-

Wednesday, January 29, 2014

Disiplin dan Tepat Waktu

Berbicara soal disiplin biasanya dikaitkan dengan pemenuhan aturan, terutama sekali pemanfatan waktu. Seseorang kita sebut disiplin apabila mengerjakan tugas dan pekerjaan yang diembannya dengan tepat pada waktunya. Contoh lainnya, seseorang dikategorikan disiplin dalam berlalu-lintas apabila dijalanan mematuhi segenap rambu-rambu lalulintas yang telah digariskan.

Islam mengajarkan bahwa menghargai waktu lebih utama sebagaimana firman Allah SWT dalam Surah Al-Asr  103 ; ayat 1-3 yang artinya, “ Demi waktu, sesungguhnya, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran.”
Bahkan setiap hari kita diingatkan dengan apa yang disebut Shalat lima waktu, Betapa waktu sangat tertata, itu semua dihadirkan oleh Allah SWT, salah satunya adalah pengingat betapa ketepatan waktu dalam aktivitas adalah sesuatu yang mutlak adanya.

Hidup yang tertib dan teratur sangat menentukan sukses atau tidaknya seseorang dalam mengelola waktu secara disiplin. Oleh karena itu seorang muslim yang baik seyogyanya memanfaatkan waktu secara optimal semata-mata untuk beribadah kepada Allah SWT. Bukan kuantitas waktu itu yang jadi soal, melainkan apa yang kita kerjakan pada waktu yang sama. Sebab, ada orang yang dalam waktu24 jam mampu mengurus negara dan mengorkestrasi jutaan orang dalam satu gerak dan nafas pembangunan.

Karena itu untuk menumbuhkan etos kedisiplinan dalam diri kita dibutuhkan manajemen waktu agar kualitas diri kita dapat meningkat. Dan itu semua dapat dilakukan sedemikian rupa serta mampu mengatur waktu yang 24 jam itu untuk semua urusan. Biar cepat, efisien, dan selamat. Sudah lazim kita dengar pameo mengatakan, “alon-alon asal kelakon.” Barangkali d iera yang kompetitif seperti ini, pameo itu sudah terasa usang.  Terlalu statis. Pameo itu dapat kita dinamisasikanlagi. Kalau bisa cepatdan efisien, mengapa harus dibuat lambat. Fiman Allah SWT dalam surah 94:ayat 7 yang artinya, “Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras(untuk urusan yang lain).”

Jika saja kita benar-benar hidup berdisiplin, maka jalan usaha dan kerja sebagai perwujudan beribadah kepada Allah akan selalu mendapat keridhaan serta kemudahan dari pada-Nya. Bukan oleh orang lain, akan tetapi hasil usaha kita sendiri. “ora et labora”  bekerja dan berdo’a yang harus kita gaungkan. Apabila kita ingin meraih sukses bangun dari tidurmu, lebih dulu dari ayam berkokok pada pagi hari. Maka marilah kita mulai dari sekarang dan dari diri sendiri. Kalau belum bisa sekaligus, marilah kita biasakan sedikit demi sedikit, dicicil, tapi rutin.

Itu tentu akan lebih baik ketimbang melakukan semua usaha kedisiplinan akan tetapi hanya sesaat setelah itu kembali hidup seperti semula. Bekerja dengan tergesa-gesa tidak lebih baik dari bekerja secara terprogram secara sistematik dapat membuahkan hasil yang lebih baik pula.
, Oleh Dr HM Harry Mulya Zein

sumber : www.republika.co.id

Tuesday, January 28, 2014

Rasulullah SAW Teladan Umat

Tak terasa beberapa hari lagi kita akan memasuki bulan Rabiul Awal. Pada bulan itu umat Islam memperingati hari kelahiran Nabi akhir zaman yaitu Nabi Muhamad SAW sebagai pembawa risalah kebenaran.

Maulid Nabi adalah momentum  penting dan berarti bagi kita, untuk mengaktualkan dan mengimplementasikan nilai-nilai Islam, sebagai uswahtul khasanah atau teladan yang baik bagi kita semua.

Dasar awal Islam menjunjung tinggi nilai-nilai universal, seperti keadilan, keadaban, kesantunan, dan toleransi. Islam menjunjung tinggi pengakuan dan penghormatan kepada seluruh masyarakat tanpa membedakan ras, warna kulit, jenis kelamin dan bahasa. Dalam agama Islam, manusia hanya sebagai hamba Allah SWT, yang diberi anugerah akal dan fikiran untuk menjadi manusia yang berakhlak mulia.

Akhlak yang berisi nilai-nilai ketauhidan, nilai-nilai kebenaran dan kesucian serta nilai-nilai rahmatan lil alamin; rahmat bagi semesta alam. Nilai rahmatan lil alamain yang akan menghancurkan rasa iri, dengki, fitnah dan kemunafikan di tubuh umat Islam.

Ketika nilai-nilai ini diimplementasikan maka sangat diyakini akan terbangun hati-hati yang penuh rasa kekeluargaan, rasa kebersamaan sesama insan, tanpa memandang suku, latarbelakang ekonomi atau pun lainnya, di tubuh umat Islam. Jadi momentum Maulid Nabi tidak hanya membangun kesalehan pribadi, namun juga menciptakan kondisi kesalehan sosial.

Perbedaan yang ada jangan dilihat sebagai permasalahan, tetapi sebagai rahmat Allah SWT. Karena, manusia diciptakan Allah SWT dari seorang laki-laki (Adam AS) dan perempuan (Siti Hawa), kemudian menjadi bersuku-suku, berbangsa-bangsa dan berlainan bahasanya.

Beranekaragam manusia bertujuan agar manusia satu dengan manusia lainnya saling kenal mengenal dan saling tolong menolong. Sebagaimana Firman Allah SWT dalam Surah Al-Hujuraat ayat 13, dimana artinya:  “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah SWT ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.”

Ayat di atas membuktikan, sebagai manifestasi kesalehan individual dan sosial, momentum peringatan Maulid Muhammad sesungguhnya menjadi sangat penting ketika mampu menciptakan kondisi kondusif untuk terjadinya perubahan demi terciptanya masyarakat yang egaliter, toleran, dinamis dan beradab. Nilai-nilai muamalah (kemanusiaan) yang dibawa Nabi Muhammad merupakan bukti bahwa nilai-nilai Islam tidak hanya untuk sektor keagamaan semata, akan tetapi juga mampu menjadi solusi terhadap problematika sosial.

Implementasi nilai-nilai yang dibawa dalam peringatan Maulid Nabi menjadi sangat penting untuk menjaga kondusivitas tatanan bermasyarakat muslim Indonesia. Sikap tidak toleran, tindakan kekerasan apalagi terorisme, dan berbagai perilaku yang menyimpang dan penuh kemaksiatan patut dijauhkan.

Maulid Nabi juga merupakan momentum untuk membangkitkan kembali roh Masyarakat Madani.  Roh yang terkandung dalam Masyarakat Madani adalah masyarakat yang berakhlak mulia. Masyarakat yang mengaktualisasikan dan mengimplementasikan nilai-nilai Islam, sebagai uswahtul khasanah. Masyarakat yang mengutamakan kesalehan sosial di atas kesalehan pribadi. Masyarakat yang selalu terjaga dari perilaku-perilaku negatif. Masyarakat yang hukumnya sudah ditegakkan, dan masyarakat yang jauh dari nilai-nilai kemunafikan.
, Oleh Dr HM Harry Mulya Zein

sumber : www.republika.co.id

Monday, January 27, 2014

Keagungan Nabi Muhammad SAW

Dalam al-Qur’an, tidak ada seorang nabi yang dipuji begitu tinggi, melebihi Nabi Muhammad SAW. Dalam satu ayat, Nabi SAW disebut sebagai teladan yang baik (uswah hasanah), yakni tokoh identifikasi atau dalam bahasa sekarang dinamakan model peran, role model (QS. Al-Ahzab [33]: 29.

Dalam ayat yang lain, tidak tanggung-tanggung, Allah SWT menyebut Baginda Rasul sebagai manusia dengan pribadi yang benar-benar agung. (QS. Al-Qalam [68]: 4). Mungkin ada yang bertanya, dari mana keagungan itu dicapai oleh Nabi SAW?

Keterangan dalam al-Qur’an surah al-An`am bisa menjadi kunci jawabannya. Dalam surah ini, diceritakan nabi-nabi terdahulu, mulai dari Nuh, Ibrahim, Ya`qub, Yusuf, dan lain-lain. Pendeknya, ada 18 Nabi dikemukakan di situ.

Pada ayat ke-90, setelah cerita nabi-nabi itu, lalu Allah menegaskan: “Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka.” (QS. Al-An`am [6]: 90). Para Nabi dan Rasul Allah itu adalah mereka yang mendapat bimbingan dari Allah.

Mereka, dengan keistimewaan masing-masing, tak ubahnya bintang-bintang yang menerangi dan mencerahkan alam dan kehidupan. Nabi Muhammad SAW, sebagai pamungkas para nabi,  diperintahkan oleh Allah agar mengikuti dan meneladani mereka.

Maka Ikutilah petunjuk mereka,” firman-Nya. Jadi, Baginda Rasul mewarisi kemuliaan dan keistimewaan nabi-nabi terdahulu, sehingga membentuk akumulasi keagungan yang benar-benar agung.    

Abbas Mahmud Aqqad, dalam `Abqariyyatu Muhammad, menilai keagungan Nabi SAW itu  bena-benar sempurna, karena terjadi dalam segala ukuran, baik menurut ukuran agama, ilmu pengetahuan, dan ukuran kehalusan rasa dan keluhuran budi pekerti.

Bahkan, keagungan Nabi SAW diakui oleh orang-orang yang berbeda agama. Jadi, keagungan Nabi SAW diafirmasi bukan hanya oleh sahabat dan para pengikutnya, melainkan juga oleh lawan dan orang-orang yang memusuhinya.

Pada bagian akhir bukunya, Aqqad kembali menunjukkan keagungan Baginda Rasul dengan menunjukkan beberapa karakter atau kualitas yang menjadi kekuatannya.

Aqqad menyebutnya al-thba’i` al-Arba` (empat karakter) yang amat menonjol pada diri Nabi SAW, yaitu karakter ibadah (thabi`at al-ibadah), karakter berpikir (thabi`at al-tafkir), karakter berkomunikasi (thabi`at al-ta`bir), dan karakter kerja dan berjuang (thabi`at al-`amal wa al-harakah).

Empat tabiat (karakter) ini, diakui Aqqad, jarang menyatu pada diri seorang. Menurut ghalibnya,  apabila satu karakter kuat (dominan), maka karakter lainnya lemah.
Sebagai contoh, ada orang yang kuat ibadahnya, tetapi lemah pikirannya. Ada juga yang sebaliknya, ibadah rajin, tetapi malas berpikir.

Keagungan Nabi SAW tampak nyata dan memperoleh dukungan amat kuat baik dalam Alqur’an maupun dalam sejarah, sehingga tak seorang pun dapat menyangkalnya.

Sampai-sampai filosof Muslim asal Pakistan, Muhammad Iqbal pernah berkata: “Orang boleh jadi tak percaya kepada Tuhan, tetapi ia tak mungkin inkar kepada keberadaan dan kebesaran Nabi Muhammad SAW.” Wallahu a`lam.
, Oleh: Dr A Ilyas Ismail
sumber : www.republika.co.id

Sunday, January 19, 2014

Yakin Bisa

Setelah mendarat di benua Eropa, semua perahu yang digunakan untuk menyeberangi selat Gibraltar (Jabal Thariq) dibakar oleh panglima Thariq bin Ziyad. Lalu ia berdiri dan berpidato di hadapan para pasukannya.

Wahai pasukanku, ke mana kalian hendak pergi melarikan diri? Di belakang kalian ada lautan, sedangkan di depan kalian ada pasukan musuh. Yang kalian miliki, demi Allah, hanyalah kejujuran dan kesabaran,'' kata Thariq bin Ziyad mengingatkan.

''Ketahuilah, kalian di pulau (benua) ini lebih sia-sia daripada anak-anak yatim. Padahal kalian sudah “disambut” oleh musuh-musuh kalian dengan bala tentara dan senjata mereka. Logistik mereka cukup melimpah.''

''Sementara itu, kalian tidak memiliki tempat berlindung! Kalian hanya memiliki pedang-pedang. Kalian tidak memiliki logistik kecuali yang dapat kalian peroleh dari tangan musuh-musuh kalian!''

''Jika penderitaan kalian berlangsung lama sedangkan kalian tidak berhasil mengalahkan mereka, maka kekuatan kalian akan hilang.''
''Rasa takut dalam hati musuh akan berubah menjadi rasa berani dalam melawan kalian. Karena itu, pertahankan baik-baik diri kalian dengan mengalahkan dampak yang ditimbulkan oleh perang ini dengan memerangi kesewenang-wenangan.”
Keyakinan diri sang panglima yang demikian tinggi, bahwa lautan bisa disebrangi, rasa takut bisa dieliminasi, dan musuh yang gagah perkasa bisa ditaklukkan membuat pasukan umat Islam mampu menaklukkan Andalusia pada tahun 92 H/710 M.  Yakin bisa merupakan awal keberhasilan dalam segala aspek kehidupan.

Orasi heroik Thariq bin Ziyad tersebut menginspirasi kita semua bahwa hidup harus dimodali semangat juang yang tinggi. Masalah harus dihadapi, bukan dihindari. Musuh harus dilawan, bukan melarikan diri.

Jujur harus menjadi kekayaan pribadi yang selalu dijunjung tinggi. Sabar menghadapi, sabar menanti, sabar meraih prestasi harus menjadi etos perjuangan. Bermental baja dan tahan menderita demi menggapai cita-cita mulia perlu ditanamkan sejak dini.

Dengan keyakinan diri yang kuat plus keyakinan terhadap pertolongan dan janji-janji Allah, kita akan mampu mewujudkan visi dan misi Islam, termasuk berprestasi dalam hidup ini.

Tanpa iman, rasa yakin dan mulia diri, seseorang itu akan lemah terkulai setiap kali hendak melakukan perubahan menuju ke arah yang lebih baik.

Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan (dengan yakin): "Tuhan kami ialah Allah kemudian mereka tetap istiqamah (teguh pendirian), maka tidak ada kekhatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) bersedih hati.” (QS. Al-Ahqaf/46: 13)

Yakin bisa yang dilandasi keimanan yang mantap membuat segala kerja yang berat dan sukar akan menjadi ringan dan mudah dilaksanakan.  Karena itu, yakin bisa perlu dilatih dan dikembangkan dengan kiat-kiat berikut.
Pertama, menanamkan rasa percaya diri dengan selalu mengingat dan memosisikan Allah sebagai sumber kekuatan, kemauan, dan keberhasilan. Allah SWT itu sandaran hidup kita (QS. al-Ikhlash/112: 2).

Kedua, memaksimalkan segala daya dan upaya untuk mewujudkan kebaikan dan kesejahteraan mental spiritual dan material.
Sebaiknya kita tidak mudah mengambing-hitamkan atau menyalahkan orang lain atau keadaan, sehingga lebih jujur dan objektif dalam melihat diri sendiri.  

Ketiga, melakukan perubahan ke arah yang lebih baik secara terus-menerus.  Dan perubahan itu dimulai dari diri sendiri dan selalu berusaha melakukan evaluasi diri setiap saat.
Perubahan diri berupa niat, sikap, mindset, dan perilaku positif merupakan kunci keberhasilan dan kemajuan (QS. al-Ra’d/13: 11)

Keempat,  fokus pada potensi dan kelebihan diri, agar kita mampu melejitkan prestasi yang kita cita-citakan, sambil membangun dan mengembangkan rasa optimisme bahwa kita pasti berhasil dan mampu meraih cita-cita.

Kelima, mengawal usaha serius dan etos perjuangan dengan selalu berdoa dan bertawakkal kepada Allah SWT. Hanya orang beriman yang selalu berdoa dan berserah diri kepada-Nya kapanpun dan di manapun.

Tekad, semangat, usaha, dan kinerja baru lengkap jika diperkaya dengan doa dan tawakkal.
Dengan demikian, Islam mendidik kita untuk memiliki tekad yang kuat dan yakin bisa.

Karena seluruh ibadah harus dimulai dengan niat yang tulus untuk memenuhi panggilan Ilahi, memiliki etos juang yang tinggi, melawan hawa nafsu dan mengatasi segala rintangan, sehingga kita harus berdisiplin dalam meraih prestasi tinggi (bertaqwa).

Sejatinya semua ibadah dalam Islam itu merupakan oase spiritual yang dapat membangun keyakinan diri dan yakin bisa menuju prestasi kerja dan prestasi hidup yang baik dan mulia.
, Oleh Muhbib Abdul Wahab


sumber : www.republika.co.id

Saturday, January 18, 2014

Kekuasaan Allah

, Oleh Riza Rahman
Dalam kitab Ad Durrul Mantsur fi tafsiril Matsuri karya Imam Jalaluddin as-Suyuthi disebutkan pada zaman dahulu hiduplah seorang pemuda bernama Uzair bin Sarukha.

Beliau adalah salah satu dari sekian banyak nabi yang telah Allah utus kepada umat Bani Israil. Diceritakan suatu hari Nabi Uzair pergi mengendarai seekor keledai dan membawa beberapa makanan sebagai bekal.

Di tengah perjalanan, beliau melewati sebuah kota tak berpenghuni. Rumah dan bangunan-bangunan di dalam kota itu sudah roboh sehingga tampak seperti kota mati.

Saat menyaksikan pemandangan ini, beliau berkata, “Bagaimana mungkin Allah bisa menghidupkan kota yang sudah mati ini?” Kemudian, Allah memerintahkan malaikat maut untuk mematikan sementara, sekitar seratus tahun.

Setelah itu, beliau dihidupkan kembali dan ditanya oleh malaikat maut, “Berapa lama kamu sudah tinggal di sini? Ia menjawab, “Saya sudah tinggal di sini selama satu hari atau beberapa hari.”

“Tidak, sebenarnya kamu sudah tinggal selama seratus tahun di tempat ini,” kata malaikat maut. Lalu, malaikat tersebut menunjukkan kepada Nabi Uzair makanan dan minumannya yang belum berubah.

Lalu, malaikat menunjukkan keledai miliknya yang sudah menjadi tulang-belulang. “Sekarang lihatlah bagaimana Kami mengumpulkan tulang-belulang ini dan melapisinya dengan daging!” Maka, jadilah keledai tersebut seperti sedia kala.

Demi menyaksikan peristiwa ini, Nabi Uzair merasa takjub dan berkata, “Saya mengetahui bahwasanya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (QS al-Baqarah {02}:259).

Kisah di atas adalah salah satu kisah berharga yang diabadikan dalam Alquran, yang menggambarkan kekuasaan Allah atas segala yang ada di bumi dan yang ada di langit. Serta memperingatkan manusia yang masih ragu-ragu adanya kehidupan setelah kematian.

Karena kelak di hari kiamat, manusia sejak zaman Nabi Adam AS sampai manusia terakhir yang hidup saat sangkakala kedua akan dibangkitkan dan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya di dunia.

Maka ikhwah, kalau Allah bisa menghidupkan kembali orang yang sudah mati seperti kisah di atas, kalau urusan mengubah keadaan hidup seseorang itu sangat gampang. Yang kaya dijadikan miskin, yang miskin dijadikan kaya, itu bukan hal yang sulit bagi Allah.

Karena, semua yang kita minta tak akan pernah lebih berat daripada penciptaan langit dan bumi beserta isinya. Dan, memang tak ada yang sulit di tangan Allah.

Berdoalah dan mintalah petunjuk kepadanya atas segala permasalahan yang ikhwah hadapi karena manusia diciptakan dalam keadaan lemah. Wallahualam.


sumber : www.republika.co.id

Friday, January 17, 2014

Rumah Tempat Berteduh

Rumah secara fisik adalah tempat berteduh dari panas, angin, dan hujan, serta tempat beristirahat setelah bekerja seharian mencari nafkah. Di dalam rumah, anggota keluarga berkumpul melakukan berbagai kegiatan rutin.

Mulai dari makan, minum, masak, mandi, buang hajat, mengobrol, hingga tidur melepas penat dan lelah. Rumah secara psikologis merupakan tempat mendapatkan ketenteraman, kedamaian, kebahagiaan, keamanan, dan kenyamanan bagi para penghuninya.

Karena itu, banyak pemilik rumah sederhana atau bahkan gubuk bambu sekalipun merasa bahagia. Sebab, meskipun gubuk namun suasana di dalamnya penuh dengan keceriaan, keterbukaan, kejujuran, dan tanggung jawab bersama.

Rumah dalam bahasa Arab disebut dengan bayt (tempat bermalam), daar (tempat beraktivitas), maskan (tempat menetap dengan tenang), atau manzil (tempat persinggahan). Keempat makna ini menunjukkan fungsi rumah seseungguhnya bagi para penghuninya.

Di dalam Alquran, Allah SWT menyebutkan, “Dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal.’’ (QS an-Nahl [16] : 80).

Ibnu Katsir menguraikan ayat tersebut dengan penjelasan bahwa Allah menyempurnakan nikmat-Nya atas hamba-hamba-Nya dengan menjadikan bagi mereka rumah-rumah yang merupakan tempat tinggal mereka.

Sehingga, mereka menjadikan rumah itu sebagai tempat kembali dan berlindung serta tempat mendapatkan berbagai manfaat. Oleh karena itu, rumah bagi seorang Muslim mungkin hanya sebuah gubuk bambu sederhana.

Namun, di dalam rumah itu penuh dengan rasa syukur kepada Allah, ridha dengan pemberian-Nya, serta penuh dengan nuansa ibadah. Para anggota keluarganya merasa bahagia bukan karena mereka memiliki furnitur yang serba lengkap dan mahal.

Bukan harta yang membuat kebahagiaan muncul dari hati para penghuninya, melainkan karena keyakinan penuh mereka kepada Tuhannya, menjadikan Islam sebagai landasan kehidupan-Nya, serta menempatkan Muhammad SAW sebagai contoh teladan mereka.

Keadaan semacam itu terungkap dari rumah Nabi Muhammad yang secara fisik sederhana, dengan tempat tidur beralaskan pelepah kurma, tidak ada persediaan harta dan makanan.

Meski demikian, beliau menyebut suasana dalam rumahnya dengan ungkapan luar biasa, “Rumahku adalah surgaku” (baitii jannatii).

Karena itu, memperbaiki rumah memang penting, seperti mengganti genting yang bocor, mengecat kembali warna yang pudar, memberi pagar pembatas, dan sebagainya. Namun, jauh lebih penting dari itu semua adalah memperbaiki suasana di dalam rumah.

Cara memperbaiki suasana tersebut, di antaranya dengan mengembuskan nuansa ibadah, merenovasi kebiasaan para penghuninya untuk saling jujur dan terbuka, serta menambal sifat-sifat buruk dengan berbagai kebaikan. Insya Allah.
, Oleh: Ali Farkhan Tsani

sumber : www.republika.co.id

Thursday, January 16, 2014

Mahalnya Nilai Kejujuran

Kejujuran terkesan sudah menjadi sesuatu yang mahal di negeri ini. Berbuat dan berkata dusta (berbohong) terkesan menjadi suatu hal yang lumrah. Kedustaan seakan diumbar tanpa memiliki rasa bersalah dan takut akan ganjaran dosa.

Individu, masyarakat dan bangsa yang sudah tidak mengutamakan kejujuran dipastikan kehancuran akan mudah menghampiri kita. Kejujuran adalah dasar dari kehidupan keluarga, masyarakat, dan bangsa.

Kejujuran adalah prasyarat utama pertumbuhan dan perkembangan masyarakat yang berlandaskan prinsip saling percaya, kasih sayang, dan tolong menolong. Kejujuran adalah inti dari akhlak yang merupakan salah satu tujuan dari diutusnya Rasulullah oleh Allah SWT.

Hakikat kejujuran ialah mengatakan sesuatu dengan jujur di tempat (situasi) yang tidak ada sesuatu pun yang menjadi penyelamat kecuali kedustaan. Secara psikologis, kejujuran akan mendatangkan ketentraman jiwa. Sebaliknya seseorang yang tidak jujur pasti tega melakukan perbuatan serta menutupi kebenaran.

Kedustaan dan ketidakjujuran akan selalu meresahkan masyarakat, yang pada gilirannnya akan mengancam stabilitas sosial. Ketidakjujuran selalu akan melahirkan kepada ketidakadilan, disebabkan karena orang yang tidak jujur akan tega menginjak-injak keadilan demi keuntungan material pribadi atau golongannya saja.

Pribadi yang jujur merupakan roh kehidupan yang teramat fundamental, karena setiap penyimpangan dari prinsip kejujuran pada hakikatnya akan berbenturan dengan suara hati nurani. Seperti contoh, para penyelenggara Negara pada setiap aktivitas dalam rangka melayani masyarakat tentunya tidak menanggalkan prinsip kejujuran.

Kejujuran juga akan melahirkan penghargaan terhadap hak hak orang lain. Sebab kejujuran sebagaimana yang telah kita uraikan diatas juga akan menumbuhkembangkan kecintaan terhadap kebenaran, keadilan dan kedisiplinan. Namun kejujuran tidak akan datang begitu saja, tetapi harus diperjuangkan dengan sabar dan sungguh-sungguh. Seorang ulama menegaskan bahwa ada beberapa faktor yang dapat membantu kita dalam mencoba meraih kejujuran.

Pertama, akal yang wajib memandang buruk kedustaan apalagi jika kedustaan itu sama sekali tidak mendatangkan kemanfaatan dan tidak mencegah bahaya.

Kedua, agama dan syariat yang memerintahkan untuk mengikuti kebenaran dan kejujuran serta memperingatkan bahaya kedustaan.

Ketiga, kedewasaaan diri kita yang menjadi salah satu faktor pencegah kedustaan dan kekuatan pendorong menuju kebenaran.

Keempat, memperolah kepercayaan dan penghargaan masyarakat. Ada sebuah kata mutiara; “Jadikanlah kebenaran (al Haq) sebagai tempat kembalimu (rujukanmu), kejujuran segai tempat pemberangkatanmu, sebab kebenaran adalah penolong paling kuat dan kejujuran adalah pendamping utama”.
           
Terakhir, ada baiknya kita menyimak pidato Abu Bakar ash-Shiddiq ra. yang dilansir dari kitab al-Bidayah wa an-Nihayah, bab Masa Khulafaur Rasyidin, karya Ibnu Katsir. Selepas dibaiat, Abu Bakar mulai berpidato setelah memuji Allah Pemilik segala pujian, ‘Amma ba’du, “Para hadirin sekalian, sesungguhnya aku telah terpilih sebagai pimpinan atas kalian dan bukanlah aku yang terbaik. Maka jika aku berbuat kebaikan bantulah aku. Dan jika aku bertindak keliru maka luruskanlah aku. Kejujuran adalah amanah, sementara dusta adalah suatu pengkhianatan.”

Karena itu, sejatinya pribadi Muslim untuk terus membangun kejujuran dalam melakukan semua aktivitas.
, Oleh Dr HM Harry Mulya Zein

sumber : www.republika.co.id

Wednesday, January 15, 2014

Dakwah dan Ukhuwah

Terkisah dalam sebuah sirah bahwa Sang Nabi hari itu terlihat semringah. Meluncur dari lisan fasihnya, untaian cinta yang menghangatkan telinga si pendengarnya. “Selamat datang duhai orang yang karenanya aku ditegur oleh Rabbku!”

Sang Nabi sendiri selalu tersenyum ketika melafalkan kalimat ini. Dan orang yang dimaksud pun juga tersipu. Padahal ia berpenghalang dengan penglihatanya alias buta.

Ke arah Majelis Nabawi itu, ‘Abdullah ibnu Ummi Maktum, pemilik nama ini, tertatih mendekat. Lalu Rasulullah SAW bersegera mengulurkan tangan, menggandengnya, menggenggam jemari lelaki ini erat-erat dan mendudukkannya di sebelah beliau.

Teguran Allah pada beliau itu sudah lama sekali. Tetapi Sang Nabi takkan pernah melupakannya. Beliau pernah bermasam muka, merasa enggan dan mengalihkan wajah dari Abdullah ibnu Ummi Maktum.

Tak sepenuhnya abai sebenarnya. Hanya saja saat itu Rasulullah SAW sedang berada di hadapan para pembesar Quraisy dan sedang membacakan ayat-ayat Allah pada mereka. Saat itu teramat tinggi hasrat Sang Nabi agar para pemuka itu mau menerima dakwah.
Karena mereka adalah pemimpin kaumnya, pikir beliau, insya Allah akan banyak manusia yang mengikuti langkah mereka.
Maka kedatangan Abdullah ibnu Ummi Maktum; yang buta, yang lemah, yang pinggiran dan tanpa kuasa itu terasa seperti sebuah usikan kecil bagi asa dakwah beliau.

Kehadirannya seolah menjadi citra bahwa yang mengikuti Muhammad adalah orang-orang dhuafa dan faqir, orang-orang belakang dan pandir. Itu pasti akan membuat para pemuka Quraisy tak nyaman dan makin enggan.

Jadi beliau bermuka masam dan berpaling. Lalu Allah menegurnya. “Dia bermasam muka dan berpaling, karena datang seorang buta kepadanya.” (QS ‘Abasa, [80]: 1-2)

Tak ada yang salah dengan hasrat kuat Sang Nabi agar pembesar Quraisy itu segera beriman. Allah memang telah mengamanahi beliau untuk menyeru mereka kepada hidayah.

Dan secara pribadi, Sang Nabi pun sama sekali tak punya benci, jijik atau risi kepada Ibnu Ummi Maktum ini. Beliau hanya merasa kemunculannya terjadi pada saat yang tak tepat.

Antara dakwah dan ukhuwah. Ya, kedua materi ini seperti dua mata perkuliahan yang hendak Allah sampaikan kepada Nabi-Nya supaya lebih bijak mendudukkannya. Hari itu Nabi seperti merasakan gelombang hikmah dari teguran Allah.

Gelombang keinsyafan dari untaian salam Nabi kepada Ibnu Ummi Maktum di atas begitu terasa. Beliau kini lebih memahami bahwa dakwah ini milik Allah. Bahwa hidayah juga adalah milik-Nya. Tugasnya hanya ikhtiar semata. Beliau tidak akan dipersalahkan atau menanggung dosa jika para pemuka Quraisy tak juga beriman.

Beliau seperti sedang dididik untuk lebih adil dan tak membeda-bedakan sikap. Baik kepada pemuka kaya atau kepada yang buta papa.

Sikap cinta dan mesra beliau harus serupa. Begitulah seharusnya kita, para juru dakwah. Ikhtiar dalam dakwah dan tetap berupaya melebarkan ukhuwah. Wallahu A’lam.
  , Oleh: Ustaz Muhammad Arifin Ilham
sumber : www.republika.co.id

Tuesday, January 14, 2014

Harga Surga

Allah SWT menjelaskan keberadaan surga, sifat-sifatnya, macam-macamnya, dan kriteria para (calon) penghuninya secara tekstual dalam sejumlah ayat Alquran. Allah menjelaskan, surga itu sudah selesai diciptakan.

Allah menjelaskan, surga itu luasnya seluas langit dan bumi. Surga itu bermacam-macam, antara lain, Firdaus, ‘Adn, Na’im, dan Ma’wâ. Dan, surga diperuntukkan bagi mereka yang beriman dan beramal saleh, juga bagi mereka yang bertakwa.

Selain itu, Allah menjelaskan, surga itu merupakan tempat kembali yang paling baik dan paling menyenangkan. Tak sebatas itu, surga merupakan tempat yang langgeng, kekal, dan abadi. Surga bertingkat-tingkat.

“Tidaklah sama antara orang-orang mukmin duduk (yang tidak ikut berperang) tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwa mereka. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwa mereka atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang-orang yang duduk dengan pahala yang besar. (Yaitu), beberapa derajat dari pada-Nya, ampunan serta rahmat. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS an-Nisa [4] : 95 - 96).

Ibnu Jarir menyebutkan dari Hisyam bin Hassan dari Jablah bin ‘Athiyah dari Ibnu Mahiriz bahwa derajat yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah 70 derajat dan jarak antara satu derajat dengan derajat lainnya adalah sejauh lari kuda balap selama 70 tahun.

Dhahhak menambahkan, sebagian dari mereka lebih mulia daripada yang lainnya. Mereka yang lebih mulia dapat melihat kelebihan mereka dari yang lainnya dan yang di bawah mereka tidak melihat kalau ada orang lain yang lebih mulia dibandingkan mereka.

Dalam sebuah hadis dari Malik dari Shafwan bin Salim dari Atha bin Yasar dari Abu Sa’id Al-Khudhri dinyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya para penghuni surga tentu melihat para penghuni ghuraf (kamar atau bangunan) dari atas mereka sebagaimana mereka melihat bintang yang berkilauan jauh di ufuk timur atau barat lantaran perbedaan derajat mereka. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah ghuraf itu hanya disediakan bagi para nabi dan tidak bisa dihuni selain mereka?” Rasulullah SAW bersabda, “Benar. Demi Zat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sesungguhnya ghuraf itu bisa juga dihuni oleh mereka yang beriman kepada Allah dan membenarkan para Rasul-Nya.” (HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Ahmad, dan Darimi).

Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah mengomentari redaksi Bukhari yang memilih menggunakan kata fi al-ufuq sebagai sangat tepat. Dia pun mengemukakan beberapa alasannya. Pertama, menunjukkan betapa jauhnya bintang-bintang tersebut dari penglihatan manusia.

Kedua, menunjukkan betapa jauhnya derajat surga yang satu dengan derajat lainnya. Hal itu dimaksudkan untuk membedakan derajat para penghuninya. Kendati demikian, mereka yang menghuni surga pada ghuraf yang tinggi tidak merasa lebih bangga dari mereka yang menghuni ghuraf di bawahnya.

Mereka nyaman dengan keberadaannya laksana perkebunan yang memanjang dari bagian atas gunung ke bagian di bawahnya.

Diriwayatkan dari Atha bin Ubadah bin Shamit bahwa Rasulullah SAW menjelaskan, “Sesungguhnya surga itu terdiri atas 100 derajat.” (Kelanjutan dari hadis Mu’adz bin Jabal).

Dan, dalam riwayat lainnya dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW menyebutkan, “Di dalam surga itu terdapat 100 derajat. Antara satu derajat dengan derajat lainnya jaraknya 100 tahun perjalanan.” (HR Tirmidzi).

Dalam Shifatu al-Jannati dikutip sebuah hadis dari Aban dari Anas bin Malik RA, suatu hari ada seorang Badui menghadap Rasulullah SAW dan bertanya, “Apa harga surga itu?” Rasulullah SAW menjawab, “(Kalimat) la ilaha illallah.”
, Oleh Mahmud Yunus  

sumber : www.republika.co.id

Berkah Menyebarkan Salam

Perintah untuk menyampaikan salam tidak hanya terdapat dalam hadis-hadis Rasulullah SAW, tetapi juga di dalam Alquran. Salam telah didefinisikan oleh Alquran secara jelas. Sedangkan rincian tata cara dan aturan-aturannya dipaparkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam banyak hadis.
Tuntunan salam di dalam Alquran dapat kita temukan dalam QS An-Nur, [24]: 27. Allah berfirman yang artinya, ''Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya.''
Sebaliknya, Allah memerintahkan kepada kaum Muslim untuk menjawab setiap salam yang diucapkan oleh saudaranya sesama Muslim. Balasan yang disampaikan hendaknya berupa salam yang sepadan atau yang lebih baik lagi. Dengan demikian terus terjadi komunikasi antara yang menyampaikan salam dan yang menjawabnya.
Allah berfirman yang artinya, ''Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik daripadanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa.''(QS An-Nisaa'[4]:86).
Apa sesungguhnya manfaat menyebarkan salam itu? Dijelaskan oleh Nabi SAW bahwasanya menyebarkan salam sama dengan menyebarkan cinta di tengah-tengah kehidupan umat Muslim. Beliau menggambarkan salam sebagai sesuatu yang akan membawa pada cinta, dan cinta akan membawa pada keimanan, dan keimanan akan membawa pada surga.
Rasulullah SAW bersabda yang artinya, ''Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, engkau tidak akan masuk surga sehingga engkau beriman, dan engkau tidak akan beriman sehingga engkau saling mencintai, dan bolehkan aku katakan kepadamu tentang sesuatu yang, jika engkau melakukannya, engkau akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian.'' (HR Muslim)
Manfaat lainnya, Rasulullah menjelaskan bahwa orang yang terlebih dahulu mengucapkan salam akan berada dekat dengan Allah, dan lebih berhak mendapatkan ridha, anugerah, dan berkah dari-Nya. Sabda Nabi, ''orang-orang yang paling dekat di sisi Allah adalah orang yang mulai (mengucapkan) salam.''
Oleh karena agungnya manfaat mengucapkan salam ini, maka sebaiknya umat Islam tidak menggantikannya dengan sapaan-sapaan lain yang berasal dari tradisi di luar Islam, seperti ucapan selamat pagi, good morning (Inggris, selamat pagi), bonjour (Prancis, selamat pagi), dan lain-lain. Apa yang datang dari Allah dan Rasulnya merupakan kebenaran. Dan barang siapa menempatkan dirinya dalam kebenaran itu, niscaya ia akan mendapatkan keberuntungan berupa keselamatan di dunia dan akherat.

sumber : www.republika.co.id

Monday, January 13, 2014

Inspirasi Sang Ibu

Dari Abu Umamah ra berkata: Sesungguhnya telah datang seorang pemuda kepada Nabi SAW seraya berkata: “Wahai Rasulullah, izinkan aku untuk berzina, maka para sahabatnya segera mencelanya “mah-mah” (kalimat cercaan).

Nabi SAW lalu berkata kepadanya: “Kemari, mendekatlah! Lalu (pemuda) itu mendekatinya dengan jarak yang sangat dekat, lalu duduk di samping beliau.

Nabi SAW kemudian bertanya: “Apa kamu suka menzinai ibumu? Dia menjawab: Tidak, demi Allah, Allah menjadikanku enggan padanya, tidak ada seorangpun kecuali tidak senang menzinai ibunya.

Lalu Nabi SAW berkata: Apakah kamu suka menzinai anakmu? Dia jawab: Tidak, demi Allah, wahai Rasulullah, Allah menjadikanku enggan padanya, tidak ada seorangpun kecuali tidak senang menzinai anaknya.

Lalu berkatalah (Nabi) : “Apa kamu suka menzinai saudara perempuanmu?” Dia jawab: “Tidak, demi Allah, Allah menjadikanku rasa enggan padanya, tidak ada seorangpun kecuali tidak senang menzinai saudara perempuannya.

Lalu Nabi SAW bertanya lagi: “Apakah kamu suka menzinai bibimu (saudara bapak)?” Dia jawab: “Tidak, demi Allah, wahai Rasulullah, Allah menjadikanku rasa enggan padanya, tidak ada seorangpun kecuali tidak senang menzinai bibinya.

Nabi SAW bertanya lagi : “Apakah kamu suka menzinai bibimu (saudara  ibu)?” Dia jawab: “Tidak, demi Allah, Allah menjadikanku rasa enggan padanya, dan tidak ada seorangpun kecuali tidak senang menzinai bibinya.
Nabi SAW lalu meletakkan tangannya di atas (kepalanya) lalu berdoa: “Ya Allah, ampuni dosanya, bersihkan hatinya, dan jagalah kemaluannya”. Maka, pemuda itu tidak menoleh lagi kepada sesuatu (tidak berminat zina lagi).” (HR. Ahmad)

Hadis tersebut menunjukkan kepada kita bagaimana kiat Rasulullah SAW menyentuh hati pemuda agar tidak berbuat maksiat (zina).
Dengan dialog penuh kasih sayang, beliau menjadikan ibu sebagai sumber inspirasi untuk berkomunikasi dan mempengaruhi mindset pemuda yang sudah dirasuki niat buruk untuk bermaksiat.

Ternyata inspirasi sang ibu dapat meluluhkan dan melembutkan hati pemuda sehingga ia mengurungkan niatnya. Jadi, inspirasi sang ibu terbukti dapat menjadi “terapi mujarab” untuk meredam rencana jahat seseorang.

Oleh karena itu, sekiranya setiap pelaku kejahatan, termasuk koruptor ditanya misalnya: “Apakah engkau suka mengorupsi harta ibumu?” maka kemungkinan besar, mereka akan menjawab “tidak”.

Pendekatan keibuan ini tidak hanya menyentuh ruang keinsafan seseorang, melainkan juga dapat membuatnya jujur dan mengikuti suara hati nuraninya.

Ibu adalah sumber kasih sayang yang melimpah luar biasa bagi sang anak. Sesuai dengan fitrahnya, tidak mungkin seorang anak berani melawan, mendurhakai, dan menyakiti hati  ibunya.

Memiliki seorang ibu sesungguhnya merupakan kebanggan, karena pada umumnya ibu sangat memperhatikan dan menyayangi anaknya.
Oleh sebab itu, seorang anak harus selalu bersyukur (berterima kasih) kepada Allah SWT dan kedua orang tuanya, khususnya ibu, yang telah mengandung, melahirkan, menyusui, merawat, menyayangi, mendidik, dan mendewasakan sang anak.

Tidak selayaknya anak mengecewakan, menyakiti hati, apalagi mendurhakainya.  Dengan kata lain, seseorang yang berbuat jahat, maksiat, korupsi, dan sebagainya sejatinya sudah kehilangan inspirasi sang ibu.
   
Sedemikian pentingnya inspirasi sang ibu, sehingga Rasulullah SAW mengharuskan anak berbakti kepada ibu sebagai prioritas utamanya.

Diriwayatkan Abu Hurairah, ada seorang laki-laki datang menemui Rasulullah SAW, lalu bertanya: “Siapakah manusia yang paling berhak aku perlakukan dengan baik (berbuat baik kepadanya)?

Rasulullah  menjawab: “Ibumu”. Orang itu bertanya lagi: “Lalu siapa?” Rasul menjawab: “Ibumu”. Orang itu bertanya lagi: “Lalu siapa?” Rasul menjawab: “Ibumu”. Orang itu masih bertanya lagi: “Lalu siapa lagi”. Rasul menjawab: “Kemudian ayahmu.” (HR. Muslim)

Islam memang sangat memuliakan orang tua, terutama ibu, karena jasanya yang takterkira dan tidak mungkin dapat dibalas dengan apapun. Karena itu, durhaka kepada salah satu atau kepada keduanya, lebih-lebih kepada sang ibu, merupakan dosa besar.

Karena itu, sebagai anak, kita harus berhati-hati agar jangan sampai kita menyakiti hati keduanya, misalnya dengan melakukan perbuatan tercela. Menyakiti hati ibu merupakan benih awal kedurhakaan anak kepadanya. 

Abu Bakrah ra meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bertanya: “Maukah aku sampaikan kepada kalian mengenai dosa terbesar?” (Pertanyaan ini diulanginya tiga kali). Kami menjawab: “Ya, tentu, ya Rasulullah.

Beliau lalu menjawab: “Syirik kepada Allah dan durhaka kepada kedua orang tua.” Saat itu beliau bertelekan  lalu duduk, kemudian berkata: “Ketahuilah, (yang ketiga) perkataan dusta; ketahuilah sumpah palsu.” Beliau terus mengulanginya sampai akhirnya kami menyatakan: “Alangkah baiknya beliau diam.” (HR. al-Bukhari).

Inspirasi sang ibu hendaknya menjadi renungan dan refleksi bagi kita semua agar kita selalu menjadikan sang ibu sebagai sumber motivasi dan cinta yang melimpah, sehingga kita memiliki etos fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan), bukan fastabiqul ma’ashi wal munkarat (berlomba-lomba dalam kemaksiatan dan kemunkaran).
, Oleh Muhbib Abdul Wahab
   
sumber : www.republika.co.id

Sunday, January 12, 2014

Demi Waktu

Setiap orang dianugerahi ruang dan durasi waktu yang sama, 24 jam sehari, tidak lebih semenit pun, juga tidak kurang sedetik pun. Setiap seorang mempunyai tabung waktu yang sama. Maka cara terbaik mengisinya adalah mendahulukan batu-batu besar, batu yang lebih kecil, butiran pasir, dan terakhir, air. Bandingkan jika kita mengutamakan pasir-pasir dan kerikil, maka takkan ada ruang lagi untuk batu besar.
Batu-batu besar tadi ibarat tugas-tugas besar dan terpenting dalam misi kehidupan kita. Tugas terbesar dalam hidup ini hanya ada dua; sebagai khalifah, pemakmur bumi dan sebagai Abdullah, mengistimewakan Allah di atas segalanya. Tidak Kuciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-Ku. (QS. 51: 56).
Adalah fakta, bahwa tidak akan tersedia cukup waktu untuk mengerjakan segala sesuatu yang kita inginkan. Tapi akan selalu ada waktu jika tahu apa yang menjadi prioritas hidup.
Waktu merupakan penanda perputaran dunia. Waktu akan terus bergerak maju dan tak mungkin mundur dalam volume tetap. Waktu juga menjadi penanda sejarah seseorang. Semua mengakui bahwa hidup di dunia ini sungguh singkat, namun tidak banyak yang memahami. Artinya di balik itu semua, waktu adalah kesempatan. Pasti merugilah orang-orang yang lalai, yang tidak pandai memanfaatkan waktu.
Beberapa tahun lalu, mungkin saja kita selalu merasa dikejar-kejar waktu. Banyak hal yang ingin dikerjakan dan diraih, namun tidak pernah tuntas. Pekerjaan satu belum selesai, berambisi mengerjakan pekerjaan satunya. Begitu seterusnya. Hidup seperti itu tidak akan bisa jenak.
Bukan berarti tidak boleh mengerjakan banyak hal, kerjakanlah satu per satu, pelan-pelan, dan tentukan mana yang paling utama dan mendesak. Jangan sampai dibingungkan oleh keinginan-keinginan yang mengesampingkan tugas terbesar yaitu menomorsatukan Allah, serta prioritas utama sebagai Khalifah.
Allah bertanya: "Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?" Mereka menjawab: "Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka bertanyalah kepada orang-orang yang menghitung." Allah berfirman: "Kamu tinggal (di bumi) hanya sebentar saja, jika kamu mengetahui." (QS. 23: 112-114). Keberkahan sebuah waktu adalah ketika kita dapat mengatur waktu dan hidup sebermakna mungkin dan tidak lagi melakukan kegiatan-kegiatan bernilai rendah.
Dalam perspektif yang lain, orang yang merugi adalah, orang yang banyak memikirkan sesuatu yang tidak harus dipikirkan. Banyak mengerjakan sesuatu yang tidak seharusnya dikerjakan. Banyak membicarakan hal-hal yang tidak perlu dibicarakan. Dan, banyak mengurus sesuatu yang bukan urusannya. Hidup di dunia ini menyenangkan dan di akhirat akan lebih menyenangkan, bukan.
Selamat Tahun Baru 2014.

sumber : www.republika.co.id

Saturday, January 11, 2014

Bekal Manusia

Disadari atau tidak, manusia itu ibarat musafir yang sedang melakukan perjalanan jauh. Bedanya, perjalanan manusia itu untuk menuju Allah SWT dan kampung akhirat. Manusia datang dari Allah. Hidup di dunia karena Allah. Ujungnya, kembali lagi di hadapan Allah.

Lantas, untuk apa kita hidup di dunia? Hidup di dunia adalah bagian dari ujian di awal perjalanan manusia. Sisanya adalah menjadi tanah di dalam kubur. Dan, akhir perjalanannya berakhir di hadapan Allah. Lalu, sudah siapkah kita untuk menghadap Allah?

Kematian itu rahasia yang tak seorang pun mengetahui, kecuali Allah dan malaikat-Nya. Ketika, tiba-tiba nyawa lepas dari jasad kita, apakah kita sudah siap mempertanggungjawabkan hidup yang kita jalani di dunia?

Hidup yang selama ini kita tempuh merupakan ujian untuk membedakan mana manusia yang baik dan buruk amalnya. Dan, jelas balasannya berbeda jauh. Manusia yang baik jaminannya surga. Manusia yang buruk, siap-siap saja masuk neraka.

Maka, hidup di dunia sejatinya adalah ladang mencari bekal-bekal terbaik untuk menghadap Sang Pencipta. Ada sejumlah bekal yang harus dipersiapkan manusia. Pertama, bekal utama kita untuk menghadap Allah adalah takwa.

Allah berfirman, “Dan siapkanlah bekal karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (al-Baqarah: 197). Takwa merupakan bekal yang sangat diperlukan manusia. Tanpa takwa, Allah tidak rela memberikan pertolongan kepada hamba-Nya.

Tanpa takwa, Allah tidak akan menerima amalan hamba-Nya. Takwa juga merupakan syarat keberhasilan usaha di dunia dan keselamatan di akhirat kelak.

Kedua, bekal kita adalah ilmu. Allah berfirman, “Sesungguhnya, yang takut kepada Allah dari para hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu.” (Fathir: 28). Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim.

Kalau kita enggan belajar akan membuat kerusakan, tidak membuat perbaikan, tidak bermanfaat, tapi justru merugikan, tidak menang, tapi pasti kalah dan tersesat. Apalagi, orang yang rajin beramal sekalipun tanpa disertai ilmu, seperti orang berjalan bukan pada jalannya.

Jangan sampai, amalan yang kita lakukan berbuah sia-sia tanpa dasar ilmu. Ketiga, bekal kita adalah tawakal. Allah berfirman, “Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya dia akan mencukupinya.” (ath-Thalaq: 3).

Tawakal akan menanamkan kepada hati kesungguhan dalam menggantungkan diri kepada Allah. Manusia hanya bisa berusaha dan berdoa, segala sesuatunya Allah yang menentukan. Maka, biarkan Allah yang mencukupi kita selama hidup di dunia.

Keempat, bekal selanjutnya adalah syukur. Allah berfirman, “Mengapa Allah akan menyiksa kalian kalau kalian bersyukur dan beriman?” (an-Nisa: 147).

Bentuk rasa syukur itu meliputi syukur dengan lisan, hati, dan dengan tindakan kita. Ingat, sesungguhnya nikmat-nikmat itu akan lestari karena syukur dan akan hilang dengan kufur.

Kelima, bekal kita adalah sabar. Allah berfirman, “Sesungguhnya, Allah itu menyertai orang-orang yang sabar.” (al-Baqarah: 153). Apa pun profesinya, manusia sangat memerlukan kesabaran. Seorang guru tentu memerlukan kesabaran dalam mengajar anak didiknya.

Begitu juga dengan profesi yang lain. Bahkan, orang yang tertimpa musibah juga harus senantiasa bersabar. Jadikanlah sabar sebagai penolong kita karena yakinlah Allah bersama dengan orang-orang yang sabar terhadap ujian hidup di dunia.

Keenam, bekal yang lain adalah zuhud (tidak mencintai dunia). Rasulullah SAW bersabda “Zuhudlah terhadap dunia, niscaya Allah mencintaimu dan janganlah mencintai apa yang dimiliki manusia, niscaya manusia mencintaimu!” (HR Ibnu Majah)

Terakhir, bekal kita adalah itsarul akhirah (mengutamakan akhirat). Sebagaimana Allah berfirman, “Barangsiapa menghendaki akhirat dan mengusahakan bekal untuknya sedangkan dia beriman maka mereka itulah yang dibalas usaha mereka.” (al-Isra’: 19)

Inilah bekal yang harus kita persiapkan sebelum nantinya Allah memanggil kita untuk menghadap-Nya. Yakinlah, inilah bekal yang menolong kita dalam memikul beban kewajiban syariat dalam kehidupan dunia ini.
, Oleh: Puji Utomo
sumber : www.republika.co.id

Friday, January 10, 2014

Keutamaan Membudayakan Salam

Salah satu bukti keindahan dan kemuliaan Islam ialah adanya ajaran tegur sapa. Dengan tegur sapa, hidup terasa gayeng, karena relasi antarsesama terjalin intim. Perhatikan, fenomena konflik di masyarakat sesungguhnya kerap mengemuka akibat minim tegur sapa.
Sekiranya setiap pihak mau membudayakan tegur sapa dan tidak suka merasa paling benar, persoalan yang muncul tidak akan melebar ke mana-mana. Purbasangka berbalut sikap enggan bertegur sapa itulah yang meletupkan percikan api amarah menjadi bara perseteruan dan dendam.

Islam mengajarkan budaya tegur sapa dengan ucapan salam, assalamualaikum wa rahmatullahi wa barakatuhu. Ucapan ini memang tampak sepele dan tidak dipungut biaya, tetapi nilainya sungguh luar biasa. Dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda, “Kalian tidak akan masuk surga sehingga kalian beriman, dan tidak dikatakan beriman sebelum kalian saling mencintai. Salah satu bentuk kecintaan adalah menebarkan salam antarsesama Muslim.” [HR Muslim].

Mengucapkan salam, mengacu pada hadis di atas, boleh dikata merupakan perwujudan iman. Atau, dengan kalimat lain, ucapan salam itu budaya orang beriman, dan memang hanya orang berimanlah yang akan mampu membudayakan salam sebagai upaya menghidupkan sunnah Rasulullah. Perintah mengucapkan salam tidak berlaku kepada dan bagi selain orang beriman.

Ucapan salam juga memiliki dampak sosiologis luar biasa dahsyat. Salam yang diucapkan secara tulus dapat melahirkan sikap kekitaan dan kebersamaan. Inilah benih-benih kekuatan antarsaudara seiman itu. Sebab, menurut sebagian ulama, kalimat “as-salam” adalah salah satu nama Allah, sehingga kalimat “Assalamualaikum” berarti Allah bersamamu atau engkau dalam penjagaan Allah. Sebagian ulama lain mengartikan “as-salam” sebagai keselamatan, sehingga kalimat “Assalamualaikum” bermakna semoga keselamatan selalu menyertaimu. Kedua pemaknaan itu, jika digabungkan, akan berbunyi semoga Allah senantiasa bersamamu sehingga keselamatan terus menyertaimu.

Era modern ditandai dengan teknologi serba canggih. Aneka perangkat digital bermunculan, seperti Facebook, Email, Twitter, Skype, Instagram, WhatsApp, Talk, Line, Yahoo Messenger, Camfrog, Viber, Tango, Telepon, SMS, dan BlackBerry Messenger. Sejumlah perangkat modern itu sangat prospektif untuk membangun kekitaan dan kebersamaan dengan saling menebarkan salam. Sayang, kerap muncul kreativitas dari orang-orang modern untuk menyingkat kalimat salam yang mulia itu menjadi “Askum”, “Kumlam”, “Lekum”, “Asw”, “Aslm”, dan semisalnya.

Yang paling sering adalah “Ass”. Kalimat ini umumnya disampaikan lewat sms atau pesan di media jejaring sosial di internet. Maksudnya tentu untuk mempermudah penyampaian pesan. Tetapi, tanpa disadari, penyingkatan semacam itu justru berakibat penodaan terhadap ucapan salam yang sejatinya bermakna doa itu. Kalimat “Ass”, misalnya, dalam kamus bahasa Inggris ternyata berarti keledai, orang yang bodoh, pantat. Pasti pemberi salam tidak bermaksud mendoakan lawan bicara dengan kata-kata buruk itu. Namun, apa susahnya mengucapkan salam sebagaimana ajaran Rasulullah.

Kalau alasannya malas, alangkah lebih baik kalau cukup mengucapkan “Halo”, “Hai”, “Apa kabar”, dan semisalnya. Kalau alasannya kalimat salam itu terlalu panjang, cobalah simak hadis dari Imran bin Hushain berikut. Dikisahkan, seorang laki-laki datang kepada Rasulullah dan mengucapkan, “Assalamualaikum”. Setelah menjawab, Rasulullah bersabda, “Sepuluh”. Tidak lama, datang lagi orang kedua, yang memberikan salam, “Assalamualaikum wa rahmatullahi”. Setelah dijawab oleh Rasulullah, beliau pun bersabda, “Dua puluh”. Kemudian datang orang ketiga dan mengucapkan, “Assalamualaikum wa rahmatullahi wa barakatuhu”. Rasulullah menjawab, lantas bersabda, “Tiga puluh”. [HR Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi].

Terang sudah jawaban soal keluhan seputar panjangnya ucapan salam. Hadis itu sekaligus menjadi panduan bagaimana menyingkat salam yang mendapat garansi dari Rasulullah. Tiga pilihan itu, semuanya berpahala, sesuai tingkat kesempurnan ucapannya. Lain dari tiga pilihan yang disebutkan dalam hadis itu, jelas tertolak.

Lantas, siapa yang dianjurkan memulai salam? Kata Rasulullah, hendaklah yang lebih muda mengucapkan salam kepada yang lebih tua, yang lewat memberikan salam kepada yang duduk, yang sedikit mengucapkan salam kepada yang banyak, dan yang di atas kendaraan mengucapkan salam kepada yang berjalan. Jika orang-orang yang diutamakan untuk memulai salam itu tidak melakukannya, gugurkah anjuran salam atas mereka yang seharusnya berstatus penerima salam? Jawabnya, tentu tidak. Islam tetap menganjurkan umatnya untuk mengucapkan salam kepada orang lain, misalnya, yang lebih tua kepada yang lebih muda atau pejalan kaki kepada pengendara. Sabda beliau, “Yang lebih utama dari keduanya adalah yang memulai salam.” [HR Bukhari dan Muslim].

Perintah mengucapkan salam bahkan berlaku ketika bertemu saudara sesama Muslim yang tidak kita kenal. Abdullah bin Amr bin Ash pernah berkisah, ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi, “Islam bagaimana yang bagus?” Beliau lantas menjawab, “Engkau memberikan makanan (kepada orang yang membutuhkan), mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenal dan yang tidak engkau kenal.” [HR Bukhari dan Muslim].

Luar biasa. Ajaran Islam sungguh tidak melulu urusan ritual, tetapi juga menyangkut tata kehidupan sosial. Penting juga dicatat, hukum mengucapkan salam kepada orang lain memang sunnah, tetapi menjawabnya adalah wajib. Al-Qur’an tegas menyatakan, “Jika kamu diberi salam/penghormatan, maka balaslah dengan yang lebih baik atau balaslah dengan yang serupa.” [QS An-Nisa/4: 86].

Saatnya kita budayakan ucapan salam sebagai ciri khas tata pergaulan orang beriman. Semoga kita senantiasa dilimpahi karunia dan maunah untuk dapat meniti hidup di atas rel sunnah. 

Email: hus_surya06@yahoo.co.id
,  Oleh M Husnaini
(Penulis Buku “Menemukan Bahagia”)

sumber : www.republika.co.id

Thursday, January 09, 2014

Mengikis Virus Lupa

Lupa merupakan kondisi tidak ingat keadaan diri atau sekelilingnya. Ada tiga jenis lupa yang dialami manusia. Pertama, lupa hal-hal sepele, seperti lupa makan atau lupa di mana menaruh barang. Lupa jenis ini manusiawi belaka. Tetapi, ada jenis lupa yang berbahaya. Misalnya, lupa tugas atau tanggung jawab. Dampaknya tidak hanya pada diri sendiri, tetapi juga orang lain.

Tentu yang paling berbahaya dan bahkan mengundang azab Allah ialah lupa jenis ketiga. Itulah lupa diri dan agama, yang menyebabkan manusia turun derajat dari makhluk mulia ke level paling hina. “Sungguh telah Kami ciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka)”. [QS At-Tin/95: 4-5].

Sungguh ngeri kita membaca ayat itu. Betapa semakin hari, kita tidak semakin muda. Pertambahan angka umur kita jelas menunjukkan berkurangnya jatah hidup di dunia. Sebab itu, yang wajib kita renungkan, adakah nikmat berupa umur ini lebih banyak bermuatan kebaikan atau justru keburukan. Bercermin diri seraya memperbanyak tobat, itulah ajaran yang harus dipraktikkan orang beriman.

Introspeksi menjadi sarana mujarab untuk melawan lupa. Sementara, tobat jelas alat pembersih dosa dan kesalahan. Tobat, menurut ulama, adalah menyadari, menyesali, dan berjanji pada diri sendiri untuk tidak mengulangi dosa dan kesalahan serupa. Bukanlah tobat jika satu dari ketiga syarat itu hilang. Tobat pincang itu disebut sebagai Tobat Sambal alias Kapok Lombok. Tobat yang diterima Allah, itulah taubah nasuhah, yang berdampak positif dahsyat pada pelakunya.

Menjalani hidup di era serba digital sungguh tidak mudah. Keluarlah rumah, bacalah koran, lihatlah internet. Betapa jebakan kemaksiatan tersebar di segala penjuru arah. Jika kita tidak ekstrawaspada, bukan mustahil akan terseret ke lumpur dosa. Karena itu, kita harus mampu memelihara kepekaan dan sensitivitas nurani. Tidak kalah penting pula terus berusaha memahami dan mengamalkan doa yang setiap salat kita baca: Ya Allah, tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus.

Lupa muncul karena manusia sembrono dalam mengeja kehidupan. Hatinya tidak terjaga, sehingga menjadi gelap. Hati yang gelap disebut zulmun (kezaliman), dan pelakunya bernama zalim. Idenya ialah setiap kebusukan dapat membuat hati manusia menjadi gelap dan mudah lupa. Indikasinya, tidak pernah merasa risih ketika berbuat dosa dan kesalahan. Kejahatan dianggap sebagai kebajikan, perusakan diakui sebagai perbaikan, karena selalu dihisasi setan.

Dalam kondisi demikian, hatinya tidak lagi nurani tetapi sudah zulmani. “Maka apakah orang yang dijadikan (setan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu setan)? Maka sungguh Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan menunjuki siapa yang Dia kehendaki, Maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka. Sungguh Allah Maha Mengetahui segala yang mereka perbuat.” [QS Fathir/35: 8].

Tidak susah mendapati sosok-sosok manusia berhati zulmani. Tengoklah para bramacorah negeri ini: pemimpin korup, hakim khianat, politisi busuk, pengusaha licik. Mereka potret terang penjahat-penjahat kemanusiaan sejati. Dunia ini terbukti babak belur di tangan sekumpulan manusia berhati zulmani itu.

Pantaslah jika Allah memerintahkan Rasulullah untuk menyampaikan peringatan keras kepada mereka. “Katakanlah, ‘Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?’ Yaitu orang-orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” [QS Al-Kahfi/18: 103-104].

Ada empat langkah praktis yang berguna untuk mengikis lupa. Empat langkah ini sesuai dengan dimensi kemanusiaan manusia. Pertama, gairahkan fisik dengan ibadah. Bagi orang beriman, tidak ada yang paling berharga selain memfokuskan setiap gerak dalam tarikan napas ibadah. Ibadah, selain akan mendekatkan diri kepada Allah, juga dapat mencegah diri dari dosa, mengikis virus hati, mengusir penat, menolak bencana, mengundang rezeki, dan membuat hidup ceria. Karena itulah, doa sangat indah yang diajarkan Rasulullah kepada Muadz bin Jabal berbunyi,“Ya Allah, bantulah aku untuk mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan memperbaiki kualitas ibadah kepada-Mu.”

Kedua, hidupkan akal dengan ilmu. Dr Aidh Al-Qarni mengatakan, kebodohan merupakan tanda kematian jiwa, terbunuhnya kehidupan, membusuknya umur. Sebaliknya, ilmu adalah cahaya bagi hati nurani, kehidupan bagi ruh, dan bahan bakar bagi tabiat. Dengan begitu, apa yang masuk via indra orang beriman harus menjadi ilmu. Sebab, kedamaian dan ketenteraman hati senantiasa muncul dari ilmu. Ilmu mampu menembus yang samar, menemukan yang hilang, menyingkap yang tersembunyi.

Ketiga, hidupkan hati dengan zikir. Di antara ciri ulul albab adalah selalu zikir (ingat) kepada Allah dalam keadaan berdiri, duduk, dan berbaring. Sepintas, tampaknya itu mudah, karena hanya zikir dalam tiga keadaan. Tetapi coba renungkan, adakah keadaan bagi manusia selain berdiri, duduk, dan berbaring?

Dengan kata lain, hati orang beriman dituntut terus online kepada Allah di segala keadaan. Itulah zikir yang menenteramkan dan menjadikan hati nurani ini waskita. “Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwa Alquran itulah yang hak dari Tuhan-mu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya dan sungguh Allah adalah pemberi petunjuk bagi orang-orang beriman kepada jalan yang lurus.” [QS Al-Haj/22: 54].

Keempat, sucikan jiwa dengan baik sangka. Banyak orang merana karena berselimut buruk sangka. Hidup dirundung susah padahal bergelimang harta. Wajah berkalang duka padahal menggenggam segalanya. Ingatlah nasihat Ibnu Qayim Al-Jauziyah bahwa nilai manusia itu dapat diukur dari semangat dan apa yang dia inginkan.

Orang beriman selalu bergemuruh kasih sayang dalam hatinya. “Sungguh orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.” [QS Maryam/19: 96].

Alarm kehidupan berupa krisis pemimpin, budaya korupsi, pembusukan parpol, kekerasan massa, kelumpuhan hukum, kemiskinan ekonomi, peredaran narkoba, kengawuran media, dan beragam kemunduran moral lain sudah demikian nyaring. Masa depan bangsa ini di tahun-tahun mendatang sangat tergantung pada sejauh mana kita mampu segera siuman dan bangkit dari lupa.

Email: hus_surya06@yahoo.co.id
, Oleh M Husnaini
(Penulis Buku “Menemukan Bahagia”)

sumber : www.republika.co.id

Tuesday, January 07, 2014

Hijrah Sejati: Momentum Perbaikan Akhlak

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS : At Taubah (9):36).

Dzulhijjah telah pergi, Muharram pun tiba. Muharram, sebagai bulan yang ditetapkan sebagai awal pergantian tahun hijriyah dilakukan pada zaman Khalifah Umar bin Khattab, yang menetapkan peristiwa hijrahnya Rasulullah saw dari Mekah ke Madinah. Kalender Hijriyah juga terdiri dari 12 bulan, dengan jumlah hari berkisar 29-30 hari. Penetapan 12 bulan ini sesuai dengan firman Allah pada surah at-Taubah ayat 36 di atas.

Sebelumnya, orang Arab pra-kerasulan Rasulullah Muhammad SAW telah menggunakan bulan-bulan dalam kalender hijriyah ini. Hanya saja mereka tidak menetapkan ini tahun berapa, tetapi tahun apa. Misalnya saja kita mengetahui bahwa kelahiran Rasulullah SAW adalah pada tahun gajah. Abu Musa Al-Asyári sebagai salah satu gubernur di zaman Khalifah Umar r.a. menulis surat kepada Amirul Mukminin yang isinya menanyakan surat-surat dari khalifah yang tidak ada tahunnya, hanya tanggal dan bulan saja, sehingga membingungkan. Khalifah Umar lalu mengumpulkan beberapa sahabat senior waktu itu.

Mereka adalah Utsman bin Affan r.a., Ali bin Abi Thalib r.a., Abdurrahman bin Auf r.a., Sa’ad bin Abi Waqqas r.a., Zubair bin Awwam r.a., dan Thalhah bin Ubaidillah r.a. Mereka bermusyawarah mengenai kalender Islam.

Ada yang mengusulkan berdasarkan milad Rasulullah saw. Ada juga yang mengusulkan berdasarkan pengangkatan Muhammad saw menjadi Rasul. Dan yang diterima adalah usul dari Ali bin Abi Thalib r.a. yaitu berdasarkan momentum hijrah Rasulullah SAW dari Makka ke Yatstrib (Madinah).

Maka semuanya setuju dengan usulan Ali r.a. dan ditetapkan bahwa tahun pertama dalam kalender Islam adalah pada masa hijrahnya Rasulullah saw. Sedangkan nama-nama bulan dalam kalender hijriyah ini diambil dari nama-nama bulan yang telah ada dan berlaku pada masa itu di wilayah Arab.

Sejarah hijrah memang tak terlepas dari berpindahnya Rasulullah dari Makkah ke Madinah, sesuai dengan perintah Allah untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Namun, hijrah era kekinian dipahami sebagai bentuk transformasi global di seluruh lapisan masyarakat.

Jika kita mengamati pemberitaan akhir-akhir ini, maka keadaan yang memiriskan ialah kasus adegan seks yang menimpa generasi muda. Mereka, yang diharapkan menjadi ‘
dzurriyah’ yang memiliki iman, takwa, serta kecerdasan yang membanggakan justru sebaliknya. Rasa malu tak terhingga dirasa oleh guru, kepala sekolah, kawan-kawan, terlebih orang tua.

Menanggapi kasus ini, ada sebagian kalangan yang menyalahkan teknologi, ada pula yang menuding orangtua, karena kurangnya pengawasan. Lebih dari itu, masa remaja adalah masa pencarian jati diri. Tentu semua pihak berpengaruh dalam masa-masa ini. Dampak negatif dan positif dari teknologi pasti berpengaruh jika kurangnya kontrol dari segenap pihak.

Oleh sebab itu, adanya perhatian khusus dari orangtua, pembekalan dari para guru, serta kesadaran spiritual dan sosial siswa menentukan sikap anak-anak remaja kita saat ini.

Sejatinya, pemaknaan hijrah sangatlah dekat, tak perlu mengukur jarak antara Makkah-Madinah. Cukuplah kesadaran pribadi sebagai ukuran, bahwa hijrah sejati ialah perpindahan dinamis—meminimalisasi akhlak madzmumah menuju akhlak mahmudah.

Wallahu a'lam bish shawwaab..
 

Oleh Ina Salma Febriany

sumber : www.republika.co.id

Monday, January 06, 2014

Shafar

Shafar adalah bulan kedua dalam kalender Hijriyah setelah Muharram. Shafar diartikan sebagai kosong (shifr) atau kuning (ashfar).
Disebut kosong (shifr) karena masyarakat Arab pada zaman dahulu meninggalkan rumah-rumah mereka untuk berperang sehingga menjadi kosong.

Pada bulan Shafar, ada sebagian masyarakat Indonesia yang menganggap merupakan bulan sial, bulan mala petaka dan bulan bala bencara.

Mereka menganggap pamali (tidak boleh) melakukan beberapa kegiatan seperti resepsi pernikahan karena khawatir perkawinannya tidak akan langgeng dan ke depannya tidak akan mendapatkan keturunan, begitu juga sunatan.

Mereka menganggap akan ada bencana dan musibah yang menimpa. Karena itu, mereka juga tidak melakukan perjalanan jauh karena khawatir mendapatkan kecelakaan.

Anggapan sebagian masyarakat ini diperkuat dengan beberapa ritual yang dilaksanakan seperti Mandi Shafar pada hari Rabu  pekan terakhir bulan Shafar.

Mereka Mandi Shafar di pantai-pantai, sumur-sumur tua dan di tempat-tempat karamat lainnya dengan maksud membuang sial.
Kegiatan seperti ini di masyarakat Jawa disebut dengan Rabu Wekasan atau di masyarakat Aceh disebut Rabu Habeh atau di masyarakat Cirebon disebut dengan Ngirab.

Karena banyak masyarakat yang beranggapan Shafar adalah bulan sial, dampaknya secara ekonomis juga dirasakan masyarakat lainnya.
Seperti pengusaha perencana pernikahan, pengusaha jasa rias pengantin, pengusaha catering, pengusaha tenda dan banyak lainnya.

Seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan zaman, sudah jarang masyarakat yang beranggapan Shafar adalah bulan sial. Lambat laun kepercayaan ini memudar karena pemahaman masyarakat terhadap ajaran Islam semakin baik.

Meski demikian, masih ada yang mempertahankan keyakinan ini karena mengganggap hal ini dilakukan secara turun temurun sejak nenek dan kakek moyang mereka masih hidup.

Sebagai umat Islam, tentu kita harus kembali kepada Alquran dan Al-Hadits yang menjadi pedoman hidup kita. Tidak ada satupun ayat Alquran atau hadits Rasulullah SAW yang menyatakan Shafar adalah bulan sial, bulan bencana dan bulan mala petaka.

Lihatlah Alquran surat At-Taubah ayat 51 yang artinya, “Katakanlah….tidak akan menimpa kamu sesuatu apapun melainkan apa yang telah ditetapkan Allah SWT kepada kamu, dan hanya kepada Allah-lah orang-orang beriman bertawakkal.”

Segala musibah yang menimpa seseorang, bukan karena dilakukan pada bulan Shafar atau bulan lainnya, melainkan hal itu telah menjadi ketetapkan Allah SWT. Tidak boleh menyalahkan apapaun dan siapapun ketika terjadi musibah atau bencana kepada.

Kita pasrahkan semua itu kepada Allah SWT. Sebaik-baik tindakan yang kita lakukan ketika mendapat musibah adalah mengucapkan Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un.

Rasulullah SAW sendiri menamakan Shafar itu dengan sebutan Shafar Al-Khair atau bulan Shafar yang baik. Tindakan dan ucapan inilah yang seharusnya kita lakukan.

Jangan sampai iman kita terkotori karena pemahaman kita yang salah , atau ternodai karena melakukan ritual-ritual yang khurafat di bulan Shafar ini. Wallahu a'lam bish-shawab.
*Kepala SMA Pesantren Terpadu Hayatan Thayyibah Kota Sukabumi, Jawa Barat.
, Oleh: Ustaz Ahmad Dzaki MA

sumber : www.republika.co.id

Sunday, January 05, 2014

Meraih Tiga Ridha

Menapaki kehidupan duniawi yang mahasementara, membuat kita terkadang lupa: bahwa kita ini milik siapa dan berasal dari mana. Dunia yang seolah kini kurang ramah, karena sekelumit godaan duniawi, dari mulai harta, tahta, hingga merambah ke teknologi, yang merusak moral anak bangsa.

Apa yang disebut Alquran dalam surah an-Nisaa tentang (dzurriyatan dhi’aafan/ keturunan yang lemah), tengah melanda negeri ini. Belum lagi masalah ekonomi, politik, kemiskinan, korupsi, yang semakin hari, makin menjadi.

“Dan hendaklah orang-orang itu takut bila saja mereka meninggalkan keturunan yang lemah setelah mereka wafat, yang mereka khawatirkan kesejahteraannya. Hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan berkata dengan perkataan yang benar.” (Qs An-Nisa: 9)

Ayat di atas mengajak para orangtua atau pendidik untuk lebih mengerahkan diri menjaga dan membimbing generasi/ keturunan. Peringatan dari Allah ini hendaknya memang betul-betul ditadabburi, mengingat konsep dzurriyatan dhi’afaan, jika kita kaitkan pada era kekinian, dapat terjadi pada beberapa faktor.
Keturunan yang lemah—yang dimaksud dalam ayat ini dalam Tafsir Al-Mishbah ialah ‘anak-anak yang lemah dari segi keimanan’. Hal ini dapat terjadi jika pengawasan keluarga khususnya orangtua, terasa kurang didapat. Dan tentunya menjadi kontrol pribadi dan kesadaran spiritual si anak.

Memberikan pendidikan agama dan mengukuhkannya pada buah hati adalah tugas kedua orangtua. Hendaknya, anak diberikan bekal tentang keimanan pada Allah dan ketaatan kepada Ibu Bapak. Masa anak-anak ialah masa dimana mereka ingin belajar dan tahu banyak. Itu artinya, jika penanaman pendidikan agama kian kuat dalam mental si anak, ia akan tahu bahwasannya orangtua ialah orang yang patut dihormati.

Anak, sebagai aset bangsa memiliki peranan yang tidak kecil di kemudian hari. Bagaimana bisa Indonesia menjadi bangsa yang besar, jika akhlaq pada orangtua kurang baik? Dalam kesempatan hari Ibu ini, kiranya kesadaran kita bersama sebagai pendidik, untuk lebih fokus menanamkan nilai-nilai akhlaqul karimah dalam tiap sendi kehidupan si anak, karena, al-um madrasatul uula (Ibu adalah madrasah pertama bagi anaknya), menjadi sangat berarti bagi rasa cinta dan tanggungjawab seorang ibu, untuk dapat memberikan pendidikan dengan dasar-dasar Qurani dalam usia dini anak yang akan terus ia gunakan sampai dewasa kelak.

Dan anak, memiliki rangkaian kewajiban untuk terus berbuat baik (ihsan) kepada kedua orangtua (yang disejajarkan setelah taat pada Allah), sesuai firman Allah dalam surah Al-Israa ayat 32. Berbuat baik artinya merawat mereka, dalam batas kemampuan yang dapat kita jalani dengan sempurna, menyayangi mereka, dan tidak berbuat semena-mena, karena kita tahu, bahwa Ridha Allah, ada pada ridha orang tua.
  Wallahu a’lam Bish Shawwab.
, Oleh Ina Salma Febriany
sumber : www.republika.co.id

Saturday, January 04, 2014

Indahnya Tafakur

Merenung atau berpikir merupakan arti yang disematkan pada kata tafakur. Dalam Islam, aktivitas ini sangat dianjurkan. Muslim memikirkan tanda-tanda alam dan kejadian di sekitarnya. Merenung sesaat, ujar Rasulullah, lebih besar nilainya daripada amal-amal kebajikan yang dikerjakan dua jenis makhluk hidup, yaitu manusia dan jin.
Pernyataan Rasulullah itu tertulis dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Allah SWT juga menegaskan, sesungguhnya dalam penciptaan lagit dan bumi, serta silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda orang yang berakal, yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring.
Ensiklopedi Islam terbitan PT Ichtiar Baru Van Hoeve menyebutkan bahwa merenung atau memikirkan kejadian alam dan segala fenomenanya bisa menuntun Muslim mengetahui semua pertanda keberadaan pencipta. Bagi para sufi, bertafakur tak hanya dijadikan sebagai sarana untuk mengetahui keberadaan Tuhan.
Lebih dari itu, mereka menelisik nilai dan rahasia dari sesuatu yang mereka renungkan. Kemudian menyadarkan mereka bahwa objek itu diciptakan bukan dalam kesia-sian. Kalangan sufi menyimpulkan, tafakur adalah jalan yang berguna untuk memperoleh pengetahuan hakiki tentang Tuhan.
Menurut ulama besar Al-Ghazali, perenungan dimulai dari hati yang berpusat di dada, bukan dari akal yang berpusat di kepala. Hati, jelas dia, bagaikan cermin yang mampu menangkap sesuatu yang ada di luarnya. Agar mampu menjalankan fungsinya itu, hati harus bersih dari beragam dosa.
Dalam pandangan Abu al-Qasim Abdil Karim al-Qusyairi-seorang sufi, perangkat untuk meraih pengetahuan hakiki ia namakan sirr. Ada perbedaan pandang antara sufi dan orang-orang kebanyakan. Bagi orang kebanyakan, tafakur dianggap sebagai kegiatan untuk mengenal Tuhan melalui akal. Sedangkan, sufi melakukannya melalui hati.
Menurut ulama besar, Yusuf Al-Qaradhawi dalam bukunya Alquran Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, puluhan ayat Makkiyah maupun Madaniyah dalam Alquran mendorong manusia untuk berpikir. Ia mengutip pemikiran Raghib al-Ashfahani yang menyatakan, pemikiran adalah kekuatan yang berupaya menggapai ilmu pengetahuan.
Tafakur dimaknai oleh al-Ashfahani sebagai bekerjanya kekuatan itu dengan bimbingan akal. Al-Qaradhawi mengatakan, dengan kelebihan itulah manusia berbeda dengan hewan. Banyak kalangan terdahulu yang membiasakan diri bertafakur. Mereka merenungi apa yang telah mereka perbuat dan merancang perbaikan di masa depan.
Seorang laki-laki bertanya kepada Ummu Darda setelah wafatnya Abu Darda, mengenai ibadahnya. Ummu Darda berkata, "Hari-harinya diisi dengan tafakur." Tentang tafakur, Al-Fudhail mengungkapkan, itu cermin yang akan memperlihatkan pada seseorang kebaikan dan keburukannya.

sumber : www.republika.co.id

Friday, January 03, 2014

Kesederhanaan

Orang tua zaman dulu itu modalnya shalat malam, doa, shalawat, zikir, dan baca Alquran. Modalnya, benar-benar hanya Allah SWT.

Bukan seperti kebanyakan orang tua sekarang, termasuk saya, yang modalnya duit, gaji, pekerjaan, dan usaha, ketika membesarkan dan mendidik anak-anaknya. Hasilnya? Nggak amazing (luar biasa) banget.

Kebanyakan orang tua berusia muda sekarang punya anak dua, motor udah dikasih, rumah sudah ada, tapi hidupnya tetap susah. Sementara, orang tua zaman dulu, anak-anaknya banyak, tapi bisa sukses semuanya.

Nah, saya ingin bercerita tentang Hajjah Nurul Ain, atau biasa disapa dengan Bu Noni. Beliau adalah bibi saya, kakaknya ibu saya, Humrif’ah (Uum).
Bu Noni punya anak delapan. Saudara saya sekandung ada lima. Tapi, masya Allah, nggak pernah mereka mengeluh atau teriak susah. Nggak ada.

Beliau selalu berdoa, mengaji, zikir, dan shalawat. Hasilnya luar biasa, beda banget. Sepertinya, orang-orang tua sekarang harus belajar dari orang tua zaman dulu dalam mendidik anak.

Orang tua zaman dulu, termasuk Ibu Noni, dan juga ibu saya, insya Allah banyak lagi ibu-ibu yang lainnya, modalnya pasrah dan tawakkal kepada Allah.

Saya sering mengajarkan kepada diri saya, sebagai ayah yang masih berusia muda, istri saya yang juga muda, dan pasangan muda lainnya, coba deh tiru gaya, metodologi, dan cara orang-orang tua dulu dalam mendidik anak-anaknya.

Sekitar satu pekan lalu saya ke rumah beliau. Dalam usianya yang sudah lebih dari 64 tahun, Ibu Noni, ternyata masih mengajar mengaji.

Padahal, beliau bisa meminta kepada anaknya untuk menggantikannya mengajar. Tapi, tidak. Beliau tetap mengajar mengaji sendiri.
Ketika ditanya, apa alasannya terus mengajar? Beliau menjawab, “Supaya nanti anak-anaknya diajar oleh Allah SWT.” Subhanallah.
Orang-orang tua zaman sekarang, sering memberikan kemewahan kepada anak-anaknya. Dan sebaliknya, anak-anak sekarang memberikan kemewahan kepada orang tuanya untuk menunjukkan bahwa dirinya telah mampu.

Dibuatkan rumah, dibelikan barang mewah, diberangkatkan ke luar negeri, dan lain sebagainya. Bukannya bahagia, orang tuanya justru merasa tersiksa. Mereka, para orang tua itu, dulu memberikan kepada anak-anaknya sesuatu dengan cinta dan kasih sayang.

Sekarang, kita tidak memberikan kepada mereka cinta, melainkan harta kekayaan serta kemewahan. Akibatnya, bukannya kenyamanan yang dirasakan, justru kesusahan dan keterbelengguan.

Mari kita perbaiki diri agar menjadi anak yang baik, menjadi keponakan yang baik, cucu yang baik, sehingga bisa menghadiahkan kepada orang tua kita doa dan amal yang baik. Salam.
, Oleh: Ustaz Yusuf Mansur

sumber : www.republika.co.id

Thursday, January 02, 2014

Menjaga Lisan

Tidak ada kebaikan dari kebanyakan obrolan (bisikan) mereka kecuali pembicaraan orang yang menyuruh bersedekah, berbuat kebaikan, atau berdamai antarsesama. Dan barang siapa yang berbuat demikian karena mencari ridha Allah, kelak Kami memberinya pahala yang besar.” (QS 4: 114).

Menjaga lisan dari pembicaraan yang sia-sia sangat ditekankan dalam agama. Banyak ayat Alquran maupun hadis yang memerintahkan demikian. Dengan redaksi yang berbeda-beda, kedua rujukan tersebut mewanti-wanti kita agar hati-hati dalam berbicara.

Lisan menjadi kunci keselamatan sekaligus sumber malapetaka. Orang yang menjaga lisannya dengan berkata jujur, bertutur santun, serta hanya berbicara kebaikan akan selamat di dunia maupun di akhirat kelak.

Sebaliknya, lisan yang berkata kotor cenderung menyudutkan, merendahkan, menghina, apalagi memfitnah, dan mengadu domba akan mencelakakan.

Rasulullah SAW pernah bersabda, “Setiap ucapan Bani Adam membahayakan dirinya, kecuali kata-kata berupa amar makruf dan nahi mungkar serta berzikir kepada Allah.” (HR Turmuzi). Hadis ini menunjukkan rentannya penggunaan lisan oleh seseorang.

Ibarat pedang bermata dua, lisan bisa menyelamatkan sekaligus membahayakan. Dalam kamus keseharian, sering kali kita mendengar pepatah mulutmu harimaumu.

Hal serupa juga ditemukan dalam pepatah Arab yang memiliki arti keselamatan manusia tergantung pada pemeliharaan lisan. Pepatah tersebut secara substansial sejurus dengan hadis Nabi di atas. Yakni, lisan selalu menjadi awal yang menentukan nasib manusia.

Lidah tidak bertulang, begitu kata para jenaka yang diabadikan dalam sebuah lagu. Bentuknya elastis, lentur, mudah digerakkan, menjulur ke mana saja yang dikehendaki. Namun, setiap kata yang dikeluarkan punya dampak sangat besar.

Tak ada sesuatu yang lebih tajam dari kata-kata. Begitu juga belum ada yang mampu menandingi kelembutannya. Bahkan, hal ihwal paling suci, seperti Alquran dan kitab lainnya, pertama kali disalurkan lewat lisan.

Manfaat dan bahaya lisan tidak hanya berlaku bagi si empunya. Terhadap orang lain dan lingkungan sekitar juga sama. Begitu banyak orang yang hidupnya hancur akibat ocehan lisan saudaranya.

Ocehan yang berisi fitnah, tuduhan keji, atau makian sumbing tanpa dasar yang dibenarkan. Tiba-tiba dalam waktu sekejap, yang awalnya dipuji kemudian dimaki, awalnya dipuja lalu dihina, awalnya dihormat lantas dilaknat.

Tentu saja, orang yang berbuat demikian kadar keimanannya compang-camping. Nabi  bersabda, “Tidak akan lurus iman seorang hamba sebelum lurus hatinya dan tidak akan lurus hati seorang hamba sebelum lurus lisannya.” (HR Ahmad).

Bahkan, pada taraf tertentu, orang itu tidak dapat dikatakan beriman. Rasulullah bersabda, “Yang disebut Muslim adalah orang yang lisan dan perbuatan tangannya membuat orang lain aman dan selamat.” (HR Muslim).

Karena itu, sejatinya sebagai seorang Muslim, kita harus menjaga perkataan. Sebisa mungkin kita menghindar dari perkataan yang tidak perlu. Kebiasaan menggosip, melebih-lebihkan pembicaraan, dan membumbui berita dari katanya ke katanya.

Lebih tegas lagi, Rasulullah bersabda, “Bukanlah seorang mukmin orang yang kata-katanya kotor, kasar, menusuk, dan melaknat.” Jika yang dilaknat adalah perbuatan dosa, biarlah Tuhan yang melakukan-Nya.

Sebab, sebagai seorang hamba, belum tentu kita lebih suci daripada orang yang kita maki, lebih mulia daripada yang kita hina. Akhirnya, akan lebih bermakna kalau kita renungi perkataan Malik bin Anas dalam menyikapi perbuatan dosa orang lain.

Ia berkata, “Jangan memandang dosa-dosa orang seolah kamu adalah Tuhan, perhatikanlah dosa-dosamu sebagai seorang hamba. Kasihanilah mereka yang terkena musibah (cobaan) dan bersyukurlah kamu yang selamat.”
Oleh: Veri Muhlis Arifuzzaman
sumber : www.republika.co.id