-

Monday, September 30, 2013

Bertakwa dengan Harta

Di dalam Alquran Allah SWT berfirman, “Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka, yaitu orang yang mengeluarkan hartanya (di jalan Allah) untuk menyucikan jiwanya. Dan ia tidak mengharapkan balasan untuk kebaikannya, selain menghendaki wajah Tuhannya yang Mahatinggi. Dan pasti ia kelak mendapat keridhaan.” (QS al-Lail [92]: 17-21).

Ayat tersebut menjelaskan tentang sikap Abu Bakar yang sangat spektakuler dalam memanivestasikan keimanan dan ketakwaannya melalui harta yang dimilikinya.

Sebagai seorang sahabat Nabi SAW yang dikaruniai nikmat harta, dia tidak pernah segan untuk mengeluarkan harta demi kejayaan umat Islam.

Ibn Abi Hatim meriwayatkan dari Urwah bahwa Abu Bakar memerdekakan tujuh orang budak yang disiksa oleh pemiliknya karena beriman kepada Allah.

Al-Hakim meriwayatkan dari Amir ibnu Abdullah ibn al-Zubar dari bapaknya bahwa Abu Quhafah, ayah Abu Bakar, berkata kepada Abu Bakar, “Aku lihat kau memerdekakan budak-budak yang lemah. Anakku, sekiranya kau memerdekakan budak-budak yang kuat, pasti mereka akan membela dan mempertahankanmu.

Mendengar ucapan ayahnya, Abu Bakar berkata, “Ayah, aku hanya mengharapkan apa yang ada di sisi Allah.” Maka, turunlah ayat di atas yang membenarkan sikap Abu Bakar.

Dari kisah Abu Bakar tersebut, Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa orang yang akan dijauhkan Allah dari neraka hanyalah orang yang benar-benar bertakwa dan orang yang paling baik dalam menjaga diri.

Terutama dalam masalah membelanjakan harta kekayaannya yang ditujukan hanya demi mengharap balasan dari Allah SWT semata.

Apabila hal tersebut dimiliki oleh seorang Muslim, pasti kelak Allah akan memberikan keridaan-Nya kepada seorang hamba yang benar-benar menyifati dirinya dengan sifat-sifat mulia, seperti yang telah dicontohkan oleh Abu Bakar.

Kemudian, Ibnu Katsir meriwayatkan kisah yang berbeda tentang Abu Bakar. Jadi, suatu ketika Rasulullah bersabda, “Barang siapa menginfakkan sepasang harta di jalan Allah, maka malaikat penjaga surga akan memanggilnya, 'Wahai hamba Allah, yang demikian itu sangatlah baik.'

Kemudian Abu Bakar bertanya, “Wahai Rasulullah, siapa yang dipanggil darinya dalam keadaan darurat, apakah akan dipanggil seseorang darinya secara keseluruhan?” Beliau menjawab, “Ya, dan aku berharap engkau termasuk salah seorang di antara mereka.” (HR Bukhari Muslim).

Dengan demikian, dapat dipahami secara terang benderang bahwa setiap hamba Allah yang diberi karunia harta sangat mungkin untuk bisa masuk surga dan selamat dari siksa neraka. Asalkan, harta yang dimilikinya benar-benar dimanfaatkan sepenuhnya di jalan Allah.

Sebab, harta kekayaan pada hakikatnya adalah titipan Allah yang harus dibelanjakan untuk kepentingan Islam dan umat Islam.

Bukan untuk kenikmatan pribadi semata, apalagi sekadar untuk pamer atau menjadikannya sebagai alat guna meraih popularitas dan kedudukan. Untuk itu, di bulan Ramadhan ini, mari kita jadikan harta yang kita miliki sebagai media untuk meraih ketakwaan.
, Oleh: Imam Nawawi
sumber : www.republika.co.id

Sunday, September 29, 2013

Bekal Ibadah Haji

Di dalam Alquran Surat Al-Baqarah: 197 “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats (kata-kata kotor), berbuat fasik (zalim kepada yang lain) dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal”.

Ayat ini secara tegas menyatakan persiapan yang harus dimiliki oleh setiap jamaah calon haji, di samping hal-hal yang bersifat fisik material, termasuk uang dan barang-barang lainnya, juga hal-hal yang bersifat spiritual dan rohaniah yang menguatkan akhlak dan perilaku yang baik, serta menjauhkan dari perilaku yang  buruk dan tercela, terutama tiga perilaku yang secara eksplisit diungkap dalam ayat tersebut.
   
Pertama, dilarang mengeluarkan kata-kata dan ucapan yang kotor dan kasar yang tidak pantas dan tidak layak diucapkan di tanah haram, terlebih lagi pada saat berpakaian ihram, seperti kata-kata yang berbau porno, menyakitkan, atau berisikan cacian dan hinaan.

Selanjutnya harus diganti dengan ucapan-ucapan yang mencerminkan kepatuhan dan ketundukan hati kepada Allah SWT, seperti tasbih, tahmid, takbir, tahlil, doa, membaca salawat kepada Nabi SAW, dan memperbanyak membaca Alquran.
   
Kedua, dilarang berbuat fasik dan zalim serta aniaya kepada sesama jamaah atau pada makhluk Allah SWT lainnya yang hidup di tanah haram, termasuk dilarang merusak dan mencabuti tanaman yang tumbuh, serta berburu atau membunuh binatang. Dan juga dilarang berdusta, berbohong dan menipu orang lain.

Ketiga, dilarang berbantah-bantahan yang menyebabkan timbulnya permusuhan dan pudarnya semangat persaudaraan atau ukhuwah islamiyyah terutama antar sesama jamaah, baik yang berasal dari satu daerah atau satu negara, maupun dari daerah dan negara lain.

Semua jamaah haji harus harus larut dalam suasana keakraban, kekeluargaan, saling menolong dan saling membantu yang mencerminkan satu tubuh (kal jasadil waahid) atau satu bangunan yang solid (kalbunyaan yasyuddu ba’duhu ba’dhan).

Hal-hal tersebut itulah yang harus menjadi bekal utama dari setiap jamaah calon haji, yang kalau dilatih dan dibiasakan selama ibadah haji, mudah-mudahan akan menjadi perilaku utama yang masuk ke dalam struktur kepribadian para jamaah.

Dan itulah oleh-oleh yang seharusnya dibawa oleh para jamaah ketika kembali ke Tanah Air dan ke tempat masing-masing. Adanya peningkatan perilaku yang semakin baik dari sebelumnya.

Dan itulah yang dikatakan haji mabrur sebagaimana dikemukakan oleh Imam Hasan al-Basri (Fiqh Sunnah Vol. 5) ayyakuuna ahsana min qablu wa ayyakuuna qudwata ahli baladihi (perilakunya lebih baik daripada sebelumnya dan menjadi panutan masyarakat lingkungannya).

Selamat melaksanakan ibadah haji. Semoga mempersiapkan bekal takwa dan membawa oleh-oleh perubahan perilaku yang lebih baik. Wallahu A’lam.
Oleh KH Didin Hafidhuddin
   
sumber : www.republika.co.id

Saturday, September 28, 2013

Memaknai Musibah

Hari berganti hari, masa berganti masa detik berganti detik. Hidup adalah sebuah ketidak pastian, namun perpindahan adalah suatu hal yang pasti. Cobaan datang mendera bertubi tubi, entah itu nikmat atau musibah. Semua adalah sepaket ujian yang telah Allah siapkan untuk kita sebagai fitrah kita manusia.

Bila dianalogikan layaknya sebuah baja. Agar menjadi baja yang bagus dan bernilai pun harus ditempa dan di panaskan berkali kali agar menjadi besi yang amat berharga dan bernilai jual. Begitu pula kita, manusia, perlu di uji berkali kali agar mental menjadi lebih  kuat dan derajat kita semakin meningkat di sisi Allah SWT.

Mukmin yang kuat, tak akan terpental hanya karena pukulan badai hidup yang menyerangnya. Ia akan segera bangkit dari keterpurukan nya dan belajar untuk memperbaiki dan belajar dari kesalahan yang di alaminya.
       
 Kasih sayang Allah tidak selalu berwujud kesenangan, melimpahnya harta, tercapainya segala keinginan, dan jauh dari berbagai musibah. Justru bisa jadi sebaliknya. Orang yang mendapatkan berbagai kesenangan itulah yang tidak dicintai-Nya. Orang tersebut dibiarkan tenggelam dalam kesenangan dunia sampai tiba ajalnya. Pada saat itu semua kesenangan dicabut dan diganti dengan berbagai siksa yang mengerikan, baik ketika di kubur, di padang mahsyar, maupun di neraka.

Jangan mengira pula bahwa nikmat yang di peroleh para pelaku maksiat yang  terus menerus tanpa musibah itu adalah rahmat dari Allah, bisa jadi itu tipu daya Allah. Bisa jadi itu istidraj, dimana Allah membiarkan hambanya memperoleh segala yang ia kehendaki sementara adzab yang nyata telah menanti di akhirat kelak.

Sungguh celaka orang yang bermain main dengan larangan Allah. Ia larut dan terlena oleh nikmat dunia yang menipu lagi menjerumuskan. Sungguh beruntunglah orang orang yang bersabar menerima musibah dan memahami hakikat bahwa musibah itu pada dasarnya adalah sebuah proses untuk menghapuskan dosa dosanya.

“Apabila Allah menghendaki hamba-Nya mendapatkan kebaikan maka Allah segerakan baginya hukuman di dunia. Dan apabila Allah menghendaki keburukan untuknya maka Allah akan menahan hukumannya sampai akan disempurnakan balasannya kelak di hari kiamat.” (Terjemah hadits riwayat Muslim)

Setiap musibah sudah digariskan dan ditentukan oleh sang Pencipta yaitu Allah SWT. Manusia tidak akan pernah tahu kapan ajal akan menjemput karena itu merupakan sebuah ketetapan dari Allah yang tiada mengetahui kecuali Allah semata.

Adakalanya musibah merupakan sebuah ujian dari Allah SWT dan adakalanya pula musibah tersebut merupakan teguran atau bahkan laknat/adzab dari Allah SWT. Musibah bisa menjadi peluang koreksi batin. Boleh jadi kesulitan itu bersumber dari diri sendiri. Kita sendiri yang mengundang permasalahan. Dosa-dosa menutup kita dari kasih sayang Allah. Kesalahan-kesalahan yang kita perbuat baik terhadap Allah maupun terhadap manusia.

Musibah kadang datang untuk memperingatkan kita, sedikit mencubit kita, agar segera tersadar dan kembali ke jalan Allah setelah beberapa waktu tersesat. Awalnya hanya cubitan kecil. Jika kita tidak juga merasa, kemudian diingatkan dengan dipukul sedikit keras.

Jika tidak terasa juga kemudian dipukul dengan tenaga yang lebih besar. Bukankah kadang seseorang harus disentak atau ditendang agar tidak terperosok ke dalam jurang yang dalam. Karena toh sakit akibat jatuh ke dalam jurang jauh lebih fatal dibanding sakit akibat ditendang atau disentak untuk mengingatkan, membuat kita bertafakkur, mengistirahatkan hati sejenak dan merenungi dimana kah letak kesalahan kita.

Sebagaimana terdapat dalam firman Allah surah an-nisa ayat 79 yang artinya: "Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah,dan apa saja bencana yang menimpamu,maka dari (kesalahan)dirimu sendiri...(QS An-Nisaa :79)

Kala musibah sebagai ujian yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya maka setiap ujian ini akan disesuaikan dengan tingkat ketakwaan seorang hamba tersebut. Sudah barang tentu manusia yang paling bertakwa akan diuji dengan ujian yang semakin berat sesuai dengan tingkatan dan kadar iman serta takwanya kepada sang Kholiq Robbul ‘Izzati.

Seperti halnya seorang yang masih dalam bangku sekolah setiap level atau jenjang pendidikan memiliki instrumen ujian yang berbeda berdasarkan tingkatan jenjang pendidikan tersebut. Ujian siswa anak Sekolah Dasar (SD) akan berbeda tingkat kesukarannya dengan ujian siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), demikian halnya dengan ujian dalam kehidupan ini pasti ada tingkatan atau level.

Selain sebagai sebuah ujian, terkadang musibah merupakan suatu teguran dari Allah SWT atas perbuatan yang dilakukan oleh manusia yang cenderung melakukan hal-hal yang menjurus pada sebuah kemaksiatan atau kemungkaran. Bahkan yang lebih mengerikan lagi apabila musibah tersebut merupakan suatu adzab yang diberikan Allah kepada hamba-Nya yang tentunya adalah hamba yang ingkar, kufur, dan melanggar perintah agama.

Terkait dengan hal tersebut wajib percaya bahwa segala sesuatu yang telah terjadi dan yang akan terjadi, semuanya itu, menurut apa yang telah ditentukan dan ditetapkan oleh Tuhan Allah, sejak sebelumnya (zaman azali). Jadi segala sesuatu itu (nasib baik dan buruk) sudah diatur dengan rencana-rencana tertulis atau batasan-batasan yang tertentu.

Tetapi kita tidak dapat mengetahuinya sebelum terjadi. Rencana sebelumnya itu Qadar atau Takdir. Namun kalau kita bisa menerima dengan ikhlas atas ketetapan-Nya,Insya Allah kita akan terhindar dari perasaan frustasi dan putus asa karena seseorang yang putus asa akan sendirian di dunia ini dan tidak mempunyai jalan keluar. Sungguh tidak pantas lagi jika ada musibah yang sebenarnya akan meninggikan kita, justru kita menghujat Allah, mengeluhkannya, membenci Allah.

Mulai sekarang mari kita ubah persepsi kita. Apakah yang akan menimpa kita, entah nikmat atau musibah, kita hadapi dengan ikhlas, ridha karena semuanya adalah kasih sayang dari Allah untuk meninggikan kita. Dan mari kita syukuri dengan sikap sabar dan syukur. Bersyukur dengan semua potensi di jasad dan jiwa kita yang Allah karuniakan, dengan mengabdi sebaik-baiknya, bertaqwa kepada Allah dengan taqwa yang sebenarnya, menjalankan Islam secara kaaffah. Insya Allah.

"....Boleh jadi kamu membenci sesuatu,padahal ia amat baik bagimu,dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu,padahal ia amat buruk bagimu,Allah mengetahui,sedang kamu tidak mengetahui."(QS Al-Baqarah:216)
 , Oleh  Syarifah SPd*



* Penulis adalah Alumnus IAIN Antasari Banjarmasin 2010 Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris
 


sumber : www.republika.co.id

Friday, September 27, 2013

Mabrur Pascahaji

Musim haji sudah tiba. Syawal, Dzul Qaidah, dan Dzul Hijjah adalah bulan-bulan haji. Umat Islam yang kini tengah menunaikan rukun Islam kelima ini tentu sudah bersiap diri, baik fisik, finansial, maupun mental spiritual.

Para tamu Allah  (dhuyuf ar-Rahman) itu tentu juga berniat dan berharap memperoleh haji mabrur, yang balasannya tidak lain adalah surga (HR Muslim).
   
Jamaah haji Indonesia termasuk yang terbesar di dunia, dan boleh jadi yang paling banyak membelajakan hartanya di Tanah Suci.

Para alumni Tanah Suci itu sering digugat: "Mengapa jumlah jamaah haji yang terus meningkat setiap tahun, bahkan ngantri bertahun-tahun, tidak berbanding lurus dengan penurunan angka korupsi atau perbaikan integritas dan akhlak  umat Islam?" "Apa bukti kemabruran haji mereka?

Oleh karena itu, aktualisasi kemabruran pascahaji merupakan sebuah keharusan, agar ritualitas ini tidak berhenti pada tataran pemenuhan atau pengguguran kewajiban, melainkan harus membuahkan perilaku moral yang mulia dan terhormat.

Berhaji bukan sekadar untuk mengejar dan memperoleh gelar haji, tetapi yang lebih penting lagi adalah menjadi orang benar-benar mengamalkan nilai-nilai moral-spiritual pascahaji.
    
Haji itu ibadah multidimensional. Manasik haji bukan sekadar ritualitas fisik tanpa makna. Prosesi manasik haji adalah sebuah drama kehidupan yang kaya makna, terutama makna sosial kultural.

Haji dimulai dengan niat ihram. Pakaian ihram mengandung pesan bahwa menjadi tamu Allah itu harus suci lahir batin, tidak egois, tapi emansipatoris dan siap memenuhi panggilan ketaatan (talbiyah) hanya kepada-Nya dan hanya berharap memperoleh ridha-Nya.
   
Thawaf bukan sekadar mengelilingi Ka'bah tujuh kali. Thawaf mendidik jamaah haji bergerak dinamis dalam orbit tauhid. Keteguhan dan konsistensi dalam bertauhid memacu gerak untuk maju dan terus maju.

Orang yang berthawaf adalah orang yang antikemunduran dan kejumudan. Thawaf menyadarkan pentingnya nilai progresivitas sosial yang bersendikan nilai-nilai tauhid.
   
Sa'i antara Shafa dan Marwa melambangkan etos dan disiplin kerja yang tinggi. Siti Hajar, ibunda Nabi Ismail AS, memberikan keteladanan sebagai seorang ibu yang tidak pernah menyerah untuk berusaha demi masa depan anaknya yang saat itu menghadapi kesulitan.

Etos dan disiplin kerja itu harus dimulai dari shafa (ketulusan hati dan kejernihan pikiran). Etos dan disiplin sa'i harus maksimal agar mencapai Marwa (kepuasan hati, hasil maksimal atau prestasi tinggi).
   
Wuquf di Arafah adalah kesadaran terhadap pentingnya berhenti sejenak sambil makrifat diri untuk dapat merasakan kehadiran Allah SWT.

Sebagai lambang miniatur makhsyar di akhirat kelak, wukuf memberi kesadaran akan pentingnya introspeksi diri, pengenalan jati diri, dan yang lebih penting lagi "pengadilan terhadap diri sendiri". Jika selama ini manusia cenderung mengadili orang lain, atau tidak pernah berbuat adil,

Wuquf di Arafah adalah momentum yang tepat untuk mengambil keputusan yang arif: apakah selama ini yang berwukuf sudah benar-benar menjadi hamba-Nya ataukah masih menjadi hamba-hamba selain-Nya? Apakah yang berwukuf itu sudah meneladani akhlak Allah atau masih selalu mengikuti hawa nafwu dan setan?
   
Karena itu, di malam hari menuju Mina, para jamaah haji diminta bermabit di Muzdalifah (mendekatkan diri), sekali lagi bertaubat dan bermunajat kepada Allah sambil menyiapkan amunisi jihad di jamarat Mina.

Mina adalah simbolisasi cita dan cinta. Karena cinta-Nya yang tulus kepada Allah, Nabi Ibrahim rela mengorbankan anak kesayangannya, Ismail. Berjuang melawan setan dan hawa nafsu hanya bisa dimenangi oleh rasa cinta yang tulus kepada Allah.

Dengan cinta karena-Nya, Ibrahim akhirnya memperoleh cita-citanya: anaknya tidak jadi korban, karena manusia memang tidak pantas dikorbankan. Ismail adalah generasi masa depan, penerus perjuangan ayahnya.
    
Haji adalah ibadah yang paling multikultural; diikuti oleh aneka suku bangsa, bahasa, negara, adat-istiadat, watak, karakter, latar belakang sosial ekonomi dan budaya. 

Melalui syariat haji ini, Allah sungguh menitipkan pesan-pesan moral agar manusia saling bersikap emansipasi, toleransi, saling menghargai, cinta damai, disiplin dan etos kerja tinggi, dan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia sebagaimana dipesankan dalam khutbah wada' Nabi Muhammad SAW.

Dengan memahami nilai-nilai moral haji tersebut, para jamaah haji diharapkan dapat mempertahankan kemabruran pascahaji! Semoga!
Oleh Muhbib Abdul Wahab
sumber : www.republika.co.id

Thursday, September 26, 2013

Cara Rasulullah SAW Memuliakan Istrinya

Siapa tidak mendamba pasangan setia dan selalu mesra? Siapa pula tidak jengah hidup dengan pasangan yang durhaka lagi gampang marah? Faktanya, menjadi pasangan setia dan mesra sungguh tidak mudah.

Alangkah baik kita menjadikan rumah tangga Rasulullah sebagai teladan utama. Inilah potret rumah tangga yang diliput berkah dan bertabur cinta. Panutan umat sejagat ini adalah sosok suami yang pandai mengistimewakan istri.

Beliau biasa memanggil Aisyah dengan sebutan Humaira, yang kemerah-merahan pipinya. Kadang juga Aisy, yang dalam budaya Arab, pemenggalan huruf terakhir dari nama itu menunjukan panggilan manja sebagai tanda sayang. Tidak ada wanita yang tidak tersanjung dipanggil demikian oleh suaminya.

Di tengah kesibukan mengurus umat, Rasulullah juga mampu menjaga keintiman bersama istri. Perhatikan penuturan Aisyah berikut. “Aku pernah mandi janabat bersama Rasulullah dengan satu tempat air. Tangan kami bergantian mengambil air.” (HR Bukhari dan Muslim). Rasulullah juga pernah minum di gelas yang digunakan Aisyah. Beliau pernah makan daging yang sudah digigit Aisyah (HR Muslim).

Kemesraan bahkan tetap dilakukan Rasulullah ketika istri sedang dalam keadaan haid. Simak penuturan Ummu Salamah. “Ketika aku rebahan bersama Rasulullah di lantai, tiba-tiba aku haid. Aku keluar mengambil pakaian haidku. Beliau bertanya, ‘Mengapa kamu, apakah kamu haid?’ Aku menjawab, ‘Ya’. Beliau lalu memanggilku, dan aku tidur bersama beliau di lantai yang rendah.”

Rasulullah memang begitu memuliakan istri. Boleh jadi sebagian suami lebih nyaman keluar rumah bersama rekan, meninggalkan istri di rumah. Perhatikan sikap Rasulullah, sebagaimana kesaksian Aisyah. “Ketika hendak melakukan sebuah perjalanan, Nabi biasa membuat undian di antara para istri beliau. Siapa yang namanya keluar undian, dialah yang ikut pergi bersama Rasulullah.” (HR Bukhari dan Muslim).

Demikian pula ketika beliau menyaksikan hiburan. Aisyah berkisah, “Pada suatu hari, orang-orang berkulit hitam mempertontonkan permainan perisai dan lembing. Aku tidak ingat apakah aku yang meminta atau Nabi sendiri yang berkata padaku, apakah aku ingin melihatnya. Aku menjawab, ‘Ya.’ Lalu beliau menyuruhku berdiri di belakang beliau. Pipiku menempel ke pipi beliau. Beliau berkata, ‘Teruskan permainan kalian, Wahai Bani Arfidah (julukan orang Habasyah)!’ Hingga ketika aku merasa bosan, beliau bertanya, ‘Apakah kamu sudah puas?’Aku menjawab, ‘Ya.’ Beliau lalu berkata, ‘Kalau begitu, pergilah!’.” (HR Bukhari dan Muslim).

Itulah sosok suami sejati. Kendati demikian, sebagai manusia normal, tentu saja rumah tangga Rasulullah tidak bebas dari konflik. Perselisihan dalam rumah tangga adalah bumbu cinta. Namun, ketika berselisih, Rasulullah tidak pernah melibatkan emosi. Ketika sedang marah kepada Aisyah, beliau berkata, “Tutuplah matamu!” Kemudian Aisyah menutup matanya dengan perasaan cemas, khawatir dimarahi Rasulullah. Nabi berkata, “Mendekatlah!” Tatkala Aisyah mendekat, Rasulullah kemudian memeluk Aisyah sambil berkata, “Humairahku, telah pergi marahku setelah memelukmu.”

Tidak pernah ada kalimat kasar dan menyakitkan dalam rumah tangga Rasulullah. Bahkan, beliau biasa memijit hidung Aisyah jika dia marah, sambil berkata, “Wahai Aisyah, bacalah do’a, ‘Wahai Tuhanku, Tuhan Muhammad, ampunilah dosa-dosaku, hilangkanlah kekerasan hatiku, dan lindungilah diriku dari fitnah yang menyesatkan’.” (HR Ibnu Sunni).

Semua kita pasti berharap memiliki rumah tangga yang sakinah dan penuh berkah. Rasulullah telah mengajarkan suami bagaimana memuliakan istri. Seperti sabda beliau, “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Lelaki yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya.” (HR Tirmidzi dan Ibnu Hibban).
Oleh M Husnaini
Penulis Buku “Menemukan Bahagia”. Email: hus_surya06@yahoo.co.id

sumber : www.republika.co.id

Wednesday, September 25, 2013

Spirit Haji Menuju Kebahagiaan Sejati

Labaik Allahumma Labaik. Panggilan haji kembali tiba. Jamaah haji Indonesia sudah mulai diberangkatkan menuju tanah suci Makkah serta menjadi tetamu Allah SWT.  Momen haji adalah momen yang mampu memberikan inspirasi bagi kemajuan kemanusiaan.
Proses ini ditandai dengan jutaan manusia berbondong-bondong ke baitul Ka’bah, simbol pemersatu umat Islam. Dalam ritual haji, manusia diperlakukan secara sama dan adil, tanpa melihat ras, suku dan latarbelakang dunia lainnya. Harkat dan martabat mereka sebagai manusia adalah sama. Hak dan kewajiban mereka sebagai hamba juga sama. Tujuan dan arah perjuangan hidup mereka hakikatnya juga sama, yaitu berusaha meraih kebahagiaan yang sejati abadi.

Itulah sesungguhnya yang menjadi hikmah dan tujuan utama di syariatkannya ibadah haji. Dalam bahasa Alquran, hikmah dan tujuan ibadah haji - yang merupakan puncak tertinggi ajaran rukun Islam – diungkapakan dengan istilah liyasyhaduu manaafi`a lahum, yaitu untuk “menyaksikan” kemanfaatan-kemanfaatan duniawi dan ukhrawi (kebahagiaan sejati) yang mahadasyat yang akan terus mengalir dan menjadi “milik” mereka yang berhasil menunaikan haji secara mabrur (QS. Al-Hajj 22:28)

Secara etimologis, sebagaimana dikemukan Ibn Mandzur dalam kitabnya, Lisaan al-Arab, kata hajj antara lain berarti “menuju pada target tertentu” (al-qashd). Lebih spesifik lagi, al-Ishfahani dalam kitabnya, Mufradaat Alfaadz al-Qur`aan, menjelaskan pengertian hajj sebagai “menuju kepada target tertentu untuk dikunjungi” (al-qashd li al-ziyarah). Dari situlah muncul istilah haji dalam Islam yang berasal diambil dari kalimat hajj al-bait atau “berkunjung ke baitullah”, yaitu kunjungan khusus ke Masjidil Haram dengan tujuan menunaikan manasik haji (QS. Ali `Imran 3:97).

Ditilik dari segi filosofis makna kata (fiqh qiyaas al-lughah), kata hajj yang dibentuk oleh rangkaian tiga huruf dasar haa`jiim, jiim pada hakikatnya menunjukan simpul makna dasar yang menggambarkan “keberadaan sesuatu yang bisa dijadikan landasan, sandaran, atau fokus perhatian” (ma u`tumida`alaihi) atau “berproses menuju landasan, sandaran, atau fokus  perhatian” (al-i`timaad).

Misalnya, kata hujjah yang memiliki arti dasar argumentasi (al-daliil) atau bukti kebenaran (al-burhaan). Begitu juga kata mahajjah  yang berarti jalan terbuka yang arah-arahnya (al-thariiq al-jaaddah). Disebut demikian karena jalan tersebut bisa dijadikan sandaran untuk sampai pada alamat yang dituju. Atau kata hajj (al-syijaaj) yang memiliki arti memeriksa luka di kepala secara teliti, terfokus, dan penuh perhatian untuk keperluan pengobatan serta penyembuhan.

Jadi, substansi haji adalah mencari dan mengukuhkan sandaran atau landasan yang hakiki begi kehidupan menuju kebahagiaan sejati yang merupakan fokus perhatian dan target pencarian yang dituju oleh seluruh umat manusia.. Karena itu, banyak ulama menyebutkan, haji mabrur adalah yang disertai dengan tanda-tanda ke-mabrur-an setelah berhaji, diantaranya akhlak dan amal perbuatannya menjadi lebih baik daripada sebelumnya.
Oleh Dr  HM Harry Mulya Zein

sumber : www.republika.co.id

Monday, September 23, 2013

Merasakan Kehadiran-Nya

Salah satu nilai spiritual yang utama dari ritualitas  ibadah haji  adalah merasakan kehadiran Allah. Dalam menjalankan setiap rangkaian manasik haji, mulai dari memakai pakaian ihram hingga tahallul, para tamu Allah (dhuyûf al-Rahmân) itu senantiasa dididik untuk mengingat dan merasakan kehadiran-Nya.

Semakin mendekatkan diri kepada-Nya, getaran sinyal kehadirannya itu makin kuat dan memandu hati untuk selalu berada di jalan-Nya yang benar dan lurus (as-shirath al-mustaqim).

Merasakan kehadiran Allah berarti kita  selalu berusaha bersama-Nya di manapun dan kapanpun. Dia selalu hadir dan berperan dalam kehidupan kita.
Kita selalu diawasi, dijaga, dimonitor, dan direkam oleh-Nya. Merasakan kehadiran-Nya juga bermakna bahwa kita harus mengikuti syari'at-Nya jika ingin memperoleh keselamatan, kedamaian, dan  kebahagiaan dunia dan akhirat.
  
Allah SWT memang Mahahadir dalam kehidupan ini, sehingga kita harus selalu menyadari bahwa gerak-gerik hati, lisan, tangan, sikap, dan perbuatan kita selalu dalam pengawasan Allah SWT.

Ketika  merespon panggilan Allah SWT untuk menjadi tamu-Nya dengan menyatakan: labbaika Allahumma labbaik… [Ya Allah, aku datang hanya untuk memenuhi panggilan-Mu...], pada dasarnya jamaah haji sedang diuji keimanannya apakah ia telah siap menjadi tamu Allah yang selalu merasakan kehadiran-Nya atau justru status sosial yang hadir mewarnai prosesi manasiknya, sehingga sinyal kehadiran-Nya redup dan tidak mendapat tempat dalam relung hatinya.
   
Di antara saat dan tempat yang sangat kuat getaran kehadiran Allah adalah wukuf di Arafah. Sabda Nabi: [Esensi] Haji itu adalah arafah (HR al-Bukhari dan Muslim).

Karena itu, setiap Muslim yang menunaikan haji harus hadir di tempat yang merupakan miniatur padang makhsyar ini, tempat manusia kelak dihisab oleh Allah.

Merasakan kehadiran-Nya di tempat suci ini sungguh memberi nilai edukasi yang sangat signifikan bagi pembentukan jiwa yang bersih dan sehat, mental spiritual yang tangguh, dan moral sosial yang anti segala bentuk penyelewengan, korupsi, keserakahan, dan sebagainya.
   
Merasakan kehadiran-Nya menuntut pengenalan jati diri (‘arafa nafasahu), dimulai dengan pengakuan terhadap segala dosa (i’tiraf), taubat, istighfar, kemudian zikir, dan doa, sehingga dengan begitu hati menjadi bening, suci dan dapat menerima “sinyal-sinyal” kehadiran-Nya.

Sinyal-sinyal nurani ini pada gilirannya dapat mengantarkan hamba untuk mengenal lebih dekat dengan-Nya  (‘arafa rabbahu).

Kunci untuk dapat merasakan kehadiran-Nya adalah ihsân, yaitu: “Engkau selalu beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya; tetapi jika engkau tidak melihat-Nya, yakinlah bahwa Allah pasti hadir melihatmu” (HR Muttafaq ‘alaih).
    
Merasakan kehadiran-Nya tidak hanya penting dimiliki oleh setiap jamaah haji, tetapi juga oleh setiap Muslim, baik yang sudah maupun yang belum menunaikan ibadah haji.

Dengan merasakan kehadiran-Nya, Muslim diharapkan memiliki kecerdasan spiritual dan moral, sehingga kapanpun dan di manapun Muslim semakin menjaga diri dan keluarga dari perbuatan dosa, perilaku tercela dan tidak bermoral, karena Allah hadir mengawasi dan merekam jejak perilakunya non-stop.
    
Kita semua merindukan para pemimpin yang dapat menjadi teladan dalam merasakan kehadiran-Nya dalam mengurus negara, bangsa, dan melayani masyarakat.

Jika negara ini diurus dengan kecerdasan spiritual dan moral, dan kesadaran akan pentingnya menghadirkan-Nya, niscaya para pejabat selalu merasa takut berbuat salah, enggan korupsi, anti penyelewengan, dan takut berperilaku yang tidak bermoral.

Jika para jamaah haji telah diundang oleh Allah SWT ke rumah suci-Nya, maka sudah semestinya sepulang dari haji mereka selalu mengundang Allah untuk hadir dalam rumah mereka.

Kehadiran Allah dalam setiap rumah Muslim, terutama yang sudah berhaji, tentu saja, akan memberi dampak mental spiritual dan moral sosial yang kuat untuk senantiasa ber-muhâsabah (introspeksi dan evaluasi diri), musâbaqah fi al-khairât (berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan), dan mudâwamah dzikrillah wa al-maut (selalu mengingat Allah dan mengingat kematian).

Agar selalu merasakan kehadiran-Nya, setiap Muslim perlu menghayati makna innâ lillahi wa innâ ilaihi râji’ûn (Sungguh kita semua milik Allah, dan akan kembali kepada-Nya).

Ketika diangkat menjadi khalifah, kalimat pertama yang diucapkan ‘Umar bin al-Khattab adalah innâ lillahi wa innâ ilaihi râji’ûn, bukan Alhamdulillah, sebagai manifestasi dari kesadaran dan tanggung jawab moral bahwa Allah Mahahadir dan selalu mengawasi kinerja kepemimpinannya.

Sungguh sangat merugi Muslim yang tidak dapat merasakan kehadiran-Nya dalam hidupnya hingga ia dipanggil menghadap-Nya.  
Oleh Muhbib Abdul Wahab
sumber : www.republika.co.id

Pandai Berkaca

Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada. Dan sertailah keburukan dengan kebaikan niscaya akan menutupinya. Dan bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang yang terpuji”. (HR. At-Tirmidzi dari Mu’az bin Jabal ra.)

Dalam Matan Arba’in Imam an-Nawawi, (Hadits ke-35) mengutip nasehat Rasulullah SAW yang menjelaskan bahwa ketakwaan itu bersumber dan bermuara di dalam hati seseorang.

Maka jangan hasad, tipu menipu, benci membeci, jauh menjauhi, menzhalimi dan menghina.  Setiap muslim itu bersaudara, sehingga haram darah, harta dan kehormatannya. (HR.Muslim).

Jangan sombong, karena Allah tak suka kepada kesombongan walau hanya sebiji sawi. (HR. Muslim). Allah SWT. tidak melihat seseorang dari tampilan  jasmaniyah dan rupa, tapi dari  hati dan amal perbuatan. (HR. Muslim).

Tidak patut menghina, mencari-cari kesalahan, menzalimi dan menghukumi orang lain, meskipun secara lahiriyah ia berbuat kesalahan.
Jangan mengejek, menertawakan kekurangan dan menggunjing. Semua manusia sama di hadapan Allah, kecuali karena ketakwaannya. (QS.49:11-13).

Jangan pula karena kebencian, kita tidak adil, menghina dan mengambil haknya. Adil dan baik dekat dengan ketakwaan  (QS.5:8, 16:90).

Syaikh Abdul Kadir al-Jailani (1077-1166 M), seorang ulama dan sufi yang sangat terkenal khususnya di kalangan dunia tasawuf dan pengamal tarekat pernah memberi petuah berharga. 

Ibnu Hajar al-Asqalani, dalam buku Nashaihul ‘Ibad (Bab. III. makalah ke-21) menukil enam petuah bijaksana dari guru para sufi tersebut agar menjadikan setiap orang yang kita temui menjadi cermin hidup yang baik untuk meningkatkan kualitas, moralitas dan integritas diri.  

Pertama, apabila engkau bertemu seseorang, katakanlah mungkin dia lebih baik dan lebih tinggi derajatnya di sisi Allah.
Pesan ini mendorong kita untuk tidak meremehkan seseorang meskipun secara tampilan lahiriyah bahkan juga kelakuannya sepintas kurang berkenan.

Menghormati dan memuliakan orang lain adalah perbuatan terpuji. Setiap orang punya kekurangan juga kelebihan.
Tidak boleh menilai seseorang dari kelemahannya. Mungkin, dia punya keutamaan yang kita tidak miliki. Don’t judge the book by the cover (jangan nilai sebuah buku dari sampulnya).

Kedua, apabila engkau bertemu dengan orang yang lebih kecil (muda), katakanlah dia belum berbuat dosa kepada Allah, tentu dia lebih baik.
Bukankah seringkali orang tua under estimate (menilai rendah) kepada anak-anak karena usianya yang muda ?  

Padahal, ilmu dan kearifan tidak selalu melekat dengan usia yang tua. Orang yang muda bisa lebih berilmu dan arif melihat sesuatu.
Islam mengajarkan orang tua harus menyangi yang lebih muda. Justru, orang tua harus kagum dan mau belajar kepada yang muda. 

Ketiga, apabila engkau bertemu dengan orang yang lebih tua, katakanlah dia telah banyak beribadah kepada Allah.
Sepatutnya orang yang lebih muda menghormati dan memuliakan orang yang lebih tua.  Bukan termasuk seorang muslim yang baik, jika yang muda tidak menghormati yang tua.

Pandangan kita bahwa orang tua sudah lebih banyak kebaikan dan kontribusinya bagi umat, tentu membuat kita hormat kepadanya dan berupaya untuk mengikuti langkahnya yang baik itu.

Keempat, apabila engkau bertemu dengan orang yang berilmu (alim), katakanlah dia telah diberikan anugerah yang belum aku dapatkan, mengatahui apa yang belum aku ketahui dan mengamalkan ilmunya.

Ilmu mendapat tempat terhormat dalam Islam, sehingga orang berilmu diberikan derajat yang mulia. (QS. 58:11).  Orang yang muda akan dituakan (dibesarkan) karena ilmunya. Sementara orang tua akan dikecilkan karena tidak berilmu.

Jangan cari-cari kesalahan dan kekurangannya untuk menjadi alasan tidak perlu belajar kepadanya. Ikuti yang baik dan tinggal yang buruk darinya.  

Kelima, apabila engkau bertemu dengan orang bodoh, katakanlah dia durhaka kepada Allah karena kebodohannya, sementara aku berbuat dosa dengan pengetahuanku.

Memang, paling mudah kita memerehkan orang bodoh, tidak sekolah dan tidak terpelajar. Sementara kita yang berpendidikan tinggi seakan paling terhormat dan patut dihormati.

Bukankah tindakan buruk yang merugikan orang banyak justru dilakukan oleh orang berilmu (white crime)? Korupsi dan kemaksiatan sosial dan politik dilakukan oleh orang terpelajar.

Keenam, apabila engkau bertemu dengan orang kafir (kufur), katakanlah, mungkin juga aku bisa kafir  sehingga berakhir dengan amal yang jelek. Nilai dari sebuah amal diukur dari akhirnya.

Orang saleh belum tentu berakhir dengan kesalehan. Begitu pun orang durhaka (ahli maksiat) belum tentu berakhir dalam kemaksiatan.

Kita diajarkan untuk meminta  diberi ujung hidup yang  baik (husnul khatimah) dan dijauhkan dari akhir hidup yang buruk (suul khatimah).

Imam Bukhari meriwayatkan : “al-mukminu mir’atul mu’min” (seorang mukmin itu cermin bagi mukmin yang lain).  Meskipun, kita seringkali tidak pandai berkaca dari kehadiran seseorang. Merasa orang baik itu tidak baik. Tentu, lebih baik merasa belum baik. 

Pada akhirnya, kita tidak pernah tahu ujung dari perjalanan hidup ini. Apakah ketika ajal tiba, hidup berakhir dalam kebaikan atau keburukan ? Itu rahasia Ilahi.  

Merasa paling benar dan baik adalah kesombongan. Kesombongan adalah dosa awal makhluk (Iblis) dan mengikuti rayuannya adalah dosa pertama manusia (Nabi Adam as.), serta iri hati (hasad) menjadi awal pertumpahan darah manusia pertama di muka bumi (Qabil dan Habil). Allahu a’lam bish-shawab.
, Oleh: Ustaz Hasan Basri Tanjung, MA
sumber : www.republika.co.id

Sunday, September 22, 2013

Air Mata di Pusara Ibu

Saya pernah membaca buku berjudul Dam'ah 'ala Qabri Ummi (Air Mata di Pusara Ibu) yang ditulis Prof Shalih Al Ayid. Penulis buku ini sejak kecil ditinggal wafat ayahnya dan dibesarkan ibunya. Perjuangan ibu dan pengorbanan untuk anak-anaknya sangat berkesan di hati anak. Ketika ibunya wafat, ia benar-benar sedih.

Maka, beliau menulis buku tersebut untuk mengenang dan mengungkapkan perasaan sedihnya, mengingatkan besarnya jasa ibu, dan menghibur dirinya agar sabar, ikhlas, pasrah, dan tawakal kepada Allah SWT.

Prof Al Ayid berkata dalam buku itu, “Sesungguhnya doa ibu tidak mungkin meleset. Ibuku-semoga Allah merahmatinya-selalu ridha terhadap anak-anaknya dan sangat mencintai mereka. Ibuku selalu berdoa memohon kebaikan untuk anak-anaknya di setiap waktu. Berdoa dengan hati yang bersih tanpa ada dendam dan kebencian. Karena itu, saya melihat segala kemudahan dalam segala urusanku adalah hasil dari doa beliau secara nyata dan tidak ada keraguan sedikitpun. Berapa banyak pintu kebaikan terbuka untukku dengan tidak disangka-sangka dan berapa banyak tipu daya orang-orang yang iri dan dengki menjadi runtuh karena karunia Allah disebabkan doa ibuku yang dikabulkan-Nya.”

Prof Muhammad Mukhtar Syinqithi, pengajar di Masjid Nabawi dan dosen di Islamic University, Madinah, memiliki kisah lain. Ia rutin mengajar hadis dan fikih di Masjid Malik Su'ud, Jeddah. Kajian berlangsung setiap pekan, antara Maghrib hingga Isya. Setelah azan Isya dan sebelum iqamat, ada tanya jawab selama 20 menit.

Suatu kali, pernah beliau datang dari Madinah ke Jeddah hanya menyampaikan pengajian sekitar 15 menit saja. Ibunya sakit. Beliau tadinya ingin meliburkan pengajian untuk mendampingi dan merawat ibunya, tetapi ibunya memerintahkan dia agar tetap mengajar di Jeddah. Karena patuh kepada sang ibu, ia berangkat ke Jeddah.

Tapi, ia mengajar hanya 15 menit lalu pulang lagi ke Madinah. Perjalanan pulang pergi 900 km hanya untuk mengajar 15 menit! Sebulan kemudian, ibunya wafat-semoga Allah merahmatinya-dalam keadaan ridha kepada anaknya. Mengapa Ibu? Berbakti kepada ibu bapak wajib hukumnya. Berbuat baik ke ibu tiga kali besarnya dari berbuat baik ke ayah. Kedudukan ibu sangatlah mulia.

Kita prihatin sekali jika mendengar sebagian dari anak-anak remaja dan pemuda berani berkata dengan suara lebih keras kepada ibunya. Membantah, memarahi, bahkan menyakiti ibu dengan ucapan maupun perbuatan.

Mohonlah maaf kepada ibu, mintalah ridha dan doanya. Jangan sampai terjadi, ibu kita wafat dalam keadaan kita durhaka kepadanya dan kita belum sempat minta maaf kepadanya.

Sering kita baru merasakan betapa besar nikmat Allah saat nikmat itu dicabut dari kita. Kita merasakan betapa besar nikmat sehat setelah kita sakit, nikmat keamanan setelah datangnya kekacauan, nikmat keutamaan seorang guru setelah kita kehilangannya, nikmat keberadaan orang tua setelah wafatnya. Sungguh beruntung seorang anak yang dapat melihat kedua orang tuanya pagi dan petang.
Sungguh beruntung seorang anak yang masih memiliki kedua orang tua atau salah satunya. Sungguh beruntung seorang anak yang dibutuhkan oleh kedua orang tua atau salah satunya. Sungguh beruntung seorang anak yang mendapatkan taufik Allah untuk berbakti kepada orang tuanya.
, Oleh Fariq Gasim Anuz

sumber : www.republika.co.id

Saturday, September 21, 2013

Krisis Lingkungan

''Telah tampak kerusakan (lingkungan) di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, sehingga Allah menumpahkan kepada mereka sebagian dari akibat yang mereka lakukan, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).'' (Q. S. 21: 41).

Krisis lingkungan yang kini sedang melanda dunia, seperti kebakaran hutan, kebanjiran, gunung meletus, dan lain sebagainya, bukanlah semata persoalan teknis atau ekonomis, tetapi lebih merupakan refleksi krisis spiritual yang paling dalam dari perjalanan hidup umat manusia. Ini, antara lain disebabkan terjadinya dominasi humanisme atas naturalisme pada beberapa dekade terakhir ini. Dominasi humanisme itu lalu berakibat pada kemutlakan hukum dan hak-hak manusia secara absolut bagi manusia, sehingga alam dan lingkungan diperkosa atas nama hak-hak asasi manusia.

Karena itu, bila kita ingin menjaga kelestarian alam dan lingkungan hidup, manusia -- dan itu berarti kita -- harus dikembalikan kepada fungsi dan fitrahnya semula. Yakni, bahwa menjadi manusia berarti menyadari tanggung jawab yang melekat dalam statusnya sebagai ''khalifah Allah'' di muka bumi.

Alquran menjelaskan (Q. S. 22: 64), ''Kepunyaan Allah-lah segala apa yang di langit dan segala yang dibumi....'' ''Kepunyaan'' di sini menunjukkan bahwa manusia diizinkan untuk mendominasi (memanfaatkan) segala apa yang ada di bumi, sejauh hal itu sesuai dengan hukum-hukum Tuhan SWT; dan itu diperbolehkan karena ia adalah ''khalifah Allah'' di muka bumi. Namun, bila kemudian alam dan lingkungan diperlakukan oleh manusia tidak sesuai dengan pesan dan izin Allah, maka yang akan menerima akibatnya adalah manusia itu sendiri.

Alquran telah melukiskan bahwa alam sebagai makhluk yang pada intinya merupakan tanda-tanda yang menyelubungi dan sekaligus menyingkapkan keberadaan Tuhan. Pergantian malam dan siang, tanaman yang tumbuh menghijau, air yang mengalir di sungai, dan kicau burung, sesungguhnya merupakan puisi indah yang menunjukkan kualitas Ilahiyah. Dan pada saat yang sama, alam juga menyingkapkan kualitas-kualitas itu bagi mereka yang mata hatinya belum dibutakan oleh ego yang sombong dan kecenderungan-kecenderungan spiritual jiwa yang penuh nafsu.

Itulah sebabnya, mengapa tidak ada yang lebih berbahaya bagi lingkungan alam dibandingkan dengan perbuatan manusia yang tidak lagi menerima kenyataan dirinya sebagai hamba Tuhan yang tunduk kepada perintah dan hukum-hukum-Nya. Makhluk seperti itu sangat potensial memiliki sifat destruktif. Padahal sebagai makhluk dan sekaligus ''khalifah Allah'', manusia seharusnya mampu menjaga hubungan yang harmonis dengan lingkungan alam sekitarnya. - ahi

sumber : www.republika.co.id

Friday, September 20, 2013

Pendakian Spiritual

Seorang Sufi termashur dengan konsep Mahabbah (cinta Ilahi), Rabi'ah al-'Adawiyah (713-801 M) pernah bermunajat dalam keheningan malam.
“Ya Allah, jika aku mengabdi kepada-Mu karena takut neraka, maka campakkanlah aku ke dalamnya. Jika aku mengabdi kepada-Mu karena mengharapkan surga, maka jauhkan aku darinya. Tetapi, jika aku mengabdi kepada-Mu semata-mata karena mencintai-Mu, maka janganlah sembunyikan kecantikan-Mu yang kekal itu dariku.”

Ramadhan adalah momentum terbaik untuk meraih kenikmatan ibadah kepada Allah SWT, baik ibadah ritual (mahdhah), seperti shalat, puasa, zakat, baca Alquran, zikir, iktikaf, maupun ibadah sosial (mu'amalah), seperti sedekah, berbagi, dan membiayai pendidikan yatim.

Namun harus diakui, betapa sulitnya merasakan nikmatinya beribadah dan beramal saleh. Ibadah yang didasari cinta dan rindu kepada Allah, sehingga hati senang dan nikmat menjalankannya.  Untuk meraih kenikmatan ibadah itu, kita harus menempuh tangga pendakian spritual dalam tiga 'T' (3T).

Pertama, terpaksa. Ketika memilih jalan hidup Islam dengan bersyahadat maka kita telah menjadi mukallaf (orang yang dibebani tanggung jawab syariat) yakni menjalankan segala perintah (wajib dan sunah) dan menjauhi larangan (haram dan makruh).

Menjalankan syariat itu berat, tapi harus dilakukan. Berat mendirikan shalat (2:43), puasa (2:183), bayar zakat (2:110), haji (22:27), berbakti kepada orang tua (17:23), berinfak kepada kaum kerabat dan dhuafa (2:215).

Tapi, karena kewajiban harus dilakukan meski 'terpaksa'. Jangan menunggu ikhlas dulu baru dikerjakan. Jika belum ikhlas lakukan lagi, jangan berhenti hingga ia tumbuh dalam hati.

Kedua; terbiasa. Meskipun menjalankan syariat itu berat, tapi terus lakukan dan jangan pernah berhenti dalam kondisi 'terpaksa'. Seiring waktu akan naik pada tangga spiritual berikutnya, yakni terbiasa.

Jika di tangga 'terpaksa' beban terasa berat, terburu-buru dan asal jadi, maka bila sudah 'terbiasa' akan lebih ringan dan menerima apa adanya. Berat sekali bangun di tengah malam untuk shalat tahajud dan sahur. Tapi, karena dipaksakan akhirnya jadi 'terbiasa' (mudawamah). Begitu juga ibadah lainnya.

Nabi Muhammad SAW pernah ditanya, tentang amal yang paling disukai Allah SWT. Lalu Beliau menjawab, “Terus-menerus meski sedikit.” (HR Muslim). Oleh karena itu, jangan sampai membiasakan diri dengan perbuatan buruk. Awalnya 'terpaksa' atau dipaksa, tapi kalau berulang-ulang akan 'terbiasa.'

Ketiga, terasa. Bagian ini mulai sulit dijelaskan secara nalar (logika) karena sering kali tidak bisa dicerna akal manusia. Namun demikian, ia mudah dipahami dengan rasa (hati), apalagi bagi orang yang sudah merasakan.

'Terasa' berarti merasakan kenikmatan dan kesenangan dalam menjalankan ibadah atau amal perbuatan. Melakukan amal karena cinta kepada Sang Maha Pencinta (ikhlas). Mereka mencintai Allah dan Allah pun mencintai mereka (QS [5]:54). Mereka ridha dan Allah pun ridha kepada mereka. (QS [98]:7-8).

Akhirnya, kita beribadah kepada Allah bukan hanya karena takut neraka (terpaksa) dan mengharap surga (terbiasa), tapi karena cinta dan rindu yang membara (terasa). Wallahu a'lam.

Oleh Hasan Basri Tanjung 

sumber : www.republika.co.id

Perilaku Mushallin

Mushallin (orang yang suka mengerjakan shalat) seharusnya adalah orang-orang yang tunduk dan patuh pada ketentuan Allah SWT dan rasul-Nya dalam seluruh aspek hidup dan kehidupannya.

Orang yang jujur, amanah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Orang yang mampu mencegah dirinya dari perbuatan fakhsyaa dan munkar (keji dan jahat).

Serta orang yang memiliki kecintaan dan kepedulian yang tinggi kepada orang-orang yang lemah, seperti fakir, miskin, dan anak-anak yatim.

Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam QS Al-Ankabut (29): 45 “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Alquran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
   
Orang yang konsisten dan istiqamah dalam mengerjakan shalat adalah orang yang hati-hati dan bertanggungjawab di dalam melakukan berbagai macam perbuatan dan tindakan, sekaligus menjaga mulutnya dari pernyataan dan statement yang merugikan orang atau pihak lain.

Karena ia menyadari bahwa ia akan kembali kepada Allah SWT untuk mempertanggungjawabkan segala amal perbuatannya.

Firman Allah SWT dalam QS Al-Baqarah (2): 45-46 “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', (yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya”.
   
Orang yang selalu mengerjakan shalat dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan, akan memiliki hubungan yang kuat dengan Allah SWT. Aturan dan norma-Nya akan berusaha untuk selalu diimplementasikan dan diwujudkan dalam kehidupan nyata keseharian.

Inilah makna shalat itu salah satu tujuan utamanya adalah untuk mengingat Allah SWT (zikir kepada-Ku), sebagaimana firman-Nya dalam QS Thaha (20): 14 “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”.
   
Jika di dalam kenyataan kehidupan sekarang banyak orang yang shalat tetapi tetap mengerjakan kejahatan dan keburukan, seperti korupsi, perzinaan dan perbuatan buruk lainnya, serta tidak mau memerhatikan dan memedulikan orang-orang miskin dan anak-anak yatim, berarti shalatnya belum dilakukan dengan penuh kesungguhan, kerendahan hati dan keikhlasan kepada Allah SWT.

Shalatnya baru sebatas melaksanakan kewajiban semata, belum masuk pada struktur rohani dan kepribadian.
Inilah yang dikecam oleh Allah SWT dalam QS Al-Ma’un (107): 4-7 “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna”.
   
Semoga kita tetap istiqamah dalam menegakkan shalat dan berusaha untuk mengimplementasikan nilai-nilai shalat dalam kehidupan keseharian. Wallahu A’lam.
, KH Didin Hafidhuddin
sumber : www.republika.co.id

Thursday, September 19, 2013

Mengendalikan Hawa Nafsu

Dalam bahasa Indonesia, hawa nafsu bermakna keinginan atau dorongan hati yang kuat untuk melakukan perkara yang tidak baik, seperti syahwat dan sejenisnya. Makna ini mirip dengan asal kata pembentukannya dalam bahasa Arab karena hawa adalah keinginan dan nafs adalah jiwa.

Sesungguhnya manusia diciptakan dengan potensi keinginan yang baik (takwa) dan keinginan buruk (nafsu atau fujur). Kedua keinginan tersebut menunjukkan sifat keseimbangan (at-tawazun) dan kemanusiaan (al-basyariah) dalam diri manusia. Oleh karena itu, nafsu adalah fitrah manusia, sebagaimana takwa juga adalah fitrah. Hal ini yang ditegaskan dalam Alquran, yang artinya, "Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya." (QS asy-Syams: 7-8).

Sebagai bagian dari ujian Allah SWT, setiap jiwa manusia cenderung untuk berbuat dosa dan maksiat. Jika manusia dihadapkan pada pilihan yang baik atau pilihan yang buruk, ia lebih tertarik melakukan pilihan yang buruk.

Contohnya, jika ada pilihan, bekerja keras ataupun istirahat, pilihan istirahat lebih menarik. Jika ada pilihan, shalat Tahajud atau istirahat, jiwa manusia cenderung memilih istirahat. Hal ini sesuai dengan penegasan Alquran, yang artinya, "Karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh pada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang." (QS Yusuf: 53).

Nafsu tersebut jika dibiarkan atau tidak dikendalikan, setiap perilaku manusia akan tidak baik. Berkata tidak jujur, berbuat fitnah, mengadu domba, adalah sebagian kecil dari praktik memperturutkan nafsu.

Bisa dibayangkan, jika nafsu tersebut dibiarkan tanpa kendali, sosok manusia yang diciptakan dengan sempurna itu—akan menjadi beringas, bahkan digambarkan dalam Alquran, manusia menjadi buas seperti hewan. "Mereka mempunyai hati, tetapi tidak digunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak digunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak digunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai." (QS al-A'raf: 79).

Sebaliknya, jika nafsu itu dikendalikan dan dikelola, akan melahirkan manusia yang berakhlak mulia. Seperti sifat marah, jika dibiarkan, bisa mengakibatkan talak (perceraian rumah tangga), pertengkaran, bahkan pembunuhan. Namun, jika sifat marah dikendalikan, akan menjadi ketegasan dalam kebaikan.

Pengendalian sebagaimana yang dimaksud tersebut itulah yang ingin dibangun dari ibadah puasa, sesuai dengan tujuan inti puasa, yaitu al-imsak yang berarti menahan diri atau mengendalikan hawa nafsu.

Jadi, dengan berpuasa, diharapkan lahir kemampuan menahan diri dan kemampuan mengelola nafsu pada diri setiap orang yang berpuasa agar yang lahir adalah kebaikan dan akhlaknya yang mulia. 

,Oleh DR Oni Sahroni

sumber : www.republika.co.id

Wednesday, September 18, 2013

Mengapa Harus Lari?

Khalifah Umar bin Khattab memiliki postur tinggi besar dan berwibawa. Suatu ketika berjalan melewati anak-anak yang sedang bermain di jalan. Melihat kedatangan Khalifah Umar mereka lari ketakutan kecuali Abdullah bin Zubair yang tetap berdiri tanpa takut sedikitpun, bahkan ia menatap wajah Umar.

Umar Bin Khattab melihat anak ini berbeda dengan teman seusianya dan mengagumi sikapnya, lalu bertanya: “ Mengapa engkau tidak lari bersama teman-temanmu?”

Abdullah bin Zubair kecil tanpa segan menjawab dengan lantang: “Wahai Amirul Mu’minin, aku tidak melakukan kejahatan apa pun mengapa harus lari? Jalan ini tidak sempit, mengapa aku harus menyingkir memberi jalan untukmu?”

Luar biasa ketegaran dan keberanian anak ini. Ia putra tokoh Islam Zubair bin Awwam dan Asma yang telah membentuk karakter cerdas dan ksatria yang penting untuk kehidupannya di kemudian hari.  

Menurut Aisyah ketika anak itu masih bayi, Rasulullah SAW mengusap anak tersebut dan memberi nama Abdullah. Ketika berusia tujuh atau delapan tahun Abdullah datang kepada Nabi untuk berbaiat. Rasulullah SAW tersenyum  saat melihat anak itu menghadap. Kemudian dia membaiat Nabi (HR Muslim).

“Mengapa harus lari?” pertanyaan yang  sekaligus menjadi jawaban bahwa dengan tidak lari dan menghindarpun toh akan selamat. Hanya orang yang berdosa dan melakukan kejahatanlah yang pantas untuk takut dan lari.

Memang kadang aneh, orang yang menyimpang dan melakukan kejahatan kadang berani menghadang tantangan dan risiko, padahal mereka berada di jalan yang tak selamat. Sementara itu orang  yang benar dan jujur justru sebaliknya malah jadi penakut. Disinilah  Abdullah bin Zubair memberi pelajaran.

Pendidikan karakter itu harus sejak dini. Yahya As kecil mendapat pendidikan dari Allah untuk dapat menyelamatkan kehidupannya sendiri. Keselamatan yang hakiki.

“Wahai Yahya ambilah Kitab dengan sungguh-sungguh. Dan Kami berikan hikmah kepadanya sejak anak-anak. Dan (Kami jadikan) rasa kasih sayang (kepada sesama), kesucian dan ketakwaan. Dan sangat berbakti kepada orangtua, tidak sombong dalam pergaulan dan tak durhaka. Keselamatan bagi dirinya saat dilahirkan, dimatikan, dan saat dibangkitkan” (QS Maryam 12-15).

Ada empat hal penting pendidikan karakter Allah SWT kepada Yahya. Pertama dasar dari nilai adalah Kitab karena celupan (sibghah) dari kepribadian yang mantap, kuat, dan berani adalah Kitab Allah. Kedua, terbangun kualitas intelektual yang baik dengan ilmu pengetahuan yang luas dan memahami hikmah dari  berbagai sinyal Allah.

Ketiga, hati yang bersih dan memiliki kepekaan emosional serta empati yang tinggi terhadap berbagai penderitaan sesama. Dan keempat, berbuat baik kepada orang tua dan pergaulan sosial yang bagus dan tidak sombong.

Keempat aspek di atas telah membuat Yahya muda  tidak pernah lari dari medan juang dan tidak pernah merasa sempit jalan walaupun mesti berhadapan dengan berbagai bentuk kezaliman penguasa dan kaumnya. Ia tegar menuntaskan misi kenabiannya.

Ketika kecil kita suka mendengar kisah sikap jika dikejar oleh seekor anjing. Jika kita lari terus saat anjing mengejar kita, maka anjing itu akan semakin kencang mengejar dan mungkin cepat untuk menggigit. Dikatakan kita harus segera diam, berjongkok seperti sedang mencari batu untuk melemparnya. Niscaya anjing itu akan berhenti mengejar. Meski hal itu tergantung pada keadaannya, namun mungkin ada benarnya. Anjing akan berhenti jika dia tahu sasarannya melawan dan berani.

Di tengah arus zaman yang keras seperti sekarang dimana kemaksiatan mengepung diri dan anak-anak kita, nilai-nilai moral mulai tergerus oleh budaya barat yang hedonis, kerakusan yang memangsa korban siapa saja termasuk saudara dan anggota keluarga sendiri, mistik-mistik yang berkembang membarengi  jiwa frustrasi yang tidak mampu berkompetisi, maka tidak ada jalan lain selain dengan gigih kita harus menanamkan jiwa perlawanan, keberanian, dan harga diri pada anak anak dan pelanjut generasi.

Membesarkan jiwa  mereka untuk mencapai keberhasilan di masa depan. Memberi gambaran bahwa lapangan kehidupan itu luas dengan rezeki yang Allah tebarkan dimana-mana. Jalan itu tidak sempit anakku, mengapa harus menyingkir? Sepanjang engkau tidak melakukan kejahatan apapun, mengapa harus lari?
 
Oleh HM Rizal Fadillahsumber : www.republika.co.id

Tuesday, September 17, 2013

Manajemen Waktu

Sebelum menemui ajalnya, khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq RA. pernah memanggil Umar ibn al-Khaththab RA lalu menyampaikan wasiat kepadanya. 

“Wahai Umar, Allah itu mempunyai hak (diibadahi) pada siang hari yang Dia tidak menerimanya di malam hari. Sebaliknya, Allah Swt juga mempunyai hak (diibadahi) pada malam hari yang Dia tidak mau menerima di siang hari. Ibadah sunnah itu tidak diterima sebelum ibadah wajib itu dilaksanakan.”

Wasiat Abu Bakar tersebut menyadarkan Umar bahwa rotasi waktu itu penuh nilai dan harus dimaknai sedemikian rupa,  sehingga manusia tidak merugi dalam hidupnya.

Umar  melihat pesan Abu Bakar tersebut sebagai isyarat pentingnya manajemen waktu dalam memimpin umat. Menurut Yusuf al-Qaradhawi, pesan Abu Bakar tersebut mengandung arti bahwa sebagai calon khalifah, Umar harus bisa membagi waktu: kapan harus menunaikan kewajibannya kepada Allah SWT, kewajiban kepada rakyatnya, dan kewajiban kepada dirinya sendiri.

Sedemikian pentingnya waktu itu, Ibn al-Qayyim al-Jauziyah menegaskan menyia-nyiakan waktu (idha’atul waqti) itu lebih berbahaya daripada sebuah kematian, karena menyia-nyiakan waktu itu dapat memutus hubungan engkau dengan Allah dan akhirat.

Sedangkan kematian hanya memutusmu dari kehidupan dunia dan keluarga saja. Orang yang menyia-nyiakan waktu akan kehilangan kesempatan untuk berinvestasi bagi kehidupan akhiratnya.

Oleh karena itu, Ibn Mas’ud ra pernah berkata: “Aku tidak menyesali sesuatu selain kepada hari yang mataharinya telah terbenam dan umurku berkurang, tetapi di hari itu amalku tidak bertambah.”

Manajemen dan disiplin waktu menjadi sangat penting, jika seorang Muslim berusaha menggapai kesuksesan hidup dunia dan akhirat.

Namun dalam faktanya, banyak orang terlena dan mengabaikan nilai waktu. Waktu berlalu tanpa makna dan amal shaleh.  Tidak sedikit anak-anak muda kita banyak menghabiskan waktunya untuk bersenang-senang, bermain-main, dan berleha-leha.

Kesadaran wal ashri (pentingnya nilai waktu) cenderung tergradasi karena aneka permainan duniawi yang menghibur dan memperdayakan, seperti sinetron, aneka games, dan sebagainya.

Dalam memanajemeni waktu,  Umar bin Abdul Aziz pernah berkata: “Siang dan malam itu bekerja untukmu, karena itu beramallah dalam keduanya.”

Sebagai manifestasi dari aplikasi manajemen waktu, ketika diamanahi sebagai khalifah, Umar bin al-Khaththab  pernah memberikan nasehat kepada Abu Musa al-Asy’ari: “Pemimpin yang paling bahagia menurut Allah SWT adalah orang yang mampu membuat rakyatnya bahagia.

Pemimpin yang paling menderita menurut Allah adalah pemimpin yang membuat rakyatnya sengsara. Hendaklah engkau tidak melakukan penyimpangan, sehingga engkau dapat menyimpangkan para pekerjamu, tak ubahnya engkau seperti binantang ternak.”

Semua itu tidak mungkin dapat direalisasikan tanpa manajemen waktu yang efisien dan efektif. Kata kunci manajemen waktu adalah disiplin dan penyegeraan penyelesaian  kewajiban, tugas, dan pekerjaan.

Nabi Muhammad Saw adalah figur teladan yang paling disiplin waktu, lebih-lebih setelah ditetapkannya shalat lima waktu sebagai fardhu ‘ain (kewajiban personal).

Melalui aneka ibadah, terutama shalat, yang dalam al-Qur’an telah ditentukan waktu-waktunya (QS. an-Nisa’ [4]: 103), kita dididik untuk disiplin waktu secara baik dan benar. Muslim yang melaksanakan shalat dengan benar mestinya tidak pernah mengabaikan waktu.

Penyegeraan penyelesaian kewajiban dan tugas juga merupakan tradisi Nabi SAW yang patut diteladani.  Beliau  bukan hanya memerintahkan umatnya untuk misalnya menyegerakan membayar hutang, mengurus janazah,  dan sebagainya, melainkan juga memberi nilai plus kepada umatnya yang  bangun tidur lebih awal.

Bahkan Nabi SAW pernah meminta kepada Allah agar umat diberkahi dalam waktu pagi (bersegara menuntaskan persoalan. Doa beliau: “Ya Allah, berkahilah umatku pada waktu paginya.” (HR. Abu Daud, at-Turmudzi, dan Ahmad)

Implikasi manajemen waktu dalam Islam sungguh sangat serius sekaligus indah, karena salah satu karunia yang akan diaudit oleh Allah di akhirat kelak adalah pemanfaatan umur kita, tentu termasuk waktu, selama hidup di dunia.

Dalam hal ini Nabi SAW bersabda: “Tidaklah kedua kaki seorang hamba itu melangkah sebelum ditanya tentang empat hal: tentang umur, untuk apa dihabiskan? Tentang (kesehatan) fisik, untuk dipergunakan? Tentang harta, darimana diperoleh? Dan Untuk apa dibelanjakan? Dan tentang ilmu, apakah sudah diamalkan? (HR. al-Turmudzi dan al-Thabarani).

Karena itu, agar fungsional dan bermakna, manajemen waktu harus senantiasa dikawal dengan kesadaran wal ashri, melalui reformasi iman, amal shaleh, saling berwasiat kebenaran dan saling membelajarkan kesabaran (QS. al-‘Ashr [103]: 1-3).

Waktu menjadi bermakna jika dilandasi iman yang kokoh, ditindaklanjuti dengan aneka kesalehan, dikembangkan dengan pencarian kebenaran secara akademik, dan diperindah dengan kesabaran sebagai moralitas kehidupan.
Mudah-mudahan kita semua mampu memanej waktu dengan optimal dan efektif, sehingga hidup kita menjadi lebih berkah dan bermakna. Wallahu a’lam.
, Oleh Muhbib Abdul Wahab

sumber : www.republika.co.id

Monday, September 16, 2013

Pentingnya Disiplin

Di antara ajaran mulia yang sangat ditekankan dalam Islam adalah disiplin. Disiplin merupakan salah satu pintu meraih kesuksesan. Kepakaran dalam bidang ilmu pengetahuan tidak akan memiliki makna signifikan tanpa disertai sikap disiplin.

Sering kita jumpai orang berilmu tinggi tetapi tidak mampu berbuat banyak dengan ilmunya, karena kurang disiplin. Sebaliknya, banyak orang yang tingkat ilmunya biasa-biasa saja tetapi justru mencapai kesuksesan luar biasa, karena sangat disiplin dalam hidupnya.

Tidak ada lembaga pendidikan yang tidak mengajarkan disiplin kepada anak didiknya. Demikian pula organisasi atau institusi apapun, lebih-lebih militer, pasti sangat menekankan disiplin kepada setiap pihak yang terlibat di dalamnya. Semua pasti sepakat, rencana sehebat apapun akan gagal di tengah jalan ketika tidak ditunjang dengan disiplin. 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), disiplin adalah ketaatan atau kepatuhan terhadap peraturan. Ketaatan berarti kesediaan hati secara tulus untuk menepati setiap peraturan yang sudah dibuat dan disepakatibersama. Orang hidup memang bukan untuk peraturan, tetapi setiap orang pasti membutuhkan peraturan untuk memudahkan urusan hidupnya. 

Analoginya sederhana. Kita bisa perhatikan pentingnya peraturan itu dalam lampu lalu lintas. Ketaatan setiap pengendara terhadap isyarat lampu lintas jelas membuat kondisi jalan menjadi tertib dan aman. Bayangkan ketika masing-masing pengendara mengabaikan peraturan berupa isyarat lampu lalu lintas itu. Pasti kondisi jalan akan kacau, macet, dan bahkan memicu terjadinya kecelakaan.

Contoh di atas tentu bisa ditarik ke dalam ranah kehidupan yang lebih luasTegasnya, disiplin sangat ditekankan dalam urusan dunia, dan lebih-lebih urusan akhirat. Tidak heran jika Allah memerintahkan kaum beriman untuk membiasakan disiplin. Perintah itu, antara lain, tersirat dalam Al-Quran surat Al-Jumuah ayat 9-10.

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian diseru untuk menunaikan shalat Jumat, maka bersegeralah untukmengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kalian di muka bumidan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kalian beruntung.” (QS Al-Jumuah: 9-10).

Menurut ayat di atas, keberuntungan akan kita raih dengan disiplin memenuhi panggilan ibadah ketika datang waktunya dan kembali bekerja ketika sudah menunaikan ibadah. Bukan hanya urusan dagang yang harus ditinggalkan ketika sudah tiba waktu shalat. Sebab, menurut para mufasir, ungkapan “Tinggalkanlah jual beli” dalam ayat itu berlaku untuk segala kesibukan selain Allah. Dengan kata lain, ketika azan berkumandang, maka kaum beriman diserukan untuk bergegas memenuhi panggilan Allah itu.

Meskipun demikian, bukan berarti kaum beriman harus terus menerus larut dalam urusan ibadah saja. Ayat di atas juga memerintahkan supaya kaum beriman segera kembali bekerja setelah menunaikan ibadah. Dengan demikian, disiplin harus dilakukan secara seimbang antara urusan akhirat dan urusan dunia. Tidak dibenarkan mementingkan yang satu sambil mengabaikan yang lain. 

Disiplin yang dilakukan secara seimbang antara urusan ibadah dan kerja, akhirat dan dunia, itulah yang akan mengantarkan kaum beriman kepada kesuksesan. Perintah untuk menyeimbangkan antara urusan akhirat dan dunia juga dapat ditemukan dalam Al-Quran surat Al-Qashash ayat 77.

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan jatahmu dari kenikmatan dunia, dan berbuat baiklah kamu kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS Al-Qashash: 77).

Kita juga bisa cermati ajaran disiplin dalam perintah shalat jamaah. Kewajiban shalat wajib lima waktu selama sehari semalam sangat dianjurkan untuk dikerjakan secara berjamaah. Menurut keterangan Rasulullah SAW, nilai pahala shalat wajib secara berjamaah adalah dua puluh tujuh derajat dibanding shalat sendirian. Dari sini, dapat dipahami jika sebagian ulama kemudian menghukumi shalat jamaah sebagai sunnah muakkadah, sementara sebagian ulama lain menghukuminya wajib. 

Shalat jamaah jelas membutuhkan disiplin. Karena, umumnya shalat jamaah dikerjakan bersama-sama di masjid atau langgar tidak lama setelah azan berkumandang yang diikuti dengan iqamah. Dengan demikian, jika ingin mengikuti shalat jamaah, maka kita harus segera meninggalkan kesibukan setelah mendengar azan. Shalat jamaah di masjid atau langgar itu dikerjakan tepat waktuKalau kita masih saja ruwet dengan segala tetek bengek dunia, sementara azan sudah berkumandang, dipastikan kita akan ketinggalan, atau malah tidak mendapati shalat jamaah sama sekali.

Belum lagi tradisi itikaf atau berdiam diri ketika menunggu shalat jamaah dimulai. Ditambah tradisi berzikir setelah shalat jamaah selesai. Tanpa disiplin waktu yang bagus, mustahil kita dapat melakukan semua ituMembiasakan disiplin dalam segala urusan secara seimbang itulah yang akan menjadikan hidup kita indah, tertata, dan diliputiberkah. 

,Oleh M Husnaini

sumber : www.republika.co.id

Sunday, September 15, 2013

Insya Allah Ada Jalan

Ketika kau tak sanggup melangkah
Hilang arah dalam kesendirian
Tiada mentari bagai malam yang kelam
Tiada tempat untuk berlabuh
Bertahan terus berharap Allah selalu di simu”.
“Insya Allah, Insya Allah, Insya Allah ada jalan
”.  (syair lagu Maher Zain)

Rasa yakin akan dekatnya pertolongan Allah tidaklah mudah. Sering masalah yang ada ditanggapi dengan jiwa yang frustrasi. Tak ada harapan. Seolah-olah dirinya adalah orang yang paling malang dalam kehidupan. Bagai syair lagu Hamdan ATT “Aku merasa orang termiskin di dunia//Yang penuh derita bermandikan air mata”. 

Ketika sakit , dia merasakan seolah olah tak ada orang lain yang lebih menderita selain dirinya. Ketika usaha jatuh dan dililit hutang, ia pun mengeluh betapa pedih kehidupan ini. Ketika berurusan dengan masalah hukum, Allah didakwa telah menganiaya dirinya.  Mengapa yang lain yang melakukan hal yang sama ternyata dapat selamat dari jerat hukum, lalu berteriak “Di mana keadilan?”

Bagi orang yang beriman tentu segala kesulitan ada hikmah dan maknanya. Sakit dapat menjadi penghapus dosa dan penambah pahala. Usaha bangkrut dapat menjadi penguat mental untuk bangkit untuk keberuntungan yang lebih besar. Begitu juga hukuman adalah pintu taubat agar kelak menjadi hamba yang lebih waspada dan banyak beramal.

Kita ingat ucapan dan doa Nabi Ayub saat ditimpa sakit berat yang menyedihkan, harta habis dan dihinakan, ditinggal sendirian oleh teman, kerabat, serta sanak keluarga. Istrinya pun hengkang. Beliau berkata, “Sungguh aku telah ditimpa penyakit, dan Engkau Maha Pengasih dan Maha Penyayang” (QS AL Anbiyaa 83).

“Wa anta arhamur roohimiin” Engkau yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang !. Ini adalah kalimat yang menghidupkan cahaya lampu di kegelapan malam. Menjadi pengangkat harkat dari jurang yang dalam. Menjadi  penuntun langkah kaki yang terseok-seok dan jatuh bangun. Allah lah pemberi jalan, bukan yang lain. “Adakah yang lain yang mengabulkan permohonan orang yang ditimpa kesulitan ketika berdoa, meghilangkan keburukan, dan menjadikan kalian sebagai khalifah di bumi? Adakah Tuhan selain Allah? Sedikit sekali yang ingat” (QS An Naml 62).

Sesulit apapun yang dirasakan, prasangka kepada Allah harus tetap positif, karena Allah sesuai dengan prasangka hamba-Nya. Diawali dengan prasangka baik terhadap apa yang menimpa kita, dilanjutkan dengan kesungguhan berikhtiar di jalan-Nya, insya Allah ada jalan.

“Barangsiapa bersungguh-sungguh (berikhtiar)  dijalan Kami, maka Kami akan tunjukan jalan-jalan-Nya dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang berbuat baik” (QS Al Ankabuut 69).

Dari Al Fudhail bin Iyadl, syaikhul Haram Al Makki,  ia berkata ada keluarga yang terhimpit kesulitan hidup menjual alat tenun barang berharga terakhir milik mereka. Suaminya sepulang menjual barang seharga satu dirham tersebut bertemu dengan dua orang yang sedang bertengkar hebat.

Ketika ia bertanya “Ada apa?” Orang menyampaikan bahwa keduanya sedang memperebutkan uang satu dirham! Maka ia berikan uang hasil penjualan alat tenunnya. Kini ia tak memiliki apa-apa lagi. 

Sesampai di rumah dikabarkan kepada istrinya peristiwa yang terjadi. Meski kecewa tapi istrinya memahami dan bersabar. Dikumpulkan perkakas rumah tangga sederhana yang masih tersisa, lalu dibawa suaminya untuk dijual  kembali, ternyata kemana-mana tidak laku.

Kemudian ia berpapasan dengan laki-laki yang membawa ikan yang menebar bau busuk. Orang itu berkata kepadanya, “Engkau membawa sesuatu yang tak laku demikian juga dengan aku, maukah kita bertukar barang dagangan?” Lalu iya mengiyakan.

Sesampai d irumah, diminta istrinya untuk bertawakal kepada Allah dan segera memasak. “Istriku, segera masaklah ikan busuk ini, kita hampir tak berdaya karena lapar!”

Namun apa yang terjadi ketika istrinya membelah ikan tersebut, dari perutnya keluar  benda yang ternyata itu adalah mutiara. Dibawanya ke tempat kawannya seorang pedagang perhiasan, ternyata kawannya  tersebut berani membeli mutiara itu dengan harga empat puluh ribu dirham!.
 
Turn to Allah He’s never far away
Put your trust in Him, raise your hands and pray
Insya Allah we’ll find our way.....
We’ll find our way.
Insya Allah, insya Allah ada Jalan!         

, Oleh HM Rizal Fadillah

sumber : www.republika.co.id

Saturday, September 14, 2013

Kalkulator Usia Kehamilan





Kalkulator Usia Kehamilan

Isi di Bawah ini dengan Hari Pertama Menstruasi Terakhir Anda ya..
  
Lamanya siklus menstruasi Anda
Kemungkinan Tanggal Pembuahan(Masa Subur):
Akhir trimester I - Awal Trimester II (12 minggu):
Akhir trimester II - Awal Trimester III (27 minggu):
Perkiraan Melahirkan/Persalinan (40 mgg)

Usia  kehamilan Anda Hari ini ------->>:




Usia Kehamilan Anda Pada tanggal berikut:
  
Usia kehamilan anda Pada saat Tanggal di Atas






Untuk Dibawah ini, Masukkan Usia Kehamilan yang diinginkan, Akan jatuh
pada Tanggal Berapa (mis, Usia Kehamilan 10 minggu akan jatuh pada
tanggal Sekian..) 
Usia Kehamilan (minggu):
Usia Kehamilan yang Anda Masukkan di Atas, Jatuh pada tanggal :





Masukkan tanggal Perkiraan Lahir untuk mengetahui kapan Sebenarnya Hari Pertama Menstruasi Terakhir anda
  
Perkiraan Hari Pertama Menstruasi Anda :


Cara Praktis Menghitung Usia Kehamilan, dan Mengetahui Umur Janin dalam Kandungan

Perbedaan taksiran hari persalinan bisa terjadi, namun biasanya tidak sampai 3 minggu. Kalau perlu Silakan ke dokter kandungan dan diskusikan lebih lanjut perkiraan persalinan Anda berdasarkan beberapa parameter dibawah ini:

1. Berdasarkan Siklus haid.
      Sebagian besar, Menstruasi antara 21-35 hari, dan teratur tiap bulan, hari pertama siklus haid terakhir dapat dijadikan dasar untuk menentukan taksiran persalinan.
Perkiraan Persalinan bisa dihitung dengan Rumus Naegle--> yaitu dengan  menambah tanggal Mens terakhir dengan 7, dan mengurangi Bulan dengan 3. (tanggal perkiraan lahir=hari +7, Bulan -3 dari mens terakhir)misalnya, hari pertama siklus terakhir haid 1 Juni 2012 dan siklus Anda 28 hari sekali teratur tiap bulan, maka taksiran persalinan adalah 8 Maret 2013,(tanggal 8 didapat dari tanggal 1+7, bulan Maret didapat dari Juni-3bulan).
Bila siklus Anda teratur dan bukan 28 hari tetapi termasuk normal, tinggal ditambah atau dikurangi saja menyesuaikan dengan siklus.

2.Didapat dari Hasil pemeriksaan USG
Pada kasus siklus menstruasi tidak teratur, hasil USG pada trimester pertama dapat dijadikan taksiran dengan angka kesalahan kurang lebih 2 hari. lebih baik lagi bila dikombinasikan dengan hasil USG tiap trimester berikutnya akan lebih menambah keakuratan usia kehamilan

3.Gerakan Bayi 
     walaupun bayi sudah bergerak dalam kandungan ibu hamil lebih dini, Secara umum Gerakan bayi bisa dirasakan oleh ibu hamil pada usia kehamilan sekitar 20 minggu. jadi kapan pertama kali seorang ibu hamil merasakan gerakan bayi pada kandungannya, maka saat itulah usia kehamilan ibu hamil tersebut sekitar 20 minggu berikut dibawah ini adalah sedikit aplikasi yang bisa membantu perkiraan
usia kehamilan dan perkiraan lahir bayi, ini berarti berdasar metode pertama, yaitu dari hari pertama haid terakhir

Cara menggunakan:
 - Masukkan Tanggal Haid terakhir anda (pada Baris ketiga/warna kuning) - Kemudian Klik Tulisan "Hitung" (pada Baris KeLima) dengan mengetahui Cara Menghitung Umur Kehamilan, dan Mengetahui Usia Janin dalam Kandungan , kita bisa memperkirakan juga kapan hari perkiraan lahir bayi (HPL)



Semoga bermanfaat