-

Friday, February 28, 2014

Bertasbihlah

Allah SWT berfirman, “Semua yang berada di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). Dan Dia-lah yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS al-Hadid [57] : 1 - 2).

Firman lainnya menyebutkan, “Katakanlah: Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya, Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan, Engkau beri rezeki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas).” (QS Ali Imran [3] : 26 -27). Subhanallah.

Mari kita renungkan firman Allah itu. Semua yang berada di langit dan di bumi bertasbih kepada-Nya. Mana buktinya? Dalam sebuah hadis yang cukup panjang, Abu Dzar menceritakan dia pernah meminta izin Rasulullah untuk menyendiri di suatu tempat.

Sebelum berangkat, dia sempat menanyakan keberadaan khadam atau pelayannya. Pelayan itu sedang berada di rumahnya. Abu Dzar bergegas menemuinya. Ternyata, pelayan itu sedang duduk bersandar pada sebuah sandaran. Sendirian.

Anehnya, ujar Abu Dzar, dia seakan-akan tengah tergesa-gesa. Lalu, dia mengucapkan salam dan dijawab olehnya sebagaimana mestinya. Pelayan itu bertanya kepada Abu Dzar, “Atas izin siapa kamu datang kemari?” Dia menjawab, “Atas izin Allah dan Rasul-Nya.”

Pelayan itu mempersilakan Abu Dzar duduk. Dan, Abu Dzar duduk di sampingnya. Baru saja Abu Dzar duduk, Abu Bakar datang dengan tergopoh-gopoh. Abu Bakar mengucapkan salam dan dijawab oleh dia sebagaimana mestinya.

Tidak lama berselang, Umar bin Khaththab datang, kemudian Utsman bin Affan pun datang. Pelayan itu bertanya, “Atas izin siapa kalian datang kemari?” Abu Bakar, Umar, dan Utsman menjawab, “Kami datang kemari atas izin Allah dan Rasul-Nya.”

Lalu, Rasulullah pun datang. Dan, kisah yang menakjubkan dimulai. Beliau bersabda, “Mengapa sedikit sekali makanan yang tersisa ini?” Mendengar ungkapan itu semua sahabat diam saja karena tidak mengerti maksudnya.

Tiba-tiba beliau mengambil kira-kira enam butir kerikil. Kerikil itu sekonyong-konyong bertasbih di tangan Rasulullah hingga terdengar oleh pohon-pohon kurma di sekelilingnya. Masing-masing satu butir kerikil dipindahkan ke tangan Abu Bakar, Umar, dan Utsman.

Dan, subhanallah, kerikil itu bertasbih di tangan mereka. Semua yang hadir terdiam menyaksikan mukjizat itu. Takjub, luar biasa. Di dalam sejumlah hadis dinyatakan, keutamaan bertasbih sangat luar biasa.

Rasulullah bersabda, “Ada dua kalimat yang ringan diucapkan tetapi berat dalam timbangan dan (kalimat) itu dicintai oleh Ar-Rahman (Allah yang Maha Pemurah), yakni 'subhanallah wa bihamdihi, subhanallahi al-adhimi'.” (HR Bukhari dan Muslim).

Beliau bersabda, “Apakah seseorang di antara kamu tidak mampu berbuat seribu kebaikan setiap hari? Lalu, ada seseorang dari sahabat itu bertanya kepada beliau: Bagaimana caranya seseorang di antara kami dapat berbuat seribu kebaikan setiap hari? Beliau bersabda: Dia membaca tasbih (subhanallah) seratus kali. Maka, baginya akan dicatat seribu kebaikan atau baginya akan dihapus dari padanya seribu kesalahan.” (HR Muslim).

Beliau bersabda, “Barang siapa membaca 'subhanallah wa bihamdih' seratus kali dalam sehari, akan dihapus dosa-dosanya sekali pun sebanyak buih di laut.” (HR Bukhari dan Muslim).

Pada kesempatan lain beliau bersabda, “Ucapan yang paling dicintai Allah ada empat macam. Terserah kalian mau mulai dari mana saja pun boleh, yakni subhanallah, alhamdulillah, la ilaha ilallah, dan allahu akbar.'' (HR Muslim).

Sebagai manusia sudah semestinya kita bertasbih kepada Allah. Bagaimana tidak? Sedangkan semua yang berada di langit dan di bumi bahkan kerikil pun bertasbih kepada-Nya.
, Oleh: Mahmud Yunus
sumber : www.republika.co.id

Thursday, February 27, 2014

Melembutkan Hati

Sesungguhnya telah datang kepada kalian seorang Rasul dari kalanganmu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaan kalian dan dia sangat menginginkan (keselamatan dan keamanan) bagi kalian serta amat belas kasih lagi penyayang tehadap kaum Mukmin.” (QS At-Taubah:128).

Di tengah perilaku kekerasan yang melanda masyarakat, juga masih berlakunya upaya memaksakan kehendak, lunturnya kepedulian sosial, kekerasan dalam rumah tangga, dan dendam yang diperturutkan maka sikap lemah lembut mestinya menjadi pilihan.
Termasuk dalam menyikapi berbagai persoalan kehidupan. Becermin dari teladan Nabi Muhammad SAW, mestinya mampu menirunya dalam bersikap dan bertindak.

Setidaknya ada tiga perilaku teladan Rasul yang memperlihatkan kelembutan hati. Ketiga sikap itu, yakni rela memaafkan, rendah hati (tawadhu), dan memberi tanpa pamrih. Ketiga sikap tersebut bersumber pada luasnya limpahan rasa kasih sayang beliau pada umatnya.

Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu ….” (QS Ali Imran:159).

Rasulullah SAW sering memaafkan bukan karena terpaksa atau karena tidak mampu membalas. Melainkan karena beliau mempunyai kasih sayang dan keikhlasan sempurna. Sikap ini beliau contohkan bukan karena adanya paksaan tetapi semata-mata untuk mendapatkan ridha Allah.

Menurut Imam Al-Ghazali memaafkan yang hakiki adalah ketika seseorang berhak untuk membalas terhadap seseorang namun hak itu dilenyapkan atau digugurkan sendiri. Sekalipun orang tersebut berkuasa pula mengambil haknya itu.

Sikap tawadhu, bukan berarti merendahkan martabat. Ini justru menambah ketinggian akhlak. Rasul SAW berpesan, “Rendah hati itu tidak menambah seseorang melainkan ketinggian. Karena itu bersikaplah rendah hati, pasti Allah akan meninggikan derajatmu.

Sikap selanjutnya adalah memberi sesuatu yang kita miliki tanpa pamrih. “Dan janganlah kamu memberi dengan maksud memperoleh balasan yang lebih banyak.” (QS 74:6). 

Salah satu bentuk pemberian berupa harta yang kita miliki adalah sedekah. Bersedekah itu tidak memengaruhi harta seseorang melainkan akan semakin menambah jumlahnya. “Karena itu bersedekahlah, pasti Allah akan memberikan kasih sayang-Nya pada kalian semua.” (HR Ad-Dailami dan Ashfihani).

Lebih jauh Rasul bersabda, “Seutama-utamanya akhlak dunia dan akhirat adalah engkau menghubungkan tali silaturahim dengan orang yang memutuskan silaturahim denganmu, memberi sesuatu kepada orang yang menghalang-halangi pemberian padamu, serta memberi maaf kepada orang yang menganiayamu.” (HR Thabrani, Baihaqi, dan Ibnu Abi Ad-Dunya).

Karena itu, sikap yang melembutkan hati sebagaimana dicontohkan Rasulullah tersebut layak dihidupkan kembal. Minimal dalam kehidupan pribadi, keluarga, hubungan kerja, ataupun masyarakat sekitar kita. Wallahu a"lam bish shawab.
, Oleh: Faisal M Taufiq

sumber : www.republika.co.id

Wednesday, February 26, 2014

Ulama dan Umara

Kebaikan manusia di suatu negeri bergantung pada kesalehan para ulama dan keadilan umara (penguasa). Kerusakan mereka juga bergantung pada kerusakan para ulama dan keculasan umaranya. Pernyataan ini didasari oleh sabda Rasulullah.

Dua golongan manusia, jika mereka baik, akan baik seluruh manusia, dan jika ia rusak, akan rusak seluruh manusia. Mereka adalah para ulama dan umara.” (HR Ibnu Nu'aim dalam Hilyatul Auliya).

Golongan pertama, yakni para ulama. Ulama adalah pewaris para nabi dan penyambung lidah mereka. Seperti dimaklumi, para nabi tidak mewariskan harta benda berupa emas, perak, perniagaan, dan sawah ladang.

Mereka semua mewariskan ilmu. Ilmu itulah yang ditransmisikan dari masa ke masa kepada ahli ilmu, yaitu ulama. Ulama yang saleh, yaitu yang ucapannya sesuai dengan perilakunya. Akhlaknya pun mulia. Ia senantiasa berkata benar meskipun kepada dirinya sendiri.

Dakwahnya mengajak kepada amar makruf dan nahi mungkar. Ia tidak canggung memberi nasihat dan peringatan, termasuk kepada penguasa sekalipun. Ia sambangi mereka dengan membawa oleh-oleh nasihat.

Ia selamatkan para umara dari bahaya kefasikan dan mengarahkannya pada kebaikan. Inilah potret ulama yang berpengaruh pada standardisasi kebaikan manusia.
Ulama yang rusak adalah ulama yang ilmunya digunakan untuk membeli dunia. Ucapannya sangat kontras dengan perilakunya. Ia pandai menilai orang, tetapi tidak jujur terhadap diri sendiri.
Ia dekati penguasa demi harta dan penghargaan. Ia biarkan penguasa itu tetap dalam kezalimannya. Ia akan berfatwa ke mana angin bertiup.

Dalam istilah Imam Al-Ghazali, dialah ulama su' (ulama buruk) yang menjual akhiratnya untuk dunianya. Ulama semacam ini merupakan malapetaka bagi bangsa dan agama.

Golongan kedua, yakni umara atau penguasa. Umara adalah pemegang amanah Tuhan untuk mengurus kehidupan rakyatnya.
Hidup matinya rakyat tergantung pada kebijakan dan keputusannya. Di tangannya pula ditegakkan hukum dan peraturan demi ketenteraman umum.

Umara yang saleh, yaitu umara yang adil, amanah, dan bertakwa kepada Tuhannya. Ia bekerja di siang hari untuk kepentingan rakyatnya.
Pada malam hari ia bermunajat kepada Tuhannya dan menyerahkan beban kekuasaan itu kepada-Nya untuk dimudahkan.

Umara yang saleh menganggap rakyatnya merupakan keluarga besarnya. Yang lebih tua bagaikan orang tuanya dan lebih muda adalah anaknya. Yang sebaya dianggap saudaranya. Umara semacam ini jaminan kesejahteraan bagi rakyatnya, lahir dan batin.

Umara perusak adalah umara bermental penguasa. Segala hal seolah berada dalam kontrol dan kekuasaannya. Tidak ada beban dalam dirinya menyejahterakan rakyatnya. Sebaliknya, rakyat dibebani untuk menyejahterakan dirinya.

Penguasa model demikian akan membungkam setiap mulut, membelenggu pena-pena, dan menghukum berdasarkan dugaan. Penjara akan dibuka lebar-lebar untuk menakuti rakyatnya.
Oleh: Muhammad Shobri Azhari

sumber : www.republika.co.id

Thursday, February 20, 2014

Berdoa dengan Rasa Cinta

Cinta adalah kekuatan batiniah yang merupakan fitrah esensial yang dianugerahkan Ilahi. Cinta adalah tema sentral di mana segala sesuatu berangkat dan berlabuh pada muara cinta. Apabila seluruh kehidupan dinisbatkan kepada cinta, niscaya damailah dunia.

Cinta atau di dalam bahasa Arab disebut dengan hubb adalah inti atau nucleus dari hubungan antara Abid dengan Ma'budnya. Dalam getaran cinta itu ada isy yaitu suasana keterpikatan dan kerinduan yang teramat sangat.

Asyik adalah kerinduan sang Perindu yang terus menerus mengharap Sang Ma'syuk (yang dirindukannya) dengan penuh keterpesonaan .

Ibarat kemegahan seorang Raja, mahkotanya adalah cinta yang berhiaskan mutiara keikhlasan, intan kesabaran, jamrud kerinduan. Raja yang tidak bermahkota, bagaikan penguasa tanpa wibawa.

Itulah sebabnya, bila seseorang mencintai Allah, akan tampak dari prilakunya yang ikhlas mengikuti jejak akhlaq Rasulullah SAW, sebagaimana Allah berfirman, "Katakanlah, jika engkau mencintai Allah , ikutilah aku, maka Allah akan mencintaimu, mengampunkan dosa-dosamu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Penyayang."  (3 : 31).

Rasa cintanya, telah menepis segala jalan kecuali jalan yang ditetapkan Ilahi yang disebut sirathal mustaqim, jalan yang di penghujungnya ada gerbang ridha Ilahi. Pintu yang akan menghantarkan hamba-Nya memasuki taman–taman surga.

Dalam cintanya itu, ada kedamaian (muthmainah). Rasa rindunya melahirkan kekuatan (al quwwah) yang membakar gairah untuk selalu berjuang (mujahadah) sehinga terbukalah jalan menuju perjumpaan batin dengan Sang Ilahi.

Ini juga disebut mukasyafah tersingkapnya jalan menuju penyaksian (musyahadah) sehingga ia tenggelam dalam khlawatnya dengan Dia Yang dirindukannya.

Karena ia yakin, ia akan kembali keharibaan-Nya dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya, sebagaimana firman-Nya. "Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai. Maka masuklah kedalam golongan hamba-hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam surga-Ku." ( 89 : 27- 30 ) .

Pada saat berdoa, pandangan batinnya begitu tajam sehingga merasakan kehadiran dirinya di hadapan Sang Ilahi. Ia merasakan, betapa Sang Kekasih menatap tajam pada lubuk hatinya. Inilah yang dimaksudkan dengan ihsan.
Rasulullah SAW bersabda, ”Beribadahlah seakan–akan engkau melihat Allah, dan bila tidak, rasakan bahwa Allah melihatmu." Karena Allah SWT senantiasa menatap kalbu, maka jadikanlah setiap desah nafas kita adalah doa!
, Oleh: Ustaz Toto Tasmara

sumber : www.republika.co.id

Wednesday, February 19, 2014

Doa Terbaik

Masih segar dalam ingatan kita ada orang-orang yang berani-beraninya menawarkan diri untuk dititipi seabrek permohonan kepada Allah SWT.

Permohonan-permohonan tersebut konon dijanjikan akan disampaikan langsung kepada Allah SWT di rumah-Nya.

Masyarakat yang berminat menitipkan permohonannya dijanjikan akan diterima dengan tangan terbuka. Sepanjang yang bersangkutan melengkapi persyaratan tertentu yakni bersedia membayarkan sejumlah uang.

Alhasil, kurang lebih sama dengan biro jasa pada umumnya. Layaknya biro jasa, layanan baru akan diberikan bila uang sudah dibayarkan.

Fenomena aneh tapi nyata tersebut sempat mengemuka di ruang publik. Bahkan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun tak ketinggalan ikut-ikutan buka suara. Intinya, menyesalkan hal itu terjadi.

Sayangnya, komentar hanya sebatas pantas atau tidak pantas. Boleh atau tidak boleh. Seingat saya tidak ada yang sempat mencari tahu apa yang pada umumnya mereka mohonkan kepada Allah SWT itu sehingga mereka bersedia mengeluarkan sejumlah uang?

Mungkin juga ada jamaah haji Indonesia yang menceritakan pengalaman pribadinya bahwa saat berada di sekitar Ka’bah dirinya sempat kehabisan stok doa. Padahal, sejak jauh hari sebelum berangkat ke Tanah Suci dirinya sudah mencatat daftar permohonan yang hendak dimohonkan langsung kepada Allah SWT di rumah-Nya.

Mungkin juga ada jamaah haji/umrah Indonesia yang menceritakan pengalaman pribadinya bahwa dirinya dititipi banyak permohonan untuk didoakan di Multazam dan/atau di Raudhah oleh saudara-saudaranya. Dan, tentu saja titipan doa yang banyak tersebut pada praktiknya sungguh “mengganggu” saat dirinya benar-benar berada di Multazam dan/atau di Raudhah.

Setelah ditelusuri alakadarnya, tidak sedikit permohonan yang kualitas permohonannya di bawah standar. Memangnya kenapa? Disebutkan demikian karena tidak sedikit permohonan yang sejatinya tidak berbobot sama sekali.

Umpamanya, merengek-rengek meminta diberikan jodoh atau pasangan hidup. Menyangkut keinginan diberikan jodoh ini tidak sedikit jamaah umrah (Indonesia) yang berupaya menaiki Jabal Rahmah. Kemudian, di Jabal Rahmah itulah mereka melakukan ritual pencarian jodoh.

Sepintas lalu tidak ada yang salah dengan permohonan-permohonan tersebut bukan? Bahkan mungkin ada yang menganggapnya sebagai peluang emas yang boleh jadi hanya diperoleh sekali dalam seumur hidup. Apalagi kalau dikait-kaitkan dengan kesempatan menunaikan kewajiban haji yang semakin “berat”, mengingat semakin panjangnya daftar tunggu (waiting list).

Bagaimana sebaiknya? Diilustrasikan dalam sejumlah hadis Rasulullah SAW bahwa ada beberapa sahabat beliau yang sungguh cerdas dalam memohon. Dikatakan demikian karena mereka benar-benar hanya memohon yang terbaik dari yang baik-baik. Berikut ini beberapa contohnya.

Pertama, sebagaimana dilakukan oleh Abu Bakar RA. Dikisahkan dalam sebuah hadis, suatu ketika Rasulullah bercerita tentang pintu-pintu Surga. Kata beliau pintu-pintu Surga itu jumlahnya ada delapan. Ketika itu Abu Bakar bertanya mungkinkah ada seseorang yang dapat memasukinya dari semua pintu? Dijawab oleh Rasulullah, mungkin saja. “Mudah-mudahan salah satunya adalah engkau.”

Kedua, sebagaimana dilakukan oleh Ukkasyah bin Mihshan al-Asadi. Dikisahkan Rasulullah bercerita tentang orang-orang yang akan memasuki Surga tanpa hisab. Jumlah mereka seluruhnya 70 ribu orang. Wajah mereka bersinar laksana bulan purnama, kata Rasulullah.

Sekonyong-konyong Ukkasyah berdiri, lalu berkata, “Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar Dia menjadikanku salah seorang di antara mereka”. Rasulullah pun berkata: “Ya Allah, jadikan dia salah seorang di antara mereka.”

Mendengar respons Rasulullah itu, seorang Anshar berkata, “Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar Dia menjadikanku salah seorang dari mereka”. Rasulullah menjawab, “Engkau kalah cepat dari Ukkasyah.”

Ketiga, sebagaimana dilakukan oleh seorang wanita tua Bani Israil. Dikisahkan suatu ketika dia mendapatkan peluang emas. Alkisah, Nabi Musa AS meminta dia menunjukkan makam Nabi Yusuf AS agar dia bisa membawa jasadnya saat dia keluar dari Mesir. Namun, wanita tua itu menolak kecuali dia diperkenankan untuk menemani Nabi Musa di Surga. Maka Allah memperkenankan wanita tua tersebut.

Demikianlah, tiga contoh orang-orang yang dalam hidupnya sukses merengkuh permintaan terbaik mereka. Ambisi-ambisi mereka positif karena mereka hanya menginginkan Surga. Dan, seluruh permintaan mereka terkabul. Wallahua’lam.
Oleh: Mahmud Yunus
sumber : www.republika.co.id

Tuesday, February 18, 2014

Islah dan Itmam

Apabila kita mengamati ayat ayat Al Quran dan berbagai hadits tentang tugas para Nabi dan para Rasul,  termasuk Rasulullah SAW, yang harus diteruskan oleh umat dan para pengikutnya, dapat disimpulkan dalam dua tugas utama, yaitu islah dan itmam atau perbaikan dan penyempurnaan.

Islah menpunyai pengertian mengoreksi, memperbaiki, dan meluruskan berbagai perilaku yang menyimpang dari ketentuan ajaran Islam, sekaligus menyimpang dari fitrah manusia. Sebab Islam itu adalah agama Fitrah.

Islah juga merupakan agama yang selaras dan sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan, sekaligus sesuai dengan kebutuhannya.
Tidak akan pernah terjadi pertentangan antara Islam dengan fitrah manusia. Hal ini secara jelas sebagaimana digambarkan dalam QS Ar Ruum (30) ayat 30.
     
Islah dalam bidang akidah dan keimanan, agar manusia hanya mau menyembah dan beribadah kepada Allah SWT, bukan kepada makhluk ciptaan Nya , baik yang bernyawa, apalagi yang tidak.

Fitrah dan naluri manusia selalu ingin menyembah sekaligus berkomunikasi dengan sesuatu di luar dirinya. Itulah Allah SWT, Dzat yang Maha Pencipta, Dzat yang Maha Perkasa, Dzat yang Maha Pengasih, Penyayang dan sifat sifat indah lainnya.

Islah dalam bidang ibadah, agar ibadahnya sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah SAW. Ibadah diiringi dengan niat ikhlas karena Allah SWT dan dilakukan dengan penuh kesungguhan dan kekhusyukan.

Islah dalam bidang muamalah dan akhlak, baik kepada Allah SWT maupun kepada sesama manusia, agar terjadi komunikasi dan interaksi yang harmonis, tidak saling mengganggu, tidak saling memfitnah dan tidak saling menghancurkan seperti sering terjadi saat ini.

Demikian pula akhlak terhadap lingkungan dan alam sekitar, tidak menggunduli hutan, tidak membangun rumah dan vila di daerah yang diperuntukkan untuk resapan air, tidak membuat hunian di pinggir kali.

Tidak pula membuang sampah sembarangan dan tidak merusak tanaman dan pepohonan. Sebab jika hal itu dilakukan akan mengakibatkan kerusakan dan kehancuran, seperti juga terjadi pada saat ini. Semua itu diungkapkan secara eksplisit dan implisit dalam al Quran dan Hadits Nabi.
    
Islah dalam bidang ekonomi, meninggalkan perbuatan riba (baca: bunga) tidak mempermainkan takaran dan timbangan, tidak menipu, tidak khianat, tidak merugikan orang lain, dan tidak melakukan kegiatan jual beli barang yang diharamkan, dan lain sebagainya. 

Islah dalam bidang siyaasah (politik) tidak menghalalkan segala cara untuk mendapatkan jabatan dan kedudukan, menjadikan kekuatan politik sebagai sarana untuk menegakkan keadilan, kejujuran dan, kebaikan.
    
Jika islah ini terus menerus di lakukan dalam berbagai bidang kehidupan, dan masyarakat sudah terbiasa dengannya, maka tinggal melakukan penyempurnaan (itmam)  agar lebih bermakna , lebih langgeng, sekaligus menjadikan umat Islam sebagai khaira uimmah. Wallahu alam bi ash shawab
, Oleh KH Didin Hafidhuddin
     
sumber : www.republika.co.id

Monday, February 17, 2014

Hadiah untuk Awwabiin

Alquran tidak hanya memberikan tuntunan ibadah mahdhah, di dalam ribuan lebih ayatnya, kitab suci ini juga memberikan kabar gembira (basyiiran) dan juga peringatan (nadziiran). Salah satu dari kabar gembira itu ialah keni’matan yang tiada bandingannya, yakni surga untuk orang-orang yang ‘kembali’ pada-Nya.

 Dalam beberapa ayat, Allah menyebut orang-orang kembali (bertobat) dengan awwabiin, misalnya saja yang tertera di Qs Qaaf 32, “Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-peraturan-Nya),”

Tobat erat kaitannya dengan dosa yang diperbuat manusia. Permasalahannya ialah, karena manusia tercipta sebagai hamba-Nya yang lemah dalam menghadapi hawa nafsu, baik yang datang dari dorongan diri sendiri maupun orang lain, tak jarang ketika seorang hamba mencapai pertaubatan, maka ia kembali ‘dicoba’ oleh ujian yang lebih berat lagi, sebagai ujian keimanannya dari Allah. Al-Quran surah Ali Imran ayat 135 secara eksplisit mengungkapkan tentang orang yang ‘menganiaya’ diri sendiri.

“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji (faahisyah) atau Menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. (Qs Ali Imran: 135)

Berbagai literatur tafsir, salah satunya Al-Mishbah, yang dimaksud perbuatan keji (faahisyah) ialah dosa besar yang mana mudharatnya tidak hanya menimpa diri sendiri tetapi juga orang lain, seperti zina, riba. Sedangkan maksud dari menganiaya diri sendiri ialah melakukan dosa yang mana mudharatnya hanya menimpa diri sendiri baik yang besar atau kecil.

Tentang dosa, Syekh Imam Al-Ghazali memberikan empat jenis godaan yang biasanya menimpa manusia yaitu dunia serta isinya, manusia, setan, dan hawa nafsu. Dan yang paling sulit dari keempat itu ialah mengendalikan hawa nafsu yang mengajak kepada keburukan. Dari bisikan hawa nafsu, jika seorang hamba gagal, bisa melahirkan serangkaian sifat cinta dunia serta dosa-dosa lainnya.

Dan adakalanya, lanjut Imam Ghazali, manusia tergelincir kembali setelah melakukan pertaubatan, maka langkah yang tepat ialah ‘kembali bertaubat’ dan tidak henti-hentinya untuk memuhasabah diri. Ini berarti, dalam melakukan pertaubatan, dibutuhkan tidak hanya sekali. Dengan kata lain, taubat yang sebenarnya (taubat nasuha), membutuhkan keseriusan lahir batin agar tidak mengulangi dosa atau menjadi taubat yang tertolak. Sebisa mungkin, seorang hamba tidak ‘menyengja’ diri untuk kembali melakukan dosa.

Dosa adalah hiasan kehidupan manusia yang karena Allah membekali kita dengan pikiran dan hawa nafsu—manusia terkadang bisa seperti malaikat jika ghairah ibadah sedang memuncak, namun dapat pula melakukan perbuatan syaithanniyah jika terus menerus menuruti hawa nafsu. Meski sudah dikategorikan Allah sebagai hamba yang (dhaif) dalam mengendalikan hawa nafsu, spirit taubat tak boleh padam. Karena, Allah tidak hanya mengganjar surga bagi awwabiin, namun juga hadiah berupa ‘doa’ dari ribuan malaikat-Nya agar Allah mengampuni semua dosa yang tak terhingga.

“(Malaikat-malaikat) yang memikul 'Arsy dan Malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan): "Ya Tuhan Kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, Maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertobat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala,” (Qs Mu’min: 7)
, Oleh Ina Salma Febriany

sumber : www.republika.co.id

Sunday, February 16, 2014

Ibadah Sejati

Allah SWT berfirman, “Di antara manusia, ada yang menyembah Allah sekadar ritual (formalitas), bila dia mendapat suatu manfaat (dari ibadahnya), dia merasa puas, namun bila dia ditimpa ujian (fitnah), dia berbalik menjadi kafir. Orang ini merugi di dunia dan akhirat, itulah kerugian yang sangat besar.” (QS al-Haj:11).

Ayat ini adalah salah satu dari pesan penting surat al-Haj mengenai hikmah perintah ibadah haji. Tujuan ibadah haji di antaranya adalah membersihkan iman yang bersifat pragmatis dan ibadah ritual simbolis dan formalitas menjadi iman dan ibadah yang hakiki dan sejati.

Allah SWT menjelaskan, orang yang beribadah simbolis dan formalitas dalam semua bentuk ibadahnya seperti shalat yang tidak khusyuk, tilawah Alquran tanpa tadabur (merenungkannya) dan menghadirkan hati, atau infak untuk meraih popularitas, zikir yang riya, dan semua ibadah yang sekadar ritual simbolis tanpa hati, adalah ibadah yang tidak dapat membentuk karakter dan integritas dalam diri seseorang.

Ibadah model ini hanya melahirkan pribadi-pribadi cengeng, mudah mengeluh, penakut, pesimistis, pengecut, bahkan oportunis yang pada akhirnya tidak mampu memikul beban hidup dan ujian dari Allah SWT.

Sebaliknya, ibadah khusyuk yang menghadirkan hati dan akal sehingga menjadi sarana audiensi antara hamba dan Sang Khalik adalah ibadah sejati dan substantif.

Ibadah seperti inilah yang dimaksud oleh Fudhail Ibnu Iyadh, seorang ulama dari generasi tabi’in, ketika ditanya tentang ibadah terbaik, ia menjawab, ibadah yang ikhlas dan benar sesuai syariat.

Seorang abid (ahli ibadah) sejati adalah mereka yang selalu merindukan untuk sujud di sajadahnya, merindukan waktu-waktu tahajudnya, dan mendambakan saat-saat munajatnya.

Salah seorang salafus saleh berkata, “Hanya satu yang paling aku tidak sukai di dunia ini ketika fajar terbit. Mengapa? Karena, tahajud dan munajatku pada malam hari akan terputus bila fajar mulai terbit.”

Ibadah seperti di ataslah yang akan melahirkan hamba-hamba yang berkarakter sebagai berikut: Pertama, para rijal’ (tokoh yang berkarakter). Ibadah khusyuk dan bukan sekadar simbolis akan memproduksi para ulama dan para pemimpin abadi.

Kedua, ibadah sejati dan terbaik melahirkan para pejuang sejati, prajurit pemberani, dan manusia-manusia yang optimistis, giat, rajin, dan profesional. Ketiga, ibadah sejati dan khusyuk melahirkan para perindu syahid dan surga.

Namun, sebaliknya, ibadah yang sebatas simbolis dan formalitas akan melahirkan pribadi-pribadi pengecut dan penakut, oportunis, pragmatis, karakter pencuriga, dan berprasangka buruk pada orang lain.

Pribadi yang pelit dan takut berkorban, pribadi yang pesimistis, tak berani melakukan terobosan, dan inisiatif. Bila karakter model ini dipelihara dalam kehidupan, orang seperti ini menjadi manusia yang paling merugi di dunia dan akhirat.

Hakikat ibadah haji untuk menghindarkan umat dari penyakit-penyakit kepribadian di atas. Karena itu, mereka yang berhaji atau berumrah bukan karena Allah dan mencari ridha-Nya, haji dan umrahnya menjadi sia-sia. Dia akan rugi di dunia dan akhirat. Wallahu a’alam.
, Oleh: Dr Khairan Muhammad Arif
sumber : www.republika.co.id

Friday, February 14, 2014

Keimanan Bukan Warisan

Peribahasa mengatakan, “Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”. Maksudnya, perilaku seorang anak umumnya tidak akan jauh berbeda dari perilaku orang tuanya. Ringkas kata, orang tua yang baik biasanya melahirkan anak yang baik. Demikian pula sebaliknya, anak yang durhaka biasanya lahir dari orang tua yang durhaka pula.

Dalam istilah lain, orang tua bisa diibaratkan mata air dan anak laksana aliran sungainya. Maksud dari perumpamaan ini, mata air yang bersih akan mengalirkan air yang jernih. Sementara, mata air yang kotor tentu mengalirkan air yang keruh. Itulah hukum alam alias sunnatullah yang berlaku di jagat raya ini.

Dari sejarah kita mendapatkan informasi seputar sosok-sosok orang tua saleh yang juga memiliki anak-anak saleh. Sebut saja, misalnya, Nabi Ibrahim (1997-1822 SM) yang memiliki putra Nabi Ismail (1911-1774 SM) dan Nabi Ishak (1897-1717 SM), Nabi Ya’kub (1837-1690 SM) memiliki putra Nabi Yusuf (1745-1635 SM), Nabi Daud (1041-971 SM) memiliki putra Nabi Sulaiman (989-931 SM), dan Nabi Zakaria (91 SM-1 M) memiliki putra Nabi Yahya (31 SM-1 M).

Kendati demikian, realitas sejarah juga menunjukkan bahwa peribahasa yang sudah sekian lama kita amini itu tidak mutlak kebenarannya. Fakta demikian dikonfirmasi oleh praktik keseharian kita. Bahkan, Al-Qur’an sendiri banyak bercerita tentang beberapa orang tua yang sangat taat tetapi justru melahirkan anak-anak yang luar biasa jahat. Dengan demikian, Al-Qur’an seolah menegaskan kepada kita bahwa buah memang bisa saja jatuh jauh dari pohonnya.

Simak kisah Qabil, putra sulung Nabi Adam (5872-4942 SM). Meski putra kandung seorang utusan Allah yang mulia, pembunuhan pertama dalam sejarah manusia justru dilakukan Qabil. Kedengkian telah mendorongnya tega menghabisi adik kandungnya, Habil. Melihat kurban kambing milik Habil diterima Allah sementara kurban gandumnya ditolak, muncul amarah di hati Qabil. Ditambah keputusan sang ayah untuk menikahkan dirinya dengan Labuda yang jelek, sementara Habil dengan Iklima yang molek, dendamnya semakin membara. Bulat sudah hatinya untuk melenyapkan nyawa Habil yang sama sekali tidak berdosa.

“...ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Dia (Qabil) berkata, ‘Aku pasti membunuhmu!’ Habil berkata, sungguh Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa. Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sungguh aku takut kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam’.” [QS Al-Maidah: 27-28].

Kisah serupa juga terjadi pada Kan’an, putra sulung Nabi Nuh (3993-3043 SM). Menurut Salim Bahreisyi, Nabi Nuh adalah keturunan Nabi Adam yang kesembilan dan merupakan Nabi keempat sesudah Nabi Adam, Nabi Syits (3630-2718 SM), dan Nabi Idris (4533-4188 SM). Ayahnya bernama Lamik bin Metusyalih bin Idris. Tidak kurang 950 tahun, Nabi Nuh mengajak kaumnya kepada ajaran tauhid. Meski siang dan malam berdakwah dalam durasi waktu sepanjang itu, jumlah pengikut Nabi Nuh hanya 70 orang dan delapan anggota keluarganya.

Ironisnya, para penentang Nabi Nuh bukan hanya dari orang luar, melainkan juga putra kandungnya sendiri, Kan’an. Kedurhakaan Kan’an sungguh antitesis dari ketaatan sang ayah. Bahkan, Kan’an masih kukuh pada pendiriannya ketika Allah sudah menurunkan azab berupa banjir dahsyat. Dia tetap ogah turut dalam rombongan kapal Nabi Nuh. Berulang kali Nabi Nuh memanggilnya, tetapi Kan’an memilih untuk menaiki gunung tertinggi yang dipikirnya dapat menyelamatkan dirinya dari luapan banjir bandang itu.

Seketika tubuh Kan’an disambar gelombang ganas, sehingga lenyap dari pandangan mata ayahnya. Timbullah naluri kebapakan Nabi Nuh. Seraya menanggung duka, Nabi Nuh mengadukan keluh kesah kepada Allah. Tetapi, Allah menjawabnya dengan perintah supaya dia mencoret Kan’an dari daftar nama keluarganya, karena telah menyimpang dari ajaran kebenaran. Kedukaan Nabi Nuh itu direkam dengan jelas dalam Al-Qur’an.

“Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata, ‘Ya Tuhanku, sungguh anakku itu termasuk keluargaku, dan sungguh janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah hakim yang seadil-adilnya’. Allah berfirman, ‘Wahai Nuh, sungguh dia bukanlah termasuk keluargamu. Sungguh (perbuatannya) perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikat)nya. Sungguh Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan’.” [QS Hud: 45-46].

Kisah Al-Qur’an berhenti di situ. Dibeberkan pula kisah-kisah seputar sosok terhormat yang justru lahir dari orang tua terlaknat. Lihatlah Nabi Ibrahim. Nabi dan Rasul keenam yang dilahirkan di sebuah tempat bernama Faddam A’ram di wilayah Babilonia itu dikenal sebagai Abu Al-Anbiya’ (Bapak Para Nabi). Di negeri yang subur dan makmur itu, Nabi Ibrahim berdakwah kepada para penyembah berhala yang dikomandani Namrud bin Kan’an bin Kusi (2275-1943 SM), penguasa Babilonia kala itu. Nabi Ibrahim bahkan satu-satunya orang yang berani menghancurkan patung-patung berhala yang menjadi sesembahan penduduk negerinya.

Putra siapa gerangan Nabi Ibrahim yang tangguh dan gagah berani itu? Azar bin Nahur, begitulah nama ayahnya. Dia adalah seorang pemahat dan penjual patung berhala. Melihat kegigihan Nabi Ibrahim memberangus patung-patung berhalanya, tentu saja Azar marah hebat. Nabi Ibrahim kerap menerima cemoohan, kekasaran, bahkan pengusiran dari ayahnya. Al-Qur’an mengisahkan betapa dakwah santun dari Nabi Ibrahim kepada ayahnya disambut dengan cacian dan sumpah serapah.

“...‘Wahai Bapakku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolongmu sedikit pun. Wahai Bapakku, sungguh telah datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai Bapakku, jangan engkau menyembah setan. Sungguh setan itu durhaka kepada Tuhan yang Maha Pemurah. Wahai Bapakku, sungguh aku khawatir bahwa engkau akan ditimpa azab dari Tuhan yang Maha Pemurah, maka engkau menjadi kawan setan’. Bapaknya berkata, ‘Apakah kamu benci kepada tuhan-tuhanku, Wahai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama’.” [QS Maryam: 42-46].

Keteguhan akidah Nabi Ibrahim jelas bertolak punggung dengan kemusyrikan ayah kandungnya. Persis kisah Nabi Musa (1527-1407 SM). Meski bukan anak kandung Fir’aun (1232-1224 SM), namun Nabi Musa telah dipungut raja durjana bernama Minephtah itu selama 18 tahun. Pertama melihat peti berisi bayi lelaki yang dipungut pembantunya dari sungai Nil itu, Fir’aun segera memerintahkan orang untuk membunuhnya. Tetapi, Fir’aun tidak mampu berbuat banyak, karena permaisurinya, Asiah, sangat menyayangi bayi mungil yang merupakan putra Yukabad itu. Sekali-kali tidak terlintas di benak Fir’aun bahwa kekejaman dan kepongahannya kelak akan berakhir di tangan seorang bayi yang justru diasuh dan dibesarkan dalam istananya.

Itulah kenapa ketika Nabi Musa dan Nabi Harun (1531-1408 SM) mendatangi Fir’aun untuk menyampaikan risalah dakwah dan membebaskan Bani Israil dari kekejamannya, Fir’aun tampak begitu geram. Dia merasa selama ini telah membesarkan anak singa yang kini bersiap menerkam dirinya. Kemarahan Fir’aun ini telah dikisahkan Allah dalam Al-Quran.

“Fir'aun menjawab, ‘Bukankah kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu. Dan kamu telah berbuat suatu perbuatan yang telah kamu lakukan itu, dan kamu termasuk golongan orang-orang yang tidak membalas guna’.” [QS Asy-Syuara: 18-19].

Makna dari semua kisah di atas tentu saja keimanan merupakan hidayah dari Allah semata, bukan warisan dari nenek moyang. Kewajiban kita adalah terus berusaha dan berdoa, agar menjadi pribadi beriman sekaligus sanggup melahirkan generasi yang juga beriman kepada Allah. Semoga kita semua termasuk golongan hamba Allah yang selamat di dunia ini dan akhirat nanti.

*Penulis Buku ‘Menemukan Bahagia’. Email: hus_surya06@yahoo.co.id
, Oleh M Husnaini

sumber : www.republika.co.id

Wednesday, February 12, 2014

Belajar Khusyuk

"Ingatlah mati dalam shalatmu, karena apabila seseorang mengingat mati dalam shalatnya, niscaya ia akan bersusah payah memperbaiki shalatnya. Dan shalatlah seperti shalatnya seseorang yang tidak mengira  akan shalat lagi." (HR. Ibn Majah)
     
Hadis Nabi Muhammad SAW tersebut menunjukkan penting dan nikmatnya khusyuk dalam shalat dengan cara mengingat mati dan menjadikan shalat yang dilaksanakan itu seolah-olah merupakan shalat terakhirnya.

Dengan kata lain, shalat yang berkualitas adalah shalat yang dapat menyadarkan pelakunya bahwa ia tidak lama lagi akan mati dan kini sedang shalat wada' (shalat pamitan, selamat jalan). 

Sejalan dengan makna dasarnya, shalat khusyuk berarti shalat yang pelaku berhasil menundukkan hatinya untuk hanya fokus mengingat Allah, merenungi dan memaknai gerak-gerik dan bacaan shalat.
       
Khusyuk yang hakiki, menurut Ibn Qayyim al-Jauziyah, adalah kekhusyukan iman yang ada dalam hati Muslim, sehingga memancarkan kekhusyukan perkataan dan perbuatan anggota badan.

Iman yang khusyuk ditandai oleh sikap hati yang penuh pengagungan, ketundukan, kepasrahan, takut, dan malu kepada Allah, sehingga hatinya dipenuhi rasa cinta dan rindu kepada-Nya.
"Sungguh beruntung orang-orang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalat mereka." (QS. Al-Mukminun [23]: 1-2).

Keberuntungan spiritual ini hanya dapat diwujudkan oleh Mukmin yang shalatnya mampu menghadirkan dialog spiritual dengan Allah SWT, dan mampu menghentikan komunikasi dengan segala urusan dunia dan urusan personal di luar shalat.

Itulah shalat yang menenteramkan jiwa dan menjadikan shalat itu bermakna: bermuara pada penjauhan diri dari perbuatan keji dan munkar (QS. al-Ankabut [29]: 45).
    
Khusyuk dalam shalat itu nikmat, karena hamba dapat curhat langsung dengan Sang Maha Kasih (Allah). Sayangnya, nikmatnya khusyuk tidak selamanya dapat dinikmati oleh semua orang yang shalat, karena berbagai sebab.

Di antaranya adalah peshalat tidak menyempurnakan wudhunya, pakaian dan tempatnya tidak suci, isi perutnya tidak halal, fisiknya shalat tapi hatinya tidak ikut hadir dalam shalat.
Yang diingat justru selain Allah, shalatnya terburu-buru, tidak konsentrasi, dan tidak dibarengi pemahaman terhadap pesan-pesan moral dan sosial shalat.
       
"Maka celakalah orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya." (QS. Al-Ma’un [107]: 4-5). Dalam hal ini, orang yang tidak dapat merasakan nikmatnya khusyuk berarti termasuk orang yang mendustakan agama.

Pendusta agama itu hanya menjadikan agama sekadar formalitas, tanpa spiritualitas dan moralitas luhur yang termanifestasikan dalam amal sosial yang nyata.
       
Jika kita selalu belajar khusyuk dalam shalat dan belajar menikmati spiritualitas shalat, maka dengan sendirinya kita tidak akan pernah tergoda untuk melakukan perilaku yang tidak bermoral, seperti korupsi, penyalahgunaan narkoba, miras, pornoaksi, dan aneka kemaksiatan lainnya.

Belajar khusyuk dalam shalat dan menikmatinya sebagai menu spiritual harian kita dapat memandu jalan hidup kita untuk selalu membersihkan diri (tazkiyatun nafs), memaksimalkan dedikasi, dan meningkatkan integritas diri di manapun dan kapanpun.
    
Karena itu, evalusi terus-menerus terhadap kualitas shalat kita menjadi sangat penting. Belajar merasakan nikmatnya khusyuk dalam shalat perlu dimulai dari kesiapan hati kita untuk mau mendengar dan meresponi panggilan Allah (azan) dengan penuh rasa syukur, rasa rindu, dan rasa cinta bertemu dengan Sang Kekasih.

Sabda Nabi SAW: "Tiada seseorang yang merasa dipanggil untuk menunaikan shalat fardhu, lalu ia memperbaiki wudhu, khusyuk dan rukuknya, melainkan shalatnya itu menjadi penghapus dosa setahun sebelumnya, selama ia tidak mempunyai dosa besar." (HR. Muslim)
    
Agar dapat belajar merasakan nikmatnya khusyuk, ada baiknya kiat-kiat shalat dengan khusyuk yang diberikan oleh Imam al-Ghazali berikut kita coba aktualisasikan.
Pertama, bersihkan hati, pikiran, dan anggota badan agar jiwa siap menghadap dan mendekat kepada Yang Mahasuci.

Kedua, agungkan dan hanya ingat Allah dan ingat mati selama shalat, sehingga semua urusan keduniaan yang ada di luar shalat itu dikesampingkan dan dianggap kecil. Hanya Allah saja yang Maha Besar.

Ketiga, konsentrasi dan pahami makna semua bacaan dan gerak-gerik shalat. Makna gerakan dan bacaan shalat penting dipahami dan dihayati sepenuh hati, agar pesan moral shalat dapat ditransformasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Keempat, takut dan malu kepada Allah jika shalat yang dilaksanakan tidak sempurna, apalagi tidak diterima. Perasaan takut dan malu ini harus dimaknai secara positif, sehingga kita melaksanakan shalat dengan serius sekaligus tulus.
Oleh: Muhbib Abdul Wahab

sumber : www.republika.co.id

Manusia, Malaikat dan Kekhalifahan

Kendati tidak memenuhi syarat, Malaikat sepertinya menganggap dirinya lebih pantas menjadi khalifah ketimbang manusia. Begitulah kesan yang dapat kita tangkap dari QS Al-Baqarah (2): 30-33 ini.“Saat Allah SWT berfirman kepada para Malaikat bahwa Dia akan menjadikan Adam sebagai khalifah-Nya di bumi. Spontan para malaikat bertanya kepada-Nya”.
“Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi dari orang yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah di bumi, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”.
“Kemudian Allah SWT mengajarkan nabi Adam AS tentang nama-nama makhluk alam semesta. Lalu Dia berfirman kepada para malaikat: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang menyampaikan argumentasi yang benar!.”
 “Para malaikat menjawab: “Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” Kemudian Allah SWT berfirman:  “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama alam semesta ini.”
Maka setelah Adam mengajarkan para malaikat nama-nama itu, Allah SWT berfirman: “Bukankah sudah Aku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan?"
Malaikat boleh saja mempertanyakan kekhalifahan manusia. Namun Allah memiliki skenario-Nya sendiri. Gran skenario Allah tentang seluruh kehidupan, adalah bahwa Al-Qur’an, manusia dan alam, telah diciptakan-Nya dengan peranan yang jelas. Manusia sebagai khalifah, bumi sebagai pendukung kekhalifahan dan Al-Quran sebagai pedoman kekhalifahan.
Maka informasi tentang kekhalifahan manusia, dijelaskan Al-Qur’an dalam lima  konteks.
Pertama, deklarasi (pelantikan) manusia sebagai khalifah: “Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” [QS Al-Baqarah (2): 30].
Kedua, perjalanan kehidupan atas nama Allah SWT. Seperti perintah-Nya untuk selalu memulai semua kegiatan dengan mengucapkan “Bismillah Al-Rahman Al-Rahim”[QS Al-Fatihah (1):1].
Ketiga, pokok-pokok tugas khalifahan: “‘Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah di muka bumi, maka berilah keputusan di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari Jalan Allah.” [QS Shaad (38): 26].
Keempat, hidup sebagai ujian bagi manusia: ‘Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di bumi, dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian yang lain beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang telah diberikan-Nya kepadamu.’ [QS Al An'am (6):165].
Kelima, keniscayaan pembelajaran manusia: “Dan Allah  mengajarkan kepada Adam nama-nama benda  seluruhnya...” [QS Al Baqarah (2):31]. Dan kemudian Allah berfirman: “Hai Adam, beritahukanlah (ajarkan) kepada mereka (para Malaikat) nama-nama benda ini” [QS AlBaqarah (2):32].
Berdasarkan lima konteks firman Allah SWT ini, maka ujuan kekhalifahan manusia adalah melakukan (meneladani) dan mengajak sesama untuk:
Satu: Menjalani hidup atas nama Allah
Dua: Memposisikan kehidupan sebagai ujian dari Allah
Tiga: Bersikap dan berperilaku adil
Empat: Mengendalikan hawa nafsu, dan
Lima: Belajar dan mengajar.
Maka, kendati Malaikat mengincar jabatan kekhalifahan di bumi, akan tetapi tidak satupun dari 5 tujuan kekhalifahan ini yang dapat dijalankan oleh Malaikat.
Menjalani hidup atas nama Allah, berarti tujuan dan cara kita menempuh hidup, haruslah sesuai dengan apa yang telah ditetapkan  Allah yang kita wakili, Yaitu petunjuk Al-Quran yang difirmankan melalui Rasulullah. (Malaikat hidup atas perintah Allah).
Memposisikan kehidupan sebagai ujian dari Allah, berarti bahwa cetak biru kehidupan adalah ujian bagi manusia. Sehingga, bagi kita dalam seluruh konteks kehidupan hanya ada dua pilihan. Memilih kebajikan atau memilih kemungkaran. (Malaikat hidup secara default).
Bersikap dan berperilaku adil, berarti menjalani hidup dengan prinsip keadilan dan keseimbangan. Sehingga melawan keadilan dan berbuat tidak seimbang, berarti menjerumuskan diri ke dalam jurang kehancuran. (Malaikat hidup hanya untuk berdzikir, bertasbih dan sujud kehadapan Allah).
Mengendalikan hawa nafsu, berarti berjuang melawan tantangan hidup berupa haw nafus, godaan syaitan dan arogansi diri. Karena tiga faktor laten ini, akan selalu menggoda untuk pilihan kemungkaran dan menjauhkan kita dari pilihan kebajikan. (Malaikat tidak memiliki hawa nafsu, tidak digoda syatan dan tidak memiliki arogansi).
Dan belajar dan mengajar, berarti untuk keberhasilan tugas kita sebagai khalifah, maka menyadari, mengetahui dan memahami hidayah Allah SWT yang terdapat pada sistem Al-quran, sosial dan alam adalah keniscayaan. Melalui belajar untuk diri, dan mengajar, untuk orang lain. (Belajar mengajar tidak menjadi kebutuhan Malaikat).
Sehingga, tugas kekhalifahan itu, sesuai dengan desain Allah, hanya diamanahkan pada manusia, bukan pada Malaikat. Kendati Malaikat menginginkannya.
Maka, tugas kekhalifahan itu (haruslah) melekat pada setiap diri kita dan (mestinya) terdapat pada semua yang kita perbuat. Seperti tercermin pada makna ucapan setiap kita memulai gerak dalam kehidupan kita: Bismillahirrohmanirrohim. “Atas nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang saya (diri) memulai ...(perbuatan) ini.”
Maka mari kita jadikan Basmalah sebagai ‘Password’ dari tugas-tugas kekhalifahan kita. Semoga.
Allahu ‘alamu bishshawab.
, Oleh DR M Masri Muadz MSc 
(Penulis buku Paradigma Al-Fatihah)
sumber : www.republika.co.id

Tuesday, February 11, 2014

Manajemen Waktu

Islam memaknai waktu tak sekadar deretan angka belaka. Namun, lebih dalam lagi yang ujungnya sampai pada perenungan, siapa yang menciptakan waktu, untuk siapa waktu diciptakan, dan bagaimana mengelola waktu agar tak rugi di dunia dan akhirat?

Inilah jawaban untuk semua pertanyaan itu, ''Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk mengabdi kepada-Ku.'' (Ad-Dzaariyat: 56). Dari ayat pendek ini, sudah terjawab tiga pertanyaan di atas dengan lugas.

Siapa sang pencipta waktu? Jawabnya adalah Allah SWT. Untuk siapa waktu diciptakan? Untuk jin dan manusia. Dan, bagaimana mengelola waktu? Jawabnya, waktu harus digunakan untuk mengabdi atau beribadah kepada Sang Pencipta waktu, yaitu Allah SWT.

Nikmat tertinggi yang diberikan Allah kepada manusia adalah waktu. Karena itu, seharusnya manusia mampu mengelola karunia waktu dengan seefektif dan seefisien mungkin untuk menjalankan tugasnya sebagai makhluk Allah di bumi ini.

Karena pentingnya waktu ini, Allah bahkan telah bersumpah pada permulaan berbagai surat dalam Alquran yang turun di Makkah dengan berbagai macam bagian dari waktu. Misalnya demi waktu malam, demi waktu siang, demi waktu fajar, demi waktu dhuha, dan demi masa.

Menurut para mufassirin, apabila Allah bersumpah dengan sesuatu dari ciptaan-Nya termasuk waktu, hal itu mengandung maksud agar kaum Muslimin memperhatikan dengan serius terhadap isi ayat-ayat berikutnya.

Contohnya, Demi malam apabila menutupi (cahaya siang) atau Demi matahari dan cahayanya di pagi hari. Melalui dua ayat pembuka ini, Allah ingin menunjukkan kekuasaan dalam pengaturan dan pergeseran waktu yang menjadi kekuasaan-Nya.

Dari keteraturan pergerakan alam, kita bisa mengambil kesimpulan, salah satu manfaat dari eksistensi benda-benda langit itu adalah untuk menentukan waktu-waktu ibadah. Dan, ciri-ciri Muslim yang kafah adalah mereka yang menghargai dan mengelola waktu dengan baik.

Sebab, menghargai waktu merupakan salah satu indikasi keimanan dan bukti ketakwaan. Dalam surah al-Furqan ayat 62 dinyatakan, Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur.

Dalam konteks ini, secara vertikal seorang Muslim mengisi waktunya dengan beragam ibadah. Sebut saja shalat malam, puasa sunah, dan menuntut ilmu. Secara horizontal, Muslim mengisi waktunya dengan bermuamalah dengan masyarakat.

Selain itu, dia mencari nafkah bagi keluarganya, menunaikan tugas dakwah di lingkungan masyarakat, dan di tempat-tempat lainnya. Sejarah keberhasilan perjuangan Rasulullah SAW dalam berdakwah juga karena manajemen waktu yang efektif.

Ini terbukti dalam waktu singkat, Rasulullah SAW mampu membawa umat dari zaman Jahiliyah menuju peradaban yang gemilang.
Umat menjelma sebagai sosok-sosok beriman dan beradab. Mari kita meneladani Rasulullah SAW dengan mengisi waktu yang kita miliki dengan melakukan ketaatan kepada Allah SWT.

Penting juga bagi kita mengingat nasihat Imam Al-Ghazali, Jadikan gerak dan diammu sebagai ibadah kepada-Nya, selama umur masih bersamamu.
, Oleh: Arifin Hadiarso
sumber : www.republika.co.id

Monday, February 10, 2014

Manfaat Sedekah

Sering kali, kita beranggapan sedekah hanya berguna bagi penerima. Jarang disadari sedekah berfaedah juga bagi pelakunya. Secara rohani, sedekah menjadi sarana penyucian diri dari dosa dan sifat kikir. Allah berfirman, ''Ambillah sedekah (zakat) dari sebagian harta mereka. Dengan sedekah, kamu membersihkan dan menyucikan mereka.'' (QS Attaubah [9]: 103).
Secara sosial, sedekah memupuk solidaritas dan pemberdayaan harkat ataupun martabat kaum lemah, fakir, miskin, dan yatim (baik dalam pengertian nasab maupun sosial, yaitu mereka yang tidak punya pekerjaan). Kalangan ekonomi tertinggal banyak terbantu, seperti mempercepat pemerataan kesejahteraan yang mampu menekan angka kriminalitas secara signifikan.
Sedekah akan berfungsi sebagai neraca keadilan yang menjembatani ketimpangan sosial di tengah masyarakat. Kondisi lingkungan sosial tidak sehat bila orang kaya menghabiskan uang puluhan juta rupiah untuk hiburan, sementara banyak orang miskin tidak makan tiga hari tiga malam. Urwah bin Zubair menyindir, bila orang kaya tidak dermawan, lantas apa bedanya dengan orang miskin?
Belum lagi, adanya fakta seorang ibu tega membunuh anaknya karena lapar. Jika kita melek sedekah dan sadar masih banyak tetangga miskin, semua berita tragis itu tidak perlu terjadi. Makna etimologis sedekah sejajar dengan arti keimananan (ashshidqu), yaitu upaya membenarkan keimanan dengan perbuatan. Termasuk, keimanan palsu jika seseorang mengaku mukmin, tetapi tidak dermawan. Rasulullah bersabda, ''Perilaku dermawan, bukti keimanan.'' (HR Muslim). Sebaliknya, Allah mengecam orang yang menghardik pengemis dan anak yatim sebagai mendustakan agama dan keimanan (QS Alma'un [107]: 1-3).
Ingatlah, ada janji besar bagi mereka yang suka meringankan beban orang lain. Sabda Rasulullah SAW, ''Barang siapa meringankan seorang mukmin dari kesulitan dunia, Allah kelak meringankannya dari kesulitan hari kiamat.'' (HR Muslim).
Kesenjangan tidak akan menganga lebar apabila lahir orang-orang dermawan yang mau menyisihkan harta guna membantu yang berkekurangan. Kedudukan orang dermawan begitu mulia di hadapan Allah. Mereka yang suka bersedekah di kala senang dan susah, mereka itulah orang yang dijanjikan Allah dengan ampunan dan surga seluas hamparan langit dan bumi (QS Alimran [3]: 133-134).

sumber : www.republika.co.id