-

Wednesday, July 31, 2013

Puasa Sejati

Ibadah puasa sungguh merupakan ibadah yang sangat istimewa karena banyaknya kebaikan dan keutamaan yang terkandung di dalamnya, baik fisik, mental, maupun spiritual. Ibadah puasa menjadi lebih istimewa karena diyakini dapat mengantar pelakunya meraih derajat takwa. (QS al-Baqarah [2]: 183).

Pada kenyataannya, ibadah puasa memperlihatkan tingkatan kualitas yang beragam sejalan dengan tingkat pemahaman, penghayatan, dan pengamalan pelakunya. Al-Ghazali membagi kualitas puasa itu ke dalam tiga tingkatan, yaitu awam, khusus, dan lebih khusus lagi (khash al-khawash).

Puasa awam adalah tidak makan dan minum serta tidak melakukan hubungan suami-istri dari terbit fajar hingga mata hari terbenam. Puasa awam tak memiliki dampak positif secara moral maupun spiritual. Ia hanya beroleh lapar dan dahaga. (HR Bukhari dan Muslim).

Puasa khusus adalah menahan diri dari dosa-dosa dan maksiat serta dari segala hal yang menjauhkan manusia dari rahmat Allah. Dalam buku Asrar al-shaum, al-Ghazali menetapkan enam rukun yang bersifat moral dan spiritual agar puasa khusus dapat mencapai sasarannya, yaitu sah dan diterima Allah.

Pertama, menyucikan pandangan (shaum al-bashar) dari segala hal yang dilarang oleh Allah. Pandangan itu berbahaya karena ia sering kali menjadi titik awal keburukan. Kata Nabi, pandangan itu merupakan salah satu anak panah Iblis (sahmun min sihami Iblis).

Kedua, menyucikan lisan (shaum al-lisan) dari dusta, gosip, dan adu domba. “Jangan berkata kotor dan jangan berbuat jahil,” demikian pesan Nabi (HR Bukhari dan Muslim).

Ketiga, menyucikan pendengaran alias tutup telinga (shaum al-sam’) dari perkatan dusta dan kebohongan. Orang yang mendengarkan kebohongan sama buruknya dengan orang yang mengatakannya. Dalam Alquran, pendengar kebohongan disamakan dengan pemakan riba atau suap (QS al-Maidah [5]: 42 dan 63).

Keempat, menyucikan anggota tubuh yang lain (shaum baqiyat al-jawarih), seperti tangan, kaki, dan organ tubuh yang lain serta menyucikan diri dari makan dan minum barang haram.

Kelima, mengurangi makan, jangan terlalu kenyang. Sebab, hal demikian bertentangan dengan salah satu tujuan puasa itu sendiri, yaitu melepaskan diri dari kendali syahwat perut. Keenam, cemas, tetapi tetap penuh harap (optimisme) bahwa ibadah puasa yang dilakukan diterima oleh Allah SWT.

Berbeda dengan puasa awam, puasa khusus memenuhi dimensi batin (esoterik) agama sehingga berpengaruh secara moral dan sosial. Ada makna kesejatian puasa di sini.

Namun, disadari kesejatian puasa itu lebih tampak lagi pada puasa best of the best (khash al-khawash). Di sini, puasa tak hanya bermakna menjauhkan diri dari dosa-dosa, tetapi memusatkan pikiran dan hati untuk hanya mengingat Allah dan menghindarkan diri dari apa pun yang akan memalingkan manusia dari-Nya.

Horizon tertinggi dari puasa yang satu ini, menurut Imam Ghazali, adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya Yang Terkasih (God is the Beloved One).
Pada tingkatan ini, puasa dapat menghantar manusia mencapai esensi Islam, yaitu berserah diri secara total kepada Allah SWT (total surrender to God). Inilah puasa sejati! Wallahu a`lam.
Oleh: A Ilyas Ismail

sumber : www.republika.co.id

Tuesday, July 30, 2013

Keutamaan Sedekah di Bulan Ramadan

“Allah menganugerahkannya kepada orang yang berkata baik, bersedekah, berpuasa, dan shalat di kala kebanyakan manusia tidur.” (HR.At-Tirmidzi)

Ramadan adalah bulan istimewa bagi umat Islam yang beriman di seluruh penjuru dunia. Di bulan suci ini, nilai ibadah diganjar seribu kali lipat dibandingkan dengan 11 bulan lainnya. Kedatangan bulan Ramadan setiap tahunnya tak henti menjadi penghibur hati orang mukmin. Bagaimana tidak, beribu keutamaan ditawarkan di bulan ini.

Pahala diobral, ampunan Allah bertebaran memenuhi setiap ruang dan waktu. Seorang yang menyadari kurangnya bekal yang dimiliki untuk menghadapi hari penghitungan kelak, tak ada rasa kecuali sumringah menyambut Ramadan.

Salah satu ibadah yang dianjurkan Allah di bulan Ramadan adalah sedekah. Orang yang bersedekah di bulan Ramadhan akan dilipatgandakan pahalanya 10 sampai 700 kali lipat. Sebab sedekah adalah amal kebaikan sebagaimana al-Quran surah al-A’raf ayat 16 khusus amalan sedekah dilipatkan-gandakan lagi sesuai kehendak Allah, yang kemudian ditambah lagi mendapatkan berbagai keutamaan sedekah.

Marilah kita baca hadist Rasulullah saw; “Sesungguhnya Allah swt itu Maha Memberi, Ia mencintai pemurah  serta akhlak yang mulia, Ia membenci akhlak yang buruk.” (HR. al-Baihaqi)

Hadist diatas juga kita bisa petik hikmahnya bahwa Islam sangat membenci sifat pelit dan bakhil dan sifat suka meminta-minta. Tetapi sebaliknya seorang mukmin itu banyak memberi dan pemurah. Sebagaimana sabda Rasulullah saw: “Tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah.”  (HR. Bukhari)

Kita sudah tidak membantah lagi tentang keistimewaan ibadah sedekah, terlebih bersedekah di bulan Ramadan. Sejumlah cendekiawan dan ulama muslim mengatakan bahwa terdapat ratusan dalil yang menegaskan bahwa Allah swt memberikan pahala yang berlipat ganda dan memuliakan kaum yang bersedekah.

Mengutip kitab yang berjudul Al Inaafah Fimaa Ja’a Fis Shadaqah Wad Dhiyaafah, terdapat keutamaan bersedekah antara lain:
Pertama, sedekah dapat menghapus dosa. Pernyataan ini diperkuat dengan dalil hadist Rasulullah saw, “Sedekah dapat menghapus dosa sebagaimana air memadamkan api.” (HR Tirmidzi, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi, 614).

Pengampunan dosa ini tentu saja disertai taubat sepenuh hati, dan tidak kembali melakukan perbuatan-perbuatan tercela serta terhina seperti sengaja bermaksiat, seperti korupsi, memakan riba, mencuri, berbuat curang, atau mengambil harta anak yatim.

Kedua, bersedekah memberikah keberkahan pada harta yang kita miliki. Hal ini sesuai dengan hadist Rasulullah saw yang berbunyi, “Harta tidak akan berkurang dengan sedekah. Dan seorang hamba yang pemaaf pasti akan Allah tambahkan kewibawaan baginya.” (HR. Muslim).

Ketiga, Allah melipatgandakan pahala orang yang bersedekah. Hal ini sebagaimana janji Alla swt di dalam al-Quran. “Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipat-gandakan (ganjarannya) kepada mereka; dan bagi mereka pahala yang banyak.” (Qs; al-Hadid: 18)

Keempat, terdapat pintu surga yang hanya dapat dimasuki oleh orang yang bersedekah. Orang memberikan menyumbangkan dua harta di jalan Allah, maka ia akan dipanggil oleh salah satu dari pintu surga.

“Wahai hamba Allah, kemarilah untuk menuju kenikmatan”. Jika ia berasal dari golongan orang-orang yang suka mendirikan shalat, ia akan dipanggil dari pintu shalat, yang berasal dari kalangan mujahid, maka akan dipanggil dari pintu jihad, jika ia berasal dari golongan yang gemar bersedekah akan dipanggil dari pintu sedekah.”  (HR Bukhari).

Dan terakhir, orang yang sering bersedekah dapat membebaskan dari siksa kubur. Rasulullah saw bersabda, “Sedekah akan memadamkan api siksaan di dalam kubur.” (HR. Thabrani)

Karena itu, dengan tulisan ini, saya mengajak pembaca untuk mengutamakan bersedekah, supaya kita termasuk orang yang mendapatkan berkah dan hidayah-Nya. Aamiin.
Oleh Dr HM Harry M Zein


sumber : www.republika.co.id

Monday, July 29, 2013

Belajar Memaafkan

"Tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar, dan juga tidak dianugerahkan melainkan kepada orang yang mempunyai keberuntungan yang besar." (QS. Fushshilat [41]: 34-35)
    
Salah satu cara menolak kejahatan adalah memberi maaf kepada orang yang berbuat salah. Memberi maaf merupakan ajaran Islam yang sangat mulia.

Memberi maaf termasuk kebaikan hati yang dapat menghindarkan diri dari permusuhan dan dendam yang tidak pernah padam.
    
Menurut Ibn Al-Qayyim, hakikat memberi maaf adalah menggugurkan hak untuk membalas dendam atau melawan karena kemurahan hati yang bersangkutan, meskipun ia dapat melampiaskan dendam dan permusuhannya.

Jadi, pemaaf adalah orang yang tidak mengambil haknya untuk menyakiti, mencaci maki, memusuhi orang lain yang telah menzhaliminya, meskipun ia sanggup melakukannya.
    
Orang yang bermurah hati seperti itulah yang dijanjikan oleh Allah SWT pahala (kebaikan dunia dan akhirat). "Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan serupa. Maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya (menjadi tanggungan) Allah. Sungguh Dia tidak menyukai orang-orang yang zhalim." (QS.. Asy-Syura [42]: 40).
    
Memaafkan adalah puncak kemuliaan hati orang yang disakiti atau dizhalimi. Dalam sejarah Islam, pemberian maaf (pengampunan) tidak hanya menarik simpati musuh-musuh Islam untuk memeluk Islam, tetapi juga menunjukkan betapa keluruhan Islam dibangun atas fondasi kemanusiaan yang kokoh: persaudaraan, persatuan, perdamaian, dan toleransi.
Musthafa as-Siba'i, dalam bukunya, Min Rawa'i Hadharatina (Di antara Pesona Peradaban Kita), menyatakan memberi maaf adalah kata kunci rekonsiliasi dan sinergi potensi umat manusia.
    
Ingatlah bagaimana Nabi Muhammad SAW memperlakukan orang-orang kafir Quraisy yang dalam kondisi kalah dan bersalah saat terjadi fathu Makkah (pembebasan kota Mekkah).

Beliau bertanya kepada mereka: "Apakah kalian mengira bahwa aku akan melakukan balas dendam terhadap kalian?" Mereka menjawab: "(Kami berharap engkau) berbuat yang terbaik untuk kami, wahai saudaraku." Nabi SAW pun memberi pengampunan massal: "Pergilah kalian, kalian semua itu bebas (tidak ada yang dihukum)!"

Memberi maaf itu tidak selalu mudah karena kadar kesalahan orang lain terhadap kita ada yang besar (sulit dimaafkan) dan ada yang kecil.

Prinsip utama bagi yang bersalah, terutama kepada sesama, adalah meminta  maaf  dan sekaligus mengembalikan hak-hak yang pernah diambilnya secara tidak halal kepada yang berhak. Sedangkan kewajiban sebagai Muslim adalah memberi maaf kepada orang pernah bersalah kepadanya.

"Allah tidak menambah seorang hamba karena mau memberi maaf melainkan kemuliaan; dan tidaklah seseorang yang bersikap rendah hati di hadapan Allah melainkan akan diangkat oleh Allah derajatnya." (HR.. Abu Daud).
    
Memberi maaf juga termasuk sifat orang bertaqwa (QS.. Ali Imran [3]: 133), dan sekaligus merupakan manifestasi dari sikap meneladani sifat Allah yang Maha Penerima taubat, Pemaaf, dan Pengampun.

Belajar memaafkan kesalahan orang lain sejatinya merupakan manifestasi dari seni menikmati hidup bahagia. Alangkah menderita dan tersiksanya, jika seseorang terus-menerus menyimpan rasa dendam kepada orang lain.

Alangkah sengsaranya jika hati diberati rasa emosi dan amarah yang tidak berkesudahan. Belajar memaafkan jauh lebih mulia daripada menunggu orang lain meminta maaf kepada kita. Karena itu, hidup ini akan lebih indah jika ungkapan tiada maaf bagimu diubah menjadi aku sudah maafkan semuanya.

Memaafkan bukan berarti menafikan penegakan hukum dan keadilan, melainkan mengedepankan moral kemanusiaan. Mereka yang terbukti bersalah secara hukum harus ditindak tegas.

Jika hukuman sudah dijalani dan yang bersangkutan sudah menyadari kesalahannya, maka dosa sosial dan moralnya perlu dimaafkan. Jadi, kita semua perlu terus belajar menjadi arif, agar kita tidak mudah terjebak dalam kemarahan permanen.

Ramadhan merupakan bulan penuh permaafan. Karena itu, Ramadhan kali ini harus dijadikan sebagai momentum pemaafan bagi sesama demi terciptanya kedamaian dan keharmonisan sosial.
Oleh Muhbib Abdul Wahab

sumber : www.republika.co.id

Sunday, July 28, 2013

Meraih Derajat Takwa

Sebagaimana difirmankan Allah SWT dalam QS:2:183, puasa diwajibkan bagi orang beriman agar mendapatkan kedudukan takwa di sisi-Nya.

Puasa yang kita lakukan, tidak saja menahan lapar, dahaga dan hasrat biologis , namun juga menahan panca indra dan hati dari perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT. Semua hal tersebut dilakukan dalam rangka menggapai kedudukan taqwa.

Menurut Abu Hurairah ra, ketika beliau ditanya tentang takwa menjelaskan; ”Apakah engkau pernah berjalan di atas jalan berduri? Orang yang bertanya menjawab, “Ya, pernah.“

Abu Hurairah berkata, “Apa yang engkau perbuat?” Orang yang bertanya menjawab, “Jika aku melihat duri, aku akan menghindar darinya, atau melangkahinya, atau mundur darinya.”

Abu Hurairah ra berkata, “Itulah takwa” (Ibnu Rajab, jami’ul Ulum wal Hikam). Kedudukan takwa ini menjadi target tahunan dari kaum mukminin dengan pelaksanaan syaum Ramadhan.

Ini menunjukkan kedudukan takwa tersebut bertingkat-tingkat yang harus dicapai secara bertahap, sehingga Allah meminta kepada kaum mukminin untuk selalu meningkatkan ketakwaannya, salah satunya dengan melaksanakan syaum Ramadhan.

Karena sulitnya mengagapai kedudukan takwa ini, maka Allah-pun juga sudah menyiapkan pahala yang luar biasa, baik hal itu dapat diperoleh di akhirat maupun di dunia ini.

Gambaran nikmat yang akan diperoleh di akhirat bisa dibaca dalam firman Allah sebagai berikut: “Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa berada dalam taman-taman dan mata air-mata air, sambil menerima segala pemberian Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan. Di dunia mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan selalu memohonkan ampunan di waktu pagi sebelum fajar. Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian .” (QS: 51:15-19)

Kenikmatan tersebut diperoleh dengan tidak mudah selama hidup di dunia ini, karena dia memiliki karakteristik amal yang harus dilakukan seseorang sebagai upaya menggapai manusia bertakwa: pertama, orang yang selalu berbuat kebaikan.

Manusia diciptakan Allah di muka bumi ini dalam rangka beribadah kepada Allah (QS:51:56). Ibadah itu sebagaimana kita ketahui tidak hanya ibadah yang bersifat vertikal yang langsung berhubungan dengan Allah SWT (hablumminallah), namun juga ibadah yang bersifat horizontal (hablumminannas).

Sehingga, kaum mukminin tidak usah merasa tidak sedang beribadah ketika sedang berada di kantor, sekolah/kampus/pesantren,pasar/mal ataupun di mana saja berada, selama yang kita lakukan itu karena mencari keridhoan Allah atas semua aktivitas tersebut, maka itulah ibadah di sisi Allah SWT.

Apalagi, aktivitas tersebut selalu berorientasi kepada kemaslahatan untuk orang banyak, agar mereka bisa hidup lebih baik di dunia ini dan mendapatkan kemuliaan di akherat kelak.

Orang bertakwa selalu sibuk, tidak hanya untuk urusan pribadinya, tapi juga selalu sibuk dalam membantu orang lain agar mendapatkan kebaikan hidup di dunia dan di akherat, sebagaimana firman Allah: “Dan , ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil : Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling. (QS:2:83)
Oleh Naharus Surur

sumber : www.republika.co.id

Saturday, July 27, 2013

Mendekati Alquran

Ramadhan, bulan berlimpah kebaikan dan keberkahan. Bulan untuk kita ketam pahala dan anugerah-Nya. Tidak ada yang terlewati dari bulan suci ini kecuali semuanya merasakan kedamaian, ketenangan dan kebahagian.

Di antara amalan yang akan mengundang kebaikan dan berpahala besar adalah mendekati dan membaca Alquran. Atau istilah yang lazim kita dengar dan akrab di bulan Ramadhan adalah tadarus Quran.

Inilah amalan yang tersirat dalam Alquran sebagai amalan yang mengundang keberkahan dan sekaligus mendesain Ramadhan kita menjadi terbaik (QS Al-Baqarah, 2: 185).

Mendekati Alquran berarti membaca, merenungkan, menelaah, dan memahami wahyu-wahyu-Nya. Di bulan inilah Alquran menemukan momentumnya.

Syiarnya sangat berasa dan khas. Di hampir pengeras-pengeras suara mushala atau masjid di negeri ini, Alquran didengungkan.
Orang tua, ibu-ibu, bapak-bapak, remaja dan anak-anak berhimpun bersama, memandangi mushaf, membaca, mempelajari dan mengkajinya.  

Tidak perlu merasa aneh, karena aktivitas tadarus Quran memang sudah melegenda dan turun temurun. Di bulan inilah, Malaikat Jibril turun ke planet bumi untuk menyimak bacaan Alquran Rasulullah.

Utsman bin Affan biasa mengkhatamkan Alquran setiap hari sekali. Imam Syafii mengkhatamkan Alquran sebanyak enam puluh kali.
Al-Aswad setiap dua hari sekali, Qatadah setiap tiga hari sekali atau di tiap malam pada sepuluh malam akhir bulan Ramadhan. Subhanallah.

Terkait larangan Nabi Saw. mengkhatamkan Alquran kurang dari tiga hari, Al-Hafidz Ibnu Rajab Al-Hambali berkata, itu berlaku di luar Ramadhan. Sementara di bulan Ramadhan apalagi di sepuluh akhir Ramadhan justru menjadi amalan utama.

Alquran disebut sebagai Ma`dubatullah (hidangan Allah SWT.), sebagaimana sabda Rasulullah Saw., "Sesungguhnya Al-Quran ini adalah hidangan Allah, maka kalian terimalah hidangan-Nya itu semampu kalian." (HR. Hakim)

Sungguh, Alquran merupakan suatu hidangan yang tidak pernah membosankan. Semakin dinikmati, semakin bertambah pula kenikmatannya.

Oleh karena itu, setiap orang yang mempercayai Alquran akan semakin bertambah cinta kepadanya, cinta untuk mendekati dan membacanya, mempelajarinya, menghafalkannya, memahaminya, mengamalkannya, dan mengajarkannya.
Ustaz Muhammad Arifin Ilham
sumber : www.republika.co.id

Friday, July 26, 2013

Manfaatkan Waktu Sahur

Ketika mendengar kata sahur, seringkali terbayang sebuah aktivitas makan-minum sebelum Subuh, karena esok harinya akan menjalani ibadah puasa. Akan tetapi, alankah indahnya bila kita pun merenungkan waktu sahur dari sisi yang lain.

Sahur adalah penggalan waktu sepertiga malam terakhir. Rasulullah SAW menghiasi waktu sahur dengan sujud dan istigfar serta menyempurnakan tahajudnya (qiyamullail).

Begitu indahnya waktu sahur, sehingga Al Quran menyebut di antara tanda-tanda orang bertakwa yakni mereka yang memohon ampunan Allah di waktu sahur. (QS. 3 ayat 17 dan QS 51 ayat 15-18).

Pada waktu sahur, ketika banyak kegiatan manusia masih mendunia, para pencari cinta justru menghiasi waktu sahurnya dengan merintihkan doa dan istighfar, karena mereka meyakini yang disampaikan Rasulullah SAW.

''Allah SWT akan turun setiap malamnya ke langit dunia ketika tersisa seperti malam. Lalu Allah SWT berfirman, ''Siapa yang memanjatkan doa kepada-Ku, maka Aku akan mengabulkannya. Siapa yang memohon, maka Aku akan memberinya. Siapa yang meminta ampunan, Aku akan memberikan ampunan untuknya. (HR. Bukhari 1.145, Muslim 758).

Hadis ini memberikan perumpamaan, betapa Allah menyingkap hijab malam pada waktu sahur untuk mendengarkan doa dan mengampuni dosa-dosa hamba yang merintih memohon pengampunan dan mengharapkan kasih sayangNya. Maka tenggelamkanlah dirimu dalam keasyikan berjumpa wajah Ilahi. (QS. 13:31).

Suatu saat Aisyah RA bertutur bahwa Rasulullah SAW bersabda, ''Aisyah, izinkan aku tahajjud.'' Aisyah menjawab, ''Ya Rasulullah, aku senang engkau bersamaku, tetapi aku lebih senang bila engkau beribadah.''

Lalu, Rasulullah SAW mengambil gharibah (tempat air terbuat dari kulit), beliau berwudlu dan shalat tahajjud. Pada saat beliau tahajjud, Siti Aisyah mendengarkan isak tangis yang menyesak dada bagaikan suara air yang menggelegak, tanah tempat beliau sujud basah karena tetesan air mata.
''Menjelang Subuh, Bilal menemui Rasulullah SAW yang tampak wajahnya masih basah karena air mata. Bilal berkata, ''Ya Rasulullah, mengapa engkau menangis? Bukankah Allah SWT sudah mengampuni dosa-dosamu? Rasul menjawab, 'Apakah engkau tidak suka jika aku menjadi hamba yang bersyukur?''
Subhanallah. Betapa Rasulullah SAW Al Musthafa, Sayyidul Mursalin menghiasi waktu sahur dengan memperbanyak sujud, membasahi keheningan malam dengan isak tangis sebagai tanda syukur kepada Allah SWT.

Lantas, bagaimana dengan kita? Makhluk yang bergelimang dengan dosa. Sosok manusia yang masih memiliki hati yang hitam pekat karena munkarat.

Adakah kita membiarkan kesempatan emas pengampunan Ilahi pada waktu sahur? Ikutilah rombongan pencari cinta yang terkumpul di stasiun takwa untuk menggapai ridha Ilahi (QS.2;207).

Lihatlah, betapa indahnya saat sahur, ketika langit-langit membukakan pintu-pintu maghfirah, menyambut hamba-hamba yang telah gelisah, dinista sejuta dosa yang terpenjara dalam belenggu hawa nafsu. Maka, jangan biarkan waktu sahur berlalu tanpa makna. Wallahu a'lam.
Oleh; Ustaz Toto Tasmara

sumber : www.republika.co.id

Thursday, July 25, 2013

Umat Istimewa di Bulan Istimewa

Bulan Ramadhan adalah bulan yang ditunggu-tunggu umat Islam untuk melaksanakan ibadah shaum. Bulan ini sangat istimewa karena bulan ini adalah bulan suci yang banyak dimanfaatkan umat Islam melakukan ibadah di siang dan malam hari.

Kedatangan bulan Ramadhan tidak disia-siakan oleh umat islam. Mereka berlomba-lomba memperbanyak ibadah di bulan suci ini.

Keistimewaan bulan ini banyak diterangkan dalam Al-Qur’an ataupun hadis Rasulullah SAW, bahkan umat Islam merupakan umat yang sangat beruntung di dunia ini dibandingkan dengan umat lain, terutama dalam melaksanakan ibadah shaum di bulan Ramadhan.

Sebuah hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas ra, bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda, ''Ketika memasuki bulan suci Ramadhan Allah SWT memerintahkan Malaikat Ridwan penjaga pintu surga. “Wahai Ridwan, bukalah pintu-pintu surga untuk umat Nabi Muhammad yang melaksanakan ibadah shaum.” 

Lalu Allah SWT memerintahkan Malaikat Malik penjaga pintu neraka, “Wahai Malik, tutuplah pintu-pintu neraka dari umat Nabi Muhammad yang melaksanakan ibadah shaum.”
Lalu Allah SWT memerintahkan Malaikat Jibril, “Wahai Jibril, turunlah ke bumi, ikatlah setan-setan dengan tali yang kuat, kemudian lemparkanlah mereka ke dalam lautan yang jauh supaya mereka tidak merusak shaum umat kekasihku Muhammad SAW.”
Lihatlah hadis di atas. Menjelang bulan suci Ramadhan Allah SWT memerintahkan tiga malaikat untuk melaksanakan tugas yang Allah perintahkan dengan maksud agar shaum umat Nabi Muhammad di bulan Ramadhan ini baik. Alangkah istimewanya umat Nabi Muhammad SAW.

Perintah Allah kepada Malaikat Ridwan, mengisyaratkan agar umat Islam melaksanakan shaum dengan sebaik-baiknya, bukan sekadar menahan lapar dan haus,  tapi seluruh anggota tubuh juga shaum.

Selain itu, di bulan Ramadhan umat Islam juga dianjurkan memperbanyak ibadah karena ganjaran pahala yang berlipat, dan semua ibadah lain yang dianjurkan di bulan suci Ramadhan. Semuanya untuk kepentingan umat Islam.

Maka wajarlah kalau semua ibadah di bulan Ramadhan diganjar oleh Allah dengan ganjaran surga, itulah arti dari perintah Allah kepada Malaikat Ridwan menjelang bulan suci Ramadhan.

Perintah Allah kepada Malaikat Malik, mengisayaratkan kepada umat Islam untuk menghindari perbuatan dosa, meninggalkan perbuatan yang menjurus kepada kemaksiatan, karena perbuatan tersebut pasti akan diganjar oleh Allah dengan neraka.

Sedangkan perintah Allah kepada Malaikat Jibril, mengisyaratkan kepada umat Islam agar melaksanakan shaum Ramadhan dengan sebaik-baiknya, agar hasil Ramadhan dapat diraih yaitu menjadi umat yang bertaqwa.

Beruntuglah umat Islam yang melaksanakan ibadah shaum di bulan Ramadhan. Mereka dijaga oleh tiga malaikat menjelang masuknya Ramadhan, agar ibadah shaum mereka tetap baik dan tidak rusak.
Oleh : Ustaz Ahmad Dzaki MA

sumber : www.republika.co.id

Wednesday, July 24, 2013

Lima Ciri Manusia Bertakwa

Ibadah puasa yang saat ini kita jalani sebagaimana diperitahkan  oleh Allah SWT didalam firman-Nya QS al-Baqarah ayat 183, yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.”

Firman Allah tersebut terkandung makna bahwa ibadah puasa itu esensinya adalah membentuk segepap pribadi muslim yg beriman dan bertaqwa. Betapa pentingnya nilai taqwa, dan taqwa  merupakan bekal yang terbaik dalam menjalani kehidupan di dunia dan betapa tingginya derajat taqwa. Manusia yang paling mulia derajatnya di sisi Allah SWT adalah orang yang paling taqwa di antara mereka. 

Paling tidak ada lima ciri-ciri secara umum kategori orang-orang bertakwa diantaranya; Pertama, dalam hidupnya gemar menginfakkan harta bendanya di jalan Allah, baik dalam keadaan sempit maupun lapang.

Kedua, mampu mengendalikan serta menahan diri dari sifat amarah.

Ketiga, selalu bersifat pemaaf dan tidak pendendam kepada orang lain yang berbuat salah.

Keempat, tatkala terjerumus pada perbuatan keji dan dosa atau menzalimi diri sendiri, ia segera ingat kepada Allah, dan kemudian bertobat, beristighfar, memohon ampunan kepada-Nya atas segala perbuatan dosa yang telah dilakukannya.

Kelima, secara sadar tidak mengulang perbuatan keji dan mungkar yang pernah dilakukan.

Ciri-ciri orang bertakwa itu  dapat secara jelas kita lihat dalam QS Ali Imran: 133-135 yang artinya : “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa, (yaitu) orang-orang yang menginfakkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang, Allah SWT menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.

Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.”  

Betapa luhurnya manusia takwa ini, oleh karena itu  ibadah puasa semoga dapat menempa sekaligus melahirkan sebuah  masyarakat kota Tangerang yang mengedepankan  keluhuran ahlaq mulia, ditengah hiruk pikuknya serta gemerlapnya kehidupan Kota Megapolitan ini. Kota yang dihuni 1.5 juta jiwa dan 99 persen beragama Islam. Namun demikian Islam adalah sebuah agama rahmatan lil alamin  yang sangat menghormati agama-agama lain hidup serta tumbuh berdampingan.

Kualitas puasa yang akan melahirkan orang-orang bermoral taqwa inilah sangat dibutukan di dalam  membangun masyarakat yang baik. Ada banyak keuntungan yang akan diperoleh baik secara individu maupun kolektif terhadap kualitas nilai ketakwaan itu diantaranya:

Pertama, mereka akan memperoleh al-Furqon, yaitu kemampuan untuk membedakan antara yang haq dan yang bathil, halal dan haram, dan segenap kesalahannya serta dosa-dosanya akan diampuni. Hal ini menjadi bagian sebuah perjuangan masing-masing  agar meraih predikat taqwa tersebut.

Kedua, mereka akan memperoleh jalan keluar dari segala ragam problema hidup yang dihadapinya, dan akan dianugrahkan rizki tanpa diduga serta dimudahkan segala urusannya.

Ketiga, segenap amalan-amalan shalehnya diterima oleh Allah SWT dan menjadi berat timbangannya dihari kiamat kelak, dengan mudah penghisabannya dan kelak menerima catatan-catatan amalnya yang baik. Coba kita renungkan firman Allah SWT dalam QS Az-Zalzalah: 7-8 yang artinya: “Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat atompun, niscaya dia akan melihat (balasan)-Nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat atompun, niscaya dia akan melihat (balasan)-Nya pula.”

Keempat, Allah SWT akan memasukan kedalam surga, kekal didalamnya serta hidup dalam keridhaan-Nya. Hal itu sebagaimana  firman Allah SWT dalam surah Ali Imran: 15 yang artinya, “untuk orang-orang bertaqwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allah SWT. Dan Allah maha melihat akan hamba-hambanhya.”

Jelaslah bahwa dengan taqwa kepada Allah SWT akan dapat kita raih kemulian hidup serta kebaikan di dunia. Melalui ibadah Shaum/puasa yang selama sebulan penuh kita tunaikan semoga dapat membentuk sebuah pribadi yang baik dan yang lebih penting adalah daqpat meningkatkan kualitas keimanan serta ketaqwaan kepada-Nya.

Nilai takwa ini akan sangat dibutuhkan dan bahkan menjadi modal sosial di dalam membangun sebuah peradaban masyarakat Kota Tangerang yang multi kultur, dengan berbagai  komplesitas permasalahan kota terus menghadang, hanya orang-orang yng memiliki kualitas taqwa inilah yang dapat survive dan dapat dimanifestasikan ke dalam tata laku kita sehari-hari. Sehingga nilai taqwa akan memberi kontribusi positif bagi kehidupan sosial yang lebih luas.

Sebagaimana yang dituturkan Rasulullah SAW bahwa jihad yang paling besar adalah jihad melawan hawa nafsu. Semoga kita ditakdirkan oleh Allah SWT ke dalam golongan orang-orang yang selalu taat serta patuh terhadap perintah-Nya.
Oleh Dr HM Harry M Zein

sumber : www.republika.co.id

Saturday, July 20, 2013

Merawat Puasa

Direktur Al Wasath Institute dan Dosen Studi Islam UHAMKA

Hakikat dari puasa adalah menahan diri (imsyak), baik secara jasmani maupun rohani. Kata “puasa” (Sansekerta) dan memiliki arti yang mirip sama dengan kata shawm (Arab), yang maknanya adalah pengendalian diri, utamanya atas dorongan berlaku tamak.

Pengendalian diri secara jasmani dengan tidak makan, minum dan melakukan hubungan suami istri dari mulai terbit fajar sampai terbenamnya matahari, sehingga apabila dilakukan akan membatalkan puasa, terkecuali jika lupa. Sedangkan secara rohani adalah dari sifat iri, hasad, dengki, takabur, ghibah, dan sebagainya.

Agar ibadah puasa yang kita jalankan, seperti diingatkan oleh Nabi Muhamamd Saw, tidak sekedar “mendapatkan lapar haus dan dahaga”, maka sebagaimana tanaman, kita wajib untuk merawat dengan sebaik-baiknya.

Beberapa amalan utama yang dapat dilakukan untuk merawat puasa adalah; pertama, mengerjakan qiyamulail, yakni salat taraweh selama bulan ramadhan. Silahkan pilih sesuai keyakinan kita, apakah mau 11 atau 23 rakaat. Mau dikerjakan langsung setelah salat isya atau pada sepertiga malam.

“Rasulullah Saw menganjurkan (salat) qiyamu ramadhan kepada mereka (para sahabat), tanpa perintah wajib. Beliau bersabda : Barangsiapa mengerjakan (salat) qiyamu ramadhan karena iman dan mengharap pahala, niscaya diampuni dosanya yang lalu” (HR. Bukhori Muslim)

Kedua, mengakhiri makan sahur, supaya perut masih terasa kenyang dan badan tetap kuat, sehingga tetap sehat selama menjalankan ibadah puasa. “Umatku dalam keadaan baik selama mereka menyegerakan berbuka dan menta’khirkan sahur” (HR. Ahmad)

Ketiga, menyegerakan berbuka puasa (ta’jil) dengan makanan dan minuman yang manis, sebelum Salat maghrib. Sehingga menghilangkan lapar dan dahaga, untuk menyegarkan kembali tubuh yang lemas karena berpuasa. “Orang akan selalu baik (sehat) apabila menyegerakan berbuka” (Muttafaq’alaih).

Keempat, berdoa ketika berbuka, sebagai wujud syukur karena telah selesai puasanya pada hari tersebut. Lafalnya adalah : “Dzahabazh zhama’u wabtalatil ‘uruqu watsabatal ajru insya Allah” hilanglah rasa haus, dan basahlah urat-urat (badan) dan insya Allah mendapatkan pahala.

Kelima, memperbanyak sedekah dan tadarus Alquran: memberikan makan kepada orang sedang puasa, ketika adzan maghrib berkumandang. Ketika ditanya tentang sedekah yang paling utama, Rasulullah Saw menjawab; “Sedekah di bulan Ramadhan” (HR. at Tirmidzy). 

Momentum ini dimanfaatkan untuk membayar zakat. Sehingga berimplikasi meningkatnya perolehan zakat, infak, sedekah, hibah dan wakaf dari setiap organisasi pengelola zakat, yayasan sosial, maupun takmir-takmir masjid dan mushala.

Di samping itu, merawat puasa dengan membaca dan mempelajari Alquran (tadarus), baik dilakukan sendiri maupun secara bersama-sama. “Rasulullah Saw adalah orang yang paling dermawan, apalagi pada bulan ramadhan, ketika ditemui oleh Malaikat Jibril pada setiap malam pada bulan Ramadhan dan mengajaknya membaca dan mempelajari Alquran. Ketika ditemui Jibril, Rasulullah Saw lebih dermawan daripada angin yang ditiupkan (Muttafaq’Allaih)

Keenam, mendekatkan diri kepada Allah dengan cara i’tikaf (berdiam diri) di masjid, terutama pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, yakni dengan melakukan amalan-amalan mulia, misalnya dengan berdzikir, membaca Alquran dan sebagainya. Dari Umar r.a (diriwayatkan bahwa) ia berkata: “Rasulullah Saw selalu beri’tikaf pada sepuluh hari yang penghabisan di bulan Ramadhan“(Muttafaq’Allaih).

Semoga dengan merawat puasa selama Ramadhan, insya Allah kita akan menjadi orang paling mulia disisi Allah Swt, yakni mendapatkan derajat taqwa. Wallahu’alam
, Oleh Faozan Amar

sumber : www.republika.co.id

Friday, July 19, 2013

Memegang Teguh Hati Nurani

“Manusia menadi saksi atas dirinya sendiri, walaupun ia mengemukakan dalih-dalihnya,” (QS. Al-Qiyâmah [75] : 14-15)

Nurani berasal dari kata nur, yang berarti cahaya. Jadi, nuraniyyun, ialah sesuatu yang bersifat cahaya dan menerangi. Menurut ahli tasawuf, manusia terdiri dari akal, hati, nurani, syahwat dan hawa nafsu.

Akal untuk memecahkan masalah, hati untuk memahami realita, nurani adalah pandangan batin, syahwat penggerak tingkah laku atau motif, dan hawa nafsu ialah kekuatan membahayakan untuk menguji manusia.

Perangkat manusia tadi dipimpin oleh hati. Kalau hatinya baik, perilakunya juga baik. Sebaliknya, kalau hatinya buruk, perilakunya juga buruk. Makna nurani lebih dekat kepada hati, sehingga terkenal dengan istilah hati nurani. Sifatnya sangat ruhaniah dan mengajak manusia agar berperilaku baik, membantunya mengatakan mana yang benar dan mana yang salah. Dia (nurani) bersemayam dalam diri semua orang.

Nurani seseorang pada hakikatnya tidak pernah berbeda dengan nurani orang lain. Dengan kata lain, apa yang dirasa benar oleh nurani seseorang sebenarnya dirasa benar juga oleh orang lain asalkan berlaku kondisi dan situasi yang sama.

Allah Swt. Berfirman: “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang megotorinya,” (Q.S. Syams [91]: 7-10). Nurani sebagai petunjuk jalan menuju kebenaran adalah ilham dari Allah.

Melalui nurani, Allah membiarkan kita tahu sikap dan perilaku terbaik dan paling indah. Nurani menjadikan manusia mendapatkan petunjuk guna menempuh jalan yang benar dan lurus. Seseorang yang mau mendengar hati nuraninya akan mencari jawaban dan menjelajahi apa yang terlihat di sekelilingnya untuk kebenaran. Seseorang yang telah mengembangkan kepekaan ini akan dengan mudah merasakan dirinya tinggal di sebuah dunia yang tercipta tanpa cacat (baca: bersyukur).

Armahedi Mahzar dalam Integralisme; Sebuah Rekonstruksi Filsafat Islam (1983: 33) mengatakan, seorang individu selalu berusaha menyesuaikan dirinya dengan etika yang berlaku di masyarakat. Kesadaran terhadap dirinya adalah hasil dari proses “akali-qalbi-nurani” dalam mengurai apa yang terdapat dalam diri.

Dengan akali atau intelektualita seseorang terus digunakan untuk berpikir tentang dirinya. Qalbi atau sensibilita diarahkan untuk terus merenungkan kepribadian yang ditunjukkan kepada lingkungan masyarakat. Sedangkan nurani atau moralita dijadikan upaya untuk memadukan akali dan qalbi dengan mengetengahkan prinsip-prinsip moral.

Berpadunya intelektualita, sensibilita, dan moralita dalam kehidupan kita memang sangat penting. Nurani sangat menentukan kadar keimanan dan akhlak manusia, karena dapat menangkal bisikan hati yang buruk (dzulmani). Pakar ESQ, Ary Ginanjar Agustian, misalnya, mengartikan nurani sebagai bisikan kebaikan universal dalam diri manusia untuk mengisi hidup dengan perilaku mulia.

Menghormati nurani kita berarti terus-menerus menjalankan perilaku yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Ilahi. Ketika kita sedang berjalan di trotoar jalanan yang ramai dengan kendaraan, kemudian melihat nenek-nenek yang akan menyebrang. Muncullah bisikan dari hati untuk segera membantunya. Sederhananya, itulah yang disebut dengan nurani. Ada semacam niat untuk menolong orang yang sedang membutuhkan pertolongan.

Begitu juga dengan keagamaan seseorang. Ketika kita mendengar dari ustadz bahwa Allah itu Maha Pengasih dan Maha Penyayang, ada dua bisikan hati: benar atau tidak? Apabila mengikuti hati nurani kita, akan mengikuti bisikan hati yang baik dan positif dalam meyakini sifat-sifat-Nya itu.
Kita, tidak akan menolak dan menafikan sifat Rahman dan Rahim Allah sang Penguasa Alam. Tetapi manusia diberikan kebebasan untuk memilih bisikan-bisikan hatinya dengan syarat bertanggung jawab atas pilihannya. Di dalam Al-Quran dijelaskan: “Manusia menadi saksi atas dirinya sendiri, walau¬pun ia mengemukakan dalih-dalihnya,” (Q.S. Al-Qiyâmah [75] : 14-15).

Ketika kita tidak mendengarkan dan melaksanakan apa yang dibisikan nurani, itu sama saja dengan memasung hak nurani untuk memberikan arahan dalam hidup. Pemasungan nurani men-cabut totalitas kita sebagai manusia. Karena itu, agama Islam menegaskan siapa yang berbuat baik, kebaikan itu kem¬bali kepada dirinya sendiri. Demikianlah agama memberikan kebebasan ke-pada kita sekaligus meletakkan tanggung jawab kepada setiap individu.

Mengetahui apakah bisikan hati terkategori nurani adalah dengan mengetahui apakah bisikan hati itu baik dan bermanfaat untuk orang banyak ataukah tidak. Sebab, kalau bisikan hati cenderung kepada bisikan buruk dan jahat, itu dinamakan dengan dzulmani (kegelapan diri).
Kalau kita gagal menetapkan bisikan hati menjadi perilaku, tidak perlu gelisah dan menggerutu. Bukankah peraturan hanya membantu mengarahkan dan belum menjamin terlaksananya apa yang kita inginkan? Ingat, manusia terus berproses memahami kebaikan dan kebenaran yang disampaikan. Wallahua’lam
Oleh Sukron Abdilah 

sumber : www.republika.co.id

Thursday, July 18, 2013

Kreativitas Ramadhan

The power of Ramadhan betul-betul faktual bagi umat Islam. Dilihat dari sudut pandang dan dimensi kehidupan apa pun, Ramadhan memberikan arti penting bagi umat Islam. Puncak-puncak prestasi peradaban dan kebudayaan dunia Islam hampir semua terjadi di dalam bulan suci ini.

Bulan Ramadhan bagaikan memiliki kreativitas secara khusus bagi umat Islam. Pantas kalau seluruh umat Islam selalu mendambakan kehadiran Ramadhan di dalam menjalani perjalan hidupnya.
Nabi SAW pun mengajarkan doa, Allahumma balligh wa barik lana Ramadhan (Ya Allah sampaikanlah kami kepada bulan Ramadhan dan berkahilah kami di dalamnya).

Bulan Ramadhan menjadi penting bukan hanya karena di dalamnya ada rukun Islam berupa puasa dan zakat atau banyaknya ibadah-ibadah sunah yang amat istimewa yang hanya ada di dalamnya.

Tetapi juga, fenomena Ramadhan juga terasa di dalam dunia ekonomi seperti geliat dinamika perkembangan pasar, mobilitas vertikal masyarakat dengan segala dampaknya, seperti kemacetan di jalan raya, kepesatan di bandara dan pelabuhan.

Bulan Ramadhan betul-betul berjumpa antara kesemarakan (scope) dan pendalaman (force) agama. Aspek kesemarakan dapat disaksikan bagaimana misalnya media massa secara spektakuler mengoptimalkan acara-acaranya selama 24 jam. Seolah-olah tidak ada selebriti yang menganggur pada bulan Ramadhan.

Konon, media-media publik meraup keuntungan berlipat ganda melalui iklan di dalam bulan Ramadhan. Hotel-hotel dan mal-mal didekorasi secara islami.

Aspek pendalaman dapat disaksikan dengan maraknya iktikaf di berbagai mesjid, kajian-kajian intensif untuk mendalami ajaran Islam semakin tumbuh dan berkembang, bukan hanya di dalam kampus, masjid/mushala dengan pesantren kilatnya, tetapi juga kantor-kantor dan acara buka puasa yang diisi dengan pendalaman agama.

Ternyata peristiwa-peristiwa paling monumental dalam dunia Islam banyak sekali terjadi di dalam bulan suci Ramadhan. Di antara peristiwa-peristiwa tersebut ialah pertama kali turunnya ayat suci Alquran sekaligus menandai pelantikan Muhammad SAW sebagai Nabi.

Kemenangan besar pasukan Rasulullah di dalam Perang Badr yang bersejarah itu, bertepatan pada 17 Maret 624 M atau 17 Ramadhan tahun ke-7 H.

Perebutan kembali kota Makkah (Fathu Makkah) juga berlangsung pada bulan Ramadhan 8 H, dan setahun kemudian berlangsung Perjanjian Tsaqif yang monumental itu. Peristiwa lainnya adalah Diplomasi Qadasiayah yang membawa keuntungan besar bagi umat Islam yang terjadi dalam Ramadhan 15 H.

Penaklukan Rodesia berlangung pada Ramadhan 53 H, Perang Andalusia Spanyol (Ramadhan 91 H), penaklukan kota Spanyol (Ramadhan 92 H), serta runtuhnya Daulat Bani Umayyah yang dinilai sudah banyak korup digantikan rezim baru Bani Abbasiyah (Ramadhan 132 H).

Kejadian lainnya adalah Pemisahan diri Mesir dari Dinasti Abbasiyah (Ramadhan 253 H), pendirian Universitas Al-Azhar, Kairo-Mesir, Universitas tertua di dunia (Ramadhan 361 H) oleh Dinasti Fatimiyah (Syi'ah).

Salahuddin al-Ayyubi juga menghalau pasukan Salib dan merebut Kota Surya pada Ramadhan 584 H, Pasukan Salib dikalahkan di Baibars (Ramadhan 675 H), dan beberapa negara Islam memperoleh kemerdekaan dari penjajah dalam bulan Ramadhan, termasuk Negara Republik Indonesia.

Sejumlah pusat kerajaan lokal di kepulauan nusantara menyerah kepada sistem pemerintahan yang bercorak Islam (Sulthan), termasuk di antaranya Kerajaan Bone Sulawesi Selatan, kerajaan terakhir di kawasan Timur Indonesia menyerah ke pemerintahan baru bercorak yang Islam juga pada Ramadhan.

Peristiwa demi peristiwa yang menakjubkan di atas tentu bukan hanya terjadi pada masa lampau tetapi juga akan terjadi pada diri kita. Semoga kreativitas dan kualitas Ramadhan kita kali ini jauh lebih baik daripada sebelumnya.
Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar MA

sumber : www.republika.co.id

Wednesday, July 17, 2013

Melatih Lidah untuk Berpuasa

Tiada satu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS Qaaf [50]: 18)

Lidah tidak bertulang. Petatah itu menggambarkan bagaimana lidah bisa membawa si pemiliknya menuju pintu surga atau menuju pintu neraka. Bahaya yang ditimbulkan oleh lidah sangat besar, dan petaka yang bermula darinya juga luar biasa.

Abu Bakar Ash-Shiddiq ra Pernah memegang lidahnya sambil menangis dan berkata, “Inilah yang mendatangkan berbagai bencana padaku.”

Lidah memiliki banyak “penyakit” yang bisa membawa pemiliknya mendapatkan malapetakan seperti perkataan dusta, gosip, adu domba, perkataan kasar, mencela, perkataan kotor, kesaksian palsu, kata-kata laknat, cemoohan, merendahkan orang lain, dan sebagainya. Karena itu tidak aneh jika banyak perkataan yang menghantarkan pelakunya ke neraka, lantaran ia tidak bisa mengontrol lidahnya, dan membiarkan kata-katanya liar.

Lidah laksana binatang buas yang amat berbahaya, ular berbisa, dan api yang meluap-luap. Ibnu Abbas ra, pernah berkata kepada lidahnya sendiri, “Wahai lidah, katakanlah yang baik niscaya engkau akan meraih kebaikan. Atau diamlah, niscaya engkau akan selamat. Semoga Allah merahmati seorang muslim yang menahan lidahnya dari kehinaan, mengikatnya dari gosip, mencegahnya dari ucapan sia-sia, dan menahannya dari kata-kata yang diharamkan.”

Dalam hadits shahih disebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda kepada Mu’adz ra. sambil memegang lidah, “Tahanlah ini!” Mu’adz berkata, “Apakah kami akan disiksa karena apa yang kami ucapkan, wahai Rasulullah?” “Ibumu akan kehilangan dirimu wahai Muadz. Tidaklah wajah orang-orang itu dilemparkan ke dalam api neraka melainkan karena hasil perbuatan lidah mereka." (HR Tirmidzi dan Ahmad)

Namun begitu, lidah juga merupakan sarana menuju kebaikan dan bisa mengantarkan pemiliknya ke pintu surga. Maka, alangkah damainya orang yang senantiasa berzikir, memohon ampun, memuji, bertasbih, bersyukur, dan bertobat kepada Allah dengan lidahnya. Dan alangkah malangnya orang yang mengoyak kehormatan manusia, menodai kesucian, serta mendongkel nilai-nilai kebenaran.

Lidah mempunyai cara tersendiri untuk berpuasa, yang hanya diketahui orang-orang yang senantiasa berpaling dari kesia-siaan. Puasanya lidah dapat dilakukan secara terus-menerus, baik di bulan Ramadhan maupun di bulan yang lain. Namun di bulan Ramadhan lidah lebih terbina dan terarahkan. Karena itu, bagi orang-orang yang berpuasa, basahilah lidah-lidah milik kita dengan zikir, alirkanlah ia dengan ketakwaan, dan bersihkanlah ia dari kemaksiatan-kemaksiatan.

Semoga Allah merahmati orang yang berhati-hati dengan segala ucapannya, mengatur lirikan-lirikan matanya, menghaluskan tutur katanya, dan menimbang-nimbang dahulu apa yang akan diucapkan. Allah swt berfirman, “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Qâf
[50]  : 18)

Dalam hadisnya, Rasulullah juga selalu mengingatkan umatnya untuk selalu menjaga kehormatan lidahnya dalam berbicara. Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang menjamin untukku apa yang terletak di antara dua rahangnya (lidah), dan apa yang terletak di antara dua pahanya (kemaluan), maka aku akan menjamin untuknya surga,” HR Bukhari dari Sahl bin Sa’ad.

Patut kita sadari, ibadah puasa yang kita jalankan saat ini bukan hanya merasakan lapar dan dahaga semata. Akan tetapi melatih jiwa kita untuk selalu melaksanakan perbuatan-perbuatan yang dianjurkan Allah swt dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya. Ya Allah, kami memohon pada-Mu agar kami memiliki lidah-lidah yang jujur dan hati yang bersih.
Oleh Harry M Zein

sumber : www.republika.co.id

Tuesday, July 16, 2013

Inilah Keutamaan Tarawih

Qiyam Ramadhan adalah istilah lain dari shalat tarawih dan termasuk dalam qiyamul lail yang menjadi kebiasaan para orang saleh. Shalat Tarawih hukumnya sunnah muakkadah (yang dikukuhkan) berdasarkan hadis dari 'Aisyah RA.

Rasulullah SAW shalat di masjid lalu diikuti oleh orang banyak. Pada hari kedua diikuti lebih banyak, kemudian pada hari ketiga para sahabat kumpul banyak, tetapi Rasulullah tidak keluar. Pada pagi harinya beliau bersabda, ‘Aku telah melihat apa yang kamu sekalian lakukan, tidaklah ada yang mencegahku untuk keluar kecuali karena takut shalat Tarawih diwajibkan atas kamu’. (Muttafaq alaih).

Ibadah ini merupakan taqarrub kepada Ilahi yang paling agung. Al-Hafidz Ibnu Rajab berkata, Seorang mukmin pada bulan Ramadhan menggabungkan dua jihad untuk melawan nafsunya; jihad siang hari melalui puasa dan jihad malam hari melalui qiyamul lail. Barang siapa yang menggabungkan dua jihad ini, maka pahalanya akan diberikan tanpa hitungan.

Anjuran qiyam Ramadhan dan keutamaannya banyak disebutkan dalam berbagai hadis. Di antaranya, Barang siapa yang menunaikan qiyam Ramadhan dengan keimanan dan mencari pahala dari Allah, maka dosanya yang terdahulu akan diampuni. (HR Bukhari dan Muslim).

Menurut Ibnu al-Mundzir, dosa-dosa yang diampuni meliputi dosa besar dan kecil. Sedangkan, Imam Nawawi dalam kitabnya, Fath al-Bari, menyebutkan, dosa yang akan dihapus melalui shalat malam adalah dosa kecil dan bisa memperingan dosa-dosa besar.

Rasulullah SAW tidak membatasi jumlah rakaat shalat malam. Umar RA dan para sahabat melakukan shalat tarawih 20 rakaat selain witir. Shalat malam dua rakaat, dua rakaat, apabila salah seorang dari kamu khawatir masuk waktu subuh, menutupnya dengan witir satu rakaat. (HR Bukhari).

Dalam hadis ini tidak ada pembatasan rakaat. Dan, mereka adalah generasi yang paling memahami sunah Rasulullah SAW. Selama Ramadhan kita harus berusaha maksimal menunaikan Tarawih setiap malam dengan berjamaah sampai usai agar mendapatkan pahala qiyamul lail semalam suntuk.

Abu Dzar meriwayatkan dari Rasulullah bersabda, Barang siapa menunaikan qiyam bersama imam (berjamaah) sampai selesai, maka ditulis pahala shalat malam semalam suntuk. (HR Imam Ahmad, at-Tirmidzi, dan dishahihkan oleh al-Albani).

Hadis ini dalil disyariatkannya qiyam Ramadhan dengan berjamaah. Dan, ini merupakan sunah Nabi SAW yang diikuti oleh para Khulafaur Rasyidin dan sahabat.

Dalam riwayat Aisyah disebutkan, Rasulullah SAW mendirikan qiyamul lail 11 rakaat sekitar lima jam, bahkan terkadang seluruh malam digunakannya untuk qiyamul lail. Satu rakaat ditunaikan sekitar 40 menit.

Para salafus shalih berusaha memperpanjang rakaat qiyam Ramadhan sambil mengkhatamkan Alquran. Setiap mukmin wajib bersungguh-sungguh mendirikan Tarawih ini, terlebih pada malam-malam 10 hari terakhir Ramadhan untuk menanti Lailatul Qadar.

Barang siapa qiyam pada malam al-Qadar dengan keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah, maka akan diampuni semua dosa-dosanya yang terdahulu. (HR Bukhari dan Muslim). Semoga kita termasuk orang-orang mendapat kemuliaan Ramadhan. Amin.
, Oleh KH Achmad Satori Ismail 

sumber : www.republika.co.id

Monday, July 15, 2013

Marhaban ya Ramadhan, Selamat Datang Bulan Suci

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS al-Baqarah: 183)

Marhaban ya Ramadhan, selamat datang bulan suci Ramadhan. Kata itu yang saat ini banyak diserukan umat Islam di seluruh dunia. Di masjid-masjid, mushala, televisi, koran-koran, radio hingga mailing list dan phone sellular pribadi, ungkapan selamat datang tampil dengan berbagai ekspresi yang variatif.

Marhaban ya Ramadhan sepatutnya bukan sekadar ucapan selamat datang yang terlontar dari mulut belaka. Sebab bulan yang penuh berkah ini sepatutnya disambut suka cita dan kebahagian hati yang diekspresikan , tetapi kebahagian hati yang diekspresikan dengan perubahan tindakan dan perilaku.
           
Ibadah puasa di bulan suci ini yang diwajibkan untuk orang-orang beriman di seluruh dunia bukan sekadar ibadah. Ibadah puasa di bulan Ramadhan sangat berbeda dengan ibadah lain. Sebab, puasa adalah ibadah ‘rahasia’. Artinya, orang itu berpuasa atau tidak hanyalah orang berpuasa itu sendiri dan Allah saja yang mengetahuinya.

Banyak nilai yang kita petik dalam ketika menjalankan ibadah puasa. Tidak sedikit literature dan referensi kajian tentang makna puasa yang mengatakan bahwa beragam nilai yang kita petik dari ibadah puasa di bulan Ramadhan seperti nilai sosial, kesehatan, spiritual hingga kepribadian.

Nilai sosial, perdamaian, kemanusiaan, semangat gotong royong, solidaritas, kebersamaan, persahabatan dan semangat prularisme. Ada pula manfaat lahiriah seperti pemulihan kesehatan (terutama perncernaan dan metabolisme), peningkatan intelektual, kemesraan dan keharmonisan keluarga, kasih sayang, pengelolaan hawa nafsu dan penyempurnaan nilai kepribadian lainnya.

Ada lagi aspek spiritualitas: puasa untuk peningkatan kecerdasan spiritual, ketaqwaan dan penjernihan hati nurani dalam berdialog dengan al-Khaliq. Semuanya adalah nilai-nilai positif yang terkandung dalam puasa yang selayaknya tidak hanya kita pahami sebagai wacana yang memenuhi intelektualitas kita, namun menuntut implementasi dan penghayatan dalam setiap aspek kehidupan kita.

Yang juga penting dalam menyambut bulan Ramadhan tentunya adalah bagaimana kita merancang langkah strategis dalam mengisinya agar mampu memproduksi nilai-nilai positif dan hikmah yang dikandungnya. Jadi, bukan hanya melulu mikir menu untuk berbuka puasa dan sahur saja. Namun, kita sangat perlu menyusun menu rohani dan ibadah kita.

Kalau direnungkan, menu buka dan sahur bahkan sering lebih istemawa (baca: mewah) dibanding dengan makanan keseharian kita. Tentunya, kita harus menyusun menu ibadah di bulan suci ini dengan kualitas yang lebih baik dan daripada hari-hari biasa. Dengan begitu kita benar-benar dapat merayakan kegemilangan bulan kemenangan ini dengan lebih mumpuni.

Ramadhan adalah bulan penyemangat. Bulan yang mengisi kembali baterai jiwa setiap muslim. Ramadhan sebagai 'Shahrul Ibadah' harus kita maknai dengan semangat pengamalan ibadah yang sempurna. Ramadhan sebagai 'Shahrul Fath' (bulan kemenangan) harus kita maknai dengan memenangkan kebaikan atas segala keburukan.

Ramadhan sebagai "Shahrul Huda" (bulan petunjuk) harus kita implementasikan dengan semangat mengajak kepada jalan yang benar, kepada ajaran Al-Qur'an dan ajaran Nabi Muhammad Saw.

Ramadhan sebagai "Shahrus-Salam" harus kita maknai dengan mempromosikan perdamaian dan keteduhan. Ramadhan sebagai 'Shahrul-Jihad" (bulan perjuangan) harus kita realisasikan dengan perjuangan menentang kedzaliman dan ketidakadilan di muka bumi ini. Ramadhan sebagai "Shahrul Maghfirah" harus kita hiasi dengan meminta dan memberiakan ampunan. Ramadhan juga sebagai bulan kesabaran, maka kita harus melatih untuk sabar dalam menjalani hidup. Maksud dari sabar yang tertera dalam al-Quran adalah ‘gigih dan ulet’ seperti yang dimaksud dalam (QS. Ali Imran/3: 146).

Semoga dengan mempersiapkan diri kita secara baik dan merencanakan aktivitas dan ibadah-ibadah dengan ikhlas, serta berniat "liwajhillah wa limardlatillah", karena Allah dan karena mencari ridha Allah, kita mendapatkan kedua kebahagiaan tersebut, yaitu "sa'adatud-daarain" kebahagiaan dunia dan akherat. Semoga kita bisa mengisi Ramadhan tidak hanya dengan kuantitas harinya, namun lebih dari pada itu kita juga memperhatikan kualitas puasa kita.
, Oleh Dr H Harry M Zein


sumber : www.republika.co.id

Puasa dan Gerakan Kejujuran

“Saya mendengar Rasulullah bersabda, ‘Puasa adalah perisai selama yang bersangkutan tidak merusak’. Lalu ada yang bertanya, ‘Dengan apa merusaknya?’ Jawab Rasulullah SAW. ‘Dengan berbohong atau bergunjing.” (Hadis Riwayat Abi Ubaidah RA)   Belum lama seorang kawan datang ke rumah. Dalam perbincangan santai, dia mengeluhkan, mengapa saat ini kejujuran menjadi hal yang paling sulit ditemukan. Sehingga menurut si kawan itu, kejujuran menjadi sesuatu yang sangat mahal dan berharga. Tidak salah kawan tersebut mengeluhkan hal tersebut. Mungkin kita sedikit sepakat bahwa saat ini sedikit sulit mencari orang-orang yang memegang teguh nilai-nilai kejujuran; jujur dalam berkata dan jujur dalam bertindak.
Namun tidak adil juga jika kita terus mengkritisi hingga memprotes terhadap kondisi. Mengubah masyarakat agar menjadikan nilai-nilai kejujuran dalam jujur berkata dan bertindak memang perkara mudah. Namun jika terus mengkritisi dan memprotes keadaan juga bukan suatu tindakan yang bijak.
Bulan Ramadan bisa menjadi moment penting untuk mengasah kejujuran perkataan dan tindakan. Lantaran puasa menjadi ibadah istimewa, maka puasa bisa menjadi langkah awal untuk meningkatkan rasa kejujuran.
Kita dapat saja makan dan minum seenak kita di tempat tempat yang tertutup dan sunyi yang tidak terlihat oleh siapapun. Akan tetapi karena kita sedang berpuasa maka kita, dalam kondisi apapun dan dalam cuaca apapun tidak akan mau melakukan perbuatan makan dan minum tersebut, walaupun tidak ada orang lain yang melihat. Kejujuran hati kitalah yang akan mengatakan “pasti Allah SWT melihat apa apa yang kita kerjakan”.
Karena orang yang berpuasa sadar betul bahwa ia sedang dilatih semua aktivitasnya pasti diketahui dan lihat oleh Allah SWT. Apabila kesadaran ketuhanan ini telah terbangun serta menjelma dalam diri seseorang melalui training dan didikan puasa, maka Insya Allah akan terbangun dan terbentuk sifat yang amat mulia yakni “kejujuran”
Kejujuran adalah dasar dari kehidupan keluarga, masyarakat, dan bangsa. Kejujuran adalah prasyarat utama pertumbuhan dan perkembangan masyarakat yang berlandaskan prinsip saling percaya, kasih sayang, dan tolong menolong. Kejujuran adalah inti dari akhlak yang merupakan salah satu tujuan dari diutusnya Rasulullah oleh Allah SWT. (Innama buitstu liutammima makaarial akhlaq).
Seorang ulama menyatakan bahwa hakikat kejujuran ialah mengatakan sesuatu dengan jujur di tempat (situasi) yang tidak ada sesuatu pun yang menjadi penyelamat kecuali kedustaan. Secara psikologis, kejujuran akan mendatangkan ketentraman jiwa.  Sebaliknya seseorang yang tidak jujur pasti tega melakukan perbuatan serta menutupi kebenaran.
Ketidakjujuran akan selalu meresahkan masyarakat, yang pada gilirannnya akan mengancam stabilitas sosial. Ketidakjujuran selalu akan melahirkan kepada ketidakadilan, disebabkan karena orang yang tidak jujur akan tega menginjak-injak keadilan demi keuntungan material pribadi atau golongannya saja.
Kejujuran juga akan melahirkan penghargaan terhadap hak hak orang lain. Sebab kejujuran sebagaimana yang telah kita uraikan diatas juga akan menumbuhkembangkan kecintaan terhadap kebenaran, keadilan dan kedisiplinan.
Namun kejujuran tidak akan datang begitu saja, tetapi harus diperjuangkan dengan sabar dan sungguh-sungguh. Seorang ulama menegaskan bahwa ada beberapa faktor yang dapat membantu kita dalam mencoba meraih kejujuran.
Pertama, akal yang wajib memandang buruk kedustaan apalagi jika kedustaan itu sama sekali tidak mendatangkan kemanfaatan dan tidak mencegah bahaya.
Kedua, agama dan syariat yang memerintahkan untuk mengikuti kebenaran dan kejujuran serta memperingatkan bahaya kedustaan.
Ketiga, kedewasaaan diri kita yang menjadi salah satu faktor pencegah kedustaan dan kekuatan pendorong menuju kebenaran.
Keempat, memperolah kepercayaan dan penghargaan masyarakat. Ada sebuah kata mutiara; “Jadikanlah kebenaran (al Haq) sebagai tempat kembalimu (rujukanmu), kejujuran segai tempat pemberangkatanmu, sebab kebenaran adalah penolong paling kuat dan kejujuran adalah pendamping utama”.
Kita hanya bisa mengatakan bahwa kita telah menang dalam menjalani ibadah puasa Ramadhan kalau kita mampu mengubah perilaku di dalam kehidupan keseharian kita selama sebelas bulan ke depan. Dari yang tidak jujur menjadi jujur, dari yang serakah menjadi suka berbagi, dan dari yang sombong menjadi rendah hati. 
sumber : www.republika.co.id
Oleh Dr HM Harry M Zein
 

Saturday, July 13, 2013

Persiapan Ramadhan

Marhaban ya Ramadhan. Alhamdulillah, kita dipertemukan lagi dan diizinkan Allah untuk berjumpa dengan Ramadhan. Tidak semua orang diberi umur panjang, kesehatan, dan hidayah.

Ibarat perjalanan panjang, perlu persiapan dan bekal. Berikut ini kita bicara sedikit tentang tiga persiapan, yaitu persiapan niat, doa, dan ilmu.

Persiapan segala persiapan adalah niat. Karena itu, niatkan puasa ini hanya karena Allah. Hanya untuk Allah. Bukan untuk diet, bukan untuk penghargaan manusia, bukan untuk dipuji manusia.

Murni karena Allah (lillahi). Tapi, masih sangat boleh meminta ampunan-Nya, rahmat-Nya, minta dinaikkan derajat, minta tetesan kemuliaan dari-Nya.

Saya pribadi membedakan antara niat dan doa. Niat benar-benar urusannya ke atas (kepada Allah). Tidak ada urusan dengan manusia, yang bila ada orang, jadi bagus amal kita, lalu bila tidak ada orang, amal kita jadi payah.
Berpuasa juga bukan ingin disebut sudah bertobat, sudah jadi orang saleh, kuat berpuasa. Puasa hanya ingin dilihat Allah saja, pengen dihargai Allah saja.

Persiapan berikutnya, persiapan doa. Tidak ada orang yang bisa berbuat baik, kecuali Allah izinkan berbuat baik. Karena itu, perbanyaklah meminta bimbingan dan pertolongan Allah.

Minta puasanya dikuatkan dari segala godaan, baik godaan makanan minuman, hawa nafsu, dosa, maupun maksiat. Minta sama Allah diterima puasanya. Minta sama Allah agar puasanya dibaguskan dan seterusnya.

Doakan juga keluarga, kawan-kawan, dan segenap kaum Muslimin dan Muslimat yang sama-sama menjalankan ibadah puasa. Kemudahan berpuasa dan kebagusannya milik Allah. Kita perbanyak meminta sama Allah.

Persiapan berikutnya yang seharusnya dari jauh-jauh hari kita lakukan adalah persiapan ilmu. Puasa Ramadhan adalah puasa yang bakal datang setiap tahun, terus-menerus, sampai nanti Allah putuskan kiamat datang.

Kita yang diberi panjang umur, tentu akan bertemu dan bertemu lagi dengan puasa. Seharusnya, kita tambahkan ilmu tentang puasa ini sebagai persiapan bilamana ia datang. Tidak ada kata terlambat. Ini masih pada awal-awal puasa.
Kejar ilmu tentang puasa. Banyak bertanya ke guru-guru, banyak membaca buku-buku tentang puasa, banyak mendengar majelis-majelis yang membahas tentang puasa.

Yang punya koneksi internet, jelajahin tema-tema puasa dari sumber-sumber yang bisa dipercaya. Termasuk, menuntut ilmu dari koran yang kita cintai karena Allah ini, Republika, dan www.republika.co.id (Republika Online).

Insya Allah, melalui harian Republika, bakal banyak ilmu, petunjuk, pemahaman, dan wawasan tentang puasa. Termasuk juga, ilmu tentang asupan makanan dan minuman yang baik yang berkaitan dengan puasa.

Ilmu olahraga yang sesuai untuk orang yang berpuasa yang disesuaikan juga dengan umur dan keadaan. Semua ini ilmu. Dan, menuntut ilmu itu, masya Allah, pahalanya banyak sekali. Apalagi, pada bulan puasa.

Tambahkan pula dengan ilmu-ilmu lain yang bisa dipelajari sebagai ibadah tambahan pada bulan puasa. Sehingga, bulan puasa berlalu, bertambah juga ilmu buat kita. Amin.
, Oleh: Ustaz Yusuf Mansur

sumber : www.republika.co.id

Thursday, July 04, 2013

10 Teman Iblis

Dalam riwayat Imam Bukhari, diceritakan, suatu saat ketika sedang duduk, Rasulullah saw didatangi seseorang. Rasul bertanya kepadanya: “Siapa Anda?” Ia pun menjawab: “Saya Iblis.”

Rasul bertanya lagi, apa maksud kedatangannya. Iblis menceritakan kedatangannya atas izin Allah untuk menjawab semua pertanyaan dari Rasulullah saw.

Kesempatan itu pun digunakan Rasulullah saw untuk menanyakan beberapa hal. Salah satunya mengenai teman-teman Iblis dari umat Muhammad saw yang akan menemaninya di neraka nanti? Iblis menjawab, temannya di neraka nanti ada 10 kelompok.

Yang pertama, kata Iblis, haakimun zaa`ir (hakim yang curang). Maksudnya adalah seorang hakim yang berlaku tidak adil dalam menetapkan hukum. Ia menetapkan tidak semestinya.

Tak hanya hakim, dalam hal ini bisa juga para penegak hukum secara umum, seperti polisi, jaksa, pengacara, dan juga setiap individu, karena mereka menjadi hakim dalam keluarganya.

Yang kedua, kata Iblis, ghaniyyun mutakabbir (orang kaya yang sombong). Ia begitu bangga dengan kekayaan dan enggan mendermakan untuk masyarakat yang membutuhkan.
Dia menganggap, semua yang diperolehnya merupakan usahanya sendiri tanpa bantuan orang lain. Contohnya seperti Qarun.

Ketiga, taajirun kha’in (pedagang yang berkhianat). Ia melakukan penipuan, baik dalam hal kualitas barang yang diperdagangkan, maupun mengurangi timbangan.

Bila membeli sesuatu, dia selalu meminta ditambah, namun saat menjualnya dia melakukan kecurangan dengan menguranginya.

Disamping itu, ia menimbun barang. Membeli di saat murah, dan menjualnya di saat harga melambung tinggi. Dengan begitu, dia memperoleh untung besar.
Demikian juga pada pengerjaan proyek tertentu, ia membeli barang dengan kualitas rendah untuk meraih keuntungan berlipat (mark up).

Kelompok keempat yang menjadi teman Iblis adalah syaaribu al-khamr (orang yang meminum khamar). Minuman apapun yang memabukkan, ia termasuk khamar. Misalnya arak, wine, wisky, atau minuman yang sejenisnya.

Dalam sebuah riwayat disebutkan, peminum khamar (pemabuk) dikatakan tidak beriman, jika dia meninggal nanti masih terdapat khamar dalam tubuhnya.

Yang kelima, al-fattaan (tukang fitnah). Fitnah lebih berbahaya dari pada pembunuhan (al-fitnatu asyaddu min al-qatl). Lihat QS al-Baqarah [2]: 191.

Membunuh adalah menghilangkan nyawa lebih cepat, namun fitnah ‘membunuh’ seseorang secara pelan-pelan. Fitnah ini bisa pula ‘pembunuhan’ karakter seseorang.

Fitnah itu di antaranya, mengungkap aib seseorang yang kebenarannya tidak bisa dipertanggungjawabkan, gosip, ghibah, dan lainnya.

Keenam adalah shaahibu ar-riya` (orang yang suka memamerkan diri). Mereka selalu ingin menunjukkan kehebatan dirinya, menunjukkan amalnya, kekayaannya, dan lainnya. Semuanya itu demi mendapatkan pujian.

Ketujuh, //aakilu maal al-yatiim// (orang yang memakan harta anak yatim). Mereka memanfaatkan harta anak yatim atau sumbangan untuk anak yatim demi kepentingan pribadi atau kelompoknya. Lihat QS al-Ma`un [107]: 1-7.

Kedelapan, al-mutahaawinu bi al-shalah (orang yang meringankan shalat). Mereka memahami perintah shalat adalah kewajiban, namun dengan berbagai alasan, akhirnya shalat pun ditinggalkan. Allah juga mengancam Muslim yang melalaikan shalat.

Kesembilan, maani’u az-zakaah (orang yang enggan membayar zakat). Mereka merasa berat untuk mengeluarkan zakat, walaupun tujuan zakat untuk membersihkan diri dan hartanya.

Teman Iblis yang ke-10 adalah man yuthiilu al-amal (panjang angan-angan). Enggan berbuat, namun selalu menginginkan sesuatu. Dia hanya bisa berandai-andai, tapi tak pernah melakukan hal itu. Wallahu a’lam.


, Oleh Syahruddin El-Fikri

sumber : www.republika.co.id

Wednesday, July 03, 2013

Menjemput Rezeki-Nya

Tatkala turun perintah hijrah dari Mekkah menuju Madinah, seorang sahabat Rasulullah SAW, Abdurrahman bin Auf berada dalam rombongan tersebut.

Ia adalah salah seorang sahabat Rasul yang kaya raya, dermawan, saleh dan dijamin masuk surga. Sesampainya di Madinah, Nabi Muhammad SAW, mempersaudarakan kaum muhajirin dengan kaum anshar.

Pada saat itu, Abdurrahman bin Auf, dipersaudarakan dengan seorang penduduk Madinah (kaum anshar) yang kaya raya dan pemurah bernama Sa’ad bin Rabi’.

Setelah mereka berdua berikrar dan saling berpelukan, kemudian Sa’ad bin Rabi’ menawarkan harta dan istrinya kepada Abdurrahman bin Auf.

“Aku memiliki harta yang banyak dan dua orang istri. Ambillah separuh dari hartaku dan pilihlah salah satu istriku yang menurutmu paling cantik. Aku akan menceraikannya agar kau dapat memperistrinya,” ujar Sa’ad.

“Tidak, terima kasih, saudaraku. Tolong tunjukkan padaku di mana letak pasar? Di sana agar aku bisa berdagang.” Abdurrahman menjawab.

Dengan penuh keyakinan atas rezeki yang pasti diberikan Allah kepadanya, Abdurrahman bin Auf langsung meminta ditunjukkan pasar kepada saudara angkatnya, Sa’ad bin Rabi’, dari kalangan Anshar.

Ia bersemangat menjemput rezeki-Nya dengan cara berniaga hingga menjadi pengusaha, saudagar kaya raya, dan seorang sahabat dermawan pada masa itu.

Allah SWT memang tidak pernah melupakan seluruh makhluk-Nya. Dia akan memberikan rezeki kepada ciptaan-Nya tanpa kecuali.

Dari mulai hewan, tumbuhan, manusia, dan segenap ciptaan-Nya yang ada di muka bumi akan mendapatkan rezeki untuk mencukupi kebutuhan hidup.

Seekor cecak yang melata di dinding, misalnya, selalu mendapatkan rezeki dari sekelilingnya. Tumbuhan yang ada di muka bumi juga tumbuh dengan rezeki yang diberikan-Nya.

Apalagi umat manusia, yang berpikir dan memiliki semangat. Tentunya telah disediakan rezeki oleh Allah agar dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Allah SWT Berfirman dalam kitab suci Al-Quran, “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Huud [11]: 6).

I’tibar yang digunakan dalam ayat ini bermakna bahwa binatang diberikan rezeki oleh Allah yang telah ditulis sejak di Lauh Mahfuzh.

Kemudian dalam surah yang lain Allah SWT menegaskan kepada kita, “Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. Al-Ankabut [29]: 60).

Ayat ini, maknanya lebih dikhususkan pada umat manusia. Selain diberikan kepada binatang; rezeki juga pasti diberikan kepada umat manusia. 

Dua ayat dari surah yang berbeda di atas, menjelaskan ikhwal pentingnya meyakini bahwa kita tidak boleh takut kekurangan rezeki. Dalam bahasa lain, rezeki itu pasti, bukan sebuah misteri dan teka-teki.

Sebab, seluruh makhluk ciptaan-Nya, termasuk manusia, akan diberikan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.
Karena itu, takwa dan tawakal kepada-Nya dapat membuat kita merasakan kemudahan dalam memperoleh rezeki tersebut.

Firman-Nya, “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya (ketika ditimpa kesulitan), dan Dia memberikannya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan, barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya.” (QS. Ath-Thalaq [65]: 2-3).

Rezeki itu bukan hanya persoalan matematis logis; tetapi menyangkut keyakinan spiritual dan teologis juga. Rezeki, yang kita peroleh ialah salah satu nikmat terbesar yang diberikan Allah.

Dia (Allah) tidak pilih kasih memberikan rezeki kepada umat manusia. Antara orang mukmin dengan kafir, kedua-duanya mendapatkan rezeki yang setimpal. Inilah bukti kasih sayang Allah kepada seluruh ciptaan-Nya.

Yakinlah Allah akan memberikan rezeki-Nya, kemudian jemputlah rezeki tersebut dengan mengoptimalkan segenap usaha dan doa seperti yang dilakukan Abdurrahman bin Auf. Wallahua’lam
, Oleh H.Dadang Kahmad
sumber : www.republika.co.id

Tuesday, July 02, 2013

Nasihat Arab Badui

Seorang Arab Badui pulang dari pengembaraannya. Tidak lama kemudian, Abu Ja’far al-Manshur, seorang Khalifah Abasiyah, memanggilnya. Arab Badui ini diminta untuk bercerita tentang kesan perjalanannya. Khalifah pemoles Baghdad ini bermaksud untuk memastikan bahwa tiada yang semegah Baghdad. 
“Benar!” demikian kesan lelaki Badui yang polos ini. “Baghdad megah, tapi angker. Rajanya sulit ditemui!” Dilanjutkanlah kisah perjalanannya itu dengan membandingkan Chang-an, ibu kota Cina, di mana ia sempat sangat lama berkunjung. “Kotanya rapi, kaisarnya sudah tua namun bijaksana.”

Dengan bersemangat, si Arab Badui ini terus melanjutkan kisahnya. Ketika semakin uzur, kaisar ini mulai kehilangan daya dengar. Dia mulai tuli dan teramat sedih yang mendalam. Para menteri menghiburnya. “Aku sedih bukan meratapi diri, wahai para menteriku,” ujar Kaisar, “aku menyesal sebab kini tidak lagi bisa mendengar langsung keluhan rakyat.”

Sejak saat itu, Sang Kaisar rajin bertandu mengelilingi dan blusukan ke tempat-tempat yang tak terjangkau. Sementara urusan pemerintahan diserahkan kepada salah seorang menteri terbaiknya yang lalu diangkat menjadi perdana menteri (Chen Xiang). Lalu apa yang dikerjakan Sang Kaisar tua ini?

Sang Kaisar semakin tak terkendali dalam “aksi unik”-nya ini. Ia masuk kampung keluar kampung. Rajin dia mendengar keluhan rakyat sekaligus menyemangati mereka. Karena pendengarannya lemah, Kaisar menitahkan agar yang ingin mengajukan masalah, mengenakan pakaian merah dan menuliskannya dalam secarik kertas.

Atas titahnya, tim khusus kekaisaran segera menindaklanjuti setiap aduan sesuai tingkat pengambil kebijakan, desa hingga pusat. Atas perbuatan kaisar ini, terilhamilah rakyat; baca tulis meningkat, kinerja semakin bersemangat, pemerintahan tertata, dan pada akhirnya Dinasti Tang semakin jaya.

Nah, kesimpulan si Badui ini pada al-Manshur, “Amirul Mukminin tentu lebih berhak melakukan semua hal indah itu dari pada Kaisar Cina. Sebab, Kaisar itu melakukannya demi kemaslahatan dunia. Sementara engkau adalah pemimpin yang dibimbing Alquran dan sunah, di dunia hingga akhirat.”

Seperti kita tahu, Baghdad di masa Abu Ja’far adalah kota terbesar di dunia dengan penduduk tiga juta jiwa. Terbesar kedua setelah Chang-an, ibu kota Dinasti Tang. Puncak Baghdad, tempat tinggal sang penguasa, menjulang tinggi di tengah kota; untuk sampai ke ruang Sang Khalifah, harus melewati 40 lapis penjaga.

Sementara kepribadian Abu Ja’far, tertulis dengan berlumur darah tinta sejarah. Bengis dan tidak berperikemanusiaan. “Aku takut terciprati darah Ibnu Thawus saat kami bertiga diinterogasi al-Manshour (Abu Ja’far),” ujar Imam Malik menuturkan  tentang kisahnya saat dipanggil bersama Abu Hanifah dan Ibnu Thawus al-Yamani.

Bagaimana dengan kepemimpinan di negeri ini? Jika tidak ingin tersinggung oleh nasihat Arab Badui atau nanti kotor dalam tinta sejarah, ‘amalan’ Kaisar Chang-an boleh ditiru. Wallahu a’lam.
 

,  Oleh Ustaz M Arifin Ilham
sumber : www.republika.co.id

Monday, July 01, 2013

Menegakkan Keadilan

Adalah seorang perempuan dari Bani Makhzum meminjam suatu barang dari orang lain tapi kemudian mengingkarinya. Diakuinya barang itu sebagai miliknya.

Ketika Rasulullah saw mendengar berita ini langsung memerintahkan agar dipotong tangannya. Dia dianggap telah mencuri barang orang lain dengan sengaja.

Kejadian ini memusingkan bangsa Quraisy, karena pelakunya adalah wanita turunan suku yang terhormat dan putusan hukumannya adalah potong tangan.  Dan hal ini dianggap sebagai kehinaan bagi suku Quresy.

Oleh sebab itu mereka mengutus Usamah ra ( seorang sahabat yang dianggap dekat dengan Rasulullah saw) untuk meminta keringanan agar dibatalkan hukum potong tangan tersebut.

Setelah mendengarkan permohonan Usamah,  Rasulullah saw menjawab dengan tegas: Apakah kamu meminta pertolongan (keringanan) dalam masalah hudud (ketetapan hukum  Allah)?

Kemudian Rasulullah saw berkhutbah: “Sesungguhnya umat sebelum kamu sekalian dihancurkan karena ketidakadilan, bila orang elit mencuri dibiarkan dan bila orang lemah mencuri ditegakkan hukum had. Demi Allah, seandainya Fatimah anak Muhammad mencuri akan aku potong tangannya”.

Lalu Rasulullah saw memerintahkan agar wanita Makhzumiyyah tersebut dipotong tangannya. (HR Al Bukhari dan Muslim).

Hukum potong tangan dalam Islam tidaklah sembarangan diterapkan tapi harus memenuhi syarat-sayarat yang telah disepakati para ulama fiqh, seperti :  dilakukan dengan sengaja, pencurinya berakal bukan orang gila, tidak ada syubhat, diterapkan oleh penguasa dan sebagainya.

Dalam hadits di atas,  Rasulullah menegaskan dengan kata-kata: “Seandainya Fatimah anak Muhammad mencuri pasti akan aku potong tangannya” ini menunjukkan urgensinya penegakan hukum untuk kalangan elit. 

Fatimah yang  berasal dari suku yang terhormat dan masih turunan Rasulullah saw, bahkan dia adalah ratu bagi semua wanita muslimah di syurga. 

Hukum itu akan ditegakkan bila dia mencuri, apalagi wanita Makhzumiyah  yang martabatnya berada di bawah Siti Fatimah baik suku atau nasabnya.

Hadits di atas sering digunakan sebagai dalil untuk membuktikan keadilan Islam dalam menegakkan hukum dan sikap Islam yang anti rasdiskriminasi, kastaisme dan fanatisme kelompok.

Rasulullah menegaskan hukum harus ditegakkan secara adil kepada siapapun tanpa pandang bulu atau tebang pilih. Bila tidak ditegakkan maka akan mengakibatkan kehancuran suatu bangsa.

Mengapa demikian? Keadilan adalah sendi utama masyarakat, sedangkan kedzaliman adalah penyebab musnahnya umat-umat terdahulu dan juga umat yang akan datang.

Bila sendi masyarakat sudah tumbang maka musnahlah masyarakat tersebut. Allah mewajibkan kita untuk menegakkan keadilan. Allah berfirman : Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu. (QS Ar Rahman 9). 

Kalau seorang pejabat elit melakukan tindak pidana korupsi, tidak segera diadili tapi kalau orang alit segera
diadili, ini pertanda buruk, bangsa ini sedang menuju ke arah kehancuran.  Na’udzubillah.
, Oleh: Achmad Satori Ismail

sumber : www.republika.co.id