-

Saturday, November 29, 2014

Nikmat Hujan

Alhamdulillah, sekarang sudah memasuki musim penghujan. Di mana-mana hujan turun. Ada yang lebat, sedang, tapi ada pula yang ringan.

Ketika hujan turun, beragam cara kita menyikapinya. Ada yang senang, gembira, dan penuh suka cita karena sudah lama hujan tak turun. Tapi banyak pula yang kesal, marah, jengkel, dan kecewa, karena merasa dirugikan akibat hujan tersebut.

Bagi yang senang dengan turunnya hujan, di antaranya adalah petani. Sebab, hujan akan menyuburkan lahannya yang tandus atau gersang. Hujan membuat tanamannya menjadi subur, sehingga penghasilannya pun akan bertambah.

Tetapi hujan yang turun secara terus menerus, terkadang juga menjadi bencana bagi petani. Hujan yang terus-menerus itu bisa menyebabkan tanamannya rusak.

Apalagi kalau sampai terjadi banjir, petani kerap mengeluh karena tanamannya menjadi puso atau gagal panen.

Seperti halnya petani yang mengeluh karena hujan yang turun secara terus-menerus, mayoritas umat manusia pun menyikapinya dengan cara yang sama.
Kesal, jengkel, marah, dan mengeluh, karena hujan telah merugikannya. Tak jarang, umpatan dan cacian terlontar dari mulutnya.

Mereka kecewa karena hujan merugikan dirinya. Para ibu pun tak kalah mengeluhnya. Jemuran tak kering, mau pergi ke mana-mana nggak bisa, nggak bisa pergi ke pasar, dan lain sebagainya.

Tukang ojek mengeluh karena hujan menyebabkan pendapatannya mungkin akan menurun. Dia tak bisa pergi mengantar penumpang, sebab penumpang lebih memilih naik angkutan umum.

Tetapi, di balik orang-orang yang mengeluh itu, banyak pula yang mensyukurinya. Sopir angkutan umum bersyukur dengan hujan yang turun, karena calon penumpang tukang ojek akan berpindah ke angkutan umum.

Tukang jual payung bersyukur karena jualan payungnya akan laris. Tukang jual jas hujan beruntung karena penjualan jas hujan akan meningkat.

Karena itu, tak semua orang merugi dengan datangnya hujan. Tak semua orang sengsara dengan hujan. Sebab, ada pihak lain yang mendapatkan manfaat dari hujan itu.

Lalu, bagaimanakah sikap kita sebagai seorang Muslim tatkala hujan turun? Sudah selayaknya kita bersyukur atas nikmat dan karunia Allah berupa hujan itu. Sebab, pada hakikatnya, tak ada satu pun ciptaan Allah SWT yang sia-sia atau tak bermanfaat.

"Yaitu orang-orang yang senantiasa mengingat Allah dengan berdiri, duduk atau sambil berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata: Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia. Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka." (QS Ali Imran [3]: 191).

Dan Rasulullah SAW mengajarkan kepada umat Islam, agar selalu berdoa di saat hujan turun. "Allahumma shabiyyan naafi'an. Ya Allah, jadikanlah hujan ini membawa manfaat."

"Dia-lah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia-lah yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia hasilkan dengan hujan itu buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kamu mengetahui." (QS al-Baqarah [2]: 22).
, Oleh: Syahruddin El-Fikri


sumber : www.republika.co.id

Thursday, November 27, 2014

Yusuf Mansur Ingatkan Umat tak Makan Daging Manusia

Kita tuh suka geram, melihat, mendengar, membaca, berita, tentang daging oplosan. Daging sapi dioplos dengan daging babi. Daging sapi dioplos dengan daging tikus. Atau daging segar dioplos dengan daging bangkai lama.

Tapi tanpa disadari, bisa jadi tiap hari ada di antara kita, bahkan juga diri kita sendiri, jika tidak awas, tidak waspada, tidak banyak ingat, yang malah 'makan daging manusia'.

Ya. Jika kita senang mencari kesalahan orang lain, mengungkap aib orang lain, menjelekkan orang lain, memfitnah, orang lain, maka itu sama saja dengan memakan daging saudaranya sendiri.

Allah bilang di dalam Surah al Hujuraat, ayat 12, ... "Fakarihtumuuh, Kalian pasti tidak akan menyukainya." Secara lengkap, terjemahan surah al Hujarat ayat 12 adalah sebagai berikut;

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sesungguhnya prasangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah suka menggunjing satu sama lain. Adakah seseorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya sendiri yang sudah mati? Tentulah kamu akan merasa jijik kepadanya dan bertakwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya, Allah maha menerima taubat lagi Maha Penyayang.

Tapi sebab karena nafsu kita, karena kekurangawasan kita, karena kekurang hati-hatian kita, kita jatuh pada ghibah dan fitnah. Akhirnya, ya walau tidak suka, tapi dianggap tetap seperti makan daging saudaranya sendiri.

Dari penjelasan ayat di atas, ada tiga hal yang bisa diambil kesimpulan. Pertama, larangan bagi sesama Muslim untuk berprasangka buruk. Kedua, Larangan bagus seorang Muslim mencari-cari kesalahan pihak lain. Dan ketiga, larangan bagi setiap Muslim untuk menggunjing satu sama lain.

Rasul betul ada pernah menyontohkan tentang bicara perihal keburukan si fulan dan si fulan, dan tidak jarang disebut nama atau identitasnya, ciri-cirinya. Tapi dimaksudkan oleh Rasul, sebagai peringatan beliau dan nasihat beliau. Agar umatnya berhati-hati, dan mencontoh serta mengambil hikmah dari perilaku dan kelakuan orang yang diceritakan Nabi.

Begitu Allah. Allah pun menyebut nama, sebut saja, Fir'aun. Bahkan Abu Lahab. Hingga Abu Lahab namanya diabadikan menjadi nama surah: Al Lahab. Dan istrinya pun, ikut disebut.

Bagaimana ini? Apa hikmahnya?

Insya Allah, tidak semua pencarian kebenaran disebut sebuah keburukan. Pemberitaan, disebut keburukan. Pengungkapan, disebut keburukan. Tapi manakala ada kejelekan hati kita yang ikut, ada kesengajaan untuk menjatuhkan, menjelekkan, apalagi jika itu adalah fitnah dan kebohongan, maka saat itulah kita disebut seperti memakan daging saudaranya sendiri.

Nampaknya, kembali kepada niat. Dan sebagai manusia biasa, sebaiknya, lebih banyak hati-hati. Jangan-jangan, saat mengungkap, nafsu turut serta. Akhirnya, kita pun jatuh kepada kebinasaan. N

Oleh Ustaz Yusuf Mansur 

sumber : www.republika.co.id

Monday, November 24, 2014

Qishasul Anbiya

Istilah qishashul anbiya adalah merujuk pada kisah para nabi dan rasul. Tatabu’ al-akhbar, kabar yang diikuti kabar. Insya Allah, hikmah edisi kali ini akan mengunjungi situs hidup dan sirah para nabi dan rasul.

Kata nabi berasal dari kata naba yang salah satu artinya adalah dari tempat yang tinggi. Karena itu orang yang di tempat tinggi semestinya punya penglihatan ke tempat yang jauh (memperhitungkan dan menebak masa depan) yang disebut nubuwwah.

Nabi adalah seorang laki-laki yang diberi wahyu oleh Allah SWT, tetapi tidak punya kewajiban untuk menyampaikannya kepada umat tertentu. Sementara, kata rasul berasal dari kata risala yang berarti penyampaian.
Karena itu, para rasul, setelah lebih dulu diangkat sebagai nabi, bertugas menyampaikan wahyu dengan kewajiban atas suatu umat atau wilayah tertentu.
Jadi, rasul adalah seorang laki-laki yang mendapat wahyu dari Allah SWT dengan suatu syari’at dan ia diperintahkan untuk menyampaikannya dan mengamalkannya.

Dalam hadits riwayat Imam at-Turmudzi disebutkan jumlah nabi ada 124.000 orang, sedangkan jumlah Rasul ada 312 orang. 

Dari Abi Zar ra, Rasulullah SAW bersabda ketika ditanya tentang jumlah para nabi, “(Jumlah para nabi itu) adalah seratus dua puluh empat ribu (124.000) nabi.”  “Lalu berapa jumlah Rasul di antara mereka?” Beliau
menjawab, “Tiga ratus dua belas (312).” [Hadits Riwayat At-Turmuzy]

Al-Qur’an menyebut beberapa orang sebagai nabi. Nabi pertama adalah Adam as. Nabi sekaligus rasul terakhir ialah Muhammad SAW yang ditugaskan untuk menyampaikan risalah Islam dan peraturan penting kepada manusia di zamannya hingga hari kiamat.

Isa as yang lahir dari gadis Maryam binti Imran juga merupakan seorang nabi dan rasul. Selain ke-25 nabi sekaligus rasul, ada juga nabi lainnya seperti dalam kisah Khidir bersama Musa yang tertulis dalam Surah Al-Kahf ayat 66-82.

Terdapat juga kisah Uzayr dan Syamuil. Juga nabi-nabi yang tertulis di Hadits dan Al-Qur’an, seperti Yusya’ bin Nun, Zulqarnain, Iys, dan Syits.

Sedangkan orang suci yang masih menjadi perdebatan sebagai seorang Nabi atau hanya wali adalah Luqman al-Hakim dalam Surah Luqman.

Para nabi dan rasul adalah manusia-manusia terbaik pilihan Allah SWT. Mereka Allah pilih sebagai penyambung antara Allah dan para hamba-Nya di muka bumi ini. Para nabi dan rasul ini juga memiliki keistimewaan tertentu.

Yang perlu kita ingat adalah, setiap Allah memuliakan para nabi dan rasul, berarti kewajiban bersyariat mereka lebih banyak atau lebih besar dari manusia biasa. Demikianlah adanya, ketika kemuliaan bertambah maka tugas dan kewajiban bersyariat semakin besar.

Sebagai contoh, seorang laki-laki secara umum tidak sama dengan wanita, maka kewajiban bersyariat untuk laki-laki lebih besar dibanding wanita (baca QS. An Nisa: 34). Wallahu A’lam., Oleh: Ustaz Abi Makki


sumber : www.republika.co.id

Friday, November 21, 2014

Menuju Kesuksesan

Setiap orang yang hidup di atas bumi menginginkan hidupnya selalu sukses. Hanya sedikit yang mampu mencapainya. Kebanyakan belum mencapai level tersebut. Jika demikian, ada satu pertanyaan besar, mengapa orang yang menginginkan kesuksesan belum kunjung juga mendapatkanya? Untuk pertanyaan ini, Nabi Muhammad SAW sudah memberikan jawabannya.

Rasulullah SAW mengatakan, “Man salaka thariqan yaltamisu fihi ilman sahhalallahu lahu thariqan ilal jannah (Barangsiapa berjalan (keluar) mencari ilmu, sesungguhnya Allah akan mempermudah baginya jalan menuju surga)." (Hadis riwayat Ibnu Majah dan Abu Dawud)

Hadis itu menguraikan, Rasulullah menyebut seseorang yang sedang berjalan untuk menuntut ilmu dengan kata “salaka”. Padahal, berjalan dalam bahasa Arab tidak hanya “salaka”, masih ada kata “masya”, “sara”, “safara”, atau “dzahaba”.

Pertanyaannya, mengapa kata “salaka” yang dipilih Nabi, bukan selainnya. Rupanya, kata-kata selain “salaka” hanya mempunyai arti utama berjalan. Perjalannya, terkadang, hanya untuk mencari kesenangan belaka. Mungkin, pembaca pernah mendengar, orang yang berjalan untuk mencari hiburan disebut dengan “tamasya”. Kata tersebut berasal dari kata “masya”.

Jika Nabi menggunakan kata ini, niscaya orang yang menuntut ilmu ini hanya akan mencari kesenangan belaka. Padahal, perjalanan mencari ilmu bukanlah untuk mencari kesenangan.

“Salaka” bermakna orang yang berjalan dengan tegap dan cepat serta dengan pandangan fokus ke tujuan yang diimpikan. Dalam hal menuntut ilmu, Nabi menginginkan agar “thalib al-ilm” benar-benar berjalan dengan tegap dan cepat, bukan berjalan dengan berleha-leha, apalagi merangkak.  Jika ia tidak fokus, ia akan berhenti di tengah perjalanan, bahkan akan kembali ke rumah-jika ada hambatan yang mengadang.

Dengan berjalan tegap dan cepat, dia sekarang berada di tengah-tengah perjalanan. Nabi mengingatkan orang ini agar perjalanannya diiringi dengan “yaltamisu”, berpegang (memegang). Dalam hal ini pula, Nabi menggunakan kata “yaltamisu”, bukan “yumsiku” atau “qabadha”.

Jika “Yumsiku” yang digunakan oleh Nabi maka orang ini hanya akan sekadar memegang. Sementara, “yaltamisu” memiliki makna memegang erat-erat atau kuat-kuat. Bak orang yang hendak hampir jatuh ke jurang, orang ini akan memegangi ranting dengan kuat. Jika tidak, pasti ia akan jatuh ke dalam jurang.

Begitu juga dengan orang yang menuntut ilmu. Ketika sudah berada di tengah-tengah perjalanan (salaka), ia juga berpegang kuat-kuat. Dalam konteks ini, dia harus memegang kuat niat yang ada di dalam jiwanya. Dia pun tidak akan berhenti di tengah jalan meski diadang seribu halangan.

Kata kunci selanjutnya dalam hadis Nabi di atas ialah “jannah” yang berarti surga. Surga merupakan gambaran dari suatu tempat yang di dalamnya penuh kenikmatan. Tiap orang yang menikmati fasilitasnya, tidak perlu lagi bekerja. Semua hal yang diinginkan sudah disediakan di dalamnya.

Surga dengan gambaran demikian baru bisa dinikmati oleh seseorang ketika sudah meninggal dunia. Lantas, apakah surga seperti itu jadi jaminan bagi penuntut ilmu? Nabi SAW sadar, penuntut ilmu hidup di atas bumi. Dia menginginkan kehidupannya mapan dan tercukupi segala kebutuhannya.

Oleh karenanya, surga (jannah) dalam hadis di atas hanya merupakan simbol. "Jannah” di atas bermakna kesuksesan. Orang yang sudah sukses, hidupnya penuh dengan kenikmatan. Segala kebutuhan hidupnya terpenuhi dengan baik.

Dengan demikian, makna dari hadis Nabi di atas ialah, “Barang siapa yang mengadakan perjalanan dengan sungguh-sungguh untuk mencari ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan untuk menuju kesuksesan.” Inilah jaminan kepada siapa saja yang sudah berilmu, hidupnya akan sukses. Tidaklah mungkin orang tersebut akan sengsara. Wallahu A’lam.


Oleh: Nurul Hakim

sumber : www.republika.co.id

Monday, November 17, 2014

Pintu Surga

Surga dengan segala keindahan dan keelokannya memiliki banyak pintu masuk. Masing-masing pintu mempunyai nama-nama sendiri sesuai karakter yang akan memasukinya.
Seperti Sabda Rasulullah SAW, "Siapa yang selalu mendirikan shalat akan dipanggil dari pintu shalat. Siapa yang ikut berjihad, ia akan di panggil dari pintu jihad. Dan, barang siapa yang selalu melaksanakan puasa akan dipanggil dari pintu yang memancarkan air yang segar (Ar-Rayyan). Dan, barang siapa yang selalu memberikan sedekah akan di panggil dari pintu sedekah." (HR Bukhari).

Mendengar hadis ini, seorang sahabat paling dekat dengan Rasulullah, Abu Bakar RA, bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah bisa seseorang dipanggil dari semua pintu surga tadi?" ujarnya.

Rasulullah SAW bersabda, "Ya (bisa). Aku sangat berharap bahwa engkaulah yang termasuk seorang di antara mereka yang dipanggil dari semua pintu surga itu." (HR Bukhari).

Jika seseorang ingin masuk surga, setidaknya ia harus mengetahui dari pintu mana ia masuk. Artinya, ada amal andalan yang bisa mengantarkannya ke surga. Amal tersebut ibarat tiket yang ia pergunakan untuk melewati pintu surga. Tentu saja, jika seseorang tidak mempunyai tiket, ia tak akan diperkenankan masuk.

Misalkan, dengan berpuasa. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "Sesungguhnya di surga ada pintu yang dinamakan Ar-Rayyan. Orang-orang yang berpuasa pada hari kiamat masuk dari pintu itu. Tidak dibolehkan seorang pun memasukinya selain meraka. Pintu itu mengimbau, 'Di mana orang-orang yang berpuasa?' Orang yang berpuasa pun bangkit. Tidak ada seorang pun yang masuk (pintu itu) kecuali dari mereka. Ketika mereka telah masuk, (pintunya) ditutup dan tak ada seorang pun yang bisa masuk lagi." (HR Bukhari Muslim).

Hanya mereka yang merutinkan puasa saja yang mempunyai harapan masuk dari pintu Ar-Rayyan ini. Siapa yang ingin masuk dari pintu ini maka seyogianya harus merutinkan dirinya dengan puasa-puasa sunah, seperti puasa sunah Senin-Kamis, puasa Asyura, puasa ayyamul bidh (puasa tengah bulan Hijriyah), dan puasa sunah lainnya. Di samping itu, ia juga harus menjaga puasa-puasa wajib.

Lantas, bagaimana nasibnya dengan orang-orang yang tidak mempunyai amal andalan? Berpuasa sering malas, shalat sering lalai, berjihad tidak ikut, beribadah sering enggan, berdakwah tidak mau. Lalu, mereka berangan-angan pula hendak masuk surga? Tentulah angan-angan mereka hanya sia-sia belaka.

Surga itu mahal, mustahil untuk didapatkan dengan angan-angan. Hanya orang-orang yang berkerja keras dengan harta dan dirinya, bersusah-payah beribadah, serta bersabar dengan ujian-ujian, merekalah yang pantas mendapatkan surga. Surga tak didapatkan dengan bersenang-senang dan gelak tawa. Terkadang, untuk mendapatkan tempat yang sangat mahal di akhirat itu, seseorang harus menanggung kelaparan, ketakutan, keletihan, serta sering berurai air mata. Merekalah yang pada akhirnya sampai ke dalam surga.

Adapun orang yang hanya bersenang-senang dengan duniawinya, tak mau direpotkan dengan urusan akhirat, enggan beribadah, dan tak mau mengisi ruhiahnya dengan agama. Ketika di akhirat, mereka selalu ditolak ketika hendak memasuki surga. Penjaga pintu surga tak mengizinkannya masuk karena ia tak termasuk dalam daftar peserta yang masuk ke pintu tersebut. Akhirnya, ketika seluruhnya telah masuk ke dalam surga, pintu surga pun tertutup. Tinggallah ia di luar meratapi nasib. Akhirnya, ia pun dimasukkan ke ruang tunggu, yakni neraka.

Ia dibersihkan dulu dari dosa-dosa yang memberatkannya. Sampai kapan? tidak ada riwayat pasti yang mengatakan berapa lama seseorang harus menunggu di 'ruang tunggu' bernama neraka itu. Ia disiksa sesuai dengan perangai buruknya selama di dunia. Sekejap saja seseorang dicelupkan ke dalam neraka, ia sudah babak belur seakan disiksa ribuan tahun lamanya. Apalagi, harus menanggung penyiksaan yang entah sampai kapan akan berakhir.

Bersyukurlah mereka yang mempunyai banyak amal andalan. Ketika ia sampai di pintu surga, para penjaga pintu berebut agar ia masuk di pintu mereka. Penjaga pintu Ar-Rayyan mempersilakannya, penjaga pintu shalat mengimbaunya, dan penjaga pintu jihad pun mengundangnya. Seperti Abu Bakar RA yang didoakan Nabi SAW bisa memasuki pintu mana saja yang ia kehendaki. Alangkah mulianya orang ini.
Oleh: Hanan Putra


sumber : www.republika.co.id

Sunday, November 16, 2014

Menghadapi Rintangan

Ketika kita hendak mewujudkan kebahagiaan dalam perjalanan hidup ini, kita pasti akan menghadapi halangan, rintangan, dan tantangan. Setiap kali kita meragukan kemampuan diri sendiri dalam memperoleh kebahagiaan, sebaiknya kita merenungkan berbagai halangan, keterbatasan, dan rintangan yang dihadapi orang lain. 

Bukankah halangan, keterbatasan, dan rintangan adalah anugerah tersendiri jika kita memandangnya demikian dan menggunakannya sebagai pendorong agar kita melakukan segalanya dengan lebih baik dan lebih ikhlas?

Sebagai contoh, Nabi Musa AS muncul pada zaman penjajahan Firaun atas bangsa Israel. Nabi Isa AS diutus untuk menyelamatkan Bani Israil dari kerusakan moral. Nabi Muhammad lahir ke dunia pada zaman jahiliyah.

As-Sarakhi menulis bukunya yang monumental, al-Mabsuth, yang mencapai belasan jilid ketika dia disekap dalam penjara bawah tanah. Sayyid Quthub menyelesaikan tafsirnya yang fenomenal, Fi Zilalil Quran, dalam penjara. Thoha Husein kehilangan daya penglihatannya, dan dengan kondisi demikian ia mulai menulis makalah dan buku-bukunya yang terkenal.

Hellen Keller tidak membiarkan kebutaan dan ketulian menghalanginya untuk menolong mereka yang kurang beruntung dibandingkan dirinya. Dan dia melakukannya sepanjang hayatnya. Isac Newton pernah ditertawai teman-temannya karena salah dalam berhitung. Thomas Alva Edison pernah dikeluarkan dari sekolah.

George Washington dan Thomas Jefferson muncul dari Revolusi Amerika. Mahatma Gandhi muncul dari perjuangan kemerdekaan bangsa India atas Inggris. Bung Karno dan Mohamad Hatta muncul dari perjuangan dan penderitaan bangsa Indonesia atas penjajahan Belanda.  Tentu masih banyak lagi orang-orang besar yang namanya menghiasi sejarah umat manusia, yang telah berjuang mengatasi setiap kesulitan dan badai kehidupan yang besar sebelum akhirnya mereka berhasil muncul menjadi pemenang.

Dan tentu deretan nama-nama orang-orang hebat ini akan terus bertambah selama kehidupan anak manusia terus berlangsung. Setiap orang yang ingin meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat pasti akan menghadapi ujian, rintangan, tantangan, dan hambatan.

Sebagaimana Allah SWT berfirman, “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta diguncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehing¬ga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: ‘Bilakah datangnya pertolongan Allah? Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (QS al-Baqarah [Sapi Betina] [2]: 214).

Karena itu,penting bagi kita untuk berupaya terus-menerus berusaha mewujudkan kebahagiaan baik bagi diri sendiri, keluarga, dan masyarakat luas.

Oleh: Muslimin




sumber : www.republika.co.id

Friday, November 14, 2014

Malu Kepada Allah

Suatu ketika, Rasulullah SAW mewanti-wanti agar umatnya mampu mengekspresikan rasa malu kepada Allah SWT dengan sebenarnya. ''Istahyû minallâhi haqqalhayâi (Malulah kalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya malu),'' sabda Rasulullah. Mendengar Rasulullah bersabda, kemudian sahabat berkata, ''Yâ nabiyallâhu innâ lanastahyî wal hamdulillâh (Wahai Nabi Allah, sungguh kami telah merasa malu).''

Kemudian, Rasulullah bersabda, "Laisa dzâka, walakinal istihyâ'a minallâhi haqqalhayâi antahfadharra'sa wamâ wa'â wa tahfadhalbathna wamâ hawâ watatadzakkaralmauta walbilâ. Faman fa'ala dzâlika faqadistahyâ minallâhi haqqalhayâi (Bukan itu yang aku maksud! Akan tetapi, malu kepada Allah yang sebenarnya itu, kamu menjaga kepala dengan segala yang dikandungnya, menjaga perut dengan segala isinya, dan senantiasa mengingat maut dengan segala siksanya. Barang siapa melakukan semua itu, ia telah merasa malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya).''

Perasaan malu ialah salah satu benteng yang sangat efektif untuk menghindarkan kita dari segala bentuk perilaku buruk. Kita tidak akan berkata kotor, kasar, dan cabul karena kita merasa malu. Kita tidak akan membuang sampah sembarangan karena kita merasa malu. Kita menutupi aurat karena merasa malu. Sebagai insan berakal, ketika kita berselisih dengan sesama, menyelesaikannya menggunakan logika dan akal sehat, tidak dengan cara-cara fisik karena kita merasa malu.

Sementara, makna dari matan hadis ''menjaga kepala dengan segala isi yang dikandungnya" adalah menjaganya dari kebiasaan berpikir buruk (negative thinking), menjaganya dari pengetahuan atau informasi palsu, dan kritis terhadap pengetahuan atau informasi yang diterima. Dari siapa pun pengetahuan atau informasi itu datang, harus diolah secara kritis, sehingga yang tersimpan hanyalah pengetahuan yang bersih, benar, dan ilmu yang mencerahkan, bukan pengetahuan sesat dan menyesatkan.

Adapun, makna dari matan hadis "menjaga perut dengan segala isinya", yakni menjaga perut dari makanan haram yang sudah jelas terlarang, baik zat atau cara memperolehnya, dan menjaganya agar tidak diisi secara berlebihan, sekalipun oleh makanan yang halal.

Kemudian, makna dari matan hadis "senantiasa mengingat maut dengan segala siksanya", yakni dengan kondisi kehidupan yang pragmatis, materialis, hedonis, dan konsumerisme menyebabkan manusia sangat gandrung dengan kesenangan dunia, seolah lupa pada kematian. Padahal, Allah SWT berfirman, "Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkanmu kendati kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh." (QS an-Nisa [4]: 78).

Gandrung terhadap kemewahan duniawi tidak boleh memalingkan kita untuk selalu ingat pada kematian dan memperbanyak bekal untuk kehidupan akhirat. Dengan rasa malu kepada Allah, insya Allah, kita akan mendapatkan kebahagiaan hakiki di akhirat.

Islam mengajarkan bahwa rasa malu merupakan bagian dari iman. Sabda Nabi SAW, al-hayâu' min al-îmân, bahwa perasaan malu adalah sebagian dari iman. Malah, dalam hadis lain, Rasulullah menegaskan, iman dan rasa malu merupakan sesuatu yang tak terpisahkan. Al-îmanu wa al- hayâu' quranâu' jamî'an, faidzâ rufi'a ahaduhuma rufi'a al-âkharu (Iman dan rasa malu senantiasa bersama, apabila salah satunya hilang maka hilanglah yang lainnya). (HR Hakim dan Thabrani). Ini artinya, ekspresi malu dalam keseharian itu merupakan cermin kualitas keimanan kita.

Di dalam aktivitas keseharian, ekspresi rasa malu ditujukan kepada sesama manusia dan Allah. Dari dua ekspresi rasa malu ini, tentu saja nilai ekspresi rasa malu tertinggi adalah ekspresi rasa malu kepada Allah. Ekspresi rasa malu kepada-Nya membuat ekspresi rasa malu kita, kepada sesama menjadi bermakna. Bagaimanapun besarnya ekspresi rasa malu kepada sesama, jika tidak dibarengi dengan ekspresi rasa malu kepada-Nya,  ekspresi itu tidak memiliki arti apa-apa di hadapan Allah. Wallâhu a'lam.

Oleh: Ahmad Sarbini   


, 

sumber : www.republika.co.id

Wednesday, November 12, 2014

Jihad Mendamaikan

Berbagai tuduhan negatif tengah menimpa umat Islam di berbagai belahan dunia. Islam dituding sebagai agama yang melegitimasi kekerasan. Penyebabnya, segelintir umat memaknai jihad sebagai perang, peperangan, dan militansi.

Pemahaman atas kata jihad yang salah telah menutupi riak keagungan Rahmatan lil alamin yang dikandung Islam. Ajaran perdamaian di dalam Islam pun terkikis.

Ashgar Ali Engineer dalam buku bertajuk On Developing Theology of Peace in Islam (Alinea, 2004: 7-8) mengatakan, stereotipe Barat terhadap Islam selalu mengarah pada kecurigaan bahwa Islam pencetak fanatisme, radikalisme, teror, dan kekerasan. Sebagian orang dalam memaknai terminologi jihad dalam Alquran, dengan pemaknaan jihad sebagai perang fisik pada konteks kekinian, katanya, tidak sesuai dengan semangat zaman.

Ketika jihad dimaknai sebagai kekerasan, secara sosiologis akan menutupi keagungan Islam sebagai agama yang penuh perdamaian. Jihad berasal dari akar kata jahada yang bermakna menggunakan kemampuan, usaha, dan upaya sungguh-sungguh. Hampir sama dengan makna dari kata juhud yang berarti kemampuan, kekuasaan, kekuatan, usaha keras, motivasi kuat, dan kerja sungguh-sungguh.

Karena itu, makna jihad sesungguhnya ialah segala usaha keras guna menerjemahkan secara kreatif dan sungguh-sungguh ajaran Islam untuk mengaplikasikannya di dalam situasi baru. Jadi, jihad ialah suatu wujud usaha keras melakukan kontekstualisasi ajaran Islam dengan semangat zaman hanya untuk kepentingan di jalan Allah (fi sabilillah).

Dalam Alquran, kita akan menemukan penyebutan “perang” dengan kata qatilu, qaatil, qiital, dan lain-lain. Tidak dengan menggunakan kata jihad untuk merujuk perang. Kendati ada kata “perang” dalam Alquran, peperangan yang diperbolehkan Islam harus menjunjung tinggi aturan sosial yang berlaku dan mesti dilakukan dalam rangka mempertahankan diri (defensif) ketimbang menyerang (ofensif).

Ketika dalam kondisi sedang berperang, seorang Muslim wajib melakukan perdamaian ketika musuh meminta damai. Nabi Muhammad SAW malahan selalu memilih berdamai dengan musuh ketika mereka meminta perdamaian melalui perjanjian untuk menciptakan iklim kondusif. Alquran menjelaskan, “Dan jika mereka condong kepada perdamaian maka condonglah kepadanya dan bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya, Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS al-Anfal [8]:61).

Perdamaian merupakan tujuan utama diturunkannya Alquran ke muka bumi. Sebagai way of life, Alquran mengandung nilai-nilai etika sosial yang bersifat universal yang bakal menciptakan perdamaian kalau diperjuangkan sungguh-sungguh. Alquran juga menginformasikan kepada umat Islam bahwa sesama manusia harus saling mencintai dan mengasihi (QS 60:7), berbuat baik dan adil kepada musuh (QS 60:8); hal ini mengindikasikan, kehidupan harus dipenuhi dengan perdamaian.

Karena itu, kita sejatinya memahami Islam sebagai agama yang mengajarkan pentingnya menebarkan perdamaian di muka bumi dengan berusaha menciptakan iklim inklusif, toleran, nyaman, tentram, dan aman di medan sosial. Wallahua'lam bish shawab.


Oleh: Dadang Kahmad
sumber : www.republika.co.id

Monday, November 10, 2014

Manfaat Kebaikan sebagai Obat Kesulitan

Manfaat kebaikan itu tidak hanya untuk pengamalnya, tapi juga untuk manusia dan alam ini. Sekecil apa pun kebaikan, dampaknya sangat besar bagi kehidupan. Bagi pengamalnya, kebaikan akan menjadi obat bagi setiap kesulitan yang dihadapinya.

Seperti kisah yang masyhur tentang tiga orang pemuda dalam satu perjalanan, beristirahatlah mereka di dalam sebuah gua. Tiba-tiba pintu gua tertutup oleh sebuah batu besar. Mereka mencoba menyingkirkan batu tersebut, namun tetap tidak bisa.

Mereka berusaha dengan berbagai cara untuk keluar dari gua tersebut, namun selalu gagal. Mereka pun memohon kepada Allah SWT karena hanya Dia yang dapat melepaskan kesusahan tersebut. Lalu, setiap pemuda tersebut mengadu dengan amal kebaikan yang telah mereka perbuat.

Pemuda pertama berdoa, “Ya Allah, aku pernah berbuat amal soleh terhadap kedua ibu bapakku. Suatu hari aku pulang dari bekerja dan merasa sangat lapar. Aku kira ibuku sudah memasak nasi, namun rupanya ia belum memasak nasi karena kehabisan beras.''

''Aku kemudian keluar untuk membeli beras. Setelah kembali, aku lihat ibuku sudah tertidur. Aku tak berani membangunkannya walaupun aku sangat lapar sehingga ia bangun sendiri.''

''Ya Allah, jika ini merupakan amal kebaikan yang ikhlas terhadap ibuku dan mendapatkan keridhaan-Mu, tolonglah kami untuk keluar dari sini.” Dengan karunia Allah, tiba-tiba pintu itu terbuka sedikit. Namun, mereka masih belum bisa keluar dari gua tersebut.

Giliran pemuda kedua berdoa, “Ya Allah, aku juga memiliki amal soleh. Aku memiliki perusahaan dan memiliki pekerja yang banyak. Setiap pekerja dibayar gaji tepat pada waktunya. Pada suatu hari seorang pekerja tidak datang untuk mengambil gaji bulanannya sehingga beberapa bulan lamanya.''

''Uang gajinya tersebut aku gunakan untuk membeli barang-barang dagangan sebagai modal sehingga aku untung 10 kali lipat. Beberapa bulan kemudian, pekerja itu datang kembali. Lalu aku menyerahkan semua gajinya, termasuk keuntungan 10 kali lipat yang aku dapatkan.''
''Ya Allah, sekiranya ini merupakan amal yang mendapat keridhaan-Mu, tolonglah kami dalam kesusahan ini.” Setelah berdoa, tiba-tiba pintu bergerak sedikit namun mereka masih belum bisa keluar.''

Akhirnya, sampai pada giliran pemuda yang ketiga. “Ya Allah. Aku sebenarnya tak memiliki suatu amalan yang dianggap penting. Sepanjang ingatanku, hanya sekali aku berbuat baik karena malu kepada Engkau, ya Allah. Aku ditugaskan membagi-bagikan makanan kepada orang-orang yang miskin.''

''Sewaktu aku bekerja, aku melihat seorang gadis cantik yang juga meminta bagiannya. Setelah semua orang pulang, aku pun memanggil gadis itu dan menyatakan niat jahatku kepadanya. Gadis itu menangis seraya berkata ia rela mati kelaparan daripada melakukan dosa perbuatan terkutuk itu.''

''Aku menjadi serba salah dan datang penyesalan hingga tak terhingga. Aku malu dan insyaf atas kesalahanku. Ya Allah, sekiranya penyesalan dan tobat ini Engkau terima, tolonglah kami dari kesusahan ini.” Tiba-tiba pintu gua itu terbuka lebar dan mereka pun keluar dengan selamat.''

Misalnya, memungut sampah atau duri yang ada di jalan? Kesannya kecil. Padahal, Baginda Rasulullah SAW menyebutnya sebagai bagian dari iman, bahkan dapat membuka pintu surga.

Abu Hurairah meriwayatkan, “Ada seorang laki-laki yang melewati ranting berduri di tengah jalan. Ia mengatakan, “Demi Allah aku akan menyingkirkan duri ini dari kaum Muslimin sehingga mereka tidak akan terganggu. Maka Allah pun memasukKannya ke surga.

Janganlah pernah menganggap remeh sebuah kebaikan. Karena boleh jadi bagi kita kecil tetapi jika didasari keikhlasan, amal kecil itu justru timbangannya berat bagi Allah. Wallahu’alam, Oleh: Iu Rusliana
sumber : www.republika.co.id

Friday, November 07, 2014

Terima Kasih Allah

Selalu mengeluhkan kemalangan akan berdampak buruk bagi pertumbuhan spiritual kita. Bukankah kita sering merasakan semakin sering kita mengeluh, semakin dalam kita terbenam dalam kemalangan.

Oleh karenanya, sebaiknya kita berterima kasih kepada Allah atas semua nikmat yang kita terima, baik besar maupun kecil, dan mensyukurinya setiap detak jantung dan embusan napas kita.
Insya Allah, kebahagiaan akan terus bertambah jika kita selalu mengingat dan mengapresiasi nikmat-nikmat yang kita terima.

Sebagaimana Allah mengingatkan, “Jika kamu bersyukur pasti Kutambah nikmat-Ku kepadamu; sebaliknya jika kamu mengingkari nikmat itu, tentu siksaanku lebih dahsyat.” (QS Ibrahim [14] : 7)

Berterima kasihlah kepada Allah apabila kita mendapat banyak anugerah kenikmatan dan berterima kasihlah pula apabila kita hanya memperoleh sedikit. Bukankah kehidupan ini menawarkan berbagai macam keindahan dan kebahagiaan setiap saat.

Kita dapat menyaksikan kelucuan ikan-ikan menawan dapat muncul dari dalam air ke permukaan. Pohon-pohon tumbuh subur, semakin hari semakin rindang yang memberikan perlindungan kepada orang-orang yang berteduh di bawahnya.

Beraneka jenis bunga indah berwarna cemerlang dapat muncul dari dalam tanah. Burung-burung bernyanyi riang sepanjang pagi dan sore hari.

Maha Suci Allah yang memberikan kenikmatan tak terhitung jumlahnya kepada kita semua, dengan kasih sayangnya yang tak pernah berhenti walau sedetik pun. Kenyataan sederhana, tetapi sarat makna.

Itulah juga yang menyadarkan Sa’di, penyair besar yang pernah kehilangan sepatunya di Masjid Damaskus. Ketika sedang bersungut-sungut meledakkan kejengkelannya, ia melihat seorang penceramah yang berbicara dengan senyum ceria.

Tampak dalam perhatiannya, penceramah itu patah kedua kakinya. Sa’di berguman dalam hatinya,  “Mengapa aku harus terus berkeluh kesah, padahal penceramah ini patah kedua kakinya, tetapi ia terlihat sangat riang gembira.”
Tiba-tiba Sa’di tersadar dari kekeliruannya dalam melihat kemalangan. Segala kejengkelannya memudar. Ia sedih kehilangan sepatu, padahal di sini ada orang yang tertawa riang meskipun kedua kakinya sedang dibalut perban.

Kisah Sa’di di atas mengingatkan kita, terkadang kita mudah melihat datangnya kemalangan, tetapi hampir tidak menyadari adanya kenikmatan. Baru setelah kehilangan nikmat itu, kita menjadi benar-benar menyadarinya.

Islam mengajarkan, dua kenikmatan yang biasanya tak dirasakan kehadirannya sampai kita kehilangan keduanya, yaitu kesehatan dan keselamatan. Kita terlalu memperhatikan kemalangan yang menimpa kita mungkin karena kemalangan itu dapat mengancam kesejahteraan kita.

Tentu tidak seorang pun dapat menghindar dari semua kesulitan dalam hidup, tetapi janganlah berputus asa. Berusahalah mencari secercah harapan dalam semua kesulitan dan berterima kasihlah atas semua nikmat yang kita dapatkan.

Cobalah untuk selalu berterima kasih kepada Allah ketika menghadapi tantangan dan masalah dalam hidup karena kita pasti akan menemui tantangan dan masalah itu. Seperti semua orang, kita juga akan menemui kesulitan yang harus kita lewati.

Namun, kesulitan itu tidak akan berlangsung selamanya dan Allah tidak akan meninggalkan kita dalam lorong gelap tanpa cahaya.
Berusahalah untuk terus menjadi hamba yang selalu berterima kasih kepada Allah. Tentu kita akan memperoleh hasil terbaik dari pengembangaan sikap berterima kasih kita kepada Allah.
, Oleh: Muslimin


sumber : www.republika.co.id

Wednesday, November 05, 2014

Benar-Benar Tepercaya

Sosoknya kurus, tinggi. Dari perawakannya, sulit menemukan darinya tanda-tanda selain tawadu, jujur, dan pemalu. Lelaki ini yang kelak akan memikul sebuah julukan dari Rasulullah SAW yang tidak diberikan kepada sahabat lain.

Suatu ketika, datang rombongan Nasrani dari Najran menemui Rasulullah SAW. "Ya Muhammad, berikanlah kepada kami utusanmu untuk menyelesaikan permasalahan kaum kami. Sungguh kami ridha dengan kalian kaum Muslimin," ujar utusan tersebut. Nabi Muhammad SAW pun menyanggupi permintaan tamunya tersebut seraya bersabda, "Besok aku akan mengutus seseorang bersama kalian orang yang benar-benar terpercaya, benar-benar terpercaya, benar-benar terpercaya."

Keesokan harinya, tiada yang lebih ditunggu seluruh sahabat pada saat itu selain berharap dirinyalah yang akan diutus Nabi SAW ke Najran. Bagaimana tidak, Nabi menyebut sifat utusannya dengan tiga kali "benar-benar terpercaya". Pastilah sosok tersebut adalah seorang yang sangat dipercaya Nabi. Betapa beruntungnya sahabat tersebut.

"Dan aku," kata Umar bin Khattab RA, "benar-benar mengharap agar aku ditunjuk Rasulullah SAW untuk menduduki jabatan itu. Aku sengaja mengangkat kepalaku agar beliau bisa melihatku dan mengutusku ke Najran." Nabi SAW masih mencari seseorang dan ketika melihat satu sosok tawadhu ini, beliau bersabda, "Wahai Abu Ubaidah, pergilah engkau bersama dengan penduduk Najran. Jalankan hukum dengan kebenaran."

Itulah sosok Abu Ubaidah bin Jarrah RA. Rasulullah SAW tentang sosok Abu Ubaidah pernah bersabda, " Setiap umat memiliki orang kepercayaan. Dan orang kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah."

Betapa sosok Abu Ubaidah sangat memegang teguh amanah yang dipercayakan kepadanya. Saat menjadi gubernur Syam, wilayahnya terserang wabah penyakin menular (thaun). Banyak korban berjatuhan akibat keganasan penyakit itu. Khalifah Umar yang sangat mencintai Abu Ubaidah ingin agar sahabatnya itu pergi meninggalkan Syam. Umar pun menulis surat ke Abu Ubaidah, "Ada hal yang penting yang ingin aku bicarakan. Jika kau menerima surat ini pada malam hari, temuilah aku sebelum subuh. Jika menerima surat ini siang, temuilah aku sebelum malam."

Abu Ubaidah yang menerima surat tersebut sudah paham niat Umar memintanya pergi dari daerah Syam. Ia pun membalas, "Ya, Amirul Mu’minin! Saya mengerti maksud Khalifah memanggil saya. Saya berada di tengah-tengah tentara Muslimin, sedang bertugas memimpin mereka. Saya tidak ingin meninggalkan mereka dalam bahaya yang mengancam hanya untuk menyelamatkan diri sendiri."

Itulah amanah yang dipegang erat-erat Abu Ubaidah. Ia tidak rela meninggalkan warga yang dipimpinnya untuk menyelamatkan diri. Meski harus mengorbankan nyawa, ia setia bersama warga dan melayani mereka yang terserang penyakit.

Oleh: Hafidz Muftisany


sumber : www.republika.co.id