-

Thursday, April 24, 2014

Shalat Calon Pemimpin

Sekarang, negara kita tercinta, Indonesia, sedang sibuk mencari pemimpin. Rakyat bingung menentukan pilihan, standar yang digunakan hanya berkutat di tataran intelektualitas dan lahiriyah calon pemimpin dan belum merambah ranah spiritual.

Dengan demikian, kesalehan hakiki mereka tidak pernah teruji dan tak pernah ada yang berusaha untuk mengujinya. Padahal kesalehan seperti inilah yang bisa menjamin baik tidaknya seorang pemimpin.

Jika mengaca pada sejarah, dulu saat prosesi pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah, diantara pertimbangan yang mengemuka ketika itu adalah, Abu Bakar pernah menjadi imam shalat menggantikan Nabi Muhammad SAW.

Kisah ini dinarasikan Ibnu Asakir dari Ibnu Umar. ‘’Rasulullah memerintahkan Abu Bakar memimpin shalat berjamaah, sedangkan saya menyaksikan sendiri, tidak ghaib, tidak sakit. Maka kami rela menyerahkan urusan dunia kami sebagaimana Rasulullah rela menyerahkan urusan agama kepadanya.’’

Pada era awal Islam, standar yang digunakan untuk menunjuk seorang pemimpin adalah faktor spiritual. Hal ini diwakili oleh agama dan tiang dari agama tidak lain adalah shalat.

Maka pantas jika kemudian hasil dari standar pemilihan semacam ini memunculkan pemimpin yang sesuai kehendak Allah.
Pastinya pula sesuai dengan kehendak manusia sebagai makhluk Allah. Shalat merupakan pengukur sekaligus penakar kesalehan seorang hamba.

Baik kesalehan terhadap Allah, maupun terhadap sesama. Jika shalat hamba tersebut baik, dalam arti sempurna dari segi syarat, rukun dan kekhusuannya, maka bisa dipastikan orang tersebut akan memiliki nilai kesalehan yang tinggi sebagai dampak dari shalatnya.

Hal tersebut ditegaskan langsung oleh Allah dalam surat al-Ankabut ayat 45, “Sesungguhnya shalat mencegah perbuatan keji dan munkar.”
Benar saja, orang yang saleh karena shalat, berarti mampu meresapi dan memegang prinsip-prinsip yang ada dalam shalat.

Paling tidak, orang itu selalu merasa diawasi Allah SWT. Sebab dalam shalat, seorang hamba diajari untuk merasa melihat Allah sejak takbiratul ihram sampai salam atau kalau tidak bisa merasa melihat Allah, paling tidak harus merasa dilihat oleh Allah.

Orang yang terbiasa merasa melihat Allah atau merasa dilihat oleh Allah SWT akan selalu hati-hati dalam melangkah, berhati-hati dalam bekerja. Hal yang menjadi pertimbangannya, sudah sesuaikah langkahnya atau apa yang dia kerjakan dengan kehendak Allah?

Kalau sesuai alhamdulillah, sebaliknya bila tidak, maka harus siap menerima siksa-Nya. Prinsip seperti ini akan membuat seorang hamba menjadi orang saleh, yang baik kepada manusia dan pencipta manusia, yang baik di depan umum maupun sedang sendirian.

Orang seperti ini pulalah yang pantas menjadi pemimpin. Pertanyaannya sekarang, adakah diantara calon pemimpin kita yang seperti ini? Jika ada, sebutkan siapa? Jika tidak, sampai kapan negara kita terus seperti ini?
, Oleh: Abdul Syukur
sumber : www.republika.co.id

Wednesday, April 23, 2014

Pemimpin Amanah

Pada suatu hari, Abu Dzar al-Ghifari meminta kepada Nabi SAW agar diangkat sebagai pejabat (semacam wali kota).
Sembari menepuk-nepuk pundaknya, Nabi SAW menolak permintaan itu dan berkata, ’’Tidak, Abu Dzar.  Engkau orang lemah. Ketahuilah, jabatan itu amanah. Ia  merupakan kehinaan dan penyesalan di hari kiamat, kecuali bagi orang yang mendapatkannya secara benar, dan mempergunakanya dengan benar pula.” (HR Muslim).

Hadis ini menarik untuk direnungkan pada saat bangsa Indoensia sedang mencari dan akan memilih pemimpin, dalam pemilu presiden nanti. Menunjuk pada hadis di atas, seorang pemimpin tidak cukup hanya baik secara moral.

Seorang pemimpin juga harus memiliki kemampuan dan integritas sekaligus yang dalam hadis ini disebut amanah.
Amanah berarti kepercayaan atau bisa dipercaya. Amanah berasal dari akar kata yang sama dengan iman. Jadi, amanah itu implikasi dari iman.

Tak ada iman bagi yang tak amanah,” demikian sabda Nabi (HR Ahmad). Ini berarti, kalau ada iman, maka ada amanah. Makin kuat iman semakin kuat pula sifat amanah pada seseorang. Amanah juga memiliki implikasi sosial.

Wujudnya berupa rasa aman dan kedamaian pada masyarakat. Kata al-amn yang diindonesiakan menjadi rasa aman dan damai berasal dari akar kata yang sama dengan amanah.

Ini juga mengandung makna bila pemimpin amanah, bisa dipercaya, lantaran dapat melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab, maka kehidupan masyarakat akan aman dan damai. Semakin pemimpin amanah, semakin rakyat aman dan sejahtera.

Dalam bahasa modern, amanah itu disebut trust (kepercayaan) atau trustworthiness (layak dan bisa dipercaya). Pemimpin amanah memiliki setidak-tidaknya tiga kriteria. Pertama,  kapabilitas yakni kemampuan atau kompetensi.

Ini diukur antara lain, melalui kepandaian dan ilmu, keterampilan mengelola dan memimpin . Manusia secara umum sulit atau tidak bisa memberi kepercayaan kepada orang yang bodoh atau tidak kompeten.

Kedua, integritas yakni kualitas moral dan keluhuran budi pekerti. Integritas menunjuk pada satunya kata dan laku perbuatan. Dalam intergirtas itu terdapat karakter. Karakter dibedakan dari citra.

Karakter adalah apa yang sebenarnya mengenai diri Anda sedangkan citra adalah apa yang dibayangkan orang tentang Anda yang boleh jadi bukan diri anda yang sebenarnya. Pemimpin memerlukan karakter, bukan citra.

Dalam integritas, juga terdapat kejujuran, yang berarti berkata benar atau mengatakan apa yang dilakukan dan melakukan apa yang dikatakan.
Integritas sangat  penting karena masyarakat tidak mungkin bisa memercayai orang yang tidak memiliki integritas tinggi.

Apalagi orang yang sudah nyata-nyata cacat secara moral, karena korupsi, menyuap, dan berbagai tindak kejahatan lainnya. Ketiga, bukti dan hasil.

Pada akhirnya, pemimpin disebut amanah saat sanggup membuktikan kepada rakyat dan dunia, kepemimpinan yang diembannya membawa perubahan bagi kemajuan bangsa dan peradaban. Wallahu a`lam!Oleh: A Ilyas Ismail
sumber : www.republika.co.id

Monday, April 21, 2014

Mencintai Buku

Generasi salafus shalih pernah menguasai dunia berkat keimanan mereka yang kokoh bagai gunung dan keilmuan mereka yang mendalam bagai lautan. Kecintaan mereka pada iman, ilmu, dan amal melebihi cinta manusia biasa pada harta, anak, dan istri.

Dalam konteks kecintaan terhadap ilmu, Imam Ibnu Qayyim menyatakan, “Adapun pecinta ilmu, kecintaannya pada ilmu melebihi kecintaan seseorang kepada kekasih. Dan banyak di antara mereka tidak tergoda melihat manusia tercantik di dunia sekalipun.”

Simak pula Muhammad bin Marwan Ad-Dimasyqi, “Sungguh, aku lebih memilih ditemani tinta sepanjang hari daripada seorang kawan. Aku lebih suka seikat kertas daripada sekarung tepung. Tamparan ulama di pipiku lebih terasa nikmat daripada minuman lezat.

Seseorang tidak bisa menjadi pecinta ilmu sebelum buku/kitabnya lebih berharga daripada bajunya. Konon ada orang melihat seseorang duduk di atas kitabnya, lalu dia ditegur, “Apakah pakaianmu lebih berharga bagimu dibanding kitabmu?

Hal itu karena orang tersebut duduk beralaskan kitabnya agar pakaiannya tidak terkena debu. Salah satu tanda cinta ilmu adalah menangis ketika kehilangan seorang syaikh yang mulia dan sedih ketika kehilangan buku berharga.

Diriwayatkan, Abul Hasan Al-Fali (w 448 H), salah seorang ahli nahwu dari Baghdad, Irak pernah memiliki kitab Al-Jamharah karya Ibnu Duraid yang sangat bagus.

Akibat terdesak oleh kebutuhan, ia terpaksa menjual kitab tersebut seharga 60 dinar. Kehilangan kitab itu membuatnya berduka hingga kematian menjemputnya.

Menurut Al-Jahidz, orang yang belanjanya untuk membeli buku tidak lebih nikmat daripada belanjanya pecinta biduan dan penggila bangunan, maka ia tidak akan sampai pada tingkat ilmu yang memuaskan.

Orang tersebut tidak akan memperoleh manfaat dari belanjanya sampai ia mau memprioritaskan pembelian buku sebagaimana orang badui memprioritaskan kudanya untuk diberi susu daripada keluarganya.

Selain itu, ia mau menaruh harapan besar terhadap ilmu sebagaimana orang badui menaruh harapan besar pada kudanya.
Sikap Al-Jahidz sangat mendasar.  Pecinta ilmu akan memprioritaskan apapun untuk memuaskan dahaga keilmuannya.

Seperti kisah unik seorang syaikh penggila buku yang rela melepas sebagian pakaiannya untuk membeli buku yang dipandangnya berharga. Sebab, pada saat itu ia tidak memiliki uang. Salah satu kisah unik lainnya terkait Imam Ibnu Daqiqil Ied.

Ia antusias mendapati ada yang menjual kitab As-Syarhul Kabir karya Ar-Rafi’i Al-Qazwini sebesar 12 jilid. Ia pun membelinya seharga 1.000 dirham. Karena terlalu asyik menelaah kitab tersebut, ia sampai hanya melakukan shalat fardhu saja.

Kitab itu terbeli bukan berarti karena ia kaya harta. Meskipun menjabat Qadhil Qudhat (hakim agung), ia sering terlilit utang. Hal itu akibat kecintaannya kepada ilmu.

Warisan terbaik kita kepada generasi berikutnya adalah kecintaan kepada ilmu yang dilengkapi referensi yang memadai.
Sebab itulah warisan para nabi dan ulama-ulama terdahulu. Bagian terbaik itu adalah mewarisi buku yang melimpah sebagai sarana meraih ilmu.

Sesungguhnya mewariskan buku-buku berikut ilmu yang terkandung di dalamnya dapat memberikan manfaat bagi orang hidup maupun orang mati. Karena anak-anak kita akan membaca dan belajar dari apa yang mereka baca dari buku-buku tersebut.

Sementara kita yang berada di kubur, akan senantiasa mendapatkan kiriman pahala selama mereka memanfaatkan warisan kita dengan baik. Lestarinya pemanfaatan ilmu berupa buku tersebut, lestari pula amal jariah bagi pemiliknya.

, Oleh: Tgh Habib Ziadi
sumber : www.republika.co.id

Sunday, April 20, 2014

Bekal nan Kekal

Lika liku hidup duniawi selalu diwarnai dengan segala hasrat, tak terkecuali keinginan besar dalam mengumpulkan materi. Sebagian dari kita mungkin menilai bahwa ukuran nilai kebahagiaan hanya timbul dari melimpah-ruahnya materi yang kita miliki.

Sebagian lain menilai bahwa kebahagiaan hakiki sejatinya ada di dalam hati, yakni ‘ketenangan’ dalam berbagi. Rasa saling berbagi inilah yang ditanamkan oleh Rasulullah pada para sahabatnya sehingga mereka diberi kelapangan hati untuk ikhlas berbagi.

Allah SWT berfirman, “Kalian sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai. Dan apa saja yang kalian nafkahkan, sungguh, Allah mengetahuinya.” (QS Ali Imran: 92)

Dalam firman-Nya yang lain, “Apa saja harta yang baik yang kalian infakkan, niscaya kalian akan diberi pahalanya dengan cukup dan kalian sedikit pun tidak akan dianiaya (dirugikan).” (QS al-Baqarah: 272)

Dua surah di atas mengisyaratkan sebuah anjuran untuk berbagi apa saja yang kita miliki, bahkan sesuatu yang kita cintai sekalipun. Memberikan sesuatu yang teramat kita sukai memang bukanlah perkara yang mudah. Namun, ada pahala yang besar dari-Nya sebagai bukti keimanan seorang hamba pada-Nya.

Adalah kisah Umar bin Khattab RA, seperti hadis yang diriwayatkan oleh putranya, Ibnu Umar. “Sesungguhnya Umar RA pernah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar. Lalu beliau mendatangi Nabi SAW dan meminta nasihat mengenai tanah itu, seraya berkata, “Ya Rasulullah, saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, yang saya tidak pernah mendapatkan harta lebih baik daripada tanah itu.”

Nabi SAW pun bersabda, “Jika Engkau berkenan, tahanlah batang pohonnya, dan bersedekahlah dengan buahnya.”

Ibnu Umar berkata, ‘Maka bersedekahlah Umar dengan buahnya dan batang pohon itu tidak dijual, dihadiahkan, diwariskan, dan Umar bersedekah dengannya kepada orang-orang fakir, para kerabat, para budak, orang-orang yang berjuang di jalan Allah, Ibnu Sabil, dan para tamu. Pengurusnya boleh memakan dari hasilnya dengan cara yang makruf dan memberikannya kepada temannya tanpa meminta harganya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Hadis di atas, seperti uraian yang ditulis oleh Ibnu Hajar Atsqalani, bahwa Umar bin Khattablah sahabat pertama kali yang mempraktikkan shadaqah jariyah, atau lebih kita kenal dengan wakaf.

Ketika menjelaskan hadis di atas, Imam Ibnu Hajar menuturkan sebuah riwayat dari Imam Ahmad bahwasannya Ibnu Umar berkata, “Wakaf pertama kali di dalam Islam adalah sedekahnya (wakafnya) Umar.”

Secara tersirat, Umar terasa berat mengikhlaskan sesuatu yang ia katakan bahwa ‘tidak pernah aku dapatkan harta yang lebih baik kecuali tanah itu’, menyadarkan kita betapa pengorbanan seorang hamba dalam meraih keimanan dan kebajikan yang sempurna, menepis rasa ego dalam hati untuk ikhlas berbagi.
Inilah esensi dari roda perekonomian Islam; tidak membiarkan harta si kaya hanya beredar di orang kaya saja, tapi anjuran penuh untuk bersedia peduli dan mau berbagi.

Melalui zakat (yang sifatnya wajib dikeluarkan), kemudian wakaf yang sifatnya sunnah tapi pahala yang terus mengalir selama harta tersebut digunakan untuk kebaikan, menyadarkan bahwa ajaran Islam sungguh menentramkan. Keduanya, zakat maupun wakaf adalah warisan dan unsur-unsur pembangun peradaban yang siapapun mempraktikkannya akan mendapat ganjaran.

Islam tidak memperkenankan adanya seorang hamba yang hidup serba mewah berkecukupan, namun tidak peduli dengan saudara-saudara yang kekurangan. Dalam prinsip bekal nan kekal inilah, Islam menghendaki adanya tingkat kesejaheraan sosial baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, dan negara. Semoga! Wallahu a’lam.
Oleh: Ina S Febriany
sumber : www.republika.co.id

Friday, April 18, 2014

Pelukan Rasulullah

Pada saat thawaf (mengelilingi Kabah),  Rasulullah SAW bertemu  seorang pemuda yang pundaknya terlihat lecet-lecet. Setelah selesai thawaf Rasul menghampiri pemuda itu dan bertanya, ‘’Kenapa pundakmu seperti itu?’

Pemuda itu menjawab, ‘’Ya Rasulullah, saya berasal dari Yaman. Saya mempunyai seorang ibu yang sudah uzur (tua renta). Saya sangat mencintainya. Saya selalu menggendongnya, dan tidak pernah melepaskannya. Saya melepaskan ibu saya hanya ketika buang hajat, sedang shalat atau saat istirahat. Di luar itu saya selalu menggendongnya.’’

Pemuda itu lalu bertanya, ‘’Ya Rasulullah, apakah aku sudah termasuk orang berbakti kepada orang tua?’’ Sambil memeluk pemuda itu, Rasulullah SAW menyatakan, ‘’Sungguh Allah ridha kepadamu. Engkau anak saleh, anak berbakti. Tetapi, wahai anakku, ketahuilah, kasih sayang orang tuamu kepadamu tidak akan terbalaskan olehmu.’’

Seklumit kisah tersebut menginspirasi kita semua, berbakti kepada kedua orang tua dengan ikhlas, merupakan sebuah ibadah yang dapat menyebabkan seorang anak mendapat ridha Allah SWT.

Bahkan Rasulullah SAW memberikan apresiasi tinggi terhadap anak yang berbakti kepada orang tua itu dengan memeluknya. Dengan kata lain, berbakti kepada orang tua adalah salah satu kunci meraih kebahagiaan dunia dan memperoleh pelukan Rasulullah SAW.

Alangkah indah dan bahagianya jika kita dipeluk Rasulullah! Pelukan Rasulullah SAW dan jaminan keridhaan Allah bagi sang pemuda itu tentu merupakan dambaan kebahagiaan bagi setiap mukmin.

Dari Abdullah ibn ‘Amr, Rasulullah SAW bersabda: “Ridha Allah itu tergantung pada ridha kedua orang tua dan kemurkaan Allah itu juga tergantung pada kemurkaan keduanya.” (HR at-Turmudzi dan al-Baihaqi).

Anak wajib berbakti dan bersikap baik kepada keduanya dengan sepenuh hati karena Islam memang sangat memuliakan orang tua. Sebaliknya, Islam melarang anak menjadi durhaka kepada keduanya.

Karena durhaka kepada salah satu atau keduanya merupakan dosa besar, seperti halnya syirik. Mendurhakai orang tua, luar biasa fatal. Boleh jadi Allah SWT menyegerakan balasannya kepada pelakunya selagi masih hidup di dunia.

Allah SWT bisa saja membuat perjalanan hidup sang perdurhaka orang tua  menjadi tidak berkah dan penuh kesulitan.
Oleh karena itu, pelukan Rasulullah SAW itu mesti dimaknai sebagai panggilan spiritual bagi orang tua agar berusaha menyiapkan anaknya menjadi saleh.

Bagi anak, pelukan Rasulullah SAW itu harus dipahami sebagai isyarat kuat untuk selalu berbuat baik, tidak menyakiti, apalagi mendurhkai keduanya. Jangankan mendurhakai, membuat orang tua sedih saja sudah termasuk durhaka.

Dari ‘Ali bin Abi Thalib, Rasulullah SAW bersabda, ‘’Siapa yang membuat orang tuanya sedih berarti ia telah mendurhakai keduanya.” (HR al-Khathib al-Baghdadi). Disadari atau tidak, banyak hal membuat kedua orang tua itu sedih.

Di antara hal  yang membuat orang tua sedih secara langsung adalah tidak menghormati, menyakiti, membentak, dan memarahi keduanya.
Hal yang membuat keduanya sedih secara tidak langsung misalnya seorang anak melakukan pelanggaran ajaran agama.
Seperti tidak shalat, korupsi, selingkuh, atau berzina. Pada dasarnya jika seorang anak melakukan kemaksiatan, orang tua yang mengetahuinya pasti merasa sangat kecewa dan sedih, sehingga secara psikologis jiwanya tertekan.

Berbakti kepada kedua orang tua dalam Islam, tidak hanya berlaku saat mereka masih hidup tetapi juga setelah tiada. Dengan berbakti kepada mereka, kita berinvestasi pelukan Rasulullah bagi masa depan kita.
Oleh: Muhbib Abdul Wahab
sumber : www.republika.co.id

Wednesday, April 16, 2014

Berjanji untuk Jujur

Perhelatan hajat nasional bernama Pemilu Legislatif baru saja usai. Kita masih menantikan siapa saja yang akan menjadi wakil-wakil kita di gedung DPR/MPR nanti. Harapannya semoga mereka benar-benar memperjuangkan aspirasi keumatan di negeri ini.

Bukan sosok wakil rakyat yang berjuang untuk memperkaya diri dan keluarga atau partainya. Sekadar catatan untuk memberi ruang optimisme, penulis menilai persoalan terpenting untuk melepas dahaga harapan yang berlebihan adalah berjanji untuk jujur.

Menjadikan nyata kata dengan perbuatan. Kalau dibilang para wakil rakyat kita tidak jujur, haruslah jujur pula kita jawab ya.
Banyak bohong wakil rakyat kita ini. Seringnya terdengar para wakil rakyat kita berurusan dengan KPK adalah salah satu buktinya.

Padahal hal yang pasti terjadi, jika seseorang tidak jujur dan sering berbohong, akan kembali menabur kebohongan yang lain.
Terus ia berestafet sampai seseorang itu mau menyudahi kebohongannya dengan mangaku dan menutup dengan tobat atau minta maaf.

Karena itu hati-hatilah sahabatku dengan lisan yang telanjur sering diajak bohong dan dusta. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah SAW bersabda,’’Sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan ke dalam surga. Tidaklah seseorang berbuat jujur hingga Allah mencatatnya sebagai orang yang selalu jujur. Dan berbohong itu membawa kepada kejelekan, dan kejelekan itu mengantarkan ke dalam neraka. Sungguh seseorang terbiasa bohong hingga Allah mencatatnya sebagai seorang pembohong.” (HR Bukhari no. 6094, Muslim no. 2607).

Berjanji untuk jujur adalah mulia. Dan kemuliaan itu akan tecermin dengan selalu saja ditemukan jalan kebaikan dari Allah.
Ada saja caranya Allah SWT memberi kemudahan atas setiap masalahnya. Nabi tercinta kita, Muhammad SAW, digelari al-Amiin karena sifat jujurnya yang menjadikan diri beliau sangat bisa dipercaya.

Bukankah karena jujurnya beliau, Khadijah menaikkan kelasnya sebagai seorang pedagang menjadi suami tercinta.
Beliau hanya bertugas mengantarkan dagangan dan menjualkannya, tapi karena pesona kejujurannya itu, cerita hidupnya menjadi beda. Cerita kenabian pun bermula.

Maka, wahai para calon wakil rakyat, berjanjilah untuk jujur. Sudahi kebohongan-kebohongan kalian dari tidak amanah kepada rakyat. Percayalah Allah SWT akan mengantar asbab kejujuran kalian dalam tugas, menuju kemulian hidup.

Bukan hanya Allah SWT dan para penghuni langit yang menaruh hormat kepada kalian, tapi pada akhirnya pena sejarah kemanusiaan juga akan menulis sirah hidup kalian dengan tinta emas. Insya Allah.
Oleh: Ustaz HM Arifin Ilham
sumber : www.republika.co.id

Tuesday, April 08, 2014

Hasrat Memimpin

Wahai Abdurrahman, janganlah engkau meminta menjadi pemimpin sebab jika engkau dijadikan pemimpin karena permintaanmu, maka engkau akan terbebani. Tapi jika engkau menjadi pemimpin bukan karena permintaanmu, maka engkau akan dibantu untuk mengatasinya.”(HR. Bukhari Muslim)

Demikian suatu kali Rasulullah SAW menasihati seorang sahabat bernama Abdurrahman bin Samurah. Ketika itu, ia meminta untuk diangkat menjadi seorang pemimpin. Melalui hadis ini, Rasul tak bermaksud melarang mukmin terjun ke politik.

Terutama bila niatnya didasari tujuan dakwah dan amar makruf nahi mungkar. Namun niat baik saja tentu tak cukup. Sebab, seorang pemimpin hendaknya memiliki kompetensi mumpuni terkait amanah yang diembannya.

Untuk menjadi pemimpin yang baik, idealnya seseorang tak mengandalkan kharisma, popularitas, atau faktor kedekatan dengan penguasa. Hal lebih penting adalah kemampuan dan integritas moral.

Rasul bersabda saat Abu Dzar meminta jabatan. ‘’Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah, dan jabatan itu amanah yang pada hari akhir hanya akan menjadi penyesalan dan kehinaan. Kecuali orang yang mampu menunaikan hak kewajibannya dan memenuhi tanggung jawabnya.’’ (HR Muslim).

Hadis ini menyiratkan implikasi kepemimpinan tanpa kemampuan, yang akan berbuah ketidakamanahan. Rasulullah SAW mengajarkan kepada para sahabatnya untuk tidak menonjolkan diri agar terpilih menjadi pemimpin.

Apalagi pada zaman itu, begitu banyak pribadi pilihan dengan jiwa kepemimpinan kuat dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dan karena para sahabat dikader langsung Rasul, maka beliau memahami potensi mereka.

Sebagai utusan Allah SWT, Rasulullah SAW tak pernah lepas dari arahan wahyu dalam setiap pengambilan keputusan penting terkait pergantian kepemimpinan, juga bermusyawarah dengan para sahabat.

Namun sekali lagi, bukan berarti Islam mengharamkan seorang mukmin mengajukan diri menjadi pemimpin. Seperti  digambarkan Alquran, Nabi Yusuf mengajukan diri untuk menerima kepemimpinan.

Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga (integritas), lagi berpengetahuan (kompetensi).” (QS Yusuf : 55).

Tampak jelas, bolehnya seseorang mengajukan diri menjadi pemimpin setidaknya harus memenuhi sejumlah kriteria. Yakni integritas moral yang tinggi, kompetensi,  dan kapabilitas yang mumpuni serta rekam jejak yang bersih dan telah teruji.

Dalam Alquran dikisahkan, Nabi Yusuf mengajukan diri menjadi pemimpin setelah terbukti tidak bersalah dan dibebaskan dari penjara negara. Krisis ekonomi  yang menimpa bangsa Mesir membutuhkan pemimpin baru yang solutif.

Mereka menemukan jawabnya pada sosok pribadi menawan dan potensi kepemimpinan Nabi Yusuf. Memegang tampuk kepemimpinan menjadi amal yang sangat terpuji manakala dilaksanakan dalam koridor ketaatan pada Allah dan RasulNya.

Buah sistem kaderisasi yang Rasulullah rintis adalah pemimpin dengan tipikal Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin thalib, dan Umar bin Abdul Aziz. Mereka membuktikan, kepemimpinannya tak didasarkan syahwat berkuasa.

Sementara, pemimpin bangsa di dunia yang hanya bermodalkan ambisi dan dorongan syahwat berkuasa tanpa menaati rambu-rambu Allah dan RasulNya, ternyata membawa rakyatnya kepada kehancuran.

Kekuasaan mereka berakhir dengan cara paling nista dan  kehinaan serta penyesalan di hari kiamat kelak.  “Sesungguhnya kalian meminta menjadi pemimpin. Nanti kalian akan mendapatkan penyesalan pada hari Kiamat…” (HR Bukhari).
Oleh: N Imam Akbari
sumber : www.republika.co.id

Monday, April 07, 2014

Merindukan Pemimpin Teladan

Pada suatu malam yang gelap gulita, Umar bin al-Khaththab mengadakan ronda sendirian tanpa didampingi seorang pengawal pun dengan menyusuri jalan-jalan kota Madinah.

Di suatu sudut kota dijumpai ada sebuah rumah yang lampunya terlihat menyala terang. Umar mendekati pintu rumah itu dan mendengarkan suara gaduh di dalamnya.

Dia lalu mengintip dari celah-celah bilik rumah itu untuk mengetahui apa gerangan yang terjadi. Dilihatnya ada tuan rumah itu bersama kawan-kawan yang sedang duduk di meja dan di depan masing-masing ada minuman. Dia menduga kuat, mereka sedang berpesta minuman keras.
  
Umar berusaha masuk rumah itu melalui atap, namun ketahuan. Salah seorang dari mereka kemudian membuka pintu dan mempersilahkan Umar masuk.

Umar masuk sambil membawa pedang terhunus. Mengetahui hal itu, mereka ketakutan. Namun, tuan rumah kemudian berkata kepada Umar: "Wahai Amirul Mukminin, sungguh aku telah berbuat salah; dan sekarang aku bertobat kepada Allah di hadapanmu, terimalah permohonan maafku"! Umar menjawab: "Saya datang kemari justeru untuk memukulmu (menghukummu)."
   
"Wahai Amirul Mukminin, bagaimana mungkin engkau akan menghukumku?Aku hanya melakukan satu kesalahan, sedangkan engkau sendiri melakukan tiga kesalahan sekaligus?" Pemilik rumah itu lalu menunjukkan tiga kesalahan Umar.

"Wahai Umar, Allah SWT telah berfirman: "Janganlah kamu mencari-cari (memata-matai) kesalahan orang lain..." (QS al-Hujurat /49: 12). Engkau salah karena telah melakukan tajassus (mencari-cari kesalahan) saya dengan mengendus-endus rumah saya!
   
"Wahai Umar, Allah berfirman: "Dan  masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya ..." (QS al-Baqarah/2: 189). Engkau salah karena tidak masuk melalui pintu, tetapi melalui atap. Wahai Umar, Allah juga berfirman: "Janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya... (QS an-Nur/24: 27). Engkau salah karena masuk rumahku tanpa izin dan tanpa salam."
 
Karena itu, lanjut tuan rumah, “Amirul Mukminin tidak sepantasnya menghukumku karena aku melakukan satu kesalahan, sementara pada saat yang sama aku sendiri sudah bertobat kepada Allah di hadapanmu. Sedangkan engkau sendiri telah melakukan tiga kesalahan tersebut."

Umar pun dengan tulus dan terbuka mengakui kesalahannya. Kepada tuan rumah itu Umar akhirnya menyatakan: "Anda benar, apa yang Anda sampaikan kepadaku tidak salah. Karena itu, aku mohon kepadamu agar engkau juga bertobat kepada Allah SWT dan sekaligus memohonkan ampunan dari Allah untukku."

Seperti itulah antara lain profil figur pemimpin teladan yang jujur, adil, terbuka dan bijaksana. Umar tidak main hakim sendiri ketika warganya melakukan kesalahan.

Umar justeru  jujur dan terbuka mengakui tiga kesalahannya di hadapan rakyatnya sendiri, dan dalam waktu yang sama mau bertobat atas tiga kesalahannya karena telah mengganggu kenyamanan warganya.

Jika para pemimpin sudah mampu bersikap jujur, terbuka, adil, dan bijaksana dalam menegakkan hukum, niscaya kewibawaan penegakan hukum di negeri ini dapat diwujudkan.
    
Kita merindukan pemimpin teladan yang merakyat, mau menyapa, mendengar, dan mencarikan solusi terhadap masalah yang dihadapi rakyatnya.

Pemimpin dipilih bukan untuk menikmati kekuasaan dan aji mumpung dengan mencari keuntungan pribadi dan kelompoknya, melainkan untuk melayani, bukan minta dilayani, karena pemimpin itu mengemban amanah untuk menegakkan kebenaran dan keadilan hukum, memberikan perlindungan dan keamanan, sekaligus menyejahterakan, mendamaikan, dan menentramkan kehidupan rakyatnya. 

Rakyat  tidak merasa nyaman jika pemimpinya lebih sibuk mementingkan urusan pribadi dan pencitraan dirinya daripada mengurusi dan melayani rakyat.
Pemimpin teladan rela berjuang dan berkorban demi kemaslahatan semua, bukan kepentingan politik keluarga dan partainya.

Pemimpin teladan seperti Umar itu sejatinya selalu hadir memberi solusi terhadap permasalahan yang dihadapi rakyat, bukan mudah terprovokasi karena urusan pribadinya terusik atau khawatir terkuak keburukannya.

Pemimpin teladan tidak pernah mengkhianati kepercayaan yang telah diberikan kepadanya, karena setiap pemimpin itu kelak akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah SWT.   Wallahu a’lam bish-shawab! 
Oleh: Muhbib Abdul Wahab
sumber : www.republika.co.id

Sunday, April 06, 2014

Ringan di Lidah, Berat di Timbangan

Dalam banyak ayat Alquran, Allah SWT memerintahkan kepada umat Islam untuk senantiasa mengingat Allah (zikir) dalam setiap kesempatan. Di mana pun, kapan pun, dan dalam keadaan apa pun.

Tujuannya agar dalam setiap gerak dan aktivitas keseharian, kita  selalu ingat kepada Allah SWT. Di antara ayat Alquran itu terdapat dalam surah Ali Imran [3] ayat 190-191, QS al-Ahzab [33]: 41, al-Jumu’ah [62]: 10, dan lainnya.

Perintah Allah dalam QS [3]:190-191 menunjukkan, hanya orang-orang berzikir yang senantiasa memikirkan penciptaan langit dan bumi, serta terus berupaya memahami silih bergantinya siang dan malam. Mereka itulah yang disebut ulul albab, yakni orang-orang yang berakal.

Berkenaan dengan hal ini, Abdullah bin Amr meriwayatkan. “Telah bersabda Rasulullah SAW, "Dua hal yang tidak dijaga seorang Muslim melainkan ia masuk surga. Ketahuilah, keduanya mudah namun yang mengamalkannya sedikit; yaitu bertasbih kepada Allah di akhir tiap shalat sebanyak 10 kali, bertahmid kepada-Nya 10 kali, dan bertakbir kepada-Nya 10 kali.

Abdullah bin Amr berkata, “Aku melihat Rasulullah SAW menghitungnya dengan tangannya. Beliau bersabda, "Demikian itu 150 di lisan namun 1.500 di timbangan. Dan jika engkau di tempat tidurmu, engkau bertasbih, bertakbir, dan bertahmid kepada-Nya 100 kali. Demikian itu 100 di lisan tetapi 1.000 di timbangan. Siapakah di antara kalian yang berbuat 2.500 keburukan dalam sehari-semalam?"
Para sahabat bertanya, "Bagaimana orang tidak menjaganya?" Beliau bersabda, "Setan mendatangi salah seorang dari kalian dalam shalatnya. Setan berkata, 'Ingatlah ini, ingatlah itu' hingga ia bergegas agar ia tidak melakukannya. Dan setan mendatanginya di tempat tidurnya, menidurkannya hingga akhirnya ia tertidur." (HR Tirmidzi (3332), Nasai, Ibnu Majah, dan Ahmad).

Banyak sekali ayat Alquran dan hadis Nabi Muhammad SAW yang memerintahkan umat Islam untuk berzikir. Dalam hadis di atas disebutkan, ada zikir yang begitu ringan dan mudah untuk diucapkan sehingga bisa mengantarkan seseorang ke dalam surga.

Namun demikin, karena begitu ringan dan mudah, banyak orang yang benar-benar meringankan dan memudahkannya. Dalam artian, banyak orang malas dan enggan menjalankannya. Mereka lebih suka berbicara hal-hal lain dan bersenda gurau daripada memperbanyak zikir.

Dalam hadis lain, Rasulullah bersabda, “Dua kalimat yang ringan diucapkan lidah, berat dalam timbangan, dan disukai Allah Yang Maha Pengasih, yaitu kalimat ‘Subhanallah wabihamdihi, subhanallahil ‘azhim’(Mahasuci Allah dan segala puji bagi-Nya, Mahasuci Allah Yang Maha Agung).” (HR Bukhari 7/168 dan Muslim 4/2072).

Begitu pula dalam hadis yang lain, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya sebaik-baik ucapan kepada Allah SWT adalah kalimat subhanallah wa bihamdihi.” (HR Muslim dan Tirmidzi).

“Barangsiapa mengucapkan subhanallah wabihamdihi 100 kali dalam sehari, ia akan diampuni segala dosanya sekalipun dosanya itu sebanyak buih di laut.” (HR Muslim dan Tirmidzi).

Berkenaan dengan hal ini, mari kita selalu memperbanyak amal ibadah kepada Allah SWT dengan mengerjakan segala perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Tak lupa pula, memperbanyak zikir di setiap waktu dan kesempatan. Wallahu a’lam.

sumber : www.republika.co.id

Saturday, April 05, 2014

Tafakur

‘’Ambillah pertolongan untuk kata-katamu dengan diam dan untuk ilmu dengan bertafakur.’’ Demikian Imam Syafii menuturkan nasihat kepada kita.
Menurut beliau, obat dari ucapan dan kata-kata adalah diam, dengan diam kita mampu menghindar dari segala penyakit lisan.

Di samping itu pula, beliau memaparkan cara ampuh bagi kita untuk mendapatkan ilmu yakni dengan bertafakur.
Tafakur yaitu suatu pekerjaan dalam bentuk memikirkan kekuasaan Allah SWT atas kehidupan manusia dan alam semesta dengan akal dan hati.

Allah SWT sangat menganjurkan kepada kita selaku hamba-Nya untuk senantiasa mengerjakan pekerjaan ini.
Dia menyebut mereka yang dapat bertafakur dan mengambil tanda-tanda kebesaran-Nya atas penciptaan langit dan bumi, serta pergantian siang dan malam sebagai ulul ‘azmi (orang-orang yang berakal). (QS Ali Imran [3]: 190-191).

Tafakur dapat kita kerjakan setiap waktu. Tak ada waktu khusus dalam melaksanakannya. Bisa setelah selesai shalat, sebelum tidur maupun saat bekerja.
Tetapi dari sekian waktu, ada saat yang sangat istimewa untuk bertafakur yakni sepertiga malam, selepas shalat malam.

Lantas, dalam hal apa saja kita dianjurkan untuk bertafakur? Pertama, kemaksiatan. Dalam melaksanakan rutinitas sehari-hari banyak kata, pekerjaan, maupun perasaan yang tidak kita sadari telah melenceng ke arah keburukan atau kemaksiatan.

Begitu pula dari sisi makanan dan pakaian yang kita pakai. Saat kita tahu langkah telah melenceng menuju kemaksiatan, kita perlu memohon ampun kepada Allah dan segera meninggalkannya.Kedua, ketaatan kepada Allah.

Dalam hal ini,  yang kita renungkan adalah ketaatan dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban kepada Allah SWT. Apakah kita melaksanakannya dengan sempurna atau malah sebaliknya penuh kekurangan.

Saat tahu kita sarat kekurangan dalam melaksanakan kewajiban kepada Allah, kita dapat menutupinya dengan ibadah-ibadah sunah yang lain. Ketiga, sifat-sifat merusak dalam hati. Segala ucapan dan tindakan berawal dari hati.

Ketika hati kita bersih, ucapan dan tindakan akan baik, tetapi manakala kotor maka akan berakibat sebaliknya.
Dengan begitu kita perlu berpikir untuk mengetahui sifat-sifat yang merusak dalam hati seperti marah, sombong, iri, dan berprasangka buruk.

Dengan mengetahui sifat-sifat tersebut, kita akan berusaha untuk mengobati dan membersihkannya dari dalam hati. Poin yang terakhir adalah bertafakur mengenai sifat-sifat yang dapat menjadi penyelamat bagi diri kita.

Setelah rampung menjalani proses tafakur dari awal hingga akhir,  kita perlu berpikir tentang sifat-sifat baik yang dapat menyelamatkan diri dari segala macam keburukan. Misalnya, tobat, sabar, syukur, ikhlas, dan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.

Dengan demikian tentu kita akan terus condong kepada kebaikan dan senantiasa taat kepada Allah. Di samping itu, dengan tafakur kita mampu mengambil hikmah, menambah keimanan kepada Allah, dan menanamkan rasa takut dalam diri untuk mengerjakan kebatilan.

Ibnu Hatim berucap dalam syairnya, ‘’Dengan pengalaman seseorang bisa menambah ilmu, dengan berzikir ia mampu menambah cinta, dan dengan tafakur ia dapat menambah rasa takut.’’
, Oleh: M Sinwani
sumber : www.republika.co.id

Wednesday, April 02, 2014

Kunci Bahagia

Semua manusia pasti menginginkan hidupnya bahagia. Hanya saja tidak semua orang memahami hakekat hidup bahagia. Ada yang memaknainya sekedar hidup senang: sandang, pangan, dan papan berkecukupan.

Ada pula yang mengartikannya hidup damai: bersosial, bekerja sama, tidak menyakiti dan membuat konflik dalam masyarakat. Islam memberikan resep bahagia bukan hanya fid dunya hasanah wa fil akhirati hasanah, tapi juga terbebas dari siksa neraka.
  
Makna bahagia yang terangkum dalam doa sapu jagat itu menunjukkan bahagia itu berdimensi fisik-material dan mental-spiritual-sosial, serta berjangka pendek dan jangka panjang.

Hakekat hidup bahagia, menurut Syaikh Habib Al-Kazhimi, adalah memperoleh ridha Allah SWT dengan memahami dan mewujudkan tujuan penciptaan dan eksistensi manusia di dunia ini, yaitu beribadah kepada-Nya dalam arti luas.
    
Indikator sekaligus kiat-kiat meraih hidup bahagia dapat diukur dan ditempuh dengan lima hal. Pertama, berusaha untuk selalu hidup sesuai tuntunan syariat Islam, tidak menyalahinya baik dalam hidup sebagai individu, bermasyarakat, maupun bernegara. 

Sistem ajaran Islam harus diyakini sebagai way of life yang dapat membahagiakan hidupnya. Tidak ada celah dan ruang dalam diri Muslim untuk meragukan syariat Islam.

"Siapa mencari agama (syariat) selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu), dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi." (QS Ali Imran [3]: 85).
   
Kedua,  ta'allum (belajar), tadabbur (bermenung), dan tafakkur (berpikir). Manusia dikaruniai akal, antara lain untuk belajar agar hidupnya bermakna, bermenung agar dapat selalu berintrospeksi diri, dan berpikir agar dapat menyelesaikan persoalan yang dihadapinya.

Hidup bahagia adalah hidup yang dijalani dengan senantiasa belajar, mengembangkan ilmu, memahami ayat-ayat Allah di dalam Alquran maupun dalam semesta raya.

Dengan semua itu, Muslim tidak hanya meneladani sifat Allah, Al-'Alim (Mahaberilmu), tapi juga memacu dirinya untuk meraih prestasi dan kesuksesan hidup di dunia dan akhirat.
    
Ketiga, cita-cita yang luhur dan mulia. Hidup bahagia harus dilandasi cita-cita yang tinggi, luhur dan mulia, sehingga terpacu untuk meraihnya dengan mengerahkan segala tenaga dan pemikiran.

Muslim yang baik hidupnya senantiasa dijalani dengan penuh perjuangan meraih cita-cita mulia dan visi yang jelas, tidak akan menjalani hidup ini dengan kemalasan dan menggantungkan diri kepada orang lain.

"Janganlah engkau menjadi beban bagi orang lain." (HR At-Thabarani). Sebuah syair Arab menyatakan, "Siapa yang tidak suka mendaki gunung, maka selamanya ia akan berada dalam kubang galian."
   
Keempat, pengendalian syahwat dan penyucian diri dari sifat-sifat tercela. Dalam diri manusia terdapat potensi negatif seperti syahwat menjadi kaya, syahwat menjabat, syahwat menguasai, dan sebagainya.

Dalam diri manusia juga terdapat potensi untuk iri hati, dengki, riya', ujub, rakus, dan sebagainya. Orang yang bahagia adalah orang terbebas dari syahwat dan sifat-sifat tercela, sebab jika terjajah oleh sifat-sifat buruk ini, hidupnya selalu menderita, tidak pernah memperoleh kedamaian hati.
   
Kelima, berada dalam lingkungan yang baik. "Ada empat yang menyebabkan manusia hidup bahagia: istri/suami yang shalih, anak-anak yang berbakti, lingkungan pergaulan yang baik, dan rezki yang diperoleh di negeri sendiri." (HR Ad-Dailami).

Pangkal kebahagiaan seseorang adalah lingkungan rumah tangga yang baik: suami-istri taat kepada Allah, rezki yang dimakan halal dan bergizi, anak-anak yang shalih, dan lingkungan sosial yang bermoral baik.
   
Oleh karena itu, kunci meraih hidup bahagia harus dimulai dari kesucian hati masing-masing individu dalam kehidupan keluarga. Keluarga bahagia pangkal terwujudnya masyarakat dan bangsa yang bahagia. Kekayaan materi tidak menjadi jaminan hidup bahagia.
Kunci yang sangat menentukan kebahagiaan hidup adalah kekayaan dan kemurahan hati. Ikhlas, taat, cinta kepada Allah dan Rasul, melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.

Selain itu selalu berdzikir kepada-Nya di waktu senang maupun di saat dukacita, menurut Ali bin Abi Thalib, merupakan kekayaan hati yang tidak bisa digantikan oleh kekayaan materi. Kekayaan hati inilah yang membuat hidup ini bahagia.
   
Jadi, hati ini harus senantiasa dididik untuk "merdeka" dari penyakit hati, dirawat dengan nutrisi hati yang sehat, dan dibiasakan mengingat Allah (dzikrullah) dan merenungi kebesaran-Nya di alam raya ini, agar dapat memakanai hidup bahagia di dunia dan akhirat. Semoga!, Oleh: Muhbib Abdul Wahab   

sumber : www.republika.co.id

Tuesday, April 01, 2014

Kejujuran

‘’Hendaklah kalian berlaku jujur, karena kejujuran itu menunjukkan kepada kebaikan, dan kebaikan menunjukkan jalan menuju surga.’’ (HR Bukhari). Kejujuran adalah mata uang yang berlaku di mana-mana. Demikian sebuah ungkapan bijak menuturkan.

Ya, kejujuran adalah sebuah sikap yang menunjukkan jati diri seseorang yang sebenarnya. Seseorang yang senantiasa bersikap jujur baik dalam ucapan maupun tindakan, meskipun pahit dan berisiko, bisa dipastikan dia memiliki integritas moral yang baik.

Islam sangat menjunjung tinggi kejujuran. Dalam Islam, jujur  menjadi salah satu sifat mutlak seorang Nabi atau Rasul.
Orang-orang yang berlaku jujur, dalam Alquran disandingkan dengan para Nabi, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh.

Sebaliknya, kebohongan adalah awal kehancuran. Seseorang yang sudah biasa berbohong, baik dalam ucapan maupun tindakan, pada hakikatnya sedang menjerumuskan dirinya dalam kehinaan. Dia sedang menggali kuburnya sendiri.

Karena kebohongan yang dia lakukan lambat laun pasti akan terbongkar. Ibarat kata, sepandai apa pun seseorang  menyembunyikan bangkai, akhirnya akan tericium juga. Kalau kita lihat dan amati kondisi saat ini, tampaknya kejujuran sudah menjadi barang langka.

Demi menjaga citra diri di hadapan publik dan dengan dalih gengsi, seringkali banyak orang tak jujur kepada dirinya sendiri apalagi kepada orang lain. Mereka lebih senang memakai topeng, daripada menunjukkan wajah aslinya.

Padahal, semakin lama topeng-topeng tersebut mereka kenakan, semakin jauh mereka dari jati diri mereka. Hakikatnya, semakin menyiksa diri mereka sendiri karena harus hidup dalam kepura-puraan.

Orang-orang yang ingin dianggap sebagai orang kaya, misalnya, akan bersikap dan bertindak seolah-olah orang kaya. Semakin dia memaksakan diri mengikuti gaya hidup orang kaya, semakin tersiksa pikiran dan jiwanya.

Karena dia harus berpikir keras untuk dapat memenuhi tuntutan seolah-olah menjadi orang kaya. Para pedagang, yang hanya menjalankan usaha atau bisnisnya dengan tujuan komersial, akan sangat mudah berlaku tidak jujur alias berbohong.

Tidak jarang kita jumpai, mereka berlaku tidak jujur dalam menjalankan roda bisnisnya. Dalam perkataan, mereka bahkan berani bersumpah atas nama Allah untuk meyakinkan pembeli agar tertarik untuk membali barang dagangannya.

Dalam tindakan, ada pedagang yang mengurangi timbangannya dengan beragam cara, dengan tujuan mendapat keuntungan lebih banyak dari kondisi timbangan normal. Para pejabat publik berlaku bohong untuk memenuhi pundi-pundi kekeyaannya.

Para intelektual, demi memenuhi persyaratan angka kredit untuk kenaikan pangkatnya, tidak jarang melakukan perilaku tak terpuji. Mereka melakukan plagiarisme, membuat data fiktif, serta tindak kecurangan lainnya.

Karena itu, berlaku jujurlah baik dalam ucapan dan tindakan. Betapapun pahitnya, yakinlah kejujuran akan lebih dihargai dan mendapat tempat di hati orang lain daripada kebohongan.
, Oleh: Didi Junaedi
sumber : www.republika.co.id