah Allah SWT.

Ibrahim dan Ismail begitu yakin pada perintah Allah SWT. Ismail pun yakin sang ayah tak akan mencelakainya. Apa yang bisa diambil pelajaran dari perjalanan Ibrahim dan Ismail?

Pertama, kedekatan orang tua dan anak mampu menumbuhkan rasa saling percaya yang kuat dalam ketaatan kepada Allah SWT sehingga menjadikan sebuah pengorbanan besar itu bisa dilaksanakan dengan totalitas tanpa keraguan sedikit pun.

"....Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka, pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang Diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Al lah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (Q S al-Shafat: 102). Tidak ada penolakan sama sekali dari Ismail atas perintah penyembelihan itu.

Kedua, keberanian berkorban Ismail pada usia belia karena berada dalam bimbingan Ibrahim sebagai orang tua yang pantas dipercaya. Kepercayaan seseorang bisa menjadi bekal lahirnya pengorbanan.

Bagaimana mau berkorban jika keyakinan dan kepercayaan tidak ada. Mengajarkan dan memberikan contoh berkorban terhadap anak sejak awal merupakan investasi untuk masa depan anak.

Bahkan keluarga, bukan sekadar untuk mendapatkan pahala, melainkan juga untuk mendapatkan masa depan yang lebih baik karena sebelumnya dibiasakan sikap ikhlas untuk berkorban.

Berkorban waktu untuk beribadah, belajar, membantu orang tua, membantu dan menolong sesama, sehingga nantinya memiliki life skill dan soft skill sebagai bekal bidup.

Ketiga, orang tualah yang mengajak dan memberikan contoh, melatih putra-putrinya untuk berkorban sejak dini agar nanti di kemudian bisa terbiasa.

Semoga kita tidak kesulitan dalam mengajak putra-putri kita dalam melakukan kebaikan karena kita sudah membangun kepercayaan dan keyakinan yang kuat dengan keluarga dan putra-putri kita.

Berguru kepada Ibrahim dan Ismail tentang berkorban adalah belajar bagaimana membangun keyakinan dan kepercayaan serta berkorban dengan ikhlas terhadap Allah SWT serta membangun sikap saling percaya yang dibangun dalam keluarga dengan ikatan tauhid.

Dengan sikap saling percaya itulah sikap berkorban akan mudah ditunaikan minimal di lingkungan keluarga, terlebih di masyarakat. Berani berkorban sejak dini berarti berani untuk mendapatkan kebaikan dan mudah untuk berkorban di saat dewasa nanti. Wallahu'alam.

Oleh: Abdul Hopid
sumber : www.republika.co.id

Tuesday, September 22, 2015

Amal Terbaik

Suatu hari Abu Dzarr bin Jundah RA bertanya kepada Rasulullah SAW, “Amal apakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Iman kepada Allah dan berjuang di jalan-Nya.

Aku bertanya, “Memerdekakan budak yang bagaimana yang paling utama?” Beliau menjawab, “Memerdekakan budak ketika sangat disayangi tuannya dan yang paling mahal harganya.

Aku bertanya, “Seandainya aku tidak mampu berbuat yang sedemikian, lalu bagaimana?” Beliau menjawab, “Kamu membantu orang yang bekerja atau kamu menyibukkan diri agar hidupmu tidak sia-sia.

Aku bertanya lagi: “Wahai Rasulullah, bagaimana jika aku tidak mampu melakukan sebagian pekerjaan itu? “Beliau menjawab, “Janganlah kamu berbuat kejahatan kepada sesama manusia, karena sesungguhnya yang demikian itu te rmasuk sedekah untuk dirimu.” (HR Bukhari dan Muslim).

Hadis di atas menunjukkan betapa banyak jalan untuk kebaikan. Iman menjadi amalan yang paling utama, bahkan menduduki peringkat teratas. Tentu saja bukan tanpa sebab, tanpa iman yang kokoh, sikap tauhid, segala amal kebaikan menjadi tak ada nilai spiritualnya.
Iman kepada Allah Yang Maha Kuasa menjadi sarana pembebasan manusia dari penghambaan pada yang lainnya. Tidak ada lagi tuhan-tuhan kecil yang diperhamba, selain Tuhan sejati, Allah SWT.

Rasulullah Saw bersabda, “ Iman itu mempunyai tujuh puluh atau enam puluh lebih cabang, yang paling utama adalah ucapan Laa Ilaaha Illallah, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Sedangkan malu adalah cabang dari iman.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dalam praktiknya, ikhlas dalam seluruh kegiatan ibadah merupakan kunci untuk memperoleh amalan terbaik. Firman Allah SWT, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus,” (QS Al-Bayyinah:5).

Niat yang tulus dalam beribadah tentu menjadikan setiap kebaikan memiliki keutamaan yang lebih di hadapan Allah. Rasul bersabda, “Setiap amal disertai dengan niat. Setiap amal seseorang tergantung dengan apa yang diniatkannya. Karena itu, siapa saja yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya diterima dan diridhai Allah dan Rasul-Nya. Tetapi barang siapa yang melakukan hijrah demi kepentingan dunia, atau karena wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya akan mendapat apa yang menjadi tujuannya,” (HR Bukhari Muslim).

Hanya saja, berhati-hatilah dengan jebakan setan yang begitu halus dan lembut. Bahkan, jebakannya bisa hadir di tengah-tengah ibadah dan amalan yang dilakukan. Merasa benar, riya dan ingin dipuji orang lain merupakan jebakan syetan yang harus dihindari.

Amalan terbaik juga merupakan amalan yang tidak memberatkan dan yang dilakukan terus menerus. Berlebihan dalam beribadah pun bukanlah merupakan amalan terbaik.

Hal ini pernah dikisahkan ketika Rasul SAW masuk ke ruma h Siti ‘Aisyah, waktu itu ada seorang wanita, dan beliau bertan ya, “Siapakah dia?” ‘Aisyah menjawab: “Ini adalah si Fulanah yang terkenal shalatnya.

Nabi bersabda, “Wahai Fulanah, beramallah sesuai kemampuanmu. Demi Allah, Dia tidak akan bosan untuk menerima amalmu, sehingga kamu sendirilah yang merasa bosan. Sesungguhnya amalan yang paling disukai Allah, yaitu yang dikerjakan secara terus menerus.” (HR Bukhari Muslim).
Oleh: Iu Rusliana

sumber : www.republika.co.id

Friday, September 18, 2015

Teladan Kesabaran

Allah berfirman, "Maka bersabarlah engkau (Muhammad) sebagaimana kesabaran rasul-rasul yang memiliki keteguhan hati dan janganlah engkau meminta agar azab disegerakan untuk mereka. Pada hari mereka melihat azab yang dijanjikan, mereka merasa seolah-olah tinggal (di dunia) hanya sesaat pada siang hari. Tugasmu hanya menyampaikan. Maka, tidak ada yang dibinasakan kecuali kaum yang fasik (tidak taat kepada Allah)." (QS al-Ahqaf [46]: 35).

Semua nabi dan rasul Allah adalah orang-orang yang sabar. Dari sekian banyak nabi dan rasul, ada yang dikenal dengan sebutan rasul Ulul Azmi. Mereka ini adalah para nabi dan rasul yang paling penyabar di antara yang lainnya. Mereka adalah Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi Muhammad. Ulul Azmi berarti pemilik keteguhan hati.

Nabi Nuh disebutkan berdakwah dengan begitu sabar selama 950 tahun, mengajak umatnya untuk beriman kepada Allah, tetapi hanya sedikit yang mengikuti beliau. (QS al-'An kabut [29]: 14).

Nabi Ibrahim disebutkan berdakwah dengan sangat sabar tidak hanya kepada kaumnya, tetapi juga kepada Azar, ayahnya, sang pembuat berhala, dan seorang raja yang kejam bernama Namrud. (QS al-An'am [6]: 74). Ibrahim bahkan harus menjalani siksaan kejam, yakni dibakar hidup-hidup oleh Raja Namrud, tapi Allah menyelamatkannya sehingga tidak mempan dibakar.

Nabi Musa juga sangat sabar menghadapi kaumnya, Bani Israil, yang suka ngeyel dan ingkar janji. Padahal, Allah telah melimpahkan kepada mereka begitu banyak nikmat, misalnya, diselamatkan dari kekejaman Fir'aun serta diberikan makanan berupa manna dan salwa.

Alquran menyebutkan, "Wahai Bani Israil! Sungguh, Kami telah menyelamatkan kamu dari musuhmu dan Kami telah mengadakan perjanjian dengan kamu (untuk bermunajat) di sebelah kanan gunung itu (Gunung Sinai) dan Kami telah menurunkan kepada kamu mann dan salwa. Makanlah dari rezeki yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu dan janganlah melampaui batas yang menyebabkan kemurkaan-Ku menimpam u. Barang siapa ditimpa kemurkaan-Ku, sungguh, binasalah dia." (QS Thaha [20]: 80-81).

Nabi Isa juga begitu sabar menghadapi kaumnya yang mengingkari Allah dan mendustakan dakwahnya. Tidak hanya itu, sebagian mereka malah ada yang menganggap Isa sebagai Tuhan. Sesuatu yang sangat keras dibantah oleh beliau.

Alquran menyebutkan, "Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman, 'Wahai Isa putra Maryam! Engkaukah yang mengatakan kepada orang-orang, jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua Tuhan selain Allah?' (Isa) menjawab, 'Mahasuci Engkau, tidak patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku. Jika aku pernah mengatakannya, tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada-Mu. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahui segala yang gaib.'" (QS al-Ma'idah [5]: 116).

Nabi Muhammad, rasul terakhir sekaligus penutup para rasul, tidak kurang sabarnya seperti para rasul sebelumnya. Pada ayat di aw al tulisan ini disebutkan, Allah memang telah menyuruh beliau untuk bersabar. Beliau tidak boleh mendoakan hal-hal buruk kepada kaumnya, seperti berdoa agar disegerakan azab atau siksa kepada mereka.

Allah menegaskan, tugas beliau dan para rasul terdahulu hanyalah menyampaikan risalah. Soal hidayah ada di tangan Allah. Selama lebih kurang 23 tahun: 13 tahun di Makkah dan 10 tahun di Madinah, Rasulullah berdakwah dengan sangat sabar dan tekun. Pada akhirnya, hasilnya sungguh mencengangkan. Dalam tempo itu, seluruh jazirah Arab mayoritas telah menjadi Muslim yang kemudian menyebar ke pelbagai belahan dunia.
Oleh: Nur Farida
 sumber : www.republika.co.id

Tuesday, September 15, 2015

Para Penikmat Tahajud

Semoga tidak pernah ada kata bosan untuk selalu saling mengingatkan. Ada kenikmatan yang tak terkatakan dalam setiap Tahajud kita. "Sesungguhnya bangun tengah malam lebih tepat untuk khusyuk dan bacaan kala itu sungguh sangat berkesan mendalam." (QS al-Muzammil: 6).
Dengan tadabur dan dibaca pelan, inilah sungguh keistimewaan shalat Tahajud. Tahajud adalah syariat Allah, sebuah upaya meraih cinta dan rahmat-Nya. Tahajud adalah sunah utama Rasulullah, sebuah ikhtiar untuk meraih syafaat Rasulullah.Penikmat Tahajud akan dicintai, dikagumi, didoakan, dan diaminkan doanya oleh para malaikat.
Allah tuntun mencapai "maqooman mahumuudan", kedudukan mulia di sisi-Nya, juga di hadapan makhluk-Nya.Tahajud adalah shalat yang paling nikmat dan mengesankan. Hidup damai, tenang, dan sangat bahagia. Ada aura "haibah" penuh wibawa dan karismatik. Penikmat Tahajud pada akhirnya dalam skrip tulisan-Nya akan terunduh cinta dan sayang dari hamba-hamba-Nya yang beriman.
Disegani manusia dan ditakuti musuh, manusia, dan jin.Orang yang bersenyap dalam Tahajud akan memiliki "qoulan tsaqiilan", bicaranya didengar dan nasihatnya membangkitkan semangat ibadah dan amal saleh. Doanya sangat mustajab. Kunci sukses ikhtiar, berdagang, dan semua aktivitas.
Allah juga akan memuliakan para penikmat Tahajud dengan "wujuuhun nuuri", wajah yang bercahaya, nyaman, dan menyenangkan jika ditatap. "Thiiban nafsi", nafsunya hanya semangat dalam ketaatan dan berakhlak mulia. Ia juga adalah "manhaatun anil itsmi", Allah cabut keinginannya pada maksiat.Tahajud adalah "daf'ul bala", sebuah upaya untuk menolak bala bencana.
Kalau terjadi, membawa hikmah besar. Sehat, segar, kuat, cerdas, obat jasmani ruhani, dan obat antipikun Kepastian akan didapat bagi mereka yang istiqamah Tahajud. Di antaranya membuka jalan rezeki, kemudahan urusan, dan kebahagiaan rumah tangga. Berbuah belas kasih, dermawan, dan rendah hati. Saat kondisinya sakaratul maut, insya Allah husnul khatimah.
Kuburnya "Rowdoh min riyaadhil jinaani", taman surga. "Miftaahul jannati" meraih kunci surga."Hamba-hamba Allah yang beriman itu sedikit sekali rehatnya di waktu malam. Dan, selalu memohon ampunan Allah pada waktu pagi sebelum fajar." (QS adz-Dzariyat: 17-18). Semoga dengan cara-Nya ternikmati shalat Tahajud kita. Amiin.
OLEH: ustaz Arifin Ilham
sumber : www.republika.co.id

Friday, September 11, 2015

Setiap Kesulitan Terkandung Pahala

Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam pernah bercerita tentang pertemuan seorang laki-laki dengan seekor anjing dalam sebuah tempat tak jauh dari sumur. Kisah perjumpaan itu dimulai ketika tenggorokan lelaki tersebut betul-betul telah kering.

Lelaki ini terus melangkah meski dahaga menyiksanya sepanjang perjalanan, hingga ia menemukan sebuah sumur, lalu terjun dan meminum air di dalamnya. Air yang mengaliri kerongkongnya cukup untuk menyembuhkan rasa haus itu. Lidahnya kembali basah, tenaganya sedikit bertambah.

Saat keluar dari lubang laki-laki ini terperanjat. Di hadapan matanya sedang berdiri seekor anjing dengan muka memelas. Napasnya kempas-kempis. Lidahnya menjulur-julur. “Anjing ini pasti mengalami dahaga sangat seperti yang telah aku derita,” kata si lelaki.

Laki-laki tersebut seperti menyadari bahwa meski haus, anjing sekarat itu tak mugkin turun ke dalam sumur karena tindakan ini bisa mal ah mencelakakanya. Seketika ia terjun kembali ke dalam sumur. Sepatunya ia penuhi dengan air, dan naik lagi dengan beban dan tingkat kesulitan yang bertambah. Si lelaki bahagia bisa berbagi air dengan anjing.

Apa yang selanjutnya terjadi pada lelaki itu?

Rasulullah berkata, “Allah berterima kasih kepadanya, mengampuni dosa-dosanya, lantas memasukkannya ke surga.” Para sahabat bertanya, “Wahai, Rasulullah! Apakah dalam diri binatang-binatang terkandung pahala-pahala kita?”

“Dalam setiap kesulitan mencari air terkandung pahala,” sahut Nabi.

Kisah di atas mengingatkan kita pada keharusan bersifat welas asih kepada sesama makhluk, termasuk binatang. Tapi, bukankah anjing adalah binatang haram? Bukankah keringat dan air liurnya termasuk najis tingkat tinggi dan karenanya harus dijauhi?

Cerita tersebut Rasulullah justru menyadarkan kita bahwa status haram dan najis tak otomatis berbanding lu rus dengan anjuran membenci, melaknat, dan menghinakan. Bukankah Rasu lullah pernah berujar, “Irhamû man fil ardl yarhamkum man fis samâ’ (sayangilah yang di bumi, niscaya yang di langit akan menyayangimu.”
Sumber: NU Online

Tuesday, September 08, 2015

Hiasi Diri dengan Sabar

Sifat sabar. Inilah sifat yang harus menjadi perhiasan bagi setiap jamaah haji. Kesabaran tak hanya dituntut pada saat puncak pelaksanaan haji, tetapi dalam seluruh proses haji. Mulai dari pendaftaran, keberangkatan, ketika berada di Tanah suci, hingga kembali ke Tanah Air.

Berdasarkan pengalaman, biasanya ujian kesabaran muncul akibat ketidaksesuaian antara rencana dan realitas, antara harapan dan kenyataan. Hal itu mulai terasa sejak keberangkatan dari daerah asal ke asrama haji lalu ke bandara.

Kesabaran jamaah haji diuji melalui kemacetan lalu lintas menuju asrama, pemeriksaan dokumen yang memakan waktu relatif lama, menunggu pesawat berjam-jam, mencari koper di tengah ratusan koper jemaah lain yang sama bentuk, ukuran, dan warna.

Ujian kesabaran pun kerap muncul di Tanah Suci, baik Makkah maupun Madinah. Kondisi penginapan juga bisa membuat jengkel. Memiliki empat lantai, tapi tak di lengkapi lift, toilet yang mampet, atau tempat tidur yang tak nyaman.

Begitu pula dengan makanan yang terkadang datang terlambat, sudah basi, atau tak sesuai dengan selera. Dan, puncak ujian kesabaran muncul pada puncak pelaksanaan ibadah haji.

Selain meninggalkan segala larangan ketika berihram, para jamaah pun tak diperkenankan rafats dan jidal. Setiap musim haji, jutaan orang dari seluruh dunia berkumpul di tempat yang sama dengan tujuan yang sama pula.

Jalanan macet, kendaraan terjebak berjam-jam sehingga terlambat tiba di tujuan. Di Arafah dan Mina, jamaah harus sabar mengantre makanan dan buang hajat.
Jika tak menghiasi diri dengan kesabaran, semua itu berpotensi membuat jamaah tak henti berkeluh kesah, stres, serta mudah tersinggung dan marah. Celakanya lagi, nilai ibadah bisa rusak. Bahkan, ibadah haji yang telah dilaksanakan bisa tertolak (batal).
Oleh karena itu, di dalam Alquran, Allah SWT memerintahkan kepada kita untuk meminta pertolongan kepada-Nya dengan sabar. “Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat ....” (QS al-Baqarah [2]: 45).

Kesabaran adalah pokok dari setiap amal. Bila kesabarannya hilang, amal akan rusak. Ali bin Abi Thalib berkata, “Ketahuilah bahwa sabar, jika dipandang dalam permasalahan seseorang adalah ibarat kepala dari suatu tubuh. Jika kepalanya hilang, keseluruhan tubuh itu akan membusuk. Jika kesabaran hilang, seluruh permasalahan akan rusak.''

Agar kita dapat menghiasi diri dengan sabar saat melaksanakan prosesi haji, hal yang harus dilakukan jamaah adalah senantiasa melatih diri dan bermujahadah (usaha maksimal) untuk selalu bersabar. Sabar merupakan akhlak yang bisa diperoleh dengan dua hal itu.
Selanjutnya, jamaah harus senantiasa berzikir. Zikir akan menumbuhkan ketenangan hati sehingga jamaah bisa menyikapi berbagai hal yang dihadapinya dengan kepala dingin. Selain itu, hendaknya jamaah meyakini takdir Allah, baik yang sesuai dengan keinginannya maupun tidak.

Takdir itu akan terus berlangsung dan itulah keputusan yang adil buat jamaah, sabar ataupun tidak. Jika jamaah bersabar, Allah SWT menjanjikan pahala dan kebaikan. Itulah yang akan menumbuhkan kekuatan pada diri jamaah. “Dalam kesabaran terhadap perkara yang tidak disukai itu banyak kebaikannya.” (HR Tirmidzi).

Satu hal yang tak kalah penting, hendaknya jamaah haji mencari informasi tentang berbagai kemungkinan yang bisa terjadi dalam pelaksanaan ibadah haji sejak dari berangkatan, ketika berada di Tanah suci, hingga kepulangan ke Tanah Air.
Dengan demikian, jamaah haji tak akan kaget ketika kemungkinan itu menjadi kenyataan dan bisa menyikapinya dengan sabar. Wallahualam.

Oleh: Moch Hisyam

sumber : www.republika.co.id

Friday, September 04, 2015

Menjadi Mabrur

Ibadah haji termasuk salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh umat Islam. Kewajiban ini tergolong rukun Islam terakhir yang selalu diiringi dengan kata "bagi yang mampu". Karena, dalam pelaksanaannya membutuhkan biaya besar, tenaga dan energi yang banyak, serta waktu yang lama.

Oleh karena beratnya pelaksanaan ibadah inilah maka kemudian Allah SWT menyiapkan pahala yang sangat besar pula. Dalam kitab Shahih Bukhari disebutkan riwayat dari Abu Hurairah yang menyatakan, "Orang yang melaksanakan haji karena Allah SWT kemudian tidak berkata atau berperilaku jorok dan tidak berbuat fasik (maksiat) maka akan kembali ke kampung halamannya seperti bayi yang baru dilahirkan oleh ibunya (tak berdosa sama sekali)." (HR Bukhari).

Hadis ini menegaskan bahwa, pertama, orang yang melaksanakan ibadah haji murni karena Allah SWT dan tidak ada niat lain kecuali mengharap ridha Allah, tidak terbersit di hatinya karena ingin dihormati orang lain, in gin dipanggil pak haji atau bu haji, ingin dianggap kaya, dan berbagai keinginan lain yang justru bisa menghilangkan pahala hajinya maka Allah akan menghapus dosa-dosanya.

Kedua, tidak berkata atau berprilaku jorok. Larangan ini bersifat umum, baik untuk pasangan suami istri, lebih-lebih terhadap orang lain yang bukan muhrimnya. Tidak berkata jorok maksudnya adalah tidak mengatakan sesuatu yang bisa membangkitkan nafsu birahi atau tidak berbicara tentang hal-hal yang memiliki keterkaitan dengan masalah hubungan suami istri.

Misalnya, merayu pasangannya ketika sedang ihram atau bersenda gurau dengan temannya sambil membahas tema-tema yang tidak senonoh. Jika jamaah haji tidak melakukan hal ini maka Allah SWT akan menghapus dosa-dosanya.

Ketiga, tidak berbuat fasik atau maksiat. Yang dimaksud dengan melakukan kefasikan atau kemaksiatan di sini adalah melakukan dosa, baik dosa kecil maupun dosa besar. Baik dosa itu berhubungan dengan Allah langs ung atau sesama manusia atau bahkan terhadap makhluk-makhluk Allah ya ng lain, seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan.

Maksiat kepada Allah dilakukan dengan cara tidak mematuhi perintah Allah dan tidak menjauhi larangannya. Sedangkan, maksiat kepada sesama manusia bisa dilakukan dengan cara menyakiti mereka, bertengkar, mencaci maki, menzalimi, dan berbagai perkataan atau perbuatan lainnya yang bisa merugikan orang lain.

Untuk maksiat terhadap sesama manusia ini kemungkinan terjadinya sangat besar dalam pelaksanaan ibadah haji karena setiap jamaah haji mau tidak mau pasti akan bersinggungan dengan jamaah haji yang lain, baik antarsesama jamaah haji dari Indonesia maupun jamaah haji dari negara lain. Terutama, dalam pelaksanaan ibadah yang dilakukan secara bersama-sama, seperti tawaf, wukuf di Arafah, mabit dan melempar jumrah di Mina, juga berbagai kesempatan bersama lainnya.

Sementara, berbuat dosa terhadap binatang adalah dengan cara memburu atau melempar atau perbuatan-perbuatan lainnya yang bisa menyakiti bina tang-binatang tersebut. Dan, untuk tumbuh-tumbuhan bisa dilakukan dengan cara menebang atau memetik tangkainya untuk sesuatu yang tidak bermanfaat.

Jika jamaah haji bisa menahan diri dari semua perkataan atau perbuatan tersebut maka ibadah haji yang ia lakukan termasuk haji mabrur. Yang dalam hadis lain disebutkan, "Tidak ada balasan yang pantas bagi haji mabrur kecuali surga." (HR Bukhari).
Oleh: Abdul Syukkur

sumber : www.republika.co.id

Tuesday, September 01, 2015

Belajar Ilmu Hikmah

Thalut diragukan kemampuannya ketika melawan Zhalut. Anak muda yang saleh dari bani Israil ini dianggap tak memiliki apa- apa. Umatnya bahkan menelisik dengan nada mengejek, "Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan darinya sedangkan dia pun tidak diberi kekayaan yang banyak?"

Umat bani Israil itu sering aneh dan tak pandai bersyukur. Pascawafatnya Musa AS dan Yusa bin Nun hingga kehadiran pemimpin mereka bernama Shamil, mereka sesungguhnya kehilangan tonggak kepemimpinan yang memberi arah jalan.

Mereka meminta kelahiran sosok pemimpin baru untuk melawan rezim Amaliqah. Lalu, Tuhan mengirim Thalut. Dia hanya penggembala miskin, padahal yang diharapkan ialah pemimpin keturunan Lawi bin Ya'kub atau Yahuza bin Ya'kub.

Namun, Tuhan memberi ilmu dan hikmah kepada Thalut. Akhirnya, dengan izin Allah, Thalut mampu mengalahkan Zhalut sang perkasa dari negeri Amaliqah sebagaimana dikisahkan dalam Alquran surah al-Baqarah ayat 246-248.

Insan beriman niscaya belajar banyak rahasia hidup dengan radar iman dan ilmu yang melampaui. Belajar ilmu hikmah untuk membaca ayat- ayat kauniyah Tuhan yang sering kali penuh misteri dalam hidup di semesta raya ini.

Alquran mengungkap kisah-kisah sarat hikmah, seperti Ashab al-Kahfi, Lukman al-Hakim, Dzulqarnain, pertemuan Musa dan Khidir, Ibrahim dan Ismail berkurban, dan banyak lainnya sebagai ibrah.

Membacanya tidak memadai hanya dengan nakar verbal dan instrumental. Manusia beriman, siapa pun dia, sikap hidupnya tentu bukan sekadar berwawasan duniawi atau indrawi belaka. Dunia sendiri disebut Tuhan al-mata al-ghurur, penuh senda gurau, dan permainan. Kejayaan duniawai tetap nisbi dan tak pernah absolut.

Kehebatan manusia siapa pun dia memiliki batas lebih dan kurang. Di dalam kelebihannya terdapat kekurangan dan dalam kelemahannya tersimpan kekuatan. Fir'aun yang superperkasa pun memiliki kelemahan, dia sepanjang hayatnya dibayang-bayangi ketakuta n sosok bayi laki-laki yang akan merenggut kedigdayaannya.

Ilmu manusia itu terbatas, betapa pun ia merasa hebat. Apalagi, sekadar ilmu akademik. Allah SWT dalam surah al-Israa'ayat 37 mengingatkan kaum beriman agar tidak arogan. Manusia sombong itu, menurut sabda Nabi, memiliki dua sifat, bathar al-haqq wa ghamthu al-nas, yakni suka menolak kebenaran dari orang lain dan merendahkan sesama. Baru memperoleh ilmu dan merambah dunia sebahu, sudah bertepuk dada seolah setinggi langit. Padahal, di atas langit ada lagi langit.

Belajarlah ilmu hikmah bersama agar semakin tinggi kian merunduk. Hikmah adalah pengetahuan dan kebaikan yang melampaui batas syariat menembus titik hakikat dan makrifat. Hikmah menembus jiwa dan makna ihsan ke jantung terdalam.

Mereka yang diberi ilmu minus hikmah, seperti Musa, kala muda yang merasa serba tahu, tetapi akhirnya terpaksa harus belajar kepada Khidzir yang ilmunya menembus batas cakrawala yang tak terjangkau na lar verbal. Berilmu plus hikmah akan melahirkan kecerdasan yang arif mencerahkan.

Hikmah diraih karena berkah Allah. Difirmankan, yang artinya "Allah memberikan hikmah kepada sesiapa yang dikehendakinya. Dan, barang siapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebaikan yang banyak." (QS al- Baqarah: 269). Lukman al-Hakim juga satu di antara hamba Allah yang diberi hikmah yang dari dirinya lahir banyak kebaik an dan suri teladan bagi kehi - dup an, bak pelita di tengah kegelapan.

Berilmu semestinya naik tangga menuju ilmu berhikmah bukan sekadar ilmu verbal dan instrumental. Banyak orang berilmu, tetapi ilmunya tak mence - rahkan sekitar, bahkan tak mampu menerangi dirinya. Mereka yang berilmu tinggi pun tak jarang tersesat arah jalan sehingga mengalami disorientasi hidup.

Apalagi, baru ilmu sejengkal yang menyentuh kulit luar. Mereka sering merasa benar di jalan sesat. Maka, untuk apa merasa digdaya dengan ilmu dan segala atribut kuasa yang dimiliki manakala tak mampu membuahkan hikmah dalam kehidupan?

Banyak hal dalam hidup ini menj adi berantakan dan salah kaprah karena manusia kehilangan hikmah. Politik dan segala aktivitas perebutan akses kehidupan di manapun menjadi serbagarang karena minus hikmah. Hanya karena satu posisi yang tak seberapa manusia beriman sering saling mengancam dan menerkam sesama.
Merasa hebat, namun kerdil. Merasa menjadi pewaris para Nabi pun sekadar baju luar, minus ilmu hikmah untuk mengajarkan se gala kearifan hidup. Akhirnya, ma nusia bisa saling memangsa da lam hukum homo homini lopus.
Nilai autentik Belajar kepada Lukman al- Hakim, Khidhir, Dzulkarnain, lebih-lebih kepada para Nabi dan Rasul kekasih Allah sungguh tak mudah. Juga kepada para sosok- sosok saleh dan cerdas di manapun tempatnya yang menyiramkan benih-benih kebaikan semesta.
Menyerap serbuk kebajikannya pun boleh jadi merupakan suatu pendakian yang sangat berat. Apalagi, untuk meneladani para Nabi dan Rasul dalam seluruh gerak hidup selaku insan beriman yang sering tersandera oleh banyak topeng dan kepentingan-kepentingan serbainstan yang menyala-nyala.
Maka, menjadi penting mem bangkitkan api iman yang autentik berbingkai hikmah sebagai sikap Muslim yang hanif di tengah hiruk-pikuk kehidupan yang sering kali membuat diri mengalami disorientasi dan sesat jalan. Setiap hari seorang Muslim berdoa, "Tunjukkan kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan pula (jalan) mereka yang sesat." (QS al-Fatihah: 6-7).
Doa itu selain membuka pintu berkah dan perkenan Tuhan, sesungguhnya menularkan energi positif untuk menjalani hidup dengan nilai- nilai ruhaniah yang berwawasan hikmah. Boleh jadi hidayah iman dan Islam dalam makna verbal selalu melekat dalam diri setiap Muslim.
Namun, tak tertutup kemungkinan jalan hidupnya berbelok arah karena iman dan Islamnya tak menghunjam ke kalbu terdalam dan mem buah - kan ihsan serbakebaikan. Iman dan Islam yang harus menjadi - kan setiap insan Muslim berada di jalan lurus dan berperilaku serbabajik yang menyebarkan kesalehan di manapun berada.
Keberimanan dan keberislaman yang benar-benar menampilkan sikap hidup yang tulus, jujur, amanah, damai, welas asih, rendah hati, toleran, dan memuliakan sesama tanpa diskriminasi. Bukan keimanan dan keislaman dalam pesona lisan, teori, dan retorika yang biasanya jauh lebih indah ketimbang aslinya.
Ketika nilai iman dan Islam yang autentik melebur dalam diri insan Muslim, luruhlah kesombongan, keserakahan, ajimumpung, culas, kekerdilan, dusta, nifaq, dan segala penyakit diri. Bersamaan dengan itu diri menjelma menjadi sosok berperangi ihsan yang menyebarkan segala benih kebaikan dalam bingkai Nur Ilahi yang menyejukkan lingkungan kehidupan di sekitar.
Pada titik inilah setiap Muslim mikraj ruhaniah dari sekadar manusia biasa menjadi insan fiahsani at-taqwim yang berperangai utama. Dalam tarikan napasnya selalu ingin menggapai keutamaan hidup yang hakiki melampaui segala penjara duniawi yang indrawi.

OLEH: HAEDAR NASHIR
 sumber : www.republika.co.id