-

Saturday, November 30, 2013

Sumber Kesulitan

Tidak sedikit orang bersedih dan berputus asa ketika dilanda kesulitan dalam hidupnya. Padahal, bersama setiap kesulitan itu pasti akan datang kemudahan (QS Asy-Syarh [94]: 6). Percayalah.

Supaya terhindar dari segala bentuk kesulitan hidup, baik di dunia maupun akhirat, seseorang harus menjauhi hal-hal yang menjadi sumber datangnya kesulitan. Pertama, berpaling dari peringatan Allah SWT.

Barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, sesungguhnya baginya penghidupan sempit dan kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadan buta.”  (QS Thaha [20]: 124).

Kedua, durhaka kepada orang tua. Rasulullah SAW bersabda, “Semua dosa akan ditunda hukumannya menurut kehendak-Nya sampai hari kiamat nanti, kecuali hukuman terhadap perbuatan zina dan durhaka kepada kedua orang tua atau memutuskan silaturahim, sesungguhnya Allah akan memperlihatkan kepada pelakunya di dunia sebelum datang kematian.” (HR Bukhari).

Ketiga, bermuamalah dengan riba. Allah berfirman, “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (QS al-Baqarah [2]: 275).

Keempat, bersifat bakhil. Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang diberikan oleh Allah harta kepadanya, kemudian ia tidak mengeluarkan zakatnya, ia akan berwujud ular sangat besar yang akan menariknya dengan dua tulang rahangnya yang lebar, kemudian ia berkata, ‘Saya adalah harta simpananmu.’ Kemudian, Nabi membacakan ayat ‘Sayuthawwaquuna Maa Bakhiluu Bihi Yaumal Qiyaamati’ sampai akhir ayat.” (HR Muttafaq ‘alaih).

Kelima, kebiasaan menggunjing. Rasulullah SAW bersabda, “Ketika aku mi’raj ke langit, aku melewati suatu kaum yang mencakar-cakar wajah dan dada mereka dengan kuku yang terbuat dari timah. Kemudian, aku bertanya, ‘Siapakah mereka itu, wahai Jibril?’ Ia menjawab, ‘Mereka adalah orang-orang yang memakan daging manusia dan senang menggunjing kehormatan mereka.’” (HR Abu Dawud).

Keenam, menyakiti tetangga. Rasulullah bersabda, “Demi Allah, tidaklah beriman. Demi Allah, tidaklah beriman. Demi Allah, tidaklah beriman.” Para sahabat bertanya, “Siapa, ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Orang yang tetangganya merasa tidak aman dari kejahatannya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Dalam hadis yang lain, “Sungguh, tidak akan masuk surga orang yang tetangganya merasa tidak aman dari kejahatannya.” (HR Muslim).

Ketujuh, menyebut-nyebut pemberian. Dari Abu Dzar bahwa Rasulullah bersabda, “Tiga hal yang menyebabkan Allah tidak akan berbicara dengannya dan tidak akan melihatnya pada hari kiamat dan mereka akan mendapatkan siksa yang pedih. Kemudian, ia berkata, ‘Rasulullah SAW mengulanginya sebanyak tiga kali.’ Abu Dzar berkata, ‘Mereka sungguh kecewa dan merugi, wahai Rasulullah?’ Beliau bersabda, ‘Mereka adalah orang yang memanjangkan pakaiannya, yang menyebut-nyebut pemberian, dan yang menggunakan hartanya dari sumpah dusta.’” (HR Muslim). Semoga Allah menjauhkan kita dari berbagai hal yang dapat mendatangkan kesulitan hidup. Amin.
, Oleh: Imam Nur Suharno
sumber : www.republika.co.id

Thursday, November 28, 2013

Hati yang Santun


"Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah  telah menjadi teman yang sangat setia." (QS Fushshilat [41]: 34)

Pada suatu malam khalifah Umar bin Abdul Aziz melakukan ronda di kawasan Damaskus. Ia ditemani seorang polisi. Keduanya masuk sebuah masjid yang kebetulan lampunya padam. Kondisi masjid itu gelap gulita.

Tak disangka sang khalifah mendapati seseorang sedang tidur di dalamnya. Orang yang tidur itu terbangun dan berkata kepada Umar: "Apakah engkau itu gila?" "Tidak, saya tidak gila," jawab khalifah.

Polisi  yang mengawal sang khalifah sempat tersinggung atas upacan tidak sopan itu. Ia bermaksud memukulnya, tapi dicegah oleh khalifah. "Jangan kau pukul dia. Dia cuma bertanya: "Apakah kamu gila? dan sudah saya jawab: tidak".

Sebagai Amirul Mukminin, saya sama sekali tidak merasa dihina atau dilecehkan. "Engkau jangan mudah marah, mungkin dia bertanya begitu karena belum sepenuhnya sadar. Dan boleh jadi kedatangan kita mengganggu tidurnya," nasehat Umar kepada polisi.

Kisah unik tersebut memberi pesan moral kepada kita bahwa berhati dan bersikap santun, tidak mudah emosi, dan mampu membawakan diri dalam berbagai situasi merupakan kunci kedamaian sosial.
Sebab emosi yang tidak terkendali hanya akan membawa kericuhan, pertengkaran, ketidak-harmonisan dalam bermasyarakat.

Kesantunan (al-hilm) dalam bersikap dan berperilaku dapat mengantarkan kita kepada persahabatan yang sejati. Hati yang santun tidak hanya dapat meredam permusuhan, dan mengalahkan nafsu amarah yang diprovokasi oleh setan, juga dapat mencerdaskan emosi dan tidak mudah menyakiti hati orang lain sehingga membuatnya mudah bergaul, beradaptasi, dan bermasyarakat secara empati dan baik hati.

Muslim yang berhati santun pasti tidak mudah marah dan meluapkan emosi tanpa pengendalian diri. Nabi Muhammad SAW adalah figur berhati santun yang patut diteladani. 

Beliau pernah dilempari kotoran setiap kali melewati rumah seorang Yahudi, tetapi beliau tidak balas dendam dan sakit hati. Pada kali yang keempat lewat di depan rumahnya, beliau justeru merasa heran, kenapa orang yang biasa melemparinya dengan kotoran busuk itu tidak mengulangi lagi perbuatannya.

Setelah diselidiki, ternyata orang Yahudi itu sakit. Beliau malah merespon positif dengan mendatangi rumahnya untuk menjenguk dan mendoakan kesembuhan baginya.

Melihat perlakuan Nabi SAW yang luar biasa santun dan murah hati seperti itu, si Yahudi itu malu hati dan sempat menduga kedatangannya untuk membalas dendam.
Sesampai di rumahnya, beliau ternyata memberi senyum ramah kepadanya sembari menanyakan sakitnya sekaligus mendoakannya agar segera sembuh dan pulih seperti sedia kala.

Ia kemudian meminta maaf kepada beliau. "Sungguh engkau adalah orang yang sangat berhati mulia, santun, dan pemaaf. Engkau tidak menaruh dendam sedikit pun kapadaku, padahal aku telah menyakiti hatimu. Agama yang membuatmu berhati santun dan pemaaf itu pastilah agama yang benar dan sesuai dengan fitrah manusia," tutur Yahudi itu kepada beliau. Akhirnya, orang Yahudi itu pun masuk Islam.

Sungguh indah hati yang santun itu, karena hanya akan melahirkan kata-kata, sikap, dan perbuatan yang santun pula.
Begitulah dahulu Nabi SAW berdakwah dengan kesantunan hati, sehingga  orang Yahudi yang sangat keras permusuhannya terhadap orang-orang  beriman (QS Al-Maidah [5]: 82) itu pun mengakui kemuliaan dan keluhuran moralitas Islam yang diteladankan Nabi SAW.

Dari hati yang santun seperti itulah, Islam sebagai rahmat bagi semesta raya dapat diwujudkan dalam kehidupan kita yang semakin hari semakin gersang dari kesantunan hati. Semoga! Wallahu a'lam bish Shawab.
, Oleh Muhbib Abdul Wahab
sumber : www.republika.co.id

Wednesday, November 27, 2013

Keutamaan Hidup Ikhlas

 Hidup kadang kala bahagia, kadang kala mendapat musibah. Di kala kita berada di puncak kesuksesan, kita akan mudah dan bahagia menjalankannya. Ibarat gula, diri kita akan disanjung-sanjung banyak orang. Banyak orang yang ingin mendekat dengan kita. Segala kebutuhan dan keinginan fisik kita akan mudah terpenuhi. Mau makan enak dan lezat, bisa. Mau bepergian ke tempat-tempat destinasi mewah, bisa. Mau apapun kita bisa lakukan. Kita pastinya ingin hidup seribu tahun.


Namun bagaimana jika kita tengah mendapatkan ujian. Ujian musibah, ujian penyakit hingga kekurangan harta? Hidup bagaikan roda yang terus menggelinding dari atas ke bawah, dari bawah ke atas. Tidak ada sanjungan dari orang. Orang-orang yang dahulu mendekati, kini satu persatu menjauh. Kekayaan yang sebelumnya kita mudah dapat, kini sangat sulit. Tidak ada lagi kemewahan, yang ada malah kesengsaraan dan kelaparan. Pada posisi ini, terkadang kebanyakan dari kita mengeluh. Tiada hari tanpa berkeluh kesah. Kebanyakan dari kita memaki keadaan. Padahal, pada kondisi ini jiwa kita tengah diuji.

Dalam surah Al-Baqarah (2) ayat 155-157, Allah SWT berfirman: “ Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah [2] : 155-157).

Surah ini seharusnya menjadi dasar kita dalam menjalani hidup. Ketahuilah, sabar akan sangat sulit dilakukan, apabila kita tidak mampu menyadari, bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, pada hakikatnya hanyalah ujian. Harta yang kita miliki, karir yang bagus, rumah dan mobil mewah yang kita miliki, anak dan keluarga, itu semua adalah ujian dari Allah dan titipan Allah. Apakah kita bersyukur atau menjadi kufur?

Kita harus memahami dengan sebaik-baiknya bahwa Allah SWT pemilik yang sebenar-benarnya atas segala sesuatu apapun yang kita miliki di dunia ini.  Dengan kesadaran itu, maka Insya Allah kita akan lebih mudah menjalani hidup. Karena kita menyadari, bahwa semua itu adalah milik Allah dan titipan Allah.  Dan yang namanya titipan, suatu saat nanti memang pasti akan kembali pada pemiliknya, kapan pun pemiliknya menghendaki apa yang dititipkan kembali atau mau mengambilnya dari kita, maka kita harus dengan rela memberikannya.

Inilah makna dari hidup ikhlas. Ikhlas dalam menjalani kehidupan yang penuh kebahagiaan dan kekayaan. Ikhlas pula tatkala kita tengah mendapatkan ujian hidup sengsara dan miskin harta. Jalanilah kesusahan sebagai pengalaman pertama. Jalani kegagalan sebagaimana itu sebagai pengalaman pertama hidup kita. Ketahuilah dan yakinlah, bahwa sesungguhnya dalam setiap cobaan berat yang Allah SWT berikan untuk kita, maka ada hikmah dan pahala yang besar yang menyertainya.

Seperti Sabda  Rasulullah SAW, “Sesungguhnya pahala yang besar itu, bersama dengan cobaan yang besar pula. Dan apabila Allah mencintai suatu kaum maka Allah akan menimpakan musibah kepada mereka. Barangsiapa yang ridha maka Allah akan ridha kepadanya. Dan barangsiapa yang murka, maka murka pula yang akan didapatkannya.” (HR. Tirmidzi, dihasankan al-Albani dalam as-Shahihah).

Rasulullah SAW  bersabda,  “Tiada henti-hentinya cobaan akan menimpa orang muslim, baik mengenai dirinya, anaknya, atau hartanya sehingga ia kelak menghadap Allah SWT dalam keadan telah bersih dari dosa (HR. Tirmidzi).

Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah seseorang mendapatkan pemberian yang lebih baik dan lebih lapang daripada kesabaran.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kita harus rela menerima segala  ketentuan  Allah  dan menyadari bahwa apapun yang terjadi, sudah ditetapkan Allah SWT dalam Lauhul Mahfuzh. Kita wajib menerima segala ketentuan Allah dengan penuh keikhlasan.

Allah SWT berfirman,  “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS al-Hadid [57] : 22).

sumber : www.republika.co.id

Saturday, November 23, 2013

Ikhlas dan Sabar

Di sebuah sudut jalan ada seorang pengemis buta yang setiap harinya selalu mengumpat Rasulullah SAW. Ia berkata kepada setiap orang yang mendekatinya, “Wahai saudaraku, jangan dekati Muhammad. Dia itu orang gila, pembohong, tukang sihir. Apabila kalian mendekatinya maka kalian akan dipengaruhinya!”

Tiada hal lain yang dilakukan si buta setiap hari, kecuali menengadahkan tangan dan mengumpat meneriakkan kata-kata itu berulang kali.

Namun demikian, setiap hari di waktu pagi selalu ada seorang pria yang mendatangi pengemis itu dengan membawakannya makanan.
Dan, tanpa berucap sepatah kata pun, pria itu selalu menyuapkan makanan yang dibawanya kepada pengemis buta itu.

Suatu ketika, pria yang biasanya datang memberinya makan tidak lagi datang kepadanya. Pengemis buta itu semakin hari semakin lapar dan bertanya-tanya dalam dirinya apa yang terjadi terhadap pria itu. Sampai suatu pagi ada seorang pria yang mendatanginya dan memberinya makan.

Namun, ketika pria itu mulai menyuapinya, si pengemis buta itu marah sambil menghardik, “Siapakah kamu? Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku!” “Aku adalah orang yang biasa,” ujar pria itu. “Tidak mungkin. Engkau bohong!” kata si pengemis buta itu.

Sebab, apabila dia datang kepadaku, tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah,” jawab pengemis buta itu lagi.

Mendengar jawaban si pengemis buta itu, pria tadi tidak dapat menahan air matanya. Dia menangis sambil berkata kepada pengemis itu.

Aku memang bukan orang yang biasa datang kepadamu. Aku adalah salah seorang dari sahabatnya. Namaku Abu Bakar. Orang mulia yang biasa memberimu makan itu telah meninggal dunia. Dia adalah Muhammad SAW.”

Pengemis buta itu terkejut. Tubuhnya bergetar. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Hanya air mata yang mengalir di pipinya. Deras, seolah tak terbendung, mengenang Manusia Mulia yang selalu dimakinya setiap hari. Subhanallah, sungguh keikhlasan dan kesabaran Rasulullah SAW tiada tara.

Pada umumnya semua orang bisa sabar dan ikhlas saat diuji Allah dengan hal yang menyenangkan, tapi saat diuji dengan berbagai macam kesulitan, seperti kehilangan sesuatu atau musibah, maka kebanyakan merasa begitu sulit.

Kisah Nabi Muhammad SAW dalam menyebarkan ajaran Allah SWT bukanlah sebuah perjuangan yang mudah.
Sebaliknya, itu merupakan perjuangan berat yang kemungkinan besar tidak akan mampu ditempuh oleh orang-orang atau bahkan nabi-nabi selain Muhammad.

Beliau harus berhadapan dengan orang-orang yang luar biasa liciknya, kejam, dan penguasa yang zalim. Diterpa berbagai hinaan, cacian, makian, fitnah, sumpah serapah, dan ejekan pun harus diterimanya.

Luar biasanya, semua itu Rasul lalui dengan penuh kesabaran dan keikhlasan. Seolah dia tidak merasakan beban dan perjuangan yang sangat berat itu.

Ikhlas dan sabar merupakan dua kata yang mudah diucapkan, tetapi sulit dijalankan. Maka, apabila keduanya dijalankan bersamaan, Allah pasti akan menggantinya dengan kebaikan yang jauh lebih baik dari apa yang kita inginkan.

Ikhlas menerima semua pemberian dari Allah dan bersabar bila semua pemberian dari-Nya diambil kembali. Karena, sesungguhnya semua pemberian dari-Nya tidaklah kekal.

Marilah kita ikhlas dan sabar dalam segala keadaan, yakinlah bahwa janji Allah pasti benar. Percayalah, ikhlas dan sabar akan membuahkan kebahagian hidup. Wallahu a’lam.
, Oleh: Oktavia
sumber : www.republika.co.id

Thursday, November 21, 2013

Kenapa Gampang Marah?

Anda pernah marah? Semua manusia normal pasti pernah merasakan marah dan gembira, menangis dan tertawa, sedih dan senang, murung dan ceria. Kemarahan lumrah dialami siapa saja. Rasulullah sendiri pernah marah, sebagaimana sabda beliau, “Aku ini manusia biasa, aku bisa senang sebagaimana manusia senang dan aku bisa marah sebagaimana manusia marah.” [HR Muslim].

Kemarahan muncul dari dorongan nafsu, yang merupakan fitrah manusia. Dengan demikian, sepanjang masih bernama manusia, kemarahan pasti ada. Kemarahan orang itu beragam. Menurut Imam Al-Ghazali, ada orang yang begitu lekas marah, lekas reda. Yang lain, lambat marah, lambat pula redanya. Yang terbaik tentu yang lambat marah, tetapi lekas redanya.

Orang beriman harus pandai mengendalikan kemarahan agar tidak meluap, sehingga menyebabkan gelap mata, tuli telinga, mati hati, tumpul akal, hilang pertimbangan. Bijak bestari mengatakan, kapal di laut yang dipermainkan gelombang dan kehilangan kompas masih lebih baik ketimbang kondisi orang yang dilanda kemarahan. Karena, ketika kapal itu rusak, orang yang melihat masih merasa iba. Tetapi orang yang marah, semakin ditolong semakin karam, semakin dibangunkan semakin jatuh, sehingga orang jemu melihatnya.

Kendati demikian, mengendalikan kemarahan sungguh tidak mudah. Terlalu banyak persoalan yang mudah menyulut kemarahan. Tidak heran, Rasulullah menyebut orang yang berhasil mengendalikan kemarahan sebagai orang perkasa. Bukhari dan Muslim mengutip hadis sahih yang berbunyi, “Orang perkasa itu bukanlah orang yang mampu membanting lawannya. Tetapi, siapa yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah, itulah orang perkasa.” 

Bahkan, ketika ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah dan meminta nasihat, beliau hanya berpesan, “Jangan marah!” Menurut Abu Hurairah, Rasulullah mengulang pesan singkat itu sampai beberapa kali. Itu berarti, mengendalikan kemarahan memang sangat diperintahkan. Al-Qur’an sendiri menegaskan bahwa kemampuan mengendalikan kemarahan adalah salah satu ciri orang bertakwa.

“(Orang-orang bertakwa yaitu) orang-orang yang menafkahkan (harta), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan marah dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” [QS Ali Imran/3: 134].

Memaafkan kesalahan orang pasti sukar dilakukan jika hati diselimuti kemarahan. Jangankan memaafkan, yang muncul justru dendam. Kemarahan yang diposisikan pada waktu dan tempat yang pas, itulah marah profesional. Prof Hamka pernah membagi tiga tipologi kemarahan.

Pertama, marah terpuji. Dijelaskan Buya Hamka, marah tipologi ini termasuk ghirah li al-sharaf (marah demi menjaga kehormatan). Ketika Islam dilecehkan, orang beriman wajib marah. Juga ketika istri atau suami kita diselingkuhi orang. Orang yang tidak marah melihat kondisi demikian dikatakan sebagai dayus alias hina budinya. Sebab kehadiran Islam sendiri sejatinya melindungi lima hal prinsip: agama, jiwa, akal, kehormatan, harta. Aisyah berkisah,“Rasulullah tidak pernah marah karena urusan diri pribadi, kecuali jika batasan syariat Allah dilanggar, maka beliau akan marah dengan pelanggaran tersebut karena Allah.”  [HR Bukhari dan Muslim].

Kedua, marah tercela. Inilah kemarahan yang semata termotivasi dorongan nafsu. Kendati tidak dilarang, kemarahan tipologi ini harus dihindari. Islam mengajarkan sikap sabar. Tetapi sabar adalah ketika sesuatu yang menjengkelkan itu terjadi. Kalau kita marah-marah ketika kehilangan barang, kemudian besoknya setelah kemarahan itu hilang, tiba-tiba kita mengaku bersabar, itu namanya bukan sabar. Rasulullah bersabda, “Kesabaran itu pada goncangan pertama.” [HR Bukhari dan Muslim].

Ketiga, marah terlarang. Kemarahan ini umumnya timbul dari sikap pongah, congkak, dan merasa paling hebat dari yang lain. Tidak ada yang dapat dipetik dari kemarahan tipologi ini kecuali penyesalan. Pelakunya biasa disebut sebagai pemarah. Pemarah tidak pernah dapat mengatasi masalah. Yang terjadi justru berkurangnya kawan, merosotnya martabat, puasnya pendengki, dan bergembiranya musuh. Kata Buya Hamka, ujung dari kemarahan ini adalah penyakit tahawur (berani babi) dan jubun (pengecut).

Kemarahan yang dikelola secara profesional akan menimbulkan sikap syaja’ah. Itulah keberanian yang berlandaskan kebenaran. Ali bin Abu Thalib adalah seorang pendekar jihad. Dalam sebuah pertempuran, Ali berhasil membekuk seorang lawan. Tinggal satu langkah lagi Ali akan mengakhiri riwayat musuh itu. Tiba-tiba, musuh yang tidak berdaya itu meludahi Ali tepat di mukanya. Spontan, Ali melepaskannya. Ada apa gerangan? Ternyata Ali tidak mau membunuh musuh hanya karena marah akibat diludahi, bukan tulus karena membela agama Allah. Sungguh sebuah contoh sikap pemberani yang mampu mengatasi kemarahan.

Pemuda berjuluk Kota Ilmu itu begitu meneladani junjungannya, Rasulullah. Setiap cercaan dan siksaan selalu disikapi Rasulullah dengan kelembutan dan kesabaran. Setiap berangkat dan pulang ibadah di masjid diludahi orang, beliau tidak marah. Salat di Kakbah selalu dilempari kotoran, beliau tetap tenang. Berdarah-darah karena diserbu penduduk Thaif dengan batu, beliau malah balas mendoakan. Bahkan, ketika Aisyah, istri tercinta, digosipkan berselingkuh dengan Shafwan bin Muathal sepulang dari pertempuran melawan Bani Musthaliq, beliau juga tidak membalas fitnah keji yang disebarkan gembong munafik Abdullah bin Ubai itu. Keluhuran akhlak Rasulullah benar-benar diakui kawan sekaligus lawan. Mungkinkah kita sanggup meneladani sosok Matahari Dunia itu?

Kehidupan keseharian kita kerap diwarnai kemarahan. Mendengar pribadi kita diserang, seketika kita naik pitam. Melihat partai atau aliran kita dipojokkan, berjuta cara kita lakukan untuk balas memojokkan. Lucunya, saat kepemimpinan kita dikritisi, segera kita gelar jumpa pers untuk mengemukakan seribu dalih untuk membela diri. Kita rajin mencari pendapat yang menguatkan alibi diri. Kita juga cenderung menggilai sanjungan sembari mengumpat kritik. Kemarahan kita sungguh jauh dari sikap profesional.

Api kemarahan juga sering meletup dalam kehidupan kolektif kita. Sangat mudah kita temukan penyelesaian persoalan dengan jalan kekerasan. Pelakunya bisa berupa lembaga atau organisasi, termasuk yang berbaju agama. Setiap kelompok akan mudah menempuh jalan ngawur apabila tidak mampu mengendalikan kemarahan. Padahal kemampuan mengendalikan kemarahan akan mendatangkan keuntungan besar di masa mendatang. Rasulullah bersabda, “Barang siapa menahan kemarahannya padahal dia mampu untuk melampiaskannya, niscaya Allah akan memanggilnya (membanggakannya) pada hari kiamat di hadapan semua manusia sampai (kemudian) Allah membiarkannya memilih bidadari bermata jeli yang disukainya.” [HR Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad].
     
Menurut At-Thibi, mengendalikan kemarahan yang dipuji dalam hadis itu adalah ketika seseorang sedang marah dan mampu untuk melampiaskan. Sementara ketika dia tidak mampu melampiaskan, misalnya karena takut kepada orang yang membuatnya marah atau karena kelemahannya, maka menahan kemarahan dalam keadaan demikian tidak termasuk yang dipuji.

Simak kisah menarik yang ditulis Ibnu Rajab dalam kitab ‘Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam’ berikut. Khalifah Umar bin Abdul Aziz marah. Putranya yang bernama Abdul Malik lalu berkata kepadanya, “Wahai Amirul Mukminin, dengan karunia dan keutamaan yang Allah berikan kepadamu, engkau marah seperti ini?” Umar bin Abdul Aziz berkata, “Apakah kamu tidak pernah marah, Wahai Abdul Malik?” Lalu Abdul Malik menjawab, “Tidak ada gunanya bagiku lapangnya dadaku kalau tidak aku gunakan untuk menahan kemarahanku di dalamnya supaya tidak tampak, sehingga tidak mengakibatkan keburukan.”
, Oleh M Husnaini
(Penulis Buku “Menemukan Bahagia”)
Alamat Email: hus_surya06@yahoo.co.id

sumber : www.republika.co.id

Wednesday, November 20, 2013

Kenapa Bermental Pengemis?

“Kakek 74 Tahun Tewas dalam Pembagian Daging Kurban”, “Berbagi Sedekah Renggut 3 Nyawa”, “Zakat Belum Tuntas Dibagikan, 5 Nyawa Melayang”, “Pembagian Sembako Ricuh, Seorang Wanita Hamil Pingsan”.
Begitulah judul-judul berita di media massa yang kerap mengusik batin kita. Di negeri super kaya ini, ternyata masih ada kasus rebutan ‘makan’ yang menelan korban. Bagi-bagi berkah malah berujung malapetaka.

Banyak pihak menagih tanggung jawab panitia penyelenggara. Panitia dianggap lalai, karena terjadi kericuhan dan menyebabkan kematian. Muncullah larangan pembagian ‘sesuatu’ secara massal. Di Sumatera Barat, misalnya, MUI melarang pembagian zakat atau sedekah massal.
Alasannya, mengumpulkan calon penerima dalam jumlah banyak dalam satu tempat itu tidak sesuai dengan ajaran Islam. Menurut MUI, itu sama dengan melecehkan dan menyusahkan masyarakat. Terlebih kalau zakat atau sedekah yang diterimakan hanya Rp 20 ribu. Jelas tidak sebanding dengan risiko yang ditanggung penerima.

Kita sepakat dengan larangan itu. Acara berbagi rezeki massal itu memang mudaratnya lebih besar tinimbang manfaatnya. Terlebih jika pelaksanaannya tidak profesional. Banyak cara dapat ditempuh untuk menerimakan zakat atau sedekah kepada yang berhak. Tidak harus mengumpulkan khalayak, apalagi mengeksposnya besar-besaran di media massa, sebagaimana biasa kita saksikan.
Risikonya tidak hanya menimpa penerima. Pemberi juga rentan terancam virus senang menampilkan kebaikan (riya’) atau memperdengarkan kebaikan (sum’ah). Islam tidak melarang sedekah terang-terangan. Tetapi menyembunyikan sedekah itulah yang lebih utama.

“Jika kamu menampakkan sedekah, maka itu baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan darimu sebagian kesalahan-kesalahanmu, dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [QS Al-Baqarah: 271].

Indah nian ajaran Islam tentang cara bersedekah. Ayat itu kian jelas ketika dikaitkan dengan hadis Rasulullah tentang tujuh golongan manusia yang kelak mendapatkan payung dari Allah pada hari mahsyar. Mereka itu, di antaranya, adalah “...seseorang yang bersedekah kemudian menyembunyikannya, sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan tangan kanannya.” [HR Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi].

Kendati demikian, bukan Islam jika tidak mengajarkan keseimbangan. Orang kaya diperintahkan untuk gemar bersedekah. Di sisi lain, kaum jelata dilarang meminta-minta. Agama dan budaya mana pun pasti sepakat bahwa mental pengemis itu bukan sebuah kemuliaan. Di mana-mana pengemis akan dipandang rendah dan hina. Sementara Allah menginginkan umat Islam tampil sebagai pribadi mulia. Mulia sebagai orang kaya yang gemar bersedekah. Mulia sebagai orang miskin yang pantang meminta-minta.

Indonesia sendiri belum keluar dari jeratan kemiskinan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) perbulan Maret 2013, warga miskin di Indonesia mencapai 28,07 juta jiwa atau 11,37%. Angka kemiskinan itu melebihi target Pemerintah dan DPR dalam APBN-P 2013 bahwa angka kemiskinan ditetapkan 10,5%. Demikian pula, data BPS perbulan Februari 2013 menunjukkan, pengangguran di Indonesia mencapai 7,17 juta jiwa atau 5,92%. Padahal target Pemerintah dan DPR sebesar 5,5-5,8% di akhir 2013. Angka-angka itu menunjukkan bahwa 1 di antara 9 orang Indonesia adalah miskin dan 1 di antara 17 orang Indonesia adalah pengangguran.

Namun demikian, kita tidak yakin bahwa setiap pengemis di Indonesia ini pasti orang miskin. Belum tentu pula mereka yang berebut zakat atau sedekah sampai tidak peduli keselamatan diri itu adalah orang jelata. Sudah banyak buktinya. Ketika ada program bantuan uang atau beras dari pemerintah, tidak sedikit orang berebut meminta jatah.
Kendati tergolong mampu secara ekonomi, demi mendapatkan jatah bantuan, banyak orang minta dicatat sebagai warga miskin. Itulah yang juga terjadi pada pembagian zakat, sedekah, daging kurban, dan serupanya. Orang sangat nekat untuk mendapatkan rezeki cuma-cuma itu. Tidak mau antri. Ketika sudah mendapatkan jatah pun terus ingin tambah lagi dan lagi.

Demikianlah mental pengemis, yang sering memicu masalah. Berarti, gemar meminta-minta itu jelas faktor mental, bukan faktor miskin atau kaya. Bukti lain, banyak orang yang hidupnya sederhana ogah meminta-minta. Sebaliknya, banyak orang berharta sangat melimpah malah terlampau gemar meminta-minta, bahkan menghalalkan segala cara. Tengok saja para pejabat yang mengemis suara rakyat, menjual diri demi jabatan, menempuh jalan pintas untuk mendongkrak nama, melakukan gratifikasi dan korupsi agar lekas kaya. Adakah mereka itu bukan orang kaya?

Padahal Rasulullah berpesan, “Barang siapa meminta-minta kepada orang dengan maksud supaya apa yang dimilikinya menjadi banyak, maka sebenarnya orang itu meminta bara api.” [HR Muslim]. Ketika menafsirkan hadis ini, Al-Qadhi lyadh berkata, orang yang sebenarnya sudah cukup tetapi masih meminta-minta lebih dari kebutuhan akan disiksa di neraka. Kalimat “meminta bara api” dapat pula diartikan secara lahiriah, yaitu api akan dimasukkan ke dalam setrika dan disetrikakan pada punggung dan lambungnya, sebagaimana keadaan orang yang sudah berkewajiban zakat, namun enggan mengeluarkan zakat.

Tidak ada orang yang mau hidup susah. Namun, kita jangan lantas menginginkan enak tanpa mau berusaha. Jangan seperti orang yang siang dan malam mengeluh ingin kaya tetapi ogah bekerja. Ada lagi yang terus-menerus memimpikan bahagia, tetapi malas beribadah. Hidup bebas dari agama sebagaimana anak panah lepas dari busurnya. Tidak tahu mana perintah dan mana larangan, mana halal dan mana haram, mana sunah dan mana bid’ah, mana syariat dan mana maksiat, mana dosa dan mana pahala, mana tuntunan Islam dan mana tuntunan setan. Lucunya, meski selalu melanggar agama, dia kerap menagih kemurahan Allah ketika ditimpa musibah.

Sikap demikian bertolak belakang dengan hamba-hamba saleh ketika ditimpa musibah. Kendati hidup susah dan jelata, mereka tidak mengeluh, apalagi meminta-minta. Mereka sangat malu kepada Allah, mengingat karunia yang diterima lebih banyak ketimbang musibah yang sedang diterima. Karena itulah, senjata yang mereka andalkan adalah usaha tanpa kenal lelah disertai doa dan sabar. Lihatlah Nabi Ya’kub (1837-1690 SM), yang hidup miskin dan menderita buta di masa tua. Nabi Ya’kub rajin beribadah dan tidak pernah buruk sangka kepada Allah.

Juga Nabi Ayub (1540-1420 SM) yang hidup miskin dan sakit-sakitan selama tahunan. Akibat penyakitnya, jangankan teman, bahkan anak dan istrinya lari darinya. Tetapi Nabi dan Rasul ke-13 itu pantang bermental cengeng. Dia tidak pernah mengemis, sekali pun sekadar belas kasihan orang lain. Berbagai penderitaan dan kesakitan yang menderanya tidak menghalanginya untuk terus intim dan bersujud kepada Allah. Ajaib. Allah kemudian memberikan kesembuhan total kepadanya.

“Dan ingatlah hamba Kami Ayub ketika dia menyeru Tuhan-nya, ‘Sungguh aku diganggu setan dengan kepayahan dan siksaan’. (Allah berfirman), ‘Hantamkanlah kakimu. Inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum’. Dan Kami anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan (kami tambahkan) kepada mereka sebanyak mereka pula sebagai rahmat dari Kami dan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai pikiran.” [QS Shad: 41-43].

Banyak lagi kisah-kisah hamba mulia yang patut dijadikan teladan dalam menyikapi romantika dunia. Ketika kaya tidak lupa, ketika miskin pantang meminta-minta. Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Adalah Nabi Daud tidak suka memakan sesuatu, kecuali dari hasil usaha tangannya sendiri.” [HR Bukhari]. Dalam hadis lain, Rasulullah juga berkisah, “Nabi Zakaria adalah seorang tukang kayu.” [HR Muslim].

Kesalehan, bahkan kenabian dan kerasulan, tidak lantas menjauhkan manusia dari penderitaan. Sejarah telah membeberkan betapa Nabi dan Rasul hidup berkalang derita. Sejarah hidup Rasulullah sendiri tidak sepi dari berbagai penderitaan. Tetapi, Allah memuji siapa saja yang pantang menadahkan tangan kendati hidup serba kurang.

“(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah. Mereka tidak dapat (berusaha) di bumi. Orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya. Mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak, dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sungguh Allah Maha Mengetahui.” [QS Al-Baqarah: 273].

Jelaslah, kemiskinan bukan aib. Saatnya orang beriman mampu mengikis mental pengemis dari sanubari. Tanamkan kalimat berikut dengan mantap: biar miskin, aku pantang mengemis!

, Oleh M Husnaini
Penulis Buku ‘Menemukan Bahagia’. Email: hus_surya06@yahoo.co.id


sumber : www.republika.co.id

Tuesday, November 19, 2013

Rajin Sedekah, Rezeki Melimpah

 (Penulis Buku “Menemukan Bahagia: Mengarifi Kehidupan Menuju Rida Tuhan”)

Keuntungan sedekah tidak dapat dihitung dengan rumus matematika konvensional. Yusuf Mansur memopulerkan istilah matematika sedekah. Mengacu kepada ajaran Islam bahwa sedekah satu akan dilipatkan menjadi sepuluh, Yusuf Mansur kemudian membuat rumus demikian: sepuluh ribu dikurangi seribu untuk sedekah, hasilnya adalah sembilan belas ribu. Jika dikurangi dua ribu untuk sedekah, hasilnya menjadi dua puluh delapan ribu.

Itulah rumus matematika sedekah, yang merupakan perasan dari sejumlah keterangan dalam Alquran dan hadis. Allah sendiri berulang kali menegaskan bahwa sedekah tidak akan mengurangi harta. Dalam pandangan awam, harta memang berkurang ketika dipakai untuk sedekah. Tetapi, dalam kaca mata iman tidaklah demikian.

“Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri, dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridaan Allah, dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup, sedangkan kamu sedikit pun tidak akan dirugikan.” [QS Al-Baqarah/2: 272].

Perhatikan, ayat di atas menggarisbawahi “harta yang baik” dan “di jalan Allah”. Karena, sangat boleh jadi orang melakukan sedekah tetapi dengan harta yang tidak baik. Misalnya, membangun masjid dari praktik korupsi, mendirikan pesantren dari hasil pelacuran, membantu panti asuhan dari bisnis narkoba, dan seterusnya. Tidak sedikit pula orang yang mengeluarkan uang dalam jumlah besar hanya untuk menyukseskan perbuatan atau kegiatan yang tidak baik. Lihatlah para konglomerat yang rela merogoh kocek miliaran rupiah untuk menyelenggarakan pagelaran Miss World, kandidat pemimpin yang mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk membeli suara, tersangka hukum yang memberikan gratifikasi triliunan rupiah untuk menyuap hakim, dan seterusnya.

Harta tidak baik yang digunakan di jalan Allah dan harta baik yang digunakan di jalan setan, keduanya tidak bernilai sedekah di mata Allah. Sedekah harus memenuhi dua kriteria, sebagaimana ditegaskan dalam ayat di atas, yaitu harta baik yang disalurkan di jalan Allah. Itulah harta yang tidak sia-sia, karena Allah akan memberikan ganti secara berlipat ganda.

Janji Allah tidak pernah dusta. Kewajiban orang beriman adalah meyakininya dengan segenap hati. Rasulullah sendiri pernah menginformasikan, “Tiada sehari pun sekalian hamba memasuki suatu pagi, kecuali ada dua malaikat yang turun. Salah satu dari keduanya berkata, ‘Ya Allah, berikanlah ganti kepada orang yang menafkahkan hartanya’. Sementara yang lain berkata, ‘Ya Allah, berikanlah kebinasaan kepada orang yang menahan hartanya’.” [HR Bukhari dan Muslim].

Mengelola harta memang bukan perkara mudah. Harta kerap mendatangkan keberuntungan, tetapi, jika salah menggunakan, harta justru menghasilkan kebuntungan. Karena itu, Islam memberikan panduan lengkap seputar cara mengelola harta agar kepemilikan harta berujung keberuntungan, bukan kebuntungan. Salah satunya adalah lewat ajaran sedekah. Harta yang disedekahkan, itulah harta yang sebenarnya, karena akan kekal sampai di alam baka. Yang berada di tangan tidak lain akan menjadi hak ahli waris.

Dalam sebuah riwayat, Rasulullah pernah bertanya, “Siapakah di antara kamu yang lebih menyukai harta ahli warisnya daripada hartanya sendiri?” Serentak para sahabat menjawab, “Ya Rasulullah, tiada seorang pun dari kami, melainkan hartanya adalah lebih dicintainya.” Beliau kemudian bersabda, “Sungguh harta sendiri ialah apa yang telah terdahulu digunakannya, sedangkan harta ahli warisnya adalah segala yang ditinggalkannya (setelah dia mati).” [HR Bukhari dan Muslim].

Hadis di atas, dengan demikian, secara tidak langsung mengingatkan bahwa harta yang ada di tangan kita sebenarnya hanya titipan Allah. Supaya manfaatnya masih dapat dirasakan sampai kita kembali ke akhirat, maka harta itu harus dinafkahkan di jalan kebaikan semasih hidup di dunia. Lebih membahagiakan, balasan Allah bahkan sering tidak harus menunggu di akhirat, tetapi langsung Dia tunaikan ketika kita masih hidup di dunia berupa rezeki yang melimpah.

Rezeki adalah segala pemberian Allah untuk memelihara kehidupan. Dalam hidup, ada dua jenis rezeki yang diberikan Allah kepada manusia, yaitu Rezeki Kasbi (bersifat usaha) dan Rezeki Wahbi (hadiah). Rezeki Kasbi diperoleh lewat usaha dan kerja. Tetapi Rezeki Wahbi datangnya di luar prediksi manusia, kadang malah tidak memerlukan jerih payah. Karena Rezeki Wahbi merupakan wujud sifat rahim Allah, maka orang yang gemar melakukan sedekah sangat berpeluang mendapatkan rezeki jenis terakhir ini. Indah Allah melukiskan dalam Alquran.

“Permisalan (nafkah yang dikeluarkan) orang-orang yang menafkahkan harta di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” [QS Al-Baqarah/2: 261].
, Oleh M Husnaini
Sangat banyak ayat Alquran dan hadis Rasulullah yang mengungkap keuntungan sedekah. Setiap kita berpeluang mendapatkan keuntungan itu sepanjang gemar melakukan sedekah disertai keyakinan mantap terhadap kemurahan Allah. Tidak ada ceritanya kemiskinan karena sedekah. Tidak pula orang membuka pintu permintaan, melainkan Allah membuka untuknya pintu kemiskinan.

Sebab itu, jangan lagi berusaha menotal keuntungan sedekah dengan rumus matematika seperti umumnya kita menotal hasil keuntungan perdagangan atau penjualan barang-barang kita.

Email: hus_surya06@yahoo.co.id

sumber : www.republika.co.id

Saturday, November 16, 2013

Berburu Berkah di Bulan Sura

Muharam termasuk salah satu dari empat bulan yang dimuliakan Allah, selain Zulkaidah, Zulhijah, dan Rajab. Dalilnya sudah jelas, sebagaimana dituturkan Allah dalam Alquran.

Sungguh bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat Bulan Haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” [QS At-Taubah/9: 36].

Kenapa disebut Bulan Haram? Ibnu Muhammad Al-Jauzi dalam kitab ‘Zad Al-Masir fi Ilm At-Tafsir’ menjelaskan, dinamakan Bulan Haram karena dalam empat bulan itu diharamkan pembunuhan atau peperangan, sebagaimana juga diyakini kaum Jahiliah sebelum Islam datang di bumi Mekah. Selain itu, karena pahala kebaikan di Bulan Haram akan dilipatkan dan demikian pula dosa keburukan.

Kendati demikian, bukan berarti bulan-bulan di luar Bulan Haram tidak mulia. Seperti Ramadan, jelas bulan penuh kasih sayang, pengampunan, dan keberkahan. Umat Islam jangan lagi terjebak kepada pemahaman dangkal, sebagaimana ketika memahami keutamaan surat atau ayat Alquran tertentu. Dipersepsi, misalnya, hanya surat Yasin yang memiliki keutamaan dahsyat. Muncullah tradisi Yasinan, sementara tidak pernah ada tradisi Al-Fatihahan, Al-Baqarahan, Ali Imranan, An-Nisaan.

Penting juga dicatat, sebagian kalangan beranggapan bahwa orang yang paling berjasa dalam menetapkan kalender Hijriah sebagai identitas penanggalan Islam adalah Umar bin Khattab. Anggapan itu tidak sepenuhnya benar. Imam As-Suyuti mengungkapkan fakta lain. Menurut murid dari ulama kenamaan bermazhab Hanafi, Taqiyuddin As-Subki, itu ternyata Umar bin Khattab bukan sosok pertama yang menyerukan penggunaan kalender Hijriah. Ibnu Asakir dan Ibnu Shalah membenarkan pendapat ini.

Berdasarkan riwayat yang paling kuat, Rasulullah pernah berkirim surat kepada umat Nasrani di Najran. Dalam surat itu, Rasulullah memerintahkan Ali bin Abu Thalib supaya menuliskan kalimat, “Surat ini ditulis pada hari kelima sejak hijrah”. Karena itu, menurut As-Suyuti, ketika Umar bin Khattab hendak menetapkan sistem kalender Islam, dia mengumpulkan para sahabat dan meminta saran mereka. Peristiwa itu terjadi ketika pemerintahan Umar bin Khattab berjalan dua setengah tahun. Setelah mendapatkan masukan, dia lantas memilih pendapat Ali bin Abu Thalib bahwa acuannya ialah peristiwa hijrah. Dengan kata lain, kalender Hijriah memang baru digunakan secara resmi di masa Khalifah Umar bin Khattab, tetapi ide dan penetapannya berasal dari Rasulullah sendiri.

Nama Hijriah jelas mengacu pada peristiwa hijrah dari Mekah ke Madinah. Ada hikmah besar di balik peristiwa itu. Kalender Hijriah bukan penanggalan biasa. Lebih dari itu, kalender yang dimulai dengan Muharam itu merupakan sebuah identitas dan jati diri umat Islam. Dipilihnya Hijriah sebagai nama kalender Islam, lantaran peristiwa hijrah itulah tonggak peradaban Islam. Hijrah merupakan torehan sejarah yang berhasil meletakkan garis tegas antara hak dan batil.

Kenapa Muharam dipilih sebagai permulaan bulan, padahal hijrah terjadi di bulan Rabiul Awal? Para ulama lalu mengemukakan alasan, karena pada bulan Muharam jamaah haji pulang dari Tanah Suci Mekah ke kampung halaman. Dari segi kronologi hijrah, Muharam juga dinilai sebagai embrio hijrah. Sebab, Rasulullah telah bertekad untuk hijrah dari Mekah ke Madinah sejak bulan Muharam.

Sangat disayangkan kalau masih ada kepercayaan berbau takhayul dan khurafat. Umat Islam jangan lagi memiliki kepercayaan bahwa menikah pada bulan Muharam akan mendatangkan kesialan, seperti kecelakan, kematian, dan kerugian lain. Muharam bukan bulan kesedihan, demikian juga Syawal dan Safar. Mitos kesialan itu jelas kontraproduktif dengan Alquran dan hadis. Menurut riwayat Bukhari, Aisyah dinikahi Rasulullah pada bulan Syawal, pernikahan Ali bin Abu Thalib dengan Fatimah juga disinyalir terjadi di bulan Safar.

Seharusnya kita kembali pada panduan Allah dan Rasulullah. Panduan yang benar dalam memuliakan Muharam adalah dengan berpuasa pada tanggal 10, dikenal dengan istilah puasa Asyura. Rasulullah bersabda, “Puasa yang paling utama setelah Ramadan adalah pada bulan Allah yang mulia, yaitu Muharam. Dan salat yang paling utama setelah salat wajib adalah salat tahajud.” [HR Muslim].

Asyura merupakan kewajiban puasa pertama dalam Islam. Baru ketika kewajiban puasa Ramadan turun, status hukum puasa Asyura berubah menjadi sunah. Hikmahnya, menghapuskan dosa selama setahun yang telah lewat. Simak hadis riwayat Aisyah berikut. “Adalah pada hari Asyura, kaum kafir Quraisy zaman Jahiliah berpuasa. Ketika Rasulullah datang di Madinah, beliau berpuasa dan memerintahkan (sahabat) supaya berpuasa. Maka ketika Allah mewajibkan puasa Ramadan, beliau meningggalkan puasa Asyura, maka barang siapa berkenan silakan berpuasa, barang siapa meninggalkan juga silakan.” [HR Bukhari].

Asyura juga diyakini sebagai puasa Nabi Saleh. Pada tanggal 10 Muharam itu, Nabi Musa selamat dari kejaran tentara Firaun, Nabi Yunus keluar dari perut ikan, dan Nabi Nuh selamat dari banjir besar. Karena itu, ketika Rasulullah menyaksikan kaum Yahudi dan Nasrani di Madinah berpuasa pada tanggal itu, beliau kemudian memerintahkan puasa sejak tanggal 9 Muharam atau populer dengan istilah puasa Tasu’a. Alasan beliau ketika itu, supaya tradisi puasa umat Islam tidak menyamai tradisi Yahudi dan Nasrani. Sabda Rasulullah, “Apabila tahun depan, insya Allah kita berpuasa pada tanggal sembilan.” [HR Muslim].

Tetapi, tidak sampai mendapati Muharam di tahun depan, Rasulullah sudah meninggal dunia. Karena itu, puasa tanggal 9 Muharam statusnya sunnah hammiyah alias sunnah yang sudah dicita-citakan Rasulullah tetapi beliau belum sempat melakukan. Ibnu Qayim Al-Jauziyah membuat peringkat terkait puasa di bulan Muharam. Menurutnya, puasa bulan Muharam yang paling utama adalah tanggal 9, 10, 11. Tingkatan di bawahnya adalah puasa tanggal 9 dan 10. Yang terendah, puasa tanggal 10 saja.

Demikian, semoga kita semua dapat memuliakan bulan Muharam dengan rangkaian ibadah sesuai tuntunan Allah dan Rasulullah.
M Husnaini
(Penulis Buku “Menemukan Bahagia: Mengarifi Kehidupan Menuju Rida Tuhan”)

Email: hus_surya06@yahoo.co.id

sumber : www.republika.co.id

Thursday, November 14, 2013

Renungan Dua Kota Suci

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: "Ya Tuhanku, Jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: "Dan kepada orang yang kafirpun aku beri kesenangan sementara, kemudian aku paksa ia menjalani siksa neraka dan Itulah seburuk-buruk tempat kembali". (Qs. Al- Baqarah: 126)

Pengabadian doa Nabi Ibrahim dalam petikan surah Al-Baqarah 126 di atas mengingatkan kita pada satu peristiwa bersejarah yang semuanya tertera sempurna dalam surah kedua dalam Al-Quran. Doa Nabi Ibrahim as yang kemudian diabadikan oleh Allah Swt ini bukanlah tiada maksud. Pengorbanan, kesabaran, keikhlasan Nabi yang diberi julukan ‘Khalilullah- kekasih Allah’ ini sungguh luar biasa.

Napak tilas dari kisah Nabi Ibrahim yang meninggalkan istrinya, Siti Hajar dan anaknya Ismail atas perintah Allah sudah merupakan rahasiaNya bahwa kelak di kota itulah seluruh penduduk muslim yang berdiam di bumi untuk menyucikan asma-Nya. Tak hanya itu, air zam-zam yang memancar hingga detik ini, juga merupakan potret pengorbanan seorang ibu berjiwa mulia demi sang putra tercinta, Ismail as.

Cobaan tak berhenti disitu. Allah masih ‘senang’ menguji kesabaran Nabi Ibrahim as dengan menganugerahkannya mimpi untuk menyembelih putra kandung kesayangannya sendiri. Tak tega? Itulah yang pasti dirasakan semua orangtua tatkala mendapatkan perintah untuk mengurbankan anaknya sendiri. Tapi dengan segala keshalihan dan ketaatan atas perintah Allah, Nabi Ismail tegar. Ia membenarkan mimpi ayahnya, hingga Allah mengetahui bahwa pasangan ayah dan anak ini adalah dua sosok penyabar dan Dia mengganti seekor kambing kibas sebagai buah ketaatan mereka.

Dua peristiwa bersejarah yang terjadi ribuan tahun lalu, dengan runut diungkap oleh Al-Quran dan tak lain salah satunya ialah surah yang telah tersebut di atas. Betapa seorang Bapaknya Para Nabi ini memohon kepada Allah akan keutamaan negeri Makkah. Dan doa beliau,  tentu saja terkabul hingga Makkah dijuluki kota suci umat Islam untuk melaksanakan ibadah umrah maupun haji.

Bagaimana dengan kota Madinah? Ada petikan hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik ra bahwa Rasulullah Saw berdoa, yang artinya, “Ya Allah, limpahkanlah keberkahan berlipat ganda terhadap kota Madinah sebagaimana yang telah Engkau karuniakan terhadap kota Makkah,” (HR Bukhari dan Muslim)

Berkat doa Rasulullah Saw itulah, Makkah dan Madinah menjadi dua kota suci yang memiliki pahala tinggi jika kita beribadah di tempat tersebut. Kesuciannya melekat karena seluruh penduduk muslim dunia beribadah di Masjidil Haraam dan Masjid Nabawi, tiada henti dan nyaris tak pernah sepi. Dua kota penuh sejarah ini menyisakan keluhuran nuansa religi, juga tempat yang menjadi tujuan mulia untuk dikunjungi.

Rasulullah bersabda dalam lain hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, “Shalat satu waktu di masjidku (Nabawi) adalah lebih utama daripada mengerjakan shalat sebanyak seribu kali di masjid lain—kecuali Masjidil Haraam,” (HR Bukhari dan Muslim)

Menyelami dua kota suci, setidaknya juga berusaha memahami arti dari Bulan Haraam (Dzulhijjah) yang pada tahun ini dimulai 6 Oktober. Dan saat ini, seluruh muslim penduduk bumi sedang khusyu’ berhaji. Semoga Allah senantiasa melindungi dan memabrurkan ibadah mereka.
Oleh Ina Salma Febriany

sumber : www.republika.co.id

Wednesday, November 13, 2013

Belajar pada Uwais

 Hari ini kita harus belajar banyak pada Uwais al-Qarni (w 657 M). Belajar untuk tetap yakin bahwa Allah pasti akan membalas sekecil apa pun kebaikan kita meski sepi dari apresiasi manusia. Sosok sejarah ini teramat agung di mata Allah dan Rasul-Nya. Buah keikhlasan dan kesabarannya, Allah menyilakan sebelum ia masuk surga nanti untuk memberi syafaat kepada dua kaumnya. Dan, Nabi menyebutnya sebagai orang yang sangat terkenal di langit meski tidak dikenal di bumi.
Sosok tabiin mulia ini sebenarnya hidup di masa Rasulullah. Namun, karena tidak ditakdirkan berjumpa dengan beliau maka bukan berkategori sahabat. Definisi sahabat dalam ilmu hadis adalah mereka yang hidup di masa Rasulullah, beriman kepadanya, dan pernah berjumpa atau melihat wajah Rasulullah meski sekali.

Uwais, pemuda asal Qaran, Yaman, ini hari itu berpamitan kepada ibunya untuk pergi ke pasar ternak. Ibunya yang sudah sepuh dan lumpuh memberinya restu. Di salah satu sudut pasar, pemuda bersuku Murad ini membeli lembu atau kerbau yang masih kecil. Setelah deal harga, lelaki berwajah belang karena penyakit sopak ini membawanya pulang dengan memanggulnya.

Hari-hari Uwais yang dikenal sebagai penggembala kambing kini dilaluinya dengan aktivitas yang “aneh”. Setiap pagi dan sore, Uwais menggendong lembunya dari rumah menuju bukit yang ia buatkan kandang di atasnya. Jelas saja, aktivitas “nyeleneh” ini hanya menambah daftar cemoohan orang kepadanya, yang memang bagi Uwais sendiri merupakan menu akrab sejak sepeninggal ayahnya, Amir ibn Juz ibn Murad al-Qairani. Lebih-lebih setelah Uwais mengidap penyakit sopak yang membelangkan tubuhnya. Panggilan gila sering mampir di telinganya.

Begitulah kini hari-hari seorang Uwais; memanggul lembu dari rumah ke bukit. Dinikmatinya setiap ejekan tetangga karena dalam benaknya hanya satu; fisiknya semakin hari semakin kuat hingga jelang bulan haji ia bisa menggendong sang ibu untuk berangkat menunaikan rukun Islam kelima di Tanah Bakkah atau Makkah.

Rupanya itu jawabannya, ia membeli lembu kecil dan memanggulnya setiap hari dalam rangka melatih fisiknya supaya terbiasa dan kuat saat bulan haji nanti tiba. Sejak ibunya yang buta dan lumpuh itu menyampaikan hasrat hatinya ingin berangkat haji, Uwais hanya bisa memaku-merenung. Dirinya bukan orang berpunya, hasil gembala kambing habis hanya untuk makan dirinya dan ibunya di hari itu. Sedangkan, ia teramat ingin membahagiakan sang ibu. Sehingga, tercetuslah ide membeli lembu.

Kini, bobot lembu sudah mencapai 100 kg dan aktivitas “nyeleneh” ini pun disudahinya. Dan ,di pagi itu Uwais merapat kepada sang bunda. “Ibu, mari kita berangkat haji!”

“Dengan apa, Nak? Mana ada bekal untuk ke sana?” sahut sang ibu dengan raut kaget.

“Mari Bu, aku gendong Ibu. Perbekalan insya Allah cukup. Jatah makanku selalu aku tabung. Fisik ini insya Allah sudah cukup kuat!” ujar Uwais meyakinkan sang ibu.

Sang ibu hanya bisa memburai air mata. Dan, pagi itu Uwais sang anak saleh ini menyaruk kaki, melintasi sahara panas dengan menggendong sang ibu tercinta. Berminggu-minggu ia lewati perjalanan mission impossible sejauh 600 km ini dengan penuh ikhlas dan sabar. Sampai akhirnya Ka’bah pun sudah berada persis di depan matanya. Mereka berdua pun akhirnya berhaji, menyempurnakan keberislaman mereka.

Allahu Akbar. Perjuangan yang berbuah manis. Benarlah janji Allah, setiap kebaikan sekecil apa pun pasti akan ada balasannya dari Allah. Sungguh setiap langkah Uwais telah menggetarkan langit. Pantaslah para malaikat terkesima dan membalas tasbih tak henti. Bakti yang luar biasa dan amal kebaikan yang tak bertepi dari Uwais mengangkat dirinya sebagai sosok yang sangat masyhur di seantero langit. Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib pernah diminta Rasulullah untuk memintakan doa kepada Uwais al-Qarni. Karena doanya tidak berpenghalang dan pasti diijabah. Bagaimana dengan kita? Siapkah belajar kepadanya? Insya Allah. 

Oleh Ustaz Muhammad Afirin Ilham

sumber : www.republika.co.id

Sunday, November 10, 2013

Empat Amanat Rasulullah SAW di Padang Arafah

Pada 9 Dzulhijjah jamaah haji melaksanakan wukuf di Arafah. Sebagai rukun haji, wukuf merupakan kegiatan ibadah yang penting bahkan dapat disebut terpenting. Sah tidaknya berhaji ditentukan oleh berwukuf tidaknya ia di Arafah. Mereka yang sakitpun selama masih ada nafasnya dibawa ke tempat ini. Ia wukuf sebentar lalu kembali ke rumah sakit yang merawatnya.

Di Arafah ini turun ayat terakhir Alquran “Pada hari ini telah Aku sempurnakan Agama untuk kalian dan telah Aku cukupkan ni’mat-Ku kepada kalian, dan telah Aku ridloi Islam sebagai Agama kalian” (QS Al Ma’idah 3). Kegiatan yang menyertai shalat, dzikir dan do’a adalah khutbah.
Rasulullah SAW berkhutbah sebelum shalat Dzuhur dan Ashar jama qashar taqdim. Khutbah inilah yang dikenal dengan khutbah wada (khutbah terakhir) karena disampaikan saat beliau berhaji terakhir (hijjatul wada’). Sabda Nabi  “Ambilah dariku cara kalian bermanasik haji, mungkin sehabis tahun ini aku tidak akan menunaikan ibadah haji lagi” (HR Muslim).

Beliau berkhutbah dengan penuh kesungguhan dan mohon perhatian yang sangat dari jama’ah. Pentingnya isi khutbah, sampai sampai di akhir khutbah Beliau mengangkat telunjuknya ke langit dan menunjuk orang banyak “Allahummasyhad... Allahummasyhad...Allahummasyhad..!” (Ya Allah saksikanlah, Ya Allah saksikanlah, Ya Allah saksikanlah !).

Adapun amanat penting itu ada empat hal, yaitu:

Pertama, “Inna dimaa-a-kum wa amwaalakum haroomun ‘alaikum” (Sesungguhnya darahmu dan hartamu haram atasmu sekalian). Ini adalah amanah untuk menjaga persaudaraan. Dilarang sesama mu’min untuk saling menumpahkan darah, menyakiti, dan mengambil hartanya dengan cara yang zalim. Sebaliknya satu dengan yang lain dituntut untuk saling menjaga kehormatan dan kewibawaannya.  Mu’min adalah cermin dari saudaranya.

Kedua, “Wa ribaal jaahiliyyati maudhu’un” (dan riba jahiliyah itu terlarang). Riba adalah perbuatan dosa dan memakannya  sama dengan memakan duri di neraka. Ini menyangkut pergaulan ekonomi yang mesti dilakukan secara halal. Tidak mengandung unsur riba, judi (maisir) dan penipuan (gharar).Meminjamkan uang bukan dengan motif ingin pengembalian yang lebih banyak, melainkan dengan semangat menolong orang yang mengalami kesulitan. Melapangkannya akan berakibat kelapangan di akherat.

Ketiga, “Fattaquullaha fien nisaa-i fainnakum akhodztumuhunna biamaanillah” (Jaga dan bertakwalah kepada Allah dalam hal perempuan, sesungguhnya engkau mengambilnya dengan amanah Allah). Begitu mulia Nabi mengamanatkan persoalan istri. Menjaga badan dan hatinya karena Allah. Sikap suami kepada istri menjadi indikator kemuliaan dan kehinaan dirinya sebagaimana Sabda Nabi “Tidaklah memuliakan istrinya selain orang mulia, tidaklah menghinakannya selain dia orang yang hina”.

Keempat, “Wa qad taraktu fiikum maa lan tadhilluu ba’dahu in i’tashomtum bihi kitaaballahi” (Dan sesungguhnya aku tinggalkan kepadamu yang jika berpegang padanya tak akan sesat selama-lamanya, Kitabullah). Alquran adalah warisan Allah ‘tsuma awrotsnal kitaab’ yang menjadi bukukeselamatan hidup di dunia dan akherat. Sekeras dan segila apapun zaman yang ada, jika Al Qur’an tetap dibaca dan dijadikan pedoman, maka Allah pasti akan melindungi dan menyelamatkannya. Namun sebaliknya, melepaskan atau menjauhi Alqur’n maka sudah dapat dipastikan Allah akan melepaskan pula dirinya dan Ia pun akan menjadi sasaranpenyesatan dari orang-orang rusak yang ada di zaman itu. 

Begitulah esensi khutbah Nabi. Amanat Arafah beliau SAW bukan hanya terdengar oleh mereka yang berhaji, tetapi gaungnya terdengar jauh ke ruang yang lebih luas. Dulu, kini, dan yang akan datang.

Pada tahun 11 Hijriyah bulan Shafar Rosulullah SAW sakit keras, semakin lama semakin lemah. Sinyal wada’ (perpisahan) saat haji mulai terasa. Demamnya semakin tinggi “demam yang kurasakan sama dengan demam yang dirasakan oleh dua orang diantara kalian”. 

Nabi berada dipangkuan Siti Aisyah. “Aku merasakan beliau semakin berat dipangkuanku, kuperhatikan wajahnya ternyata penglihatannya memudar, lalu memejamkan mata seraya berucap: Ar Rofiqul A’laa minal Jannah ! (Ar Rofiqul A’laa dari Surga !)”. Saat itu wafatlah Rasulullah SAW.
Oleh HM Rizal Fadillah
sumber : www.republika.co.id

Saturday, November 09, 2013

Ibadah, Doa, Pengorbanan.

Nabi Ibrahim termasuk yang kehidupannya, kehidupan keluarganya, dan perjalanan memiliki anak keturunannya dikisahkan dalam al Qur’an.

Keberkahan, shalawat, serta salam, tercurah untuk Nabi Ibrahim, keluarga dan anak keturunannya, sebagaimana selalu kita sebut di dalam tahiyyat akhir di dalam shalat.

Dan semoga kita bisa bertemu juga dengan Nabi Ibrahim dan para nabi, dan tentu saja dengan Nabi Muhammad SAW sebagai penutup para nabi dan rasul.

Secuplik kisah pengorbanan Nabi Ibrahim yang membenarkan wahyu Allah, Tuhannya, lewat mimpi, dan dukungan dari istrinya, Siti Hajar, dan juga tokoh sentral, Nabi Ismail, yang disebut Allah sebagai ghulam haliim, anak yang sangat sabar (Qs. 37: 101), sarat hikmah buat kita semua.

Perjalanan Nabi Ibrahim memiliki anak keturunan, bolehlah ditadabburi sebagai perjalanan kita, menuju hajat kita, keinginan kita, doa kita.

Banyak di antara kita yang menginginkan sesuatu atau banyak hal di dunia ini, tapi tidak melangkah ke Allah. Sehingga urusan dunia, menjadi bernilai dunia saja. Tidak lebih.

Banyak yang sia-sia, bahkan tidak sedikit malah yang menjadi dosa, sebab menjadi keluhan, bukan doa, dan menjadi perbuatan dosa, maksiat dan melanggar perintah Allah.

Nabi Ibrahim membawa keinginannya memiliki anak keturunan, menjadi perjalanan ibadah dan doa. “Dan Nabi Ibrahim berkata aku akan pergi menghadap Tuhanku, niscaya Dia akan memberikanku petunjuk. Ya Tuhanku anugerahkanlah aku seorang anak yang termasuk golongan orang-orang yang saleh.” (Qs. 37: 99-100).

Maka begitula seharusnya kita semua. Keinginan apapun di dunia ini, mestinya menjadi juga perjalanan ibadah dan doa. Bukan sekadar keinginan dan pencarian belaka, yang akhirnya banyak membuat lupa dan lalai.

Banyak orang yang menghendaki kekayaan, rumah, uang, jabatan, kemudahan hidup, yang direpresentatifkan lewat kisah perjalanan Nabi Ibrahim mendapatkan anak keturunan, bukan dengan berjalan menuju Allah seperti yang dicontohkan Nabi Ibrahim.

Melainkan malah menuju syetan, bahkan berkawan dan meminta bantuan syetan. Baik dengan pengertian hakiki maupun sifat, sikap dan perbuatannya. Salah jalan, begitu kita bilang.

Banyak di antara kawan kita, yang seharusnya keinginan, hajat, menjadi ibadah dan doa, penuh dengan kesenangan yang panjang lagi abadi, akhirnya berbuah kenestapaan, hilangnya kehormatan, kemuliaan, harga diri, rasa malu, dan penderitaan.

Pengen kerja, bukannya ke Allah, malah nyogok. Kerjaan bisa jadi ia dapatkan. Tapi seumur hidup ia makan rizki haram. Pengen dapet proyek, kudu setor dulu sekian puluh persen, di muka. Akhirnya proyek didapat, tapi malah berhutang sana-sini.

Pengen untung, tapi merugikan orang. Akhirnya, malah buntung. Pengen rumah, mobil, dan semua yang di dunia, yang sejatinya lebih banyak yang dihalalkannya daripada yang diharamkan, malah kemudian terlempar dari apa yang dipegangnya.

Dunianya menjadi bara api baginya. Sebab bukan diraih bersama Allah, dengan cara-cara Allah, tapi justru dengan melupakan dan menjauhi-Nya.

Tidak sedikit di antara kita yang menjadi munafik. Kelihatan saleh salehah, bermuka bersih, penuh tata krama dan kemuliaan, hingga kemudian Allah menampakkan wujud aslinya.

Selamat hari raya kurban. Banyak betul yang bisa kita petik hikmahnya. Termasuk meneladani Kisah Nabi Ibrahim ingin memiliki anak keturunan, yang berjalan menuju Allah, beribadah, dan membawanya menjadi doa.

Hingga kemudian, saat ketika beliau akhirnya sudah mendapatkan Nabi Ismail dan menikmatinya, malahan Allah minta. Ketaatan, keikhlasan, keridhaan, kesabaran keluarga ini, sungguh diperlukan untuk membangun Indonesia, dan mental, akhlak, perilaku, semua rakyatnya. Salam.
Oleh: Ustaz Yusuf Mansur
sumber : www.republika.co.id

Friday, November 08, 2013

Memperbanyak Istighfar

Setelah mendirikan shalat fardhu, seseorang akan melanjutkan dengan zikir atau doa. Ada yang secara berjamaah atau sendiri. Dalam zikir atau doa tersebut tentu diawali dengan istighfar kepada Allah SWT dan shalawat kepada Rasulullah SAW.

Istighfar adalah permohonan ampun seseorang kepada Allah SWT dengan lisan dari segala bentuk kejahatan dan kezaliman yang telah ia perbuat. Istighfar wajib dilantunkan seseorang sebelum memanjatkan zikir maupun doa agar dapat diterima Allah SWT.

Secerdas apa pun seseorang takkan mampu mengetahui dan menghitung jumlah dosa yang telah ia perbuat dalam sehari, baik dalam bentuk fisik maupun batin.

Maka, dengan istighfar dapat menghapus dosa-dosa yang menjadi penghalang terkabulnya doa karena hanya Allah Zat yang Mahapengampun lagi Mahapengasih.

Berkaitan dengan ini Allah SWT berfirman kepada Rasulullah SAW, “Maka bertasbihlah kamu (Muhammad) dengan memuji Tuhanmu dan memohon ampunlah kepada-Nya, sesungguhnya Dia-lah Zat yang Mahapengampun.” (QS an-Nashr [110]: 3)

Allah SWT memerintahkan kepada manusia untuk senantiasa beristighfar tak mengenal waktu dan tempat. Selagi ia sempat dan ingat kepada Allah maka dianjurkan untuk bisa beristighfar kepada-Nya.

Istighfar dapat dilafalkan sebelum dan sesudah shalat atau juga di akhir malam. Hal inilah yang dilakukan oleh orang-orang yang bertakwa, “Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan di akhir malam mereka beristighfar (memohon ampun) kepada Allah.” (QS adz-Dzaariyat [51]: 17-18)

Lantas, berapakah selayaknya seseorang melafalkan istighfar dalam sehari? Rasulullah SAW mencontohkan kepada umatnya untuk bisa beristighfar sebanyak tujuh puluh kali dalam sehari.

Beliau berucap, “Sesungguhnya, aku beristighfar kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya sebanyak tujuh puluh kali dalam sehari.” (HR Bukhari)

Tak hanya itu, bahkan beliau melafalkan istighfar dengan lengkap sebagai wujud kesyukurannya kepada Allah SWT, meskipun secara pribadi beliau adalah orang yang ma’sum (terbebas dari salah dan dosa).

Dalam salah satu hadis, Rasulullah SAW menyebutkan, “Ya Allah, ampunilah bagiku dosa-dosaku yang telah lalu dan akan datang, yang tersembunyi dan tampak, dan apa yang Engkau lebih ketahui dariku. Engkau-lah Zat yang Mahapendahulu dan Zat yang Mahapengakhir. Dan, Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.” (HR Bukhari)

Rabiah Adawiyah, wanita sufi dalam sejarah Islam mempertegas dalam ucapannya, “Istighfar kita kepada Allah membutuhkan istighfar yang banyak.”

Dengan memperbanyak istighfar, selain sebagai sarana mengingat kepada Allah sang Mahapencipta juga untuk memohon ampun kepada-Nya; dapat mengingatkan hakikat diri sebagai makhluk-Nya yang lemah, tiada terlepas dari salah dan dosa; memberikan jalan keluar dari segala bentuk kesusahan dan kesempitan; dan mendapatkan rezeki dari jalan yang tidak disangka-sangka. Wallahua’lam.
Oleh: Sinwani
sumber : www.republika.co.id

Thursday, November 07, 2013

Tahun Baru Hijriah 1435 H

Tidak terasa beberapa hari lagi kita umat islam akan memasuki tahun baru Hijriah  1435 H. Rasanya  peringatan tahun baru hijriah ini kurang diingat, khususnya bagi umat muslim. Sesungguhnya momentum pergantian tahun ini sudah sepantasnya memberikan makna semangat baru untuk berbuat amal kebajikan, untuk  bekal menghadap sang Ilahi.   Selain itu peringatan tahun baru ini memberikan  keyakinan bahwa waktu merupakan merefleksikan diri dalam kehidupan dunia yang akan dipertangungjawabkan di akhirat kelak. Sebagaimana firman Allah SWT di dalam Al-Quran yang berbunyi artinya, “Adalah orang yang merugi jika hari ini sama dengan hari kemarin dan hari esok lebih buruk dengan hari ini. Dan kamu akan termasuk kaum yang beruntung jika hari ini lebih baik dari hari kemarin dan hari esok lebih baik dari hari ini.” 
Pemahaman itu memberikan keyakinan bagi kita bahwa waktu bukan sekadar kumpulan angka-angka yang tertera pada jarum jam atau di kalender. Tetapi waktu adalah sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan kepada  Allah SWT, Sang Pemilik Zaman.
Memaknai pergantian tahun itu sebagai momentum perubahan budaya secara individual (ibda’ binafsih), keluarga dan masyarakat yang selama tahun sebelumnya mungkin masih ada kekurangan atau kealpaan, diarah lebih baik di masa mendatang. Perubahan ini bisa terjadi apabila setiap jiwa umat Islam mampu ‘menghijrahkan’ seluruh kekuatannya (pemikiran dan tindakannya) bagi kemajuan dalam kehidupan secara pribadi.
Perubahan yang dimulai dari rumah tangga dan dilanjutkan  melalui lembaga pendidikan akan membawa dampak positif sejalan dengan perkembangan. Semua itu harus dimulai dari sekarang sebagai menciptakan generasi  muda Islami yang mampu melakukan perubahan dalam kehidupan. Sebab sudah digariskan dalam Islam bahwa“Allah SWT tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang akan mengubahnya”.
Karena itu ada tidaknya perubahan dalam kehidupan seseorang atau kelompok masyarakat sangat tergantung pada individu atau kelompok tersebut. Itu langkah minimal yang sejatinya dilakukan setiap muslim dalam memaknai pergantian tahun ini. Intinya, Islam juga mengajarkan, bahwa hari-hari yang dilalui hendaknya selalu lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Setiap Muslim dituntut untuk selalu berprestasi, yaitu menjadi lebih baik dari hari ke hari, begitu seterusnya.
Dengan keyakinan itu, maka orientasi kerja-kerja keduniaan yang selama ini kita lakukan patut kiranya di tahun 1435 H kita rubah berdasarkan pada nilai-nilai kebajikan (ma’rufat) dan membersihkannya dari pelbagai kejahatan (munkarat).
Dalam hal ini, ma’rufat mencakup segala kebajikan (virtues) dan seluruh kebaikan (good qualities) yang diterima oleh manusia sepanjang masa, sedangkan munkaratmenunjuk pada segenap kejahatan dan keburukuan yang selalu bertentangan dengan nurani manusia. Nilai kebaikan bisa diejawantahakn dengan bekerja berprinsip nilai kejujuran dan profesionalitas. Sikap jujur sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW agar dapat berperilaku yang baik dengan “menjauhi dusta karena dusta akan membawa kepada dosa dan dosa membawamu ke neraka. Biasakanlah berkata jujur karena jujur akan membawamu kepada kebajikan dan membawamu ke surga.” (HR Bukhari dan Muslim).
Pribadi yang jujur merupakan roh kehidupan yang teramat fundamental, karena setiap penyimpangan dari prinsip kejujuran pada hakikatnya akan berbenturan dengan suara hati nurani. Seperti contoh, para penyelenggara negara pada setiap aktivitas dalam rangka melayani masyarakat tentunya tidak menanggalkan prinsip kejujuran.
Dengan pemahaman itu, maka sepatutnya pergantian tahun baru Hijriah 1435  ini kita jadikan sebagai momentum mengubah diri menuju perubahan dalam segala bidang sebagai upaya penyatuan umat Islam Indonesia. Momentum hijriyah ini dinilai tepat untuk mengukit prestasi secara individu serta kelompok. 

Oleh Dr HM Harry Mulya Zein
sumber : www.republika.co.id