-

Thursday, April 30, 2015

Bahagia dalam Kesulitan

Kebahagiaan merupakan milik semua orang yang menginginkannya. Namun, kita perlu merawat dan memeliharanya, kemudian mengoptimalkan kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual- agar kita selalu meraih kehidupan yang lebih baik dan menyenangkan.

Para pakar kebahagiaan telah mengungkapkan apa pun defenisi kebahagiaan itu, yang jelas dan pasti, semua orang dapat hidup dalam bingkai kebahagiaan dan kesejahteraan. Akan tetapi, terkadang kita malah mengharapkan kebahagiaan yang berjarak, berada di luar diri kita.

Salah satu anugerah terbesar dalam kehidupan ini adalah mempunyai jiwa yang selalu berbahagia. Karena dalam bingkai kebahagiaan, perjalanan hidup seseorang menjadi lebih produktif dan kreatif.
Para peneliti kebahagiaan mengatakan kebahagiaan adalah seni yang perlu dipelajari. Jika mempelajarinya, kita akan mendapatkan berkah dalam hidup ini.

Sebenarnya, prinsip dasar meraih kebahagiaan adalah dengan memiliki kemampuan dalam menahan kepedihan dan beradaptasi dalam situasi apa pun.
Oleh karena itu, kita tidak perlu larut dalam kesedihan dan tertekan dengan hal-hal sepele. Sebab, bila dilandasi dengan kejernihan hati, seseorang akan bersinar merona sekalipun di tempat yang paling gelap.

Ketika kita melatih diri untuk bersikap sabar dan berbesar hati, kesulitan dan malapetaka apa pun akan dengan mudah kita atasi.
Tatkala Allah menurunkan penderitaan kepada umat manusia, janganlah ditafsirkan Allah sudah tidak lagi sayang dan peduli kepada hambanya. Sebagaimana dalam surah al-Baqarah dikatakan, “Allah tidak membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS al-Baqarah [Sapi Betina] [2]: 286).

Bahkan, Allah memberikan jalan keluar sehingga kita bisa mengatasi setiap kesulitan dan penderitaan hidup. Pepatah juga mengatakan, "If God close the door, He will open the windows." (Jika satu jalan tertutup, masih ada jalan yang lain).

Sayangnya, kebanyakan kita kurang terlatih dan peka menangkap pelajaran dari Allah. Pelajaran dari Allah sepertinya tersembunyi nun jauh di sana. Padahal, kalau kita berusaha sedikit bersusah payah memahami eksistensi Allah, tentu kita akan merasa dekat dengan Allah.

Sebagaimana yang dikemukakan Allah, “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawabla h) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku. Maka, hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam Kebenaran.” (QS al-Baqarah [Sapi Betina] [2]:186).

Jadi, kita tidak perlu berkecil hati! Ada banyak pintu yang dapat kita masuki untuk merasakan kehadiran Allah. Di antaranya, membantu orang-orang yang kekurangan, ketuklah pintu rumah Allah pada sepertiga malam saat yang sangat mustajab untuk mengadu atas semua penderitaan yang kita alami.

Berkaitan dengan hal ini, orang bijak pernah mengemukakan; “Serahkanlah sepenuhnya apa pun yang menjadi milikmu secara keseluruhan, tenaga, pikiran, perasaan, emosi, jiwa, raga, kekuatan, dan kelemahanmu kepada Allah.

Sebab, dalam hadis disebutkan, “Tiadalah sesuatu yang menimpa seorang mukmin, hingga duri yang menusuk, melainkan Alla h menuliskan dengannya satu kebaikan atau dihapuskan darinya satu kes alahan (dosa).” (HR Mut-tafaqun Alaih)

Allah yang Maha, sangat memahami perilaku kita sebagai bagian dari Bani Adam. Sebagian besar di antara kita memiliki prilaku sangat malas hijrah dari cangkang comfort zone (kawasan aman risiko).

Boleh jadi karena itulah, Allah mendidik kita dengan cobaan agar kita tersadar dari kemalasan, bangkit dari keterpurukan, dan tidak lagi menjadi bangsa yang kerdil seraya menunggu keberuntungan.
, Oleh: Muslimin

sumber : www.republika.co.id

Tuesday, April 28, 2015

Bertutur Kata

Dalam Alquran, tutur kata ada dua macam. Pertama, tutur kata yang baik yang disebut dengan al-kalimah ath-thayyibah (QS Ibrahim [14]:24 dan QS Faathir [35]:10). Sedangkan dalam hadis Nabi SAW disebut dengan qowlan khairan (HR Bukhari).

Kedua, tutur kata yang buruk yang disebut dengan al-kalimah al-khabitsah (QS Ibrahim [14]:26) yang dapat berbentuk antara lain qowlan gharuran, yakni perkataan yang menipu (QS al An’am [6]:112) dan qowlan al-zuur, yakni perkataan yang dusta (QS al Hajj [22]:30).

Kedua tutur kata tersebut memiliki dampaknya masing-masing dalam pembentukan karakter anak atau sesorang dalam hidupnya.
Anak yang dididik dan tumbuh dalam keluarga yang dihiasi tutur kata yang baik akan menjadi anak yang santun dan lemah lembut tapi gagah, bukan hanya dalam tutur kata, melainkan juga sikap dan lakunya.

Sementara, anak yang dibesarkan dalam lingkungan dengan tutur kata yang buruk akan tumbuh menjadi pribadi yang keras dan kasar (kurang beradab), baik dalam ucapan, sikap, maupun tingkah lakunya.

Tutur kata atau ucapan adalah wujud (buah) dari benih yang ditanamkan dalam hati seseorang (qalb). Jika hatinya bersih, tutur katanya pun bagus dan harum. Namun, jika hatinya rusak dan buruk, tutur katanya pun buruk dan busuk (HR Bukhari).

Tutur kata atau perkataan dalam kajian ilmiah disebut dengan komunikasi Islami. Alquran telah menjadi landasan dan tuntunannya, sementara Nabi SAW yang menjadi modelnya. Sehingga, kita dapat meneladani keduanya dalam berkomunikasi di berbagai konteks sosial yang dihadapi.

Ada enam konsep komunikasi Islami dalam Alquran. Pertama, qawlan ma’ruufan (QS an-Nisa [4]:8). Dalam Tafsir al-Misbah, Prof HM Quraish Shihab menjelaskan maknanya sebagai perkataan yang menghibur hati kerena sedikitnya atau karena tidak ada yang diberikan kepada mereka (yatim dan miskin atau kerabat yang bukan ahli waris) saat pembagian harta warisan.

Kedua, qawlan sadiidan (QS an-Nisa [4]:9). Konsep ini lanjutan dari ayat sebelumnya dalam konteks yang sama, yakni perkataan yang benar dan mengenai tepat pada sasarannya. Pesan-pesan agama pun, jika bukan pada tempatnya, tidak diperkenankan untuk disampaikan.

Ketiga, qawlan baliighan (QS an-Nisa [4]:63), yakni tertampungnya seluruh pesan dalam kalimat yang disampaikan. Kalimatnya tidak bertele-tele, tidak pula singkat sehingga mengaburkan pesan dan cukup tidak berlebih atau kurang.

Keempat, qawlan kariiman (QS al Isra [17]:23), yakni perkataan yang indah dan baik (qawlan jamiilan wa h asanan), lembut lagi mudah (qawlan layyinan sahlan). Kelima, qawl an maysuuran (QS al Isra [17]:28) yang ditafsirkan hampir sama oleh Ibnu Jarir, yakni qawlan layyinan sahlan, ar-rifqi (lembut), dan qawlan jamiilan.

Konteks ayat ini berkaitan dengan ketidakmampuan untuk memberikan bantuan (hak-hak) kepada kaum kerabat, orang miskin, dan ibnu sabil.
Perkataan yang baik atau menghibur agar mereka tidak kecewa karena tidak mendapat bagian. Keenam, qawlan layyinan (QS Thaha [20]:44), yakni sikap lemah lembut, perkataan yang ramah, dan suasana kedamaian.

Bertutur kata yang baik (hifdz al-lisan) adalah akhlak karimah, kewajiban, dan kehormatan diri seorang Muslim. Hati-hatilah karena lisan (lidah) itu lebih tajam dari pedang. Jika pedang melukai badan masih ada obat penghilang. Tapi, jika lidah melukai hati, hendak ke mana obat dicari. Wallahu a’lam bish-shawab.
Oleh: Hasan Basri Tanjung MA

sumber : www.republika.co.id

Friday, April 24, 2015

Kisah Persaingan Miskin-Kaya Berebut Kebaikan

Pada suatu hari, serombongan fakir miskin dari sahabat Muhajirin datang mengeluh kepada Rasulullah SAW, “Ya Rasulullah, orang-orang kaya telah memborong semua pahala hingga tingkatan yang paling tinggi sekalipun.”

Nabi SAW bertanya, "Mengapa engkau berkata demikian?" Lalu, meraka pun berujar, "Mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka puasa sebagaimana kami puasa, tapi giliran saat mereka bersedekah, kami tidak kuasa melakukan amalan seperti mereka. Mereka memerdekakan budak sahaya sedangkan kami tidak memiliki kemampuan melakukan itu."

Setelah mendengar keluhan orang fakir tadi, Rasulullah SAW tersenyum lantas berusaha menghibur sang fakir dengan sebuah hadis motivasi. Dengan sabdanya, Rasulullah SAW berusaha membesarkan hati mereka. "Wahai sahabatku, sukakah aku ajarkan kepadamu amal perbuatan yang dapat mengejar mereka dan tidak seorang pun yang lebih utama dari kamu kecuali yang berbuat seperti perbuatanmu?"

Dengan sangat antusias, mereka pun menjawab, "Baiklah, ya Rasulullah." Kemudian, Nabi SAW bersabda, "Bacalah 'subhanallah', 'Allahu akbar', dan 'alhamdulillah' setiap selesai shalat masing-masing 33 kali." Setelah menerima wasiat Rasulullah SAW, mereka pun pulang untuk mengamalkannya.

Tak lama berselang, setelah beberapa hari berlalu, para fakir miskin itu kembali menyampaikan keluhannya kepada Rasulullah SAW. "Ya Rasulullah, saudara-saudara kami orang kaya itu mendengar perbuatan kami, lalu mereka serentak berbuat sebagaimana perbuatan kami." Maka, Nabi SAW bersabda, "Itulah karunia Allah SWT yang diberikan kepada siapa saja yang Ia kehendaki." (QS an-Nur [24]: 38).

Sungguh agung perilaku si miskin dan si kaya yang kita dapati dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim di atas. Keduanya memiliki sifat yang begitu mulia, saling berlomba-lomba dalam setiap kebaikan.

Si kaya yang beruntung dengan dikaruniai limpahan rezeki tidak menjadikannya bak si Qorun yang takabur dan bakhil. Ia sadar betul semua itu hanyalah titipan dari Allah SWT yang mesti digunakan di jalan yang semata-mata hanya untuk mencari keridhaan-Nya. Kekayaan tidak menjadikannya lupa daratan, tapi menyadarkannya untuk lebih bederma karena di dalamnya begitu banyak hak orang lain yang mesti ditunaikan.

Begitu pula dengan potret si miskin yang tidak mau kalah beramal. Ia selalui mencari solusi untuk bersaing secara sehat untuk mencari keunggulan dalam beribadah, sadar akan ketidakberuntungan materi tidak menjadikannya patah arang untuk memberikan pengabdian terbaik bagi Allah SWT.

Menjadi kaya atau miskin tentu membutuhkan mental untuk menerima kenyataan. Namun, yang terpenting adalah kesiapan untuk mempersembahkan yang terbaik bagi Allah SWT setelah diberi ketentuan satu di antara keduanya.
Oleh: Agus Taufik Rahman


sumber : www.republika.co.id

Wednesday, April 22, 2015

Kaya Bahagia, Miskin Mulia

Pada suatu hari, serombongan fakir miskin dari sahabat Muhajirin datang mengeluh kepada Rasulullah SAW, “Ya Rasulullah, orang-orang kaya telah memborong semua pahala hingga tingkatan yang paling tinggi sekalipun.

Nabi SAW bertanya, "Mengapa engkau berkata demikian?" Lalu, meraka pun berujar, "Mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka puasa sebagaimana kami puasa, tapi giliran saat mereka bersedekah, kami tidak kuasa melakukan amalan seperti mereka. Mereka memerdekakan budak sahaya sedangkan kami tidak memiliki kemampuan melakukan itu."

Setelah mendengar keluhan orang fakir tadi, Rasulullah SAW tersenyum lantas berusaha menghibur sang fakir dengan sebuah hadis motivasi. Dengan sabdanya, Rasulullah SAW berusaha membesarkan hati mereka. "Wahai sahabatku, sukakah aku ajarkan kepadamu amal perbuatan yang dapat mengejar mereka dan tidak seorang pun yang lebih utama dari kamu kecuali yang berbuat seperti perbuatanmu?"

Dengan sangat antusias, mereka pun menjawab, "Baiklah, ya Rasulullah." Kemudian, Nabi SAW bersabda, "Bacalah 'subhanallah', 'Allahu akbar', dan 'alhamdulillah' setiap selesai shalat masing-masing 33 kali." Setelah menerima wasiat Rasulullah SAW, mereka pun pulang untuk mengamalkannya.

Tak lama berselang, setelah beberapa hari berlalu, para fakir miskin itu kembali menyampaikan keluhannya kepada Rasulullah SAW. "Ya Rasulullah, saudara-saudara kami orang kaya itu mendengar perbuatan kami, lalu mereka serentak berbuat sebagaimana perbuatan kami." Maka, Nabi SAW bersabda, "Itulah karunia Allah SWT yang diberikan kepada siapa saja yang Ia kehendaki." (QS an-Nur [24]: 38).

Sungguh agung perilaku si miskin dan si kaya yang kita dapati dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim di atas. Keduanya memiliki sifat yang begitu mulia, saling berlomba-lomba dalam setiap kebaikan.

Si kaya yang beruntung dengan dikaruniai limpahan rezeki tidak menjadikannya bak si Qorun yang takabur dan bakhil. Ia sadar betul semua itu hanyalah titipan dari Allah SWT yang mesti digunakan di jalan yang semata-mata hanya untuk mencari keridhaan-Nya.
Kekayaan tidak menjadikannya lupa daratan, tapi menyadarkannya untuk lebih bederma karena di dalamnya begitu banyak hak orang lain yang mesti ditunaikan.

Begitu pula dengan potret si miskin yang tidak mau kalah beramal. Ia selalui mencari solusi untuk bersaing secara sehat untuk mencari keunggulan dalam beribadah, sadar akan ketidakberuntungan materi tidak menjadikannya patah arang untuk memberikan pengabdian terbaik bagi Allah SWT.

Menjadi kaya atau miskin tentu membutuhkan mental untuk menerima kenyataan. Namun, yang terpenting adalah kesiapan untuk mempersembahkan yang terbaik bagi Allah SWT setelah diberi ketentuan satu di antara keduanya.
Oleh: Agus Taufik Rahman


sumber : www.republika.co.id

Monday, April 20, 2015

Kebanggaan dalam Hidup Merupakan Ujian

Harta, takhta, anak, istri, keluarga, serta seluruh atribut yang menyertai kehidupan manusia hanyalah titipan dari-Nya. Semua itu merupakan amanah yang harus disyukuri sepenuh hati dan ikhlas menyerahkannya ketika diminta kembali. Memang tak mudah, tauhidlah yang menjadi fondasinya. Dengan tauhid sejati, semua amanah dari Tuhan akan menjadi kebaikan dan harapan sejati, bekal di keabadian.

Mungkin ini salah satu makna dari pendidikan yang disampaikan Luqmanul Hakim kepada anaknya dan diabadikan Allah SWT dalam firman-Nya, “...Dan (Ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya di waktu ia memberi pelajaran kepadanya, ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS Luqman [31]: 13).

Pesan Luqman kepada anaknya tentang tauhid merupakan fondasi utama dalam melahirkan sifat mulia lainnya. Tauhid yang benar akan membuat seseorang bersikap selalu ingin mendapatkan keridhaan Allah, bukan demi pujian manusia atau kepentingan pribadi.

Seluruh napas, sikap, dan perilakunya diorientasikan kepada Allah SWT. Baginya kekayaan, jabatan, dan seluruh atribut itu hanyalah titipan. Saat harta diminta, dari semula kaya raya menjadi miskin, kita akan sanggup menerimanya. Pun demikian, awalnya menjabat, kemudian pensiun, kita telah menyadari dan mempersiapkannya.

Namun sebagai manusia biasa, bila anak atau anggota keluarga berpulang ke Rahmatullah, tembok kokoh ikhlas dan sabar itu bisa ambruk seketika. Pada saat itu, hanya akal sehat dan keimanan yang bersatu akan memandu, menyusun kembali hati yang lemah walau dengan susah payah. Dukungan doa sahabat dan keluarga akan menguatkan. Tentunya semua berpulang kepada diri kita, seberapa banyak meminta untuk selalu dipandu oleh-Nya. Berdoa, bacalah selalu Alquran, dan mintalah hidayah dari-Nya.

Kuatkanlah selalu kesadaran bahwa semua kebanggaan dalam hidup merupakan ujian, apakah kita mampu mensyukuri atau sebaliknya, kufur nikmat. “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu); di sisi Allah-lah pahala yang besar (QS at-Taghabun [64]:15).

Bilamana kufur nikmat menguasai, siksaan akan datang tidak hanya di akhirat, tapi juga saat di dunia. Allah SWT memberikan peringatan dalam surah at-Taubah ayat 55, “Maka janganlah harta benda dan anak-anak itu menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedangkan mereka dalam keadaan kafir.”

Anak dan harta merupakan kebanggaan. Kepada keduanya harapan masa depan dititipkan. Warisan dan sekolah yang terbaik untuk anak pasti disiapkan. Hanya saja kita kerap lupa bila keduanya hanyalah amanah, kapan pun pemilik sejatinya meminta, harus ikhlas menyerahkannya.

Lagi-lagi, tauhid yang kokoh menjadi kekuatan. Anak yang hebat, gagah, dan cantik hanyalah ujian, apakah kita mampu mendidiknya agar mereka menjadi anak yang saleh sebagaimana dicontohkan Luqman di atas. Sebuah jihad yang luar biasa dari orang tua untuk anak-anaknya. Rezeki yang dinafkahkannya harus terjamin halal dan toyib, keteladanan, didikan, dan lingkungan harus memastikan anak tumbuh sebagai pribadi yang kuat imannya dan mulia akhlaknya.

Akhirnya, hanya harta yang dimanfaatkan untuk kebaikan, ilmu yang bermanfaat, ibadah vertikal dan horizontal yang optimal, serta anak salehlah yang akan menjadi sebaik-baiknya harapan.

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan  yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS al-Kahfi [18]:46).  Wallâhu’alam.
Oleh: Iu Rusliana


sumber : www.republika.co.id

Saturday, April 18, 2015

Dua Ciri Kekasih Allah

Kekasih Allah, dalam bahasa Arab, disebut waliyullah. Bentuk jamaknya adalah auliya Allah. Bila seseorang sudah menjadi kekasih-Nya, dia akan memperoleh beberapa keistimewaan. Pertama, Allah akan memberi rezeki untuknya dari tempat yang tidak terduga. Kedua, doa mereka makbul.
Oleh sebab itu, jika kita bertemu seseorang dan yakin bahwa orang itu wali Allah, mintalah doa kepadanya. Ketiga, kehadirannya mendatangkan berkah bagi tempat di sekitarnya. Dalam Madarij as-Salikin, Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah menyebut beberapa ciri-ciri wali Allah.

Pertama, wali Allah adalah orang yang sangat dekat dengan kaum fakir miskin. Orang seperti itu jika berbuat dosa maka akan diampuni oleh Allah SWT. Ini seperti terjadi pada seorang Yahudi ketika akan dihukum mati oleh karena golongannya berkhianat kepada Rasulullah. Saat penghukuman mati, Jibril datang menemui Rasulullah seraya meminta seorang tawanan Yahudi tersebut dibebaskan karena ia senang menjamu tamu dan suka menolong fakir miskin.

Setelah itu, Rasul menghampiri tawanan tersebut dan berkata, "Baru saja Jibril datang kepadaku dan aku akan bebaskan kamu." Tawanan itu bertanya, "Mengapa?" "Karena engkau suka menjamu tamu dan membantu fakir miskin." Ketika itu juga, si Yahudi masuk Islam. Orang Yahudi itu dimaafkan karena sifat kedermawanannya. Jika kita ingin menjadi kekasih Allah tetapi kita sulit berzikir dan salat malam, cara yang paling baik ialah memberikan sebagian harta kita kepada kaum fakir miskin.

Kedua, wali Allah ialah anak muda yang taat beribadah kepada Allah. Dia persembahkan masa muda dan ketegapan tubuhnya untuk Allah. Dalam salah satu hadis disebutkan, "Tidak ada yang paling dicintai Allah selain pemuda yang sudah kembali kepada Allah dan tidak ada yang paling dibenci Allah selain orang tua yang terus menerus melakukan kemaksiatan." Jika ada anak yang masih kecil sudah taat kepada Allah dan rajin membaca Alquran, dekatilah ia.
Ia akan menyebarkan berkah kepada kita. Dalam hadis lain di sebutkan: "Sesungguhnya, makhluk yang paling dicintai Allah adalah anak muda yang belia usianya, tegap tubuhnya, yang mempersembahkan kepemudaan dan ketegapannya untuk taat kepada Allah. Itulah orang yang dibanggakan Allah di hadapan para malaikat-Nya. Dikumpulkannya para malaikat itu, kemudian Allah berfirman: `Inilah hamba-Ku yang sebenarnya'. "

Kita mungkin pernah mendengar hadis yang bercerita mengenai tujuh orang yang mendapatkan perlindungan pada hari kiamat saat yang lain tidak mendapatkannya. Tampaknya semua itu sangat sulit kita amalkan, kecuali satu hal, yaitu menjadi anak muda yang tumbuh besar dengan ketaatan kepada Allah SWT.
Salah satu sifat yang disebutkan dalam hadis tersebut yang sulit kita amalkan ialah menjadi pemimpin yang adil. Jangankan menjadi pemimpin Islam, menjadi pemimpin parpol Islam saja sulit. Sifat lain ialah menolak rayuan perempuan cantik yang berpangkat tinggi karena takut kepada Allah.

Tampaknya agak sulit bagi kita untuk menjadi salah satu dari tujuh kelompok itu, kecuali menjadi anak muda yang tumbuh besar dengan ketaatan kepada Allah SWT. Walla - hu a'lam.
Oleh: Abdul Aziz


sumber : www.republika.co.id

Thursday, April 16, 2015

Keistimewaan Berwudhu Sebelum Tidur

 Maaf Bang, mengapa abang selalu menganjurkan berwudhu sebelum tidur, adakah dasarnya dan apa keistimewaannya? SubhanAllah tentu sahabatku, tiada kebahagiaan kecuali hidup dalam sunnah Nabi Muhammad.

Di antaranya “Almutathohhiriin” kecintaan Allah kepada hamba-Nya yang selalu menjaga kesucian dirinya (QS Al Baqoroh 222) diantara selalu berwudhu. Kemudian ajakan Rasulullah, “Apabila engkau hendak mendatangi pembaringan (tidur), maka hendaklah berwudhu terlebih dahulu sebagaimana wudhumu untuk melakukan shalat” (HR. Bukahri dan Muslim).

Dalam hadist lain, “Barangsiapa tidur dimalam hari dalam keadaan suci (berwudhu’) maka Malaikat akan tetap mengikuti, lalu ketika ia bangun niscaya Malaikat itu akan berucap ‘Ya Allah ampunilah hambaMu si fulan, karena ia tidur di malam hari dalam keadaan selalu suci” (HR Ibnu Hibban dari Ibnu Umar r.a.).

Jadi, ayo mulai rehat malam ini mari kita biasakan selalu menjaga wudhu kita, insya Allah...aamiin.

 Oleh: KH. Muhammad Arifin Ilham
Sumber: Akun Facebook KH. Muhammad Arifin Ilham

sumber : www.republika.co.id

Tuesday, April 14, 2015

Dua Pelajaran dari Nyamuk

Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak akan malu membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih kecil lagi....” (al-Baqarah: 26). Di dalam Tafsirnya, Ibnu Katsir mengemukakan penjelasan yang sangat menarik. Bahwa, nyamuk itu hidup ketika lapar dan menjadi mati ketika kenyang. Ar-Rabi' bin Anas mengatakan, “Demikian itu adalah perumpamaan bagi mereka (orang-orang kafir, munafik, dan fasik). Mereka hidup hanya memburu dunia. Maka, ketika mereka bergelimang dengan dunia, tiba-tiba Allah membinasakan mereka. Sebagaimana firman-Nya, “Maka, tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami-pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan (dunia) untuk mereka. Sehingga, apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan tiba-tiba. Jadilah ketika itu mereka terdiam tak berkutik lagi.” (al-An'am: 44).

Berkaitan dengan nyamuk ini, paling tidak ada dua pelajaran yang sangat penting. Pertama, kita tak boleh terpesona dengan harta benda yang melimpah ruah dan peradaban materi yang menjulang tinggi yang dimiliki dan dibangun oleh orang-orang yang tak beriman. Tingginya peradaban fisik dan hebatnya kekuatan ekonomi belum tentu sebagai lambang kesuksesan atau kejayaan suatu bangsa. Manusia, baik dalam skala pribadi, masyarakat, bangsa, maupun negara bila terbuai dengan dunia dan melupakan ajaran-ajaran Allah, niscaya binasa. Sebagaimana nyamuk yang pasti mati ketika sangat menikmati menghisab darah hingga kekenyangan. Itulah, hanya karena capaian materi dan ekonomi yang sangat besar tak boleh membuat kita takjub kepada mereka. Dengan kekayaan yang melimpah bisa saja justru mereka terkubur mengenaskan. (Lihat: at-Taubah: 55).

Kedua, hati-hati dengan perangkap dunia. Yang terperangkap dengan dunia dengan segala bentuknya bukan hanya orang-orang kafir, tapi bisa saja kita orang-orang yang beriman. Bahkan, bisa para aktivis pergerakan dan dakwah. Sepanjang sejarah, gerakan dakwah tidaklah menang karena adanya fasilitas harta. Dan, tidak pernah kalah karena minimnya sarana dan prasarana dunia. Justru sebaliknya, elan perjuangan menjadi lemah ketika dunia mulai masuk dalam kehidupan mereka dan akhirnya benar-benar kalah ketika mereka telah bergelimang dengan harta. Lagi-lagi, inilah filosofi nyamuk. Ketika dalam kondisi lapar, sangat lincah, bisa terbang ke sana ke mari dan bisa menggigit dengan tajam sekali. Milintansi luar biasa. Tapi, ketika nyamuk itu sudah terlalu kenyang, ia tak bisa terbang lagi. Tak perlu dibunuh, nyamuk itu dengan sendirinya pasti mati.

Karena itu, para aktivis gerakan dakwah hendaknya selalu waspada dengan jebakan dunia ini. Musuh-musuh dakwah telah banyak yang mengetahui bahwa untuk menghentikan gerakan dakwah tak perlu dibantai para aktivisnya. Cukup beri mainan dunia kepada mereka hingga mereka benar-benar terbuai dengan dunia itu. Bila sudah hanyut dengan dunia, aktivis dakwah niscaya kehilangan militansi. Bahkan, tak akan berdakwah lagi. Karena itu, Imam Al-Banna Sang Mujahid Dakwah mengajarkan, “Shunduquna juyubuna”. Artinya, meski dengan segala kekurangan, modal dakwah kita adalah dari saku-saku kita sendiri. Ingat, kata Al-Banna, tangan yang suka menerima tak akan bisa memukul. Wallahu a'lam.
Oleh: Muhammad Syamlan


sumber : www.republika.co.id