-

Tuesday, April 30, 2013

Etika Berpolitik

Setelah dibaiat para sahabat Muhajirin dan Anshar, Abu Bakar Ash-Shiddiq naik mimbar dan menyampaikan pidoto politik. "Wahai para sahabat, aku diangkat menjadi khalifah, padahal aku bukanlah yang terbaik di antara kalian,'' ujarnya.

Jika aku berlaku benar, kata Abu Bakar, dukunglah aku. Jika aku menyeleweng, luruskanlah aku. Kejujuran itu adalah amanah, sedangkan kebohongan adalah khianat.

''Orang yang kuat di antara kalian itu menurutku lemah, sebelum aku mengambil haknya bagi yang lemah. Sebaliknya, orang yang lemah itu menurutku kuat sebelum aku memberikan hak dari yang kuat kepada yang lemah,'' ujar Abu Bakar.

Ia melanjutkan, ''Taatilah aku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika aku tidak menaati Allah dan Rasul-Nya, maka jangan taati aku. Laksanakanlah salat, niscaya Allah akan merahmati kalian."

Pidato politik tersebut mencerminkan etika berpolitik yang sangat santun, rendah hati, dan terbuka. Sifat rendah hati tawadlu' sangat diperlukan dalam berpolitik dan memimpin umat.

Pemimpin yang rendah hati pasti akan membuka diri untuk mau dikoreksi dan dikritisi. Sebaliknya pemimpin yang sombong dan arogan akan memicingkan mata terhadap pendapat dan kebenaran dari orang lain.
 
Pemimpin yang rendah hati akan senantiasa mengemban tanggung jawab kepemimpinannya dengan amanah, jujur, dan menomorsatukan rakyat, bukan partainya.
Kejujuran, menurut Abu Bakar, adalah pangkal tegaknya amanah kepemimpinan politik, sedangkan kebohongan adalah pangkal terjadinya pengkhianatan, penyalahgunaan jabatan, dan ketidak-percayaan rakyat.

Membangun kejujuran dan membasmi kebohongan merupakan tugas utama pemimpin yang memiliki etika politik yang religius seperti Abu Bakar. Amanah kepemimpin adalah juga amanah dari Allah dan Rasul.

Jadi, pemimpin yang amanah adalah pemimpin yang selalu menaati syariat (ajaran, petunjuk, jalan kebenaran) Allah dan Rasul. Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin itu akan dimintai pertanggungjawaban atas (amanah) kepemimpinannya." (HR Muslim).

Pemimpin yang amanah tidak akan pernah menyalahi janjinya kepada rakyat. Pemimpin yang amanah adalah pemimpin yang selalu memperhatikan dan melayani kepentingan rakyat, bukan mengurusi dan melayani kepentingan partainya.

Ia tidak memihak kepada yang kuat dan kaya, tetapi berusaha adil dan bijaksana dalam mengakomodasi dan mengadvokasi hak-hak mereka, terutama yang lemah dan miskin.
Pemimpin yang amanah menyadari doa kaum lemah dan miskin itu mustajab, sehingga jika kebijakannya menyengsarakan rakyat,i sang pemimpin tidak didukung dan didoakan kekuasaannya segera runtuh.

Pemimpin yang jujur selalu mengajak kepada kebaikan, seperti salat; dan selalu berani memberantas kemungkaran seperti korupsi.
Ini berarti, sebelum menginstruksikan kepada orang lain, dirinya berikut keluarga dan koleganya sendiri harus mampu menjadi teladan yang baik uswah hasanah.

Sejarah membuktikan, Abu Bakar adalah pelopor penegak keadilan sosial ekonomi dengan menumpas kelompok yang anti membayar zakat yang dimotori Musailamah al-Kazdzdab.
Abu Bakar benar-benar membuktikan janjinya: “Aku akan memerangi orang yang memisahkan antara salat dan zakat.”
 
Santun, rendah hati, jujur, amanah, terbuka, peduli terhadap nasib rakyat yang dipimpin, dan berani menegakkan keadilan itulah etika berpolitik yang seharusnya dimiliki para pemimpin politik kita agar bangsa ini terurus dengan baik, tidak semakin "amburadul" dan rakyatnya semakin menderita.

Etika politik yang religius menuntut pemimpin 'mewakafkan' dirinya untuk menjadi pelayan rakyat sejati, bukan 'berselingkuh' dengan partai yang mengusungnya, sehingga kinerjanya menjadi tidak fokus dan energinya tersita untuk kepentingan partai.

Allah berfirman: ”Setiap golongan/partai (merasa) bangga dengan apa yang ada pada mereka (masing-masing).” (QS.al-Mu’minun [23]: 53)

Karena itu, tidak sedikit pemimpin yang lebih menomorsatukan loyalitasnya terhadap partai daripada kepada rakyat yang memilihnya sebagai pemimpin. Sudah saatnya, pemimpin negeri ini hanya mempunyai monoloyalitas, yaitu: rakyat, bukan partai. Wallahu a'lam bish-shawab!
, Oleh Muhbib Abdul wahab

sumber : www.republika.co.id

Monday, April 29, 2013

Pantulan Keimanan

Suatu hari bibi Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz pergi ke rumahnya dengan maksud hendak meminta tambahan dari Baitulmal. Ketika wanita itu masuk, ia melihat keponakannya yang Amirul Mukminin itu sedang makan kacang adas dan bawang (makanan rakyat biasa).

Melihat bibinya datang, Umar menghentikan makannya. Ia sudah tahu maksud kedatangan bibinya. Lalu Umar bin Abdul Aziz mengambil sedirham uang perak, dan dibakarnya di atas api.

Sesudah cukup panas, ia bungkus uang perak itu dengan kain dan diberikan ke tangan bibinya. “Inilah tambahan yang bibi mintakan itu!” ujarnya.

Karuan saja, begitu tangan wanita itu menggenggam bungkusan tersebut, ia menjerit kepanasan. Lalu Umar berkata menjelaskan, “Jika api dunia terasa amat panas, bagaimana dengan api akhirat  kelak yang akan membakar aku dan bibi, karena menyelewengkan harta kaum Muslimin.”

Sebuah harmoni yang indah sekali dari keimanan dan kecerdasan, yang menyatu dalam diri pemimpin. Betapa konsep keimanan yang menghunjam dan aplikatif dalam diri sang muslim punya kontribusi besar dalam menciptakan kehidupan yang manis. 

Sedang hari-hari ini, bagaimana ruh keimanan itu menguap begitu saja, dan tak lebih hanya menjadi wacana belaka. Karena deretan penyelewengan, penyalahgunaan jabatan, korupsi, dalam berbagai level, menjadi santapan harian media kita.

Menjadi manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa hanya ada dalam slogan, tidak dalam amalan. Kehadiran lembaga khusus yang menangani kasus korupsi saja, KPK, sudah cukup menjadi sinyal betapa korupsi merupakan penyakit akut di sini.

Pekik keimanan dibungkam sedemikian rupa, sehingga yang lahir adalah sikap-sikap yang berlawanan dengan kehendak Ilahi, yang dipicu oleh nafsunya sendiri, keluarga, atau kroni-kroninya.

Sebagaimana tersimbul dalam narasi di atas, Umar bin Abdul Aziz piawai sekali dalam menangkis hasutan keluarganya untuk merampas kekayaan negara (umat), yang dibentengi dengan kekuatan iman.

Pantulan keimanan yang sama juga pernah terjadi pada era Nabi. Seperti yang  dituturkan Ummu Salamah, ada dua orang yang bertikai menyangkut warisan. Keduanya tiada bukti, kecuali hanya pengakuan mereka saja.

Masing-masing mengklaim: “Ini hak saya!” Seraya menolak kalau harta itu milik salah seorang dari keduanya. Lalu keduanya mengadukan perkaranya kepada Rasulullah SAW, tapi di dadanya tetap bercokol egoisme yang tinggi.

Kemudian Rasulullah saw meremukkan telinga dan hati keduanya dengan sabdanya yang hidup ini: “Aku hanyalah manusia biasa, dan kalian berselisih serta meminta keputusan kepadaku.''

Rasulullah melanjutkan, ''Boleh jadi salah seorang di antara kalian lebih hebat dalam memberikan argumentasi dari yang lain, sehingga aku memutuskan sesuai dengan apa yang kudengar darinya.''

''Jika aku memenangkan seseorang dengan sesuatu yang merupakan hak saudaranya, maka janganlah ia mengambilnya sedikit pun. Karena berarti aku menyematkan lempengan api neraka padanya.”

Setelah mendengar sabda Nabi itu, tersentuhlah tali keimanan dari hati keduanya, bersemilah ketakutan kepada Allah dan (siksa-Nya) di kampung akhirat. Lalu keduanya menangis, seraya masing-masing berujar kepada yang lain, “Hak saya, untuk engkau!”

“Jika kalian memang hendak berbuat demikian,” ucap Nabi, “Maka bagilah dan lakukanlah dengan benar. Lantas minta halallah masing-masing kalian berdua, dan hendaklah toleran terhadap apa yang mungkin ia merupakan hak saudaranya.”
, Oleh Makmun Nawawi


sumber : www.republika.co.id

Sunday, April 28, 2013

Tipologi Hakim

Hakim adalah pekerjaan mulia. Tidak semua orang mampu manjadi hakim. Apa yang dilakukan hakim adalah memutuskan sebuah masalah hukum dengan cermat, teliti dan tepat.
Keputusannya berdasarkan bukti dan fakta merujuk pada peraturan perundang-undangan dengan mendudukkan perkara pada tempatnya, memberikan keadilan bagi terdakwa dan korban.

Rasulullah SAW memberikan motivasi dan menghargai pekerjaan hakim dalam sebuah hadis. Dari Amar Ibnu Al-'Ash ra bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda: "Apabila seorang hakim menghukum dan dengan kesungguhannya ia memperoleh kebenaran, baginya dua pahala; apabila ia menghukum dan dengan kesungguhannya ia salah, maka baginya satu pahala. (HR Bukhari-Muslim).

Namun, dalam hadis yang lain Rasulullah memberikan peringatan kepada para hakim yang dilukiskan dengan menggambarkan tipologi hakim dalam memutuskan suatu perkara.

Ancaman yang disampaikan Rasulullah SAW adalah mengenai tempat tinggalnya di neraka atau surga. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: Dari Buraidah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Hakim itu ada tiga, dua orang di neraka dan seorang lagi di surga. Seorang yang tahu kebenaran dan ia memutuskan dengannya, ia di surga; seorang yang tahu kebenaran, namun ia tidak memutuskan dengannya, maka ia di neraka; dan seorang yang tidak tahu kebenaran dan ia memutuskan untuk masyarakat dengan ketidaktahuan, maka ia di neraka. (HR Imam Empat. Hadis sahih menurut Hakim).

Adapun tipologi hakim dari hadis Rasulullah diatas ; Pertama seorang hakim masuk surga apabila memutuskan suatu perkara berlandaskan kebenaran didukung dengan bukti dan fakta.

Hakim seperti yang didambakan oleh masyarakat. Hakim yang mampu menjalankan tugasnya dengan benar, mendudukkan perkara pada tempatnya dan tidak menzalimi siapa pun.

Kedua seorang hakim yang mengetahui kebenaran, namun ia tidak memutuskan dengannya, ia di neraka; Hakim seperti ini mungkin banyak ditemukan di Indonesia. Syahwat terhadap duniawi dapat mengalahkan kebenaran yang harus ditegakkan.

Berbagai temuan kasus penyuapan yang melibatkan hakim menjadi bukti realitas di masyarakat dengan menghasilkan keputusan bebas, atau meringankan kepada terdakwa disebabkan untuk membalas imbalan penyuapan, padahal Rasulullah memberikan gambaran sebuah negara tidak memiliki kehormatan disebabkan ketidakadilan dan melakukan keberpihakan hukum kepada orang yang kuat.

Jabir berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: "Bagaimana suatu umat dapat terhormat bila hak orang lemah tidak dapat dituntut dari mereka yang kuat. (HR Ibnu Hibban).

Ketiga, seorang hakim yang tidak mengetahui dan ia memutuskan perkara yang disampaikan  masyarakat dengan ketidaktahuan, ia di neraka. Sosok hakim seperti ini sangat fatal apabila ditemukan dalam sebuah negara.

Seorang hakim menggunakan  kejahilannya dengan memanfaatkan kebodohan masyarakat dengan tanpa melakukan Ijtihad untuk memutuskan perkara tidak berdasarkan ilmu.

Dari tipe-tipe di atas, kita dapat menyimpulkan bagaimana keadaan lembaga kehakiman di Indonesia. Berbahagialah para hakim yang mampu memutuskan perkara berdasarkan kebenaran dan keadilan. Selamat berjuang para ksatria hukum. Wallahu a'lam.
, Oleh Din-Din Jaenudin


sumber : www.republika.co.id

Saturday, April 27, 2013

Kelembutan Hati

Usia suaminya sudah menjelang 40 dan Sayyidah Khadijah menangkap kegelisahan yang makin tampak di wajah itu. Wanita agung ini tidak bertanya. Tetapi beliau dapatkan jawab dari mata Muhammad saw yang senantiasa basah melihat ketidakadilan.

Putri Khuwailid ini tidak bertanya, tapi beliau membaca wajah yang menunduk tiap kali keberhalaan membunuh kemanusiaan; saudagar wanita berhati mulia ini tidak bertanya, tapi memahaminya dari wajah yang perih tiap kali menyaksikan pertikaian tanpa makna.

Dan hari itu adalah puncaknya. Hari itu beliau menyaksikannya bukan dengan wajah segar terlepas dari beban seperti biasanya. Beliau melihat suami terkasihnya menggigil ketakutan.

Keringat dingin mengalir di sekujur tubuhnya, Muhammad saw basah kuyup; wajahnya pucat, mimik pias dan napasnya tersengal-sengal. Denyut jantungnya memburu sementara tatapan matanya tercekam seakan dikejar sesuatu yang begitu mengerikan.

“Zammilunii, selimuti aku! Selimuti aku,” lirih suaminya ini dengan wajah pasi dan sinar mata ketakutan.

Sayyidah Khadijah tak kalah cemas. Beliau begitu ketakutan. Hatinya meneriakkan tanya, “Ada apa sebenarnya?” pasti telah terjadi peristiwa besar yang mengguncang. Tentu ini perkara yang serius.

Tapi beliau surut, lisannya dibungkam kuat-kuat. Ditahannya keinginan untuk tahu. Yang dibutuhkan suaminya kini bukan menceritakan apa yang dialami. Yang diperlukannya adalah ketenangan.

Maka kembali ibunda Sayyidah Fatimah ini pun tak bertanya. Sepertinya sikap ummul mukminat ini yang tak bertanya dan tidak bersegera mencari tahu ini hanya persoalan kecil, remeh.

Tapi mari bayangkan apa jadinya riwayat kenabian dan dakwah andai Sayyidah Khadijah adalah istri yang tak mampu memahami apa yang dihajatkan suami pada saat dilanda panik? Apa jadinya jika saat mendapat wahyu pertama Khadijah menampilkan diri sebagai wanita yang tak rela kehilangan berita di momen pertama?

Ternyata beliau ingin mengajari kita sebuah kaidah penting. Bahwa kita harus punya kepekaan hati untuk mengenal kebutuhan orang yang kita cintai. Bahwa kita mesti memiliki kelembutan nurani untuk memberi kesempatan ruh orang yang spesial di hati kita melepaskan beban-bebannya.

Karenanya kepedulian yang terlembut bukan sekadar rasa ingin tahu. Tapi kepedulian yang terlembut kadang tampil dalam bentuk kesadaran bahwa mungkin kita belum perlu tahu sampai tibanya suatu waktu. Sungguh kesabaran akan menuntun kita untuk tahu, di saat yang tepat dengan cara yang super indah!

Jelilah melihat keadaan diri dan keadaan orang lain. Pintar-pintarlah membaca situasi terbaik yang dibutuhkan.

Ternyata memberondong dengan berbagai pertanyaan kepada istri atau suami atau anak dan siapa pun orang dekat kita, meski terkesan baik dan seakan peduli, menjadi tidak efektif jika tidak pas dan tepat waktu dan situasinya.
, Oleh Ustaz HM Arifin Ilham
sumber : www.republika.co.id

Friday, April 26, 2013

Godaan Harta

Pemberian Allah subhanahau wa ta’ala berupa makanan, harta benda, kedudukan, anak, dan semisalnya merupakan ujian bagi manusia.

Allah berfirman dalam surat Al-Anfal ayat 28 yang artinya : “Dan ketahuilah, harta-harta kalian dan anak-anak kalian itu tidak lain hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya pada setiap umat ada fitnah dan fitnah umat-Ku adalah harta.” Hadis riwayat at-Tirmidzi
Godaan harta ini akan datang dari berbagai sisi. Antara lain dari cara mencarinya. Allah SWT mensyariatkan
berbagai cara dalam mendapatkan harta, yang semuanya dibangun di atas keadilan dan jauh dari perbuatan zalim, perbuatan jahat atau menyakiti orang lain.

Maka, Orang-orang yang bertakwa kepada Allah SWT, tentu senantiasa memperhatikan batasan-batasan syariat dalam mendapatkannya.
Jauh dari unsur riba, unsur judi, dan bentuk-bentuk kezaliman lainnya, yang semuanya termasuk dalam bentuk memakan harta orang lain dengan cara yang batil.

Allah SWT mengingatkan kita dalam surat An-Nisa ayat 29 yang artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang dilakukan dengan suka sama suka di antara kalian.”

Godaan harta ini juga datang dari sisi perhatian dan keinginan seseorang terhadapnya. Sehingga sebagian orang ada yang keinginannya terhadap harta membuat dirinya berambisi terhadapnya. Hal ini membuat kesibukannya hanyalah mencari harta.

Mulai aktivitasnya setelah bangun tidur sampai kembali ke rumahnya untuk beristirahat, yang dipikirkannya hanyalah harta. Di saat duduk, berdiri, maupun berjalan, yang ada di hatinya hanyalah mencari harta.

Bahkan saat tidur pun yang diimpikan adalah mencari harta. Lebih dari itu, saat shalat pun pikirannya dipenuhi dengan harta. Seakan-akan dirinya diciptakan untuk sekadar mencari harta.

Padahal dengan perhatian dan keinginan yang berlebihan hingga melalaikan akhirat seperti itu, seseorang tidak akan mendapatkan rezeki kecuali yang telah Allah Ta’ala tetapkan untuk dirinya.

Orang yang demikian, tentunya orang yang tertipu serta terjatuh pada godaan dunia. Sehingga memusatkan seluruh pikiran dan kesibukannya untuk harta. Dia menjadikan dunia bersemayam di hatinya sehingga lupa dari beribadah kepada Allah Ta’ala.

Godaan harta juga akan muncul dari sisi penggunaannya. Dari sisi ini, kita dapatkan sebagian orang yang berharta memiliki sifat pelit sehingga tidak mau mengeluarkan zakatnya, tidak mau menjalankan kewajiban berinfak kepada kerabatnya yang wajib untuk dibantu.

Sedangkan sebagian yang lainnya justru mengeluarkan hartanya tanpa ada perhitungan serta dihambur-hamburkan sia-sia. Padahal Allah Ta’ala menyebutkan di dalam surat Al-Isra : 27-27 yang artinya :

Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat haknya (mereka), (begitu pula) kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) sia-sia. Sesungguhnya orang-orang yang menghambur-hamburkan hartanya sia-sia adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya.”

Karena itu, siapa pun di antara kita harus hati-hati dan senantiasa takut terkena godaan harta ini. Betapa
banyak orang yang lebih berilmu dari kita, terjatuh pada penyimpangan-penyimpangan karena godaan ini.

Bahkan ada pula orang yang dahulunya istiqamah membela As-Sunnah dan melawan kebatilan, namun kala tergoda harta, kemudian terjatuh pada penyimpangan-penyimpangan.

Hal itu di antaranya disebabkan oleh ketidakhati-hatian serta perasaan aman dari bahaya godaan harta. Padahal harta secara umum akan menarik pemiliknya untuk memenuhi keinginan-keinginan syahwatnya.

Akibat memenuhi keinginannya, seseorang akan terseret hidup bermewah-mewah yang kemudian membuat dirinya sombong dan angkuh. Akhirnya membuat dirinya tidak peduli dengan kemaksiatan kepada Allah Ta’ala. Na'udzubillah.
, Oleh: H Ahmad Dzaki MA

sumber : www.republika.co.id

Thursday, April 25, 2013

Tiga Langkah

Tidakkah kepengen kita disebut Keluarganya Allah? Tidakkah kita kepengen dapat syafaat Qur'an? Baik di dunia ini, di alam kubur, apalagi di akhirat?  Tidakkah kita kepengen membawa bekal terbaik ketika kita masuk kubur? Apalagi ketika kelak menghadap Allah, di hari perjumpaan dengan-Nya? Yakni al Qur'an.

Segudang alasan kita kemukakan. Mulai dari ga bisa baca, udah telat belajar baca, udah ketuaan, sibuk, dan bermacam-macam alasan lain. Padahal intinya, ga mau, ga menyempatkan, ga mentingin. Apalagi buat menghafal Qur'an.
Wuah, tambah serasa menakutkan, menyeramkan, dan bayangan bakal susah. Padahal Allah sudah Memudahkan al Qur'an buat dipelajari, termasuk dihafalkan.  Umur, bertambah. rizki, pengen nambah.

Tapi bacaan Qur'an, dari kecil sampe usia sekarang, ya surah-surah yang itu-itu saja. Ga ada tambahannnya. Bacaannya pun ga pernah bertambah baik.

Tes-tes untuk jadi anggota dewan dilalui, tes-tes untuk jabatan lebih tinggi, diikuti, dan dipersiapkan sebaik-baiknya. Tapi untuk Qur'an? Entahlah. Mungkin ga dianggap penting, ga istimewa, dan ga ada faidahnya.

Alhamdulillaah, setelah diizinkan Allah bergelut di dunia tahfidz, ternyata menghafal al Qur'an itu mudah. Sangat mudah. Bahkan ga perlu menghafal! Cukup membaca saja.

Yang ga bisa baca, atau yang masih terbata-bata, ga lancar, maka buat dia, dibacakan. Insya Allah tetap mudah. Ga usah langsung satu halaman per hari. Satu ayat aja per hari. Kalau ayatnya panjang, cukup satu baris satu hari.

Juz 'Amma itu, juz ke-30, terdiri dari 271 baris. Belom dipotong ayat-ayat, surah-surah, yang sudah duluan dihafal. Kalo dipotong yang dihafal, mungkin tinggal 200 baris saja. Kalo satu hari satu baris, 200 hari kelar itu Juz 'Amma.
Kembali kepada kita dah. Mau mentingin ga?  Sekolah pimpinan, dibela-belain, sampe 40 hari, kadang tiga bulan. S2, S3, dibela-belain, sampe kadang jungkir balik atau berpisah dengan istri dan anak-anak, sebab beda kota, atau studi keluar negeri.

Nah ini, ngafal Qur'an, sesuatu yang teragung: ''Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Qur'an dan mengajarkannya,'' sabda Rasulullah saw. Ga dibela-belain.

Ok, berikut tiga langkah mudah sekali dalam menghafal Qur'an: Langkah pertama, dengerin suara imam/syeikh yang dipilih, 20 kali.
Sambil megang mushaf, liat mushaf. Jangan satu halaman langsung, apalagi satu surah panjang. Cukup dah satu hari satu ayat, atau satu baris. Supaya ga ada alasan lagi sibuk atau ga bisa.

Langkat kedua, dengerin ulang lagi, 20 kali lagi, sambil tetap megang mushaf, dan tetap liat mushaf, ikutin dengan mata.

Apalagi buat Saudara yang bisa melihat. Ga bisa baca atau ga bisa melihat, ya dengerin aja. Insya Allah hafal dah.

Langkah ketiga, coba baca tanpa dengar imam/syeikh, dan tanpa megang, tanpa lihat, mushaf. Juga 20 kali. Anggap aja sedang nabung amal saleh. Satu huruf dikali 10 s/d 700 kebaikan. Maasya Allah kan? Ulangi untuk ayat berikutnya, baris berikutnya, dengan cara yang sama.

Kalo sudah lima ayat, atau lima baris, ulangi denger dan baca, kira-kira 5-10 kali. Nikmati prosesnya. Anggap aja ini ngobrol dengan Pemilik Dunia, Pemilik Kekayaan, Pemilik Segala Kemudahan Yang Kita inginkan.

Insya Allah, Bersama Republika, kita coba adakan simulasi di JEC Jogja, tanggal 13 April. Dan di Wonosobo, tanggal 14 April. Selanjutnya, 2-3 bulan sekali di GBK. Simulasi Akbar Ngafal Qur'an. Mohon doanya.
, Oleh: Ustaz Yusuf Mansur

sumber : www.republika.co.id

Wednesday, April 24, 2013

Obat Galau

Hari itu seorang sahabat dari kalangan Anshar bernama Abu Umamah menyendiri di satu sudut masjid. Dengan wajah lesu dan lunglai, sahabat ini terpaku dalam sunyinya rumah Allah itu.

Tidak ada seorang pun di sana karena memang saat itu bukanlah waktu orang ke masjid untuk menunaikan shalat atau bermuzakarah mengkaji kitab Allah maupun sunah Rasulullah.

Abu Umamah hanya sendiri ditemani satu harapan kiranya Allah memberikan secercah kemudahan terhadap semua masalahnya hari itu.

Beberapa waktu berlalu hingga sunyi itu terpecah dengan kehadiran Rasulullah saw dari bilik masjid. Rasulullah saw mendekati Abu Umamah.

Ketika menghampiri Abu Umamah, sang Nabi bertanya, “Wahai Abu Umamah, ada apa gerangan yang membuatmu berada di dalam masjid sendirian di waktu seperti ini?”

Seketika itu Abu Umamah menjawab, “Duhai Rasulullah, aku dirundung rasa galau dan sedang diimpit utang.”

Mengetahui masalah yang menimpa sahabatnya ini, Rasulullah segera memberikan tawaran jalan keluar. Rasulullah saw bersabda, “Duhai Abu Umamah, maukah engkau aku ajarkan suatu amalan (doa), yang apabila engkau terus membacanya di waktu pagi dan petang Allah akan menghilangkan darimu rasa galau itu, dan Ia akan memudahkan engkau melunasi utangmu.

Dengan wajah semringah, Abu Umamah menjawab, “Mau ya Rasulullah.” Lalu Rasulullah melanjutkan, “Bacalah di waktu pagi dan petang, ‘Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari rasa galau dan sedih, dan aku berlindung kepada-Mu dari rasa lemah dan malas, dan aku berlindung kepada-Mu dari rasa pengecut dan bakhil, dan aku berlindung kepada-Mu dari lilitan utang dan tekanan orang lain’.”
Abu Daud dan al-Baihaqi mencatat dengan apik kelanjutan cerita singkat ini. Beberapa waktu kemudian, setelah Abu Umamah rutin memanjatkan doa ini kepada Allah di pagi dan petang harinya, ia berujar, “Setelah aku merutinkan amalan yang diajarkan Rasulullah itu, Allah menghapus dari diriku rasa galau yang menimpaku dan Ia memudahkan bagiku untuk melunasi utang yang melilitku.”

Setiap orang tidak akan pernah luput dari problematika kehidupan. Karena sesungguhnya hamparan ruang dan waktu yang dinikmati setiap manusia hakikatnya adalah ujian dari Allah.

Allah ingin mengetahui sejauh mana ketahanan kita terhadap ujian itu. Galau dan gelisah adalah satu dari sekian masalah kejiwaan yang kerap menyesaki jiwa seseorang.

Dari sinilah timbul rasa tidak percaya terhadap diri sendiri. Dan, dari sini pula sikap pesimistis, putus asa, dan matinya kemampuan untuk berharap muncul dan mengakar.

Namun, bagi seorang mukmin yang menjadikan Alquran dan Sunah Nabi Muhammad sebagai tuntunan hidup, kegalauan, keresahan, dan rasa risau ini bukanlah sesuatu yang sulit diobati.

Cukuplah baginya menengadah, memohon kepada Rabbnya di pagi dan petang harinya seraya berdoa, “Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari rasa galau dan sedih, dan aku berlindung kepada-Mu dari rasa lemah dan malas, dan aku berlindung kepada-Mu dari rasa pengecut dan bakhil, dan aku berlindung kepada-Mu dari lilitan utang dan tekanan orang lain.”
, Oleh: Ahmad Musyaddad Lc



sumber : www.republika.co.id

Tuesday, April 23, 2013

Keutamaan Mengidolakan Rasulullah SAW

Anas ibnu Malik ra meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda : “Sungguh beruntung sekali orang yang beriman kepadaku dan pernah melihatku, sungguh beruntung sekali orang yang beriman kepadaku dan belum melihatku sampai tujuh kali."

Hadis tersebut jelas membawa berita gembira bagi kita umat Rasululllah Saw yang beriman kepadanya walaupun belum pernah melihat sosok pemimpin umat terhebat tersebut. Tidak main-main, bahkan keberuntungan kita tujuh kali lipat dibanding para sahabat ra. Namun syarat keberuntungan ini pun tidak pula main-main. Harus terdapat iman kepada Rasulullah Saw.

Salah satu indikator adanya keimanan kepada Rasulullah Saw di dalam hati kita adalah adanya rasa cinta kepada Rasulullah Saw. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Rasulullah bersabda "Tidaklah beriman seorang dari kalian hingga aku lebih dicintainya daripada orang tuanya, anaknya dan dari manusia seluruhnya."

Marilah kita jujur bertanya kepada hati kita masing-masing. “Sudahkah kita mencintai Rasulullah lebih dari orang tua, anak, dan manusia seluruhnya?” Tampaknya kita harus banyak beristighfar.

Kondisi zaman pada saat ini telah banyak membiaskan kecintaan serta keidolaan kita. Minoritas manusia saat ini mengidolakan Nabi Akhir Zaman Muhammad Saw. Sedang mayoritas, pastilah poster-poster rocker atau artis atau apalah itu yang memenuhi dinding kamar mereka. Padahal jelaslah sudah Allah berfirman di dalam Alquran bahwa di dalam diri Rasulullah terdapat suri teladan yang paling baik.

Untuk mencintai Rasulullah Saw secara paripurna memanglah membutuhkan proses dan usaha yang harus dijalankan dengan segenap jiwa. Harus ada kesadaran dan keinginan dari dalam hati untuk dapat mencintai Rasulullah Saw. Bagaimana mungkin kita tidak ingin mencintai Rasulullah, sedang syafa’at beliaulah yang akan menyelamatkan kita dari siksa api neraka.

Seorang remaja yang setiap harinya membaca gosip seorang artis, dengan tekun menyimak beritanya, mendengarkan lagu rocker kesukaannya, mendiskusikannya dengan teman-temannya, sudah barang tentu lambat laun kecintaannya pada artis tersebut setiap harinya semakin bertambah.

Demikian pula, untuk semakin mencintai Rasulullah kita perlu sering membaca kisah-kisah beliau yang menggetarkan jiwa. Kita perlu sering membicarakan Rasulullah dengan segala kesempurnaan akal dan akhlaknya. Kita berusaha menghidupkan sunnah Rasulullah dalam keseharian kita, mulai dari yang paling sederhana.

Dilengkapi dengan doa kepada Allah agar dimasukkan rasa cinta kepada Rasulullah Saw didalam hati kita, InsyaAllah lambat laun kita akan semakin mencintai Rasullulah Saw. Manusia yang harus lebih kita cintai dari pada orang tua, anak ataupun manusia seluruhnya.

Momen Maulud Nabi belum lama ini semoga dapat menyadarkan kita untuk menjadikan Rasulullah Saw sebagai idola nomor satu kita. Sehingga kita tidak ragu-ragu untuk mengatakan, “Our Idol is Muhammad Rasulullah Saw.” Mari bersalawat ke atas Nabi.
,  Oleh Soraya Khoirunnisa Halim

sumber : www.republika.co.id

Monday, April 22, 2013

Orang Berakal

Qarun adalah manusia kaya raya yang hidup di zaman Nabi Musa. Di dalam Alquran dijelaskan  kekayaannya sangat melimpah. Bahkan, untuk kunci-kuncinya saja harus dipikul sejumlah orang dengan badan yang besar dan kuat. (QS al-Qashash [28]: 76).

Tapi sayang, Qarun berbuat aniaya, ia angkuh dan sombong. Hatinya beku dan akalnya keras, sehingga ia tidak bisa menerima nasehat kebenaran.

Ketika diperingatkan agar tidak angkuh dan sombong dengan harta yang dimilikinya ia malah berpaling sembari berkata, “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku” (QS al-Qashash [28]: 78).

Menurut Ibnu Katsir, ucapan Qarun itu menunjukkan dirinya tidak butuh dengan nasehat kebenaran. Bahkan ia tidak merasa butuh dengan apapun, termasuk ampunan dan ancaman Allah SWT. Ia merasa dirinya hebat dan harta yang dimilikinya murni karena kepintarannya.

Sikap Qarun yang tidak bisa menghargai orang lain dan selalu menganggap dirinya lebih baik dan lebih terhormat hanya semata-mata karena harta yang dimiliki adalah sikap orang yang kurang akal. Sikap demikian biasanya umum terjadi pada mereka yang dititipi harta kekayaan.

Syekh Ibnu Atha’illah dalam kitabnya, Taj al-‘Aruus al-Hawi li Tahdzib al-Nufus menjelaskan, “Hal pertama yang semestinya engkau tangisi adalah akalmu. Sebagaimana kekeringan bisa terjadi pada rumput, akal juga bisa mengering.''

Ia menambahkan, ''Berkat akal, manusia dapat hidup berdampingan bersama manusia lain dan bersama Allah. Bersama manusia dengan akhlak yang baik dan bersama Allah dengan mengikuti apa yang diridai-Nya.”

Jadi, kriteria orang berakal atau tidak, sama sekali bukan pada berapa kekayaan yang dimiliki, tapi pada bagaimana akhlak yang dimiliki, baik akhlak kepada sesama manusia maupun akhlak kepada Allah SWT.

Semakin baik akhlak seseorang terhadap sesama manusia dan terhadap Allah SWT, bisa dipastikan orang itu adalah orang yang berakal. Sebaliknya, semakin buruk akhlak seseorang terhadap sesama dan terhadap Allah SWT, bisa dipastikan orang itu tidak berfungsi akal sehatnya.

Lebih jauh orang berakal adalah orang yang paling ingin mendapat cinta dari Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah saw bersabda, “Orang yang paling kucintai dan yang paling dekat denganku pada hari kiamat nanti adalah yang paling baik akhlaknya, yaitu yang tawadhu’ yang mencintai dan dicintai” (HR Thabrani).

Di dalam Alquran, orang yang berakal disebut sebagai Ulul Albab. “Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (QS Ali Imran [3]: 191).

Dengan demikian dapat dipahami, orang berakal bukanlah orang yang semata-mata kaya, tetapi orang yang memanfaatkan siang dan malamnya untuk dzikir dan pikir, sehingga tidak bertambah usia melainkan bertambah baik keimanan dan ketakwaannya, serta semakin baik pula akhlaknya baik kepada sesama maupun kepada Allah SWT.
, Oleh Imam Nawawi

sumber : www.republika.co.id

Sunday, April 21, 2013

Belajar dari Musibah

Memasuki tahun 2013, bencana alam dan kecelakaan lalu lintas kerap terjadi di hampir seluruh Indonesia, bahkan di belahan dunia lainnya. Apakah kejadian ini tergolong musibah?

Musibah berarti peristiwa yang datang tidak diduga oleh manusia. Musibah itu suatu kejadian yang ada pada wilayah kekuasaan (takdir) Allah. Karenanya, ia diposisikan sebagai stimulus (S) dari Allah, seperti yang ditegaskan di dalam Alquran.

Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS at-Taghaabuun: 11)

Dengan paham di atas, musibah secara bahasa adalah tertimpa atau terkenai. Sedangkan, secara istilah ialah peristiwa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi umatnya pada umur 40 hari (dalam riwayat lain 40 malam) di rahim ibu.

Dari Abu Abdirrahman Abdullah bin Mas'ud, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya setiap orang di antaramu dikumpulkan penciptaannya di dalam perut ibunya 40 hari berbentuk nutfah, kemudian menjadi segumpal darah selama itu juga, kemudian menjadi gumpalan seperti potongan daging selama itu juga, kemudian diutuslah kepadanya malaikat, lalu meniupkan ruh kepadanya dan diperintahkan atasnya (menulis) 4 perkara: (1) ketentuan rezekinya, (2) ketentuan ajalnya, (3) amalnya, (4) ia celaka atau bahagia....” (HR Bukhari-Muslim).

Di sini, ada dua perbedaan yang mencolok dalam memaknai musibah. Dari sisi makhluk, manusia tidak bisa mendeteksi kapan datang dan perginya. Di sisi lain, Allah telah menentukan waktu terjadinya musibah. Jadi, ada semacam perjanjian ghaib antara Allah dan makhluk-Nya.

Di balik musibah ada hikmah, tetapi manusia tidak menyadarinya dan bahkan ada yang tidak mau menerimanya berupa sikap tidak mau tertimpa musibah.

Buktinya, mereka menganggapnya sebagai bencana atau hal-hal negatif dan menakutkan, bahkan azab. Musibah yang paling ditakuti oleh semua orang adalah kehilangan orang tua, terutama ibu kandung. Namun siapa kira, di balik musibah ini ada hikmah kesuksesan.

Dari i'tibar itu, ketaatan dan ingkar menjadi jawaban ketika ditimpa musibah. Taat dan ingkar merupakan sikap seseorang terhadap zat yang ghaib (yang berkaitan dengan rukun Iman).
Taat berarti patuh terhadap tugas dan kewajiban disertai tanggung jawab. Sedangkan, ingkar adalah bentuk perlawanan terhadap perintah.

Lalu, apa yang Anda lakukan jika mendapat musibah? Misalkan kecelakaan, yang menyebabkan kaki Anda patah.
Apakah Anda masih tetap berjuang mendirikan shalat, ataukah Anda berhenti dengan alasan kecelakaan? Tentu, sikap Anda sangat ditentukan oleh kualitas ketaatan Anda.

Jika ketaatan Anda hanya berdasarkan rasa takut, pasti Anda akan mengambil sikap untuk beristirahat. Akan tetapi, jika didasari oleh takwa, Anda tetap berjuang untuk bisa mendirikan shalat. Wallahu a'lam.

HIKMAH oleh; Abdul Karim DS
sumber : www.republika.co.id

Saturday, April 20, 2013

Calon Wakil Rakyat yang Amanah

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah membuka Pendaftaran calon anggota legislatif (bacaleg) hingga 22 April nanti. Ribuan warga di seantero Nusantara turut serta menjadi bacaleg dari 12 partai politik nasional dan 3 partai lokal.
           
Beragam niat menjadi caleg saat ini. Ada yang menjalankan perintah partai, permintaan masyarakat, keinginan suami, mencari kekayaan, hingga pengabdian ke masyarakat. Niat ini pula yang menentukan kualitas anggota Dewan di semua tingkatan (DPR RI atau DPRD). Karena niat yang menentukan tindakan seseorang di kemudian hari.
           
Sebagai umat Islam, saya menyarankan kepada orang-orang yang akan mencalonkan diri nanti pada Pemilu 2014 untuk meluruskan niat. Bahwa menjadi anggota Dewan yang merupakan wakil rakyat harus diawali dengan niat suci. Menjadi pejabat publik bukan sekadar mencari kekayaan akan tetapi merupakan bagian dari ibadah.

Ketika niat ibadah sudah di ditanamkan, maka ketika terpilih nanti, menjalankan tugas sebagai anggota Dewan bukan sekadar kewajiban, tetapi kebutuhan akan ibadah.
Ada baiknya kita membaca kisah seorang lelaki kaum Anshar.

Anas bin Malik meriwayatkan bahwa seorang lelaki dari kaum Anshar datang menghadap Rasulullah saw dan meminta sesuatu kepada beliau.

Rasulullah saw bertanya, “Adakah sesuatu di rumahmu?”

“Ada, ya Rasulullah!” jawabnya, “Saya mempunyai sehelai kain tebal, yang sebagian kami gunakan untuk selimut dan sebagian kami jadikan alas tidur. Selain itu saya juga mempunyai sebuah mangkuk besar yang kami pakai untuk minum.”

“Bawalah kemari kedua barang itu,” sambung Rasulullah saw.

Lelaki itu membawa barang miliknya dan menyerahkannya kepada Rasulullah. Setelah barang diterima, Rasulullah saw segera melelangnya. Kepada para sahabat yang hadir pada saat itu, beliau menawarkan pada siapa yang mau membeli. Salah seorang sahabat menawar kedua barang itu dengan harga satu dirham.

Tetapi Rasulullah menawarkan lagi, barangkali ada yang sanggup membeli lebih dari satu dirham, “Dua atau tiga dirham?” tanya Rasulullah kepada para hadirin sampai dua kali.

Inilah lelang pertama kali yang dilakukan Rasulullah. Tiba-tiba salah seorang sahabat menyahut, “Saya beli keduanya dengan harga dua dirham.”

Rasulullah menyerahkan kedua barang itu kepada si pembeli dan menerima uangnya. Uang itu lalu diserahkan kepada lelaki Anshar tersebut, seraya berkata, “Belikan satu dirham untuk keperluanmu dan satu dirham lagi belikan sebuah kapak dan engkau kembali lagi ke sini.”

Tak lama kemudian orang tersebut kembali menemui Rasulullah dengan membawa kapak. Rasulullah saw melengkapi kapak itu dengan membuatkan gagangnya terlebih dahulu, lantas berkata, “Pergilah mencari kayu bakar, lalu hasilnya kamu jual di pasar, dan jangan menemui aku sampai dua pekan.”

Lelaki itu taat melaksanakan perintah Rasulullah. Setelah dua pekan berlalu ia menemui Rasulullah melaporkan hasil kerjanya. Lelaki itu menuturkan bahwa selama dua pekan ia berhasil mengumpulkan uang sepuluh dirham setelah sebagian dibelikan makanan dan pakaian.

Mendengar penuturan lelaki Anshar itu, Rasulullah bersabda, “Pekerjaanmu ini lebih baik bagimu daripada kamu datang sebagai pengemis, yang akan membuat cacat di wajahmu kelak pada hari kiamat.”

Rasulullah saw memberikan pelajaran menarik tentang pentingnya bekerja. Dalam Islam bekerja bukan sekadar memenuhi kebutuhan perut, tapi juga untuk memelihara harga diri dan martabat kemanusiaan yang seharusnya dijunjung tinggi.

Karena itu, tidak salah ketika saya mengatakan, jangan pernah berpikir menjadi caleg hanya sekadar mencari kekayaan. Tetapi bagian dari pengabdian diri untuk mengangkat martabat kemanusiaan. Bekerja adalah ibadah yang harus kita lakukan bersama.
, Oleh Dr HM Harry Mulya Zein


sumber : www.republika.co.id

Friday, April 19, 2013

Tadharru

Pada suatu malam di pelataran Ka’bah, Thawus bin Kisan ra mendapati Ali bin Husein -yang lebih dikenal dengan Zainul Abidin ra- sedang bermunajat kepada Allah SWT.

Dengan penuh pengharapan (tadharru’), terdengar ia merendahkan dan menghinakan dirinya diiringi dengan deraian air mata bermohon agar Allah SWT memberikan ampunan kepadanya.

Setelah Ali bin Husein menyelesaikan munajatnya, Thawus menghampiri. Ia berkata, "Wahai cucu Rasulullah SAW, mengapa engkau menangis seperti ini, sementara engkau memiliki tiga keistimewaan yang tak dipunyai orang lain.
Pertama, engkau adalah cucu Rasulullah SAW. Kedua, engkau akan mendapat syafaat dari Rasulullah SAW. Dan ketiga, keluasan rahmat-Nya untukmu."

Mendengar pernyataan Thawus itu, Ali bin Husein menjelaskan semuanya bukan jaminan ia akan mudah mendapatkannya.
Beliau berkata, "Ketahuilah hubungan nasabku dengan Rasulullah, bukan jaminan keselamatanku di akhirat sana setelah aku mendengar firman Allah SWT, ‘Apabila sangkakala ditiup, maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu dan tidak ada pula mereka saling bertanya’." (QS al- Mukminun [23]: 101).

Sedangkan syafaat Nabi SAW, maka Allah SWT berfirman, "Dan mereka tiada memberi syafaat, melainkan kepada orang yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya." (QS al-Anbiya` [21]: 28).

Dan terakhir, terkait rahmat-Nya, Allah berfirman, "Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik." (QS al-A’raf [7]: 56).

Kisah di atas mengajarkan kepada kita untuk bersikap tadharru’ (penuh harap dan merendahkan diri) dalam beribadah kepada Allah SWT, terutama ketika sedang berdoa.

"Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri (penuh harap) dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." (QS al-A’raf [7]: 55).

Tadharru’ merupakan akhlak dan etika yang harus kita bangun ketika membina hubungan dengan Allah SWT. Hal ini kita lakukan sebagai wujud penghambaan diri kita kepada Zat Penguasa alam semesta, Allah SWT.

Tadharru' mengandung makna tadzallul (kerendahan dan kehinaan diri) dan istiqamah (ketundukan diri). (Jami’-ul bayan ‘an ta’wil al-Qur’an, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari).

Oleh karena itu, ketika kita ber-tadharru’ kepada Allah SWT, akan menumbuhkan kesungguhan dan kekhusyu'an dalam beribadah dan berdoa serta menjadi sebab Allah SWT akan meninggikan derajat kita di sisi-Nya.

Mari kita renungi penjelasan Imam Ahmad bin Hambal ketika mendeskripsikan 'tadarru' agar kita dapat bersikap tadharru'.

Beliau berkata, "Bayangkan seseorang yang tenggelam di tengah lautan dan yang dimilikinya hanyalah sebatang kayu yang digunakannya supaya terapung."

"Ia menjadi semakin lemah dan gelombang air mendorongnya semakin dekat pada kematian. Bayangkanlah ia dengan tatapan matanya yang penuh harapan menatap ke arah langit dengan putus asa sambil berteriak, "Ya Tuhan ku, Tuhanku!"

Bayangkanlah betapa putus asanya dia dan betapa tulusnya ia meminta pertolongan Tuhan. Itulah yang disebut dengan tadharru’ di hadapan Tuhan."
, Oleh: Moch Hisyam
sumber : www.republika.co.id

Thursday, April 18, 2013

Enam Kunci Hidup Berkah

Setiap Muslim pasti mendambakan kehidupan yang penuh keberkahan. Berkah, dalam bahasa Arab disebut barakah, yakni kebaikan yang melimpah (al-khair al-wafir). Muslim yang mengucapkan salam berarti mendoakan hidup penuh kedamaian, kasih sayang, dan keberkahan. Hidup penuh berkah menjadi limpahan kebaikan dan selalu mendapat petunjuk Allah SWT.

Menurut Iman Maghazi al-Syarqawi, hidup penuh berkah itu dapat diaktualisasikan dengan meneladankan enam sikap dan sifat terpuji. Pertama, membiasakan sifat malu yang positif. Malu (al-haya') adalah kunci keutamaan sebab rasa malu membuat Muslim bersikap hati-hati untuk tidak berbuat maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.

Rasulullah SAW pernah memberi nasihat kepada para sahabatnya. "Hendaklah kalian merasa malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya." Para sahabat menimpali, "Alhamdulillah, kami sudah merasa malu kepada Allah, ya Rasul."

Rasul lalu menyatakan, "Tidak, kalian belum merasa malu. Orang yang betul-betul merasa malu di hadapan Allah hendaklah menjaga kepala berikut isinya (pikiran positif), menjaga perut berikut isinya (makanan dan minuman yang halal dan thayib), dan mengingat mati serta musibah. Siapa yang menginginkan kebahagiaan akhirat, hendaklah meninggalkan perhiasan dunia. Siapa yang sudah melakukan itu semua, berarti telah betul-betul memiliki rasa malu." (HR Tirmidzi).

Kedua, bersyukur karena ia merupakan kunci peningkatan rezeki. Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyah, syukur merupakan pujian dan pengakuan hamba terhadap nikmat Allah yang disertai rasa cinta dan ketaatan kepada-Nya. (QS Ibrahim [14]: 7).

Ketiga, tutur kata dan komunikasi yang baik (al-kalam al-thayyib). Hal ini merupakan kunci terbukanya hati dan pikiran. Komunikasi dan tutur kata yang baik adalah sedekah. Sedekah yang paling ringan dan mudah adalah memberi senyuman kepada sesama.

"Maukah kalian aku tunjukkan suatu amalan yang jika kalian kerjakan, maka kalian akan dapat saling mencintai? Nabi SAW bersabda: ‘Tebarkanlah salam di antara kalian’.” (HR Muslim).

Keempat, berbakti kepada kedua orang tua. Sikap ini merupakan kunci keridhaan dan kesuksesan hidup. Keridhaan dan doa orang tua merupakan pintu masuk segala kebaikan dan keberkahan hidup.

Kelima, menghiasi diri dengan sifat qanaah (merasa berkecukupan). Sifat ini merupakan kunci kekayaan. Orang yang bersifat qanaah tidak akan serakah dan egois sehingga ia tidak mudah tergoda oleh kekayaan duniawi.

Keenam, konsisten dan teguh pendirian (al-mudawamah wa al-istiqamah) dalam berdoa. Doa adalah kunci segala kebaikan dan ketenteraman jiwa. Doa adalah kekuatan dan energi spiritual hamba kepada Allah. Dengan doa, seorang Muslim mengembalikan segala persoalan kepada Allah SWT.

Kunci semua itu adalah aktualisasi iman, ilmu, amal, dan takwa sebagai modal spiritual dan kendaraan keberkahan hidup. Jika keduanya diaktualisasikan dengan baik, niscaya janji Allah pasti akan dipenuhi. (QS al-A'raf [7]: 96).

Meraih hidup penuh berkah harus senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya sekaligus mendekatkan diri dengan sesamanya melalui kesalehan personal, ritual, dan kesalehan sosial serta moral.

Wallahu a'lam.
, Oleh Muhbib Abdul Wahab

sumber : www.republika.co.id

Wednesday, April 17, 2013

Rahasia di Balik Shalat pada Awal Waktu

Syekh Abu Abdullah RA berkata, “Suatu hari, ibu saya meminta ayahku membeli ikan di pasar. Kemudian, saya pergi bersama ayah saya. Setelah ikan dibeli, kami memerlukan seseorang untuk membawanya.

Di saat itu, ada seorang pemuda yang sedang berdiri didekat kami. Pemuda itu berkata, “Wahai bapak, apakah bapak memerlukan bantuan saya untuk membawa ikan itu?” “Ya, benar!” kata ayah saya. Kemudian, pemuda itu membawa ikan di atas kepalanya dan turut bersama kami ke rumah.

Di tengah perjalanan, kami mendengar suara azan. Pemuda itu berkata, “Penyeru Allah telah memanggil. Izinkanlah saya berwudhu, barang ini akan saya bawa setelah shalat nanti. Apabila bapak bersedia, silakan menunggu, jika tidak, silakan bawa sendiri.”

Setelah berkata demikian, ia meletakkan ikan-ikan itu dan pergi ke masjid. Ayahku berpikir, pemuda itu mempunyai keyakinan yang begitu kuat kepada Allah SWT, bagaikan seorang waliyullah. Akhirnya ayah meletakkan ikan-ikan itu, kemudian kami pergi ke masjid.

Setelah kembali dari masjid, ternyata ikan-ikan itu masih berada di tempatnya. Lalu, pemuda itu mengangkat kembali ikan-ikan tadi dan bersama menuju rumah.

Setibanya di rumah, ayah menceritakan peristiwa tersebut kepada ibu. Ibu berkata kepada pemuda tadi, “Simpanlah ikan-ikan itu, mari makan bersama kami, setelah itu kamu boleh pulang.”

Tetapi pemuda itu menjawab, ”Maaf ibu, saya sedang berpuasa.” Ayah berkata, “Kalau begitu, datanglah ke sini nanti petang dan berbukalah di sini.”

Pemuda itu berkata, “Biasanya, jika saya telah berangkat maka saya tidak akan kembali lagi. Tetapi untuk kali ini, saya akan pergi ke masjid dan petang nanti saya akan kembali kemari.”

Sesudah itu, dia pergi dan meminta untuk tinggal si sebuah masjid di dekat rumah. Pada petang harinya setelah Maghrib, pemuda tadi datang dan makan bersama kami. Setelah makan, kami menyiapkan sebuah kamar untuknya agar ia dapat beristirahat tanpa diganggu oleh siapa pun.

Di sebelah rumah kami, ada seorang wanita tua yang lumpuh. Kami benar-benar terkejut ketika melihatnya dapat berjalan. Kami bertanya, “Bagaimana engkau dapat sembuh?”

Wanita tua itu menjawab, “Saya didoakan oleh tamu Anda agar kaki saya disembuhkan dan Allah mengabulkan doanya.” Ketika kami mencari pemuda itu, ternyata dia telah meninggalkan kamarnya. Pemuda itu pergi tanpa diketahui oleh siapa pun.

Kisah yang terdapat di dalam Kitab Fadhail A'mal, karya Maulana Muhammad Zakariyya al-Kandhalawi di atas, memberikan pelajaran berharga. Yakni, di antara rahasia mendirikan shalat lima waktu di awal waktu dengan berjamaah akan menjadikan doa-doanya cepat diijabah.

Itu karena orang yang mendirikan shalat lima waktu di awal waktu dengan berjamaah adalah orang yang bersih dari dosa. “Sesungguhnya shalat lima waktu itu menghilangkan dosa-dosa sebagaimana air menghilangkan kotoran.” (HR Muslim). Selain itu, karena ia mendahulukan panggilan Allah dari panggilan selain-Nya.

Untuk itu, ketika azan berkumandang mari kita segera penuhi panggilan Allah untuk melaksanakan shalat pada awal waktu dengan berjamaah. Agar doa-doa kita mustajab dan mendapat kedudukan yang tinggi di sisi Allah SWT.
Oleh Moch Hisyam
sumber : www.republika.co.id

Tuesday, April 16, 2013

Sedikit Bicara

Diriwayatkan, ketika anak cucu Adam semakin berkembang, mereka ramai berbicara di sampingnya, Adam hanya diam. Mereka pun bertanya, “Wahai Ayah, mengapa engkau tak mau berbicara?”

Adam menjawab, ”Duhai anak-anakku, ketika Allah SWT mengeluarkan aku dari sisi-Nya, Dia mengamanatkan kepadaku, seraya berfirman, 'Janganlah kamu banyak berbicara, maka kamu pun akan kembali lagi ke sisi-Ku'.”

Diam atau sedikit berbicara memang bukan hanya emas, tapi juga menjadi suatu cermin dari pribadi yang berintegritas tinggi. Karena sikap diam atau sedikit bicara tak identik dengan kebodohan atau ketidaktahuan. Diam, dalam banyak keadaan, justru menyiratkan pemikiran yang dalam dan dinamis dari pemiliknya.

Ali RA berujar, Ashamtu raudhatul-fikr (diam adalah taman berpikir). Itulah sebabnya mengapa ulasan tentang fadhilatush-shamt (keutamaan diam) diletakkan dalam bab khusus pada kajian akhlak, tazkiyatun nafs (tasawuf). Man shamata naja (Siapa yang diam, maka ia selamat).” (HR Tirmidzi).

Seperti narasi di atas, sedikit berbicara juga bisa mendekatkan diri kepada Allah. Orang yang ceriwis atau banyak berbicara tanpa ada faedahnya, bisa menjauhkan diri dari Allah. “Sebaik-baik ucapan adalah yang sedikit dan terarah.”

Tentang hebatnya sikap diam ini, kita juga bisa belajar dari cerita Nabi Zakaria AS. Walau sudah renta dan beruban, serta istrinya yang mandul. Dengan doa, ia pun dianugerahi anak, yaitu Nabi Yahya. Dan sesaat sebelum sang buah hati lahir, Nabi Zakaria diberikan tanda, yaitu diam dan tidak bercakap-cakap (QS Maryam: 10).

Karena itu, ungkapan 'diam menghanyutkan', seyogianya tak selalu dikonotasikan untuk hal-hal negatif, karena sikap diam juga bisa menjadi tangga menuju kesuksesan dan meraih prestasi yang patut dibanggakan.

Amr bin Qais mengisahkan, ketika Lukman al-Hakim sedang mengajar murid-muridnya, muncullah seseorang dan melewati majelisnya. Dengan nada heran, orang itu bertanya kepada Lukman: “Bukankah engkau hamba sahaya dari Bani Fulan?” Lukman membenarkannya.

Ia bertanya kembali: “Bukankah engkau si penggembala yang kulihat di gunung anu?” Lukman juga membenarkannya. Dengan penuh heran, orang itu kembali bertanya. “Lalu apa yang membuatmu berubah dan menjadi seperti ini?” Lukman menjawab: “Berkata jujur dan selalu diam dari hal-hal yang tak berguna.”

Kepada anaknya, Lukman juga berkata-seperti yang diriwayatkan dari Makhul, dari Ka'ab, “Duhai anakku, jadilah orang yang bisu tapi berpikir. Jangan jadi orang yang banyak bicara tapi bodoh. Biarlah air liurmu mengalir di atas dadamu, sementara engkau menahan dari ucapan yang tiada bermakna bagimu. Itu lebih indah dan lebih baik daripada engkau duduk bersama suatu kaum lalu engkau berbicara yang tiada manfaatnya bagimu.

Setiap amal ada penunjuknya, sementara penunjuk akal adalah berpikir, dan penunjuk berpikir adalah diam. Setiap sesuatu ada kendaraannya, dan kendaraan akal adalah tawadhu. Cukuplah engkau disebut bodoh, jika engkau menahan dari apa yang harus engkau arungi. Cukuplah engkau disebut berakal, jika manusia aman dari keburukanmu.”
Oleh Makmun Nawawi


sumber : www.republika.co.id

Monday, April 15, 2013

Dzurriyatan Dhia’fan

Sahabat Rasulullah Saw, Saad Bin Abi Waqqas yang kaya dan dermawan sedang sakit keras. Ia ingin mewasiatkan seluruh hartanya bagi kemaslahatan umat. Rasulullah Saw melarangnya. Saad pun berniat mewasiatkan separohnya. Itu pun tetap dilarang Rasulullah Saw.

Ia mewasiatkan sepertiganya. Rasulullah Saw lalu bersabda : “… dan sepertiga itu pun sudah banyak. Sesungguhnya, jika engkau tinggalkan pewaris-pewarismu dalam keadaan mampu, lebih baik daripada mereka dalam keadaan melarat, menadahkan telapak tangan kepada sesama manusia.” (HR. Bukhari Muslim).

Hadits ini merupakan penjelas atas ayat ke 9 Surat an-Nisa. “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.”(QS.4:9.

Akhir-akhir ini, kita tersentak dengan berita seorang anak berusia 11 tahun di Jakarta meninggal dunia karena mengalami kekerasan seksual. Diketahui kemudian, ternyata yang melakukannya adalah ayah kandungnya sendiri.

Begitu pula seorang anak ingusan berusia empat tahun di Menes Pandeglang diculik dan diperkosa. Seorang siswa SMA di Jakarta, mengalami pecehan seksual dari  Wakil Kepala Sekolah. Lalu,  seorang Guru SLB di Garut mencabuli muridnya.

Ada pula buku paket yang beredar kepada murid SD berisi gambar dan cerita porno. Peredaran narkoba yang semakin merajalela, termasuk kepada murid-murid SD. Situs porno begitu mudah diakses oleh anak-anak yang lepas dari pengawasan orang tuannya.

Tawuran pelajar dan mahasiswa telah menewaskan puluhan orang sia-sia. Perilaku seks dan pergaulan bebas di kalangan anak SD dan remaja telah merambah dari kota ke desa seakan menjadi trend dan gaya.

Pemerkosaan terjadi di mana-mana yang merenggut kesucian dan masa depan, anak putus sekolah semakin tinggi, kemiskinan dan kelaparan (kekurangan gizi) menjadi pemandangan yang nyata. Masya Allah !

Pilu dan miris hati kita menyaksikannya. Kini, semakin nyata upaya sistematis dan massif untuk menghancurkan satu generasi penerus dakwah dan agama. 

Siapa yang paling bertanggung jawab? Orang tua adalah pilar dan penanggung jawab utama pendidikan anak.  Keluarga adalah al-Madrasah al-Uula (sekolah pertama dan utama). Orang tua khususnya Ibu adalah Guru Utama dalam mendidik anak dalam keluarga.

Keluargalah yang akan melahirkan generasi dzurriyatan dhia’fan (anak cucu yang lemah) atau sebaliknya, dzurriyatan thoyyibatan (anak cucu yang berkualitas).  Untuk itu, orang tua harus bekerja keras menyiapkan jalan penghidupan yang layak.

Artinya, meninggalkan anak keturunan yang berada, bukan yang papa. “Orang mukmin yang kuat lebih dicintai Allah dari mukmin yang lemah”. Demikian Hadits Nabi Saw.  Tapi, apakah warisan harta saja sudah cukup?  Tentu saja tidak.
Kecukupan ekonomi hanyalah untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs), tapi belum bisa menyelamatkan dari keburukan dan kekesengsaraan (QS. 66:6). Warisan yang lebih utama adalah iman (akidah yang kuat), ilmu pengetahuan, ketaatan beribadah dan akhlak karimah.

Jika demikian, jangan sampai kita meninggalkan generasi yang lemah, yakni lemah ekonomi, iman (akidah), ilmu pengetahuan dan akhlak mulia. Namun, orang tua wajib mendidik anak-anaknya lebih dahulu dengan akidah yang kuat sejak dini, ketaatan dalam ibadah dan keutamaan dalam akhlak mulia.  (QS. 31:13-19).

Insya Allah akan lahir dzurriyan toyyibatan, yakni an-naslu al-mubaarok (keturunan yang berkah) seperti harapan Nabi Zakariya as. (QS.3:38).

Pribadi tangguh yang digambarkan Allah SWT laksana sebuah pohon yang baik (syajarotun toyyibah). Yakni, akarnya menghujam ke perut bumi (akidah), batang dahannya menjulang ke langit (ibadah yang benar) dan berbuah di setiap musim (akhlak karimah).

Keluarga yang berkualitas (khaira usrah) akan melahirkan pribadi yang berkualitas pula (khairul bariyyah). Insya Allah, Amin. 
, Oleh ; Ustaz H Hasan Basri Tanjung, MA.


sumber : www.republika.co.id

Sunday, April 14, 2013

Kemanakah Kereta Rakyat yang Murah?



Dengan adanya kebijakan yang tidak bijak dari direksi PT. KAI yang mengganti rangkaian-rangkaian kereta ekonomi jarak jauh non AC dengan ekonomi AC membuat Geram dan sedih rakyat.

Dengan dalih keamanan, kenyamanan dan berkurangnya subsidi pemerintah, PT. KAI merubah gerbong-gerbong kelas ekonomi non AC dengan hanya menambahkan beberapa titik AC split rumahan di dalam gerbongnya dan menaikkan harga tiketnya menjadi 4 kali lipat lebih mahal.

Kalau alasan subsidi pemerintah yang berkurang kenapa tidak dinaikan saja harga tiketnya sekitar 25% s/d 50%, sehingga kalau harga tiket misalnya KA Bengawan itu tadinya Rp. 37.000 maka rakyat masih dapat menerima jika dinaikkan menjadi Rp. 50.000,- s/d Rp. 60.000.

Bukan dengan ditambahkannya AC dan tiketnya dinaikkan menjadi Rp. 150.000. Ini jelas sangat memberatkan rakyat kecil yang setiap tahun mesti mudik dengan membawa anggota keluarganya.

Dimana tanggungjawab pemerintah dan PT. KAI dalam rangka menyediakan pelayanan transportasi yang murah dan baik bagi rakyatnya? Dimanakah peran DPR & pemerintah dalam mengontrol PT.KAI?

Agus Suryadi
http://news.detik.com/read/2013/04/09/101223/2215112/471/kemanakah-kereta-rakyat-yang-murah

Manfaat Tahajjud

Setiap Muslim seharusnya memiliki keinginan yang kuat untuk melaksanakan shalat Tahajud setiap malam hingga menjadi terbiasa.
Orang-orang saleh zaman dahulu tekun menjalankannya, baik pada musin panas maupun dingin. Mereka memandang seolah-olah shalat Tahajud itu adalah sesuatu yang wajib (HR Tirmidzi).

Jika terlewatkan sekali saja mereka menganggap itu sebagai musibah yang besar baginya. Pastinya, selain sebagai ’mesin keimanan’, Tahajud memberikan banyak manfaat besar dalam kehidupan mereka yang istikamah menjalankannya.

Di antaranya, pertama, untuk menjaga kesehatan. Tidak diragukan lagi bahwa shalat Tahajud menjadi terapi pengobatan terbaik dari berbagai macam penyakit. Oleh karena itu, orang-orang yang membiasakan diri untuk shalat Tahajud akan memiliki daya tahan tubuh sehingga tidak mudah terserang penyakit.

Rasulullah SAW bersabda, “Lakukanlah shalat malam karena itu adalah tradisi orang-orang saleh sebelum kalian, sarana mendekatkan diri kepada Allah, pencegah dari perbuatan dosa, penghapus kesalahan, dan pencegah segala macam penyakit dari tubuh.” (HR Tirmidzi).

Kedua, menjaga ketampanan atau kecantikan. Setap manusia pasti mendambakan ketampanan/kecantikan dalam dirinya. Nah, melalui terapi shalat Tahajud, seseorang dapat meraih apa yang didambakannya, tanpa mengeluarkan biaya sepersen pun.

Yaitu jaminan ketampanan/kecantikan yang dihasilkan dari shalat Tahajud, tidak terbatas pada tampilan lahir, juga dapat menghasilkan ketampanan/kecantikan batin.

Rasulullah SAW bersabda, ”Barangsiapa yang banyak menunaikan shalat malam, maka wajahnya akan terlihat tampan/cantik di siang harinya.” (HR Ibnu Majah).

Ketiga, meningkatkan produktifitas kerja. Selain manfaat untuk kesehatan dan merawat ketampanan/kecantikan, shalat Tahajud juga diyakini dapat meningkatkan produktifitas kerja yang berbasis spiritualitas.

Oleh karena itu, salah satu program untuk meningkatkan sumber daya manusia (SDM) yang handal secara intelektual, emosional, dan spiritual adalah membiasakan shalat Tahajud pada setiap malamnya.

Rasulullah SAW bersabda, ”Setan membuat ikatan pada tengkuk salah seorang di antara kalian ketika tidur dengan tiga ikatan dan setiap kali memasang ikatan dia berkata: ”Malam masih panjang, maka tidurlah”.
Jika orang tadi bangun lalu berdzikir kepada Allah SWT, maka terlepas satu ikatan, jika dia berwudhu, maka terlepas satu ikatan yang lainnya, dan jika dia melaksanakan shalat, maka terlepas semua ikatannya.

Pada akhirnya dia akan menjadi segar (produktif) dengan jiwa yang bersih, jika tidak, maka dia akan bangun dengan jiwa yang kotor yang diliputi rasa malas.” (HR Bukhari).

Keempat, mempercepat tercapainya cita-cita dan rasa aman. Selain dengan usaha (ikhtiar) secara maksimal guna menggapai cita-cita dan rasa aman, seseorang hendaknya membiasakan diri untuk shalat Tahajud, karena doa yang mengiringi Tahajud akan dikabulkan oleh Yang Maha Mengabulkan.

Rasulullah SAW bersabda, “Ketahuilah sesungguhnya Allah tertawa terhadap dua orang laki-laki: Seseorang yang bangun pada malam yang dingin dari ranjang dan selimutnya, lalu ia berwudhu dan melakukan shalat.

Allah berfirman kepada para Malaikat-Nya, “Apa yang mendorong hamba-Ku melakukan ini?” Mereka menjawab, “Wahai Rabb kami, ia melakukan ini karena mengharap apa yang ada di sisi-Mu.” Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku telah memberikan kepadanya apa yang ia harapkan (cita-citakan) dan memberikan rasa aman dari apa yang ia takutkan.” (HR Ahmad).

Semoga Allah SWT membimbing kita untuk mendawamkan shalat Tahajud dan dapat merasakan manfaatnya. Amin.
, Oleh Imam Nur Suharno

sumber : www.republika.co.id

Saturday, April 13, 2013

Satu Kesulitan di Antara Dua Kemudahan

Buya HAMKA berbagi kisah dalam bukunya.  “Kalau saya bawa bermenung saja kesulitan dan perampasan kemerdekaanku itu, maulah rasanya diri ini gila. Tetapi akal terus berjalan; maka ilham Allah pun datang. Cepat-cepat saya baca Alquran, sehingga pada lima hari penahanan yang pertama saja, tiga kali Quran khatam dibaca.  Lalu saya atur jam-jam buat membaca dan jam-jam buat mengarang tafsir Alquran yang saya baca itu. Demikianlah hari berjalan terus dengan tidak mengetahui dan tidak banyak lagi memikirkan bilakah akan keluar

Akhirnya, beliau dibebaskan dari penjara setelah sempat mengkhatamkan Alquran lebih dari 150 kali dan menulis tafsir Alquran 28 juz hanya dalam masa dua tahun (juz 19 dan 20 telah ditafsirkan sebelum dipenjara).

Bagi Buya HAMKA kisah menjadi salah satu bukti kebenaran janji Allah SWT dalam kitab-Nya. “Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan” QS. al-Insyirah(94):4-5.  Demikian janji Allah kepada Rasul-Nya, saat dihimpit kesulitan.  Allah SWT bahkan memberi penekanan dengan mengulangnya.

Jika kita renungkan maknanya, dapat kita pahami bahwa kemudahan diciptakan bersama dengan kesulitan.  Kesulitan dan kemudahan bagaikan satu paket yang tidak terpisahkan (built-in).  Rasulullah SAW, sebagaimana dikutip Ibnu Katsir dari riwayat Anas bin Malik, pernah mengilustrasikannya saat  duduk bersama para sahabat di depan sebuah batu.  “Saat kesulitan datang dan masuk batu ini, maka kemudahan pasti akan datang dan masuk pula menghilangkan kesulitan tersebut”

Dalam tafsir Ibnu Abbas RA lebih jauh diterangkan bahwa Allah Ta’ala menyebut “satu kesulitan di antara dua kemudahan”.  Menurut penjelasan ulama, alasannya adalah karena kesulitan (al-usr) yang tersurat di dalam dua ayat tersebut memiliki bentuk definitif atau tunggal.  Jadi, walaupun disebut dua kali, cuma satu kesulitannya.  Sementara itu, kemudahan (yusr) diekspresikan dengan indefinite article yang mengindikasikan bentuk jamak.

Terkait hal ini, Buya HAMKA pernah berkisah pula tentang syair lagu yang sering didengarnya dari Buya AR Sutan Mansyur iparnya.

"Apabila bala bencana telah bersangatan menimpamu.  Fikirkan segera Surat Alam Nasyrah.  'Usrun terjepit di antara dua Yusran. Kalau itu telah engkau fikirkan, niscaya engkau akan gembira."

Syair itu sangat membekas dalam ingatan dan hatinya.  Mungkin, dengan sebab itulah ilham Allah SWT datang saat Buya HAMKA dihimpit kesulitan dalam penjara.  Wallahu’a’lam.
, Oleh Rahmat Saptono Duryat

sumber : www.republika.co.id

Friday, April 12, 2013

Bekal Pernikahan

Dalam kitab Ahkam an-Nisa`, Ibnul Jauzy berkisah, “Dahulu kala, ada seorang raja di negeri Yaman yang bernama al-Harits bin Amru al-Kindi. Ia mendengar berita bahwa ada seorang wanita yang terkenal dengan kecantikannya.''

Wanita itu adalah putri Awf al-Kindi. Lalu sang raja mengutus seorang wanita yang bernama Asham, sebagai comblang, kepada keluarga Awf untuk membuktikan langsung kebenaran berita itu.

Maka berangkatlah Asham menuju rumah Awf. Sesampainya di sana, ia diterima oleh istri Awf yang bernama Umamah binti al-Harits. Asham mengabarkan maksud kedatangannya. Lalu Umamah menemui salah satu putrinya.

Dari dalam kamarnya, Umamah berkata kepada putrinya, “Wahai putriku, sesungguhnya di luar ada bibimu yang datang kepadamu untuk ‘memperhatikan’ sebagian urusanmu. Keluarlah engkau. Temui dia. Jangan kau sembunyikan apapun darinya. Berbicaralah kepadanya sesuai pembicaraan yang dimaksud olehnya.”

Singkat cerita, Asham kembali ke sang Raja, mengabarkan apa yang ia lihat. Ia kabarkan bahwa wanita yang ditemuinya adalah seorang wanita yang wajahnya putih bersih layaknya cermin dan untaian rambutnya tersusun indah. Sang Raja bulat hati melamar putri Awf. Lamaran diterima, dan Awf menikahkan putrinya dengan sang raja.

Pada malam pertama, sang ibu, mendatangi putrinya. Sang ibu memberinya nasehat berharga sebagai bekal perkawinan. Ia meminta putrinya untuk menjaga 10 hal agar dia bahagia.

“Pertama dan kedua, bergaullah dengannya dengan sikap merasa cukup (qanaah) dan dengarkan baik-baik ucapannya dan taatlah padanya. Sesungguhnya dalam sikap merasa cukup ada ketentraman hati, sedangkan dalam mendengar dan taat ada keridhaan Tuhan.”

Ketiga dan keempat, ia meminta putrinya memerhatikan tempat tatapan mata suaminya dan penciumannya. “Jangan sampai matanya tertuju kepada dirimu di saat engkau dalam keadaan jelek dan jangan sampai penciumannya tertuju kepada dirimu di saat dirimu kurang wangi.”

Kelima dan keenam, perhatikan waktu tidur dan makannya. Karena panasnya lapar dapat membakar perasaan dan kurangnya tidur dapat menimbulkan marah. Ketujuh dan kedelapan, menjaga hartanya dan memerhatikan kemuliaan dan keluarganya.

Kesembilan dan kesepuluh, janganlah melawan perintahnya dan jangan bongkar rahasianya. “Jika engkau melawan perintahnya, berarti engkau membuat dadanya cemburu.''

''Jika engkau bongkar rahasianya, maka engkau tidak akan aman dari tipu dayanya. Janganlah engkau bergembira di hadapannya di saat ia sedang bersusah hati, dan jangan pula engkau bermuram durja di saat ia sedang bahagia.”

Nasehat Umamah binti al-Harits dalam kisah di atas merupakan nasehat yang berharga bagi setiap istri. Khidmatnya seorang isteri pada suami akan membuahkan kebahagiaan hidup berumah tangga dan jalan meraih surga.

Untuk itu, mari kita realisasikan nasehat itu untuk mencari ridha suami dan sebagai ketaatan kita kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.

Rasulullah SAW bersabda, “Seandainya aku boleh menyuruh seseorang sujud kepada orang lain, maka aku akan menyuruh seorang wanita sujud kepada suaminya.” (HR Tirmidzi). n
, Oleh Yuliasih

sumber : www.republika.co.id

Thursday, April 11, 2013

Pendidikan Spiritual

Manusia memiliki dua kebutuhan utama: kebutuhan jasmani dan kebutuhan ruhani. Kebutuhan jasmani, antara lain, dipenuhi dengan asupan makanan dan minuman yang halal dan thayyib (bergizi, menyehatkan),  olahraga, dan tidur yang cukup.

Sedangkan kebutuhan ruhani dapat dipenuhi, antara lain, dengan pendidikan, informasi, dan hiburan. Manusia sehat adalah manusia yang mampu menyeimbangkan pemenuhan kedua kebutuhan tersebut.

Pendidikan spiritual (tarbiyah ruhiyyah) termasuk 'nutrisi bergizi tinggi' yang sangat dibutuhkan oleh manusia sehat agar tidak menjauh dari hidayah Allah SWT dan hidupnya tidak mengalami disorientasi: cenderung materialis, sekuler, hedonis, dan sebagainya.

Pendidikan spiritual bertujuan menyehatkan hati dan pikiran, sehingga sikap dan perilakunya  menjadi mulia dan rabbani, bukan hewani dan syaithani (berkelakuan seperti hewan dan setan).

Allah adalah Rabbul ‘Alamin (Pendidik semesta raya, termasuk manusia). Esensi dari pendidikan spiritual adalah penanaman dan pencerahan manusia dengan meneladani sifat-sifat Allah. “Berakhlaklah kalian dengan akhlak Allah” (HR Muslim).

Jika sifat-sifat Allah dalam al-Asma’ al-Husna  (Nama-nama Terbaik) diteladani, niscaya manusia akan mampu mengontrol karakter kebinatangannya menuju integritas pribadi yang luhur dan akhlak mulia.

Karena itu, tindak kekerasan dan pelecehan seksual, terutama di lembaga pendidikan, semestinya tidak pernah terjadi jika  manusia memiliki sifat al-Lathif (Maha Lembut), dan Ar-Rahman Ar-Rahim (Maha Pengasih Maha Penyayang).

Berbagai kasus malpraktik pendidikan, seperti kekerasan di lembaga pendidikan, lulusan Perguruan Tinggi yang kemudian banyak menjadi koruptor, semestinya dapat dieliminasi jika pendidikan spiritual efektif diinternalisasikan dalam siswa oleh pendidik yang berketeladanan moral yang luhur.

Pendidikan spiritual membekali siswa tidak hanya  kognisi keagamaan, tetapi juga afeksi,  apresiasi, dan aktualisasi  nilai-nilai moral dan spiritual dalam segala aspek kehidupan.

Nabi Muhammad SAW pernah memberikan pesan berdimensi pendidikan spiritual yang sangat operasional. Sabda beliau, “Tebarkan salam, berikan makan, sambungkan tali silaturrahim,  biasakan qiyamul lail (shalat malam) pada saat orang lain tidur, niscaya  engkau akan dimasukkan oleh Allah dalam surga-Nya, Darus Salam.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Jika diterjemahkan dalam kehidupan nyata,  nilai pendidikan spiritual  dalam salam dapat diaktualisasikan dalam bentuk nilai-nilai perdamaian, seperti: tegur sapa, murah senyum, ramah, semangat memberi pelayanan yang prima, tidak sinis, tidak emosional, mudah mengulurkan tangan, dan sebagainya. 

Sementara itu 'memberi makan' dapat diwujudkan dalam sikap empati, solidaritas sosial, mau meringankan penderitaan orang lain, selalu berbagi, dan berusaha mencari solusi.

'Menyambung tali silaturrahim' dapat diaktualisasikan dalam bentuk: suka dan supel bergaul, berkomunikasi terbuka dan efektif, tidak bermusuhan, bersahabat, bekerjasama, saling melindungi, dan sebagainya.

Sedangkan 'qiyamul lail' sebagai bentuk spiritualisasi diri  dapat diterjemahkan dalam perilaku yang selalu zikir  kepada Allah, istiqamah dalam beribadah, tekun berdoa, ikhlas beramal, sabar dalam menghadapi cobaan hidup, dan sebagainya.

Idealnya pendidikan spiritual menjadi ruh (semangat, jiwa) dari sistem pendidikan nasional agar lulusan yang dihasilkan dari lembaga pendidikan kita tetap memiliki hati dan pikiran yang sehat dan cerdas.

Pendidikan spiritual merupakan benteng penangkal kapitalisasi dan sekularisasi pendidikan, termasuk 'antivirus' perilaku korup.

Pendidikan spiritual juga harus terintegrasi dalam semua mata pelajaran dan kurikulum pendidikan kita, sehingga semua pendidik, tenaga kependidikan, guru, pimpinan lembaga pendidikan, selalu menampilkan kepribadian dan keteladanan yang terbaik (uswah hasanah).

Pendidikan dengan keteladanan (at-tarbiyah bil uswah) merupakan prototipe atau model pendidikan yang paling ideal untuk masa depan bangsa kita. Pendidikan spiritual sudah semestinya menjiwai seluruh manajemen dan penyelenggaraan pendidikan di tanah air.
, Oleh Muhbib Abdul Wahab

sumber : www.republika.co.id

Wednesday, April 10, 2013

Luruskan Niat

Sesungguhnya setiap pekerjaan itu harus dengan niat. Allah SWT berfirman di dalam hadis Quds: Di akhirat nanti di saat orang-orang berkumpul seluruhnya di padang mahsyar. Pada saat penghisaban, ada tiga orang yang ditanya bergiliran oleh Allah SWT, dan ini disaksikan oleh seluruh umat manusia dari sejak zaman nabi Adam sampai kita umat akhir zaman:

Yang pertama, adalah orang kaya. Ketika ditanya, “Dulu sewaktu di dunia kamu rajin bersedekah, memberi makan fakir dan miskin, untuk apakah engkau lakukan? Orang itu menjawab, ''aku lakukan untuk mendekatkan diri kepada-Mu ya Allah.''

Allah membantah, kadzabta (kamu dusta), itu semua engkau lakukan karena engkau ingin disebut sebagai seorang yang dermawan.
Giliran pejabat ditanya, “Dulu sewaktu di dunia ketika engkau memangku jabatan di tengah masyarakat, engkau ramah kepada tetangga, suka meringankan urusan tetangga, untuk apakah itu engkau kerjakan?

Orang itu menjawab, “Aku lakukan hanya karena-Mu ya Allah.'' Lantas Allah berkata, kadzabta (kamu dusta). Itu engkau lakukan karena engkau ingin dipandang sebagai pejabat yang baik, ingin disebut-sebut di tengah masyarakat.
Tinggal giliran orang alim.  Ketika ditanya kenapa kamu ingin menjadi orang alim? Itu aku lakukan karena aku ingin faham agama, ingin menyampaikannya kepada orang lain.
Allah berkata, kadzabta (kamu dusta). Itu engkau lakukan karena engkau ingin  dipandang sebagai orang alim, agar engkau dihormati dan disanjung orang lain. Kamu bertiga, semuanya masuk ke dalam neraka!

Kisah dari hadits qudsi diatas , memberikan pelajaran kepada kita semua untuk meluruskan niat dalam setiap jabatan (amanah) yang kita emban dan dalam setiap pekerjaan yang kita lakukan.
Jangan ada sedikitpun niat buruk apalagi sampai merugikan orang banyak dalam pekerjaan kita, hendaknya pekerjaan yang kita lakukan dilandasi dengan niat ikhlas lillahi ta’ala.

Kalau Anda seorang petani, ikhlaslah dalam bekerja mengelola dan menggarap sawah. Insya Allah itu akan bernilai ibadah di sisi Allah swt.

Kalau Anda seorang guru, ikhlaslah dalam mendidik dan mengajarkan murid-murid Anda, insya Allah akan menghantarkan Anda mendapatkan pahala di sisi Allah SWT.

Kalau Anda seorang pejabat, bekerjalah dengan ikhlas, Anda bisa beramal sholeh dengan jabatan anda,
Permudah urusan rakyat jangan mempersulit, itu juga insya allah akan menjadi amal soleh anda.

Kalau Anda seorang ulama, sebarkanlah ilmu agama, ajarilah masyarakat akan pengetahuan agama, ramaikan pengajian-pengajian dengan menyebarkan ilmu agama, insya allah itu akan membawa anda mendapatkan rahmat dari Allah swt.

Kalau Anda seorang pengusaha, perbanyaklah amal soleh dan shedekah dengan harta yang Anda dapatkan dari urusan (bisnis) Anda, insya Allah itu akan membawa Anda mendapatkan limpahan pahala dan rahmat Allah SWT.

Singkatnya, apapun profesi dan di manapun Anda bekerja, landasilah pekerjaan Anda dengan niat ikhlas dan ibadah kepada Allah swt.
Janganlah kita menjadi orang kaya, pejabat dan orang alim seperti yang di kisahkan dalam hadits qudsi di atas. Mereka hidup di dunia bergelimang harta, jabatan dan ilmu tapi itu tidak dapat menghantarkan mereka masuk ke dalam surga. Naudzubillah min dzalik.
, Oleh : H.Ahmad Dzaki,MA
sumber : www.republika.co.id

Tuesday, April 09, 2013

Nurani

Allah SWT tidak menganugerahkan dua hati bagi manusia. Istilah dua hati identik dengan hati mendua, yakni wujud dari keragu-raguan dalam bertindak.
Hakikat hati dalam Alquran disebut dengan qalbu yang bermakna jantung. Qalbu atau jantung, karena berbentuk segumpal daging, disebut juga dengan mudghah.

Rasulullah bersabda: “Dalam tubuh ada mudghah, jika ia baik, maka seluruh tubuh menjadi baik pula. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh tubuh.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Hati yang baik disebut qalbun salim selalu mendapat petunjuk dari Allah dan dibimbing untuk bertindak baik. Karena itu ia disebut hati nurani (hati yang bercahaya).

Sedangkan hati yang tidak baik disebut qalbu ghairu salim dimurkai oleh Allah dan disebut juga dengan hati zhulmani (hati yang gelap/zalim). Karena itu tidak mungkin hati kita separuhnya nurani dan separohnya lagi zhulmani.

Nurani berasal dari kata nur yang berarti cahaya atau perunjuk. Dalam Alquran tidak ditemukan kata jamaknya, seperti yakni anwar (beberapa cahaya), begitu kata al-huda  dan al-haqq juga tunggal. Karena itu, cahaya atau petunjuk itu hanya satu karena bersumber dari Yang Satu, yakni Allah.

Maka apakah orang-orang yang dibukakan hatinya oleh Allah untuk berislam, maka ia memperoleh nur/petunjuk dari Tuhannya.” (QS az-Zumar [39]: 22). Pada ayat lain: “Allah membimbing melalui nur-Nya terhadap siapa saja yang dikehendaki-Nya” (QS an-Nur [24]: 35).

Hati nurani selalu terbuka menerima dan menyampaikan yang benar, membimbing mulut untuk berkata benar, mata untuk melihat yang baik, telinga untuk mendengar yang bermanfaat. Bahkan ketika mendengar pembicaraan, diseleksi yang terbaiknya (QS az-Zumar [39]: 18).

Rasulullah bersabda: “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berkatalah yang benar, kalau tidak bisa, sebaiknya diam.” (HR Muslim). Pepatah mengatakan: “Diam itu emas, bicara itu perak.”

Bagi yang memiliki hati nurani selalu rindu untuk dekat kepada Allah, jiwa terasa tenang dan damai (nafs al-muthmainnah), jauh dari kegelisahan. Kerinduan itupun disambut oleh Allah dengan firman-Nya: “Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan penuh rasa ridha, bergabunglah bersama hamba-hamba-Ku (yang saleh) dan masuklah ke dalam surga-Ku (QS al-Fajr [89]: 27-30).

Kebalikan dari hati nurani adalah hati zhulmani yang berarti gelap/zalim. Kata zhalim  sering ditemukan dalam Alquran dalam bentuk jamak atau zhulumaat. “Allah pelindung orang-orang beriman, Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan-kegelapan (azh-zhulumaat) kepada petunjuk (an-nur)… (QS Al-Baqarah [2]: 257). Kalau kebenaran itu satu, maka kezaliman itu cenderung banyak.

Gelap dari petunjuk berarti menutup diri dari kebenaran, cenderung kepada dishamonisasi, memutus silaturahim, egois, suka membuat teror dan provokasi. Jika suatu kebenaran merugikan dirinya, selau ia tutup-tutupi.

Mempermainkan kata-kata adalah wujud dari kezaliman hati. Gambaran bagi orang yang punya hati zhulmani lebih sesat dari binatang, (QS. Al-A`raf [7]: 179). Na`uzdubillah.
, Oleh Yaswirman


sumber : www.republika.co.id

Monday, April 08, 2013

Permata Dunia

Rasulullah SAW bersabda, “Dunia adalah kenikmatan (sementara) dan sebaik-baik kenikmatannya adalah wanita shalihah” (HR. Muslim). Diantara kenikmatan adalah keindahan. Dan permata dapat dijadikan simbol keindahan yang tertinggi. Maka dalam hal ini wanita diibaratkan sebagai permata.

Hadis di atas mengisyaratkan bahwa pada dasarnya setiap wanita memiliki potensi yang luar biasa. Setiap wanita memiliki kesempatan untuk menjadi permata dunia. Namun, banyak yang salah kaprah menginterpretasikan maksud dari “permata dunia” yang sesungguhnya.  Tidak dapat disangkal bahwa wanita adalah keindahan. Mungkin mayoritas menyadari akan keindahan itu.

Namun hanya minoritas yang mengerti bagaimana menjaga keindahan yang dimiliki wanita. Sehingga, banyak permata yang tercuri keindahan dan kemuliaannya, tetapi si pemilik tidak merasa. Bahkan  cenderung sengaja mengeksploitasi keindahannya. (Menemukan Permata yang Hilang : 6).

Hadis di atas menjelaskan bagaimana wanita dapat menduduki posisi yang terhormat “sebaik-baik perhiasan dunia”. Yaitu dengan menjadi wanita salehah. Kemudian muncul pertanyaan bagaimana menjadi wanita salehah?

Marilah merenungi QS. An-Nisa : 34.”Maka wanita salehah ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena itu Allah telah memelihara mereka.”

Dari Ayat tersebut terdapat dua unsur menjadi wanita salehah. Pertama adalah taat kepada Allah. Implementasi daripada ketaatan kepada Allah dapat terlihat dari sejauh mana seorang wanita menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah. Wanita yang salehah akan berusaha memahami apa yang diperintahkan Allah kemudian menjalankannya. Sekaligus memahami apa yang menjadi larangan Allah dan kemudian menjauhinya.

Kedua adalah memelihara diri. Dalam beberapa kajian kitab tafsir, memelihara diri ini terkait dengan memelihara atau menjaga kehormatan diri dan harta suami ketika suami tidak ada. Dalam konteks wanita sebagai “permata” yang memiliki potensi untuk memancarkan keindahan, maka memelihara diri dalam ayat ini dapat dimaksudkan memelihara dan menjaga kemuliaan “permata” yang terdapat pada diri wanita. Menjaga pergaulan dan menutup aurat sebagaimana yang telah diperintahkan Allah dalam QS. An-Nur : 31. Sehingga permata yang dimiliki wanita betul terjaga keindahannya.

Sebuah permata yang sangat mahal harganya tidak akan begitu saja diletakkan di etalase. Seperti aksesoris perhiasan yang memang sengaja dipajang. Sehingga siapapun yang ingin melihat dapat melihat sesukanya. Siapapun bisa memilih, menyentuh lalu kemudian mengembalikannya lagi jika ternyata tidak sesuai dengan selera.

Namun, permata yang sangat mahal akan diletakkan pada brankas besi yang terjaga dengan sistem keamanan kelas tinggi. Tidak sembarang orang dapat melihat. Apalagi menyentuhnya. Hanya orang yang memiliki kemampuan finansial dan kesiapan yang prima sajalah yang dapat memiliki permata tersebut.

Begitulah perumpamaan sederhana dari wanita yang tidak menghormati dan menghargai “keindahannya” dengan wanita yang sadar akan keindahan yang ada dalam dirinya, lalu kemudian betul-betul menjaganya sehingga menjelma menjadi permata dunia.

Semoga para wanita dapat menjadi permata dunia yang bersinar mahal lagi menyejukkan. Bukan permata yang hilang sinarnya. Dan para laki-laki dapat bijaksana memilih wanita salehah sebagai pendampingnya, sehingga dia mendapatkan sebaik-baik kenikmatan dunia ini. Permata dunia.
, Oleh Soraya Khoirunnisa Halim
sumber : www.republika.co.id

Sunday, April 07, 2013

Buruk dan Baik

Dalam Alquran Surah al-Maidah [5]: 100, Allah menegaskan, perbuatan buruk dan menjijikkan (al-khoba'is) adalah pengkhianatan, perzinaan, korupsi, menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan, dan mengonsumsi narkoba serta zat-zat lain yang merusak. Perbuatan itu seharusnya tidak dilakukan oleh orang-orang yang beriman yang memiliki akal sehat.

Sebaliknya, ath-thayyib seperti sikap bertanggung jawab, amanah, tidak korup, menjauhkan diri dari perbuatan zina, tidak mengonsumsi narkoba, toleran, dan menyayangi sesama, adalah perbuatan terpuji, yang seharusnya menjadi perilaku dan gaya hidup orang-orang yang beriman yang memiliki kesadaran yang tinggi untuk menyelamatkan dirinya serta masa depannya.

Dalam kenyataan kehidupan di tengah-tengah masyarakat, seperti diisyaratkan dalam ayat tersebut, terkadang perbuatan buruk tersebut (al-khoba'is) lebih dominan dan lebih diminati oleh masyarakat banyak ketimbang sifat-sifat baik yang terpuji (ath-thayyib).

Tidak sedikit orang yang berbangga dengan kekayaannya walaupun hasil korupsi dan kecurangan ketimbang hidup sederhana yang halal dan bersih serta hasil usaha sendiri. Rumah yang mewah, tanah yang luas, dan kendaraan yang mahal, merasa lebih meyakinkan dan prestise di hadapan masyarakat banyak. Seolah-olah masyarakat dianggap tidak tahu dari mana sumbernya kekayaan tersebut.

Tidak sedikit pula orang yang merasa tidak bersalah, ketika dia berzina dengan laki-laki atau perempuan lain bahkan cenderung berbangga-bangga, ketimbang merasa cukup dengan istri atau suami yang halal yang dihasilkan melalui perkawinan yang sah (sah secara agama dan Undang-undang Perkawinan).

Padahal, perzinaan itu merupakan perbuatan yang di samping merusak dan menjijikkan, juga mengundang berbagai kemurkaan dari Allah SWT, seperti dikemukakan dalam sebuah hadis sahih, bahwa perzinaan itu akan mengakibatkan empat hal.

Pertama, hilangnya keceriaan dan kegembiraan dari wajah. Kedua, terputusnya rezeki (dalam pengertian orang yang berzina ujung kehidupannya pasti akan susah dan melarat). Ketiga, selalu dikutuk oleh Allah SWT dalam semua aktivitas yang dilakukannya. Keempat, jika mati akan kekal di dalam neraka.

Demikian pula narkoba dan yang sejenisnya, yang semuanya termasuk kategori khamar yang merupakan sumber dari kebejatan moral. Artinya, pecandu khamr akan mudah berzina, korupsi, merampas hak orang lain, melukai bahkan tidak jarang membunuh.

Karena itu, untuk mempertahankan perilaku baik (thayyib) dan menjauhkan diri dari perilaku buruk (al-khoba`is), di samping diperlukan kekuatan akal dan daya nalar, juga sangat penting kekuatan iman yang masuk ke dalam struktur rohani dan kepribadian serta membingkai dan mengarahkan setiap perilaku yang dikerjakan.

Dan inilah yang dikatakan istiqamah, yang apabila sudah dimiliki seseorang, apa pun posisi, jabatan, dan kedudukannya, akan selalu dilindungi Allah SWT serta terhindar dari perilaku buruk tersebut. Lihat QS Fussilat [41]: 30-31. Wallahu a'lam.
, Oleh KH Didin Hafidhuddin
sumber : www.republika.co.id

Saturday, April 06, 2013

Suara Alquran

Kedatangan syekh-syekh ahli Alquran dari banyak negara pada Sabtu, 30 Maret 2013, alhamdulillaah menjadi warna sendiri di tengah hiruk pikuk masalah di Indonesia ini.

Adem, sejuk, penuh berkah, dan membawa harapan, agar berkah Alquran dan berkah para syekh ahli Alquran, membuat Allah tetap berkenan memberikan rahmat dan pertolongan-Nya untuk Indonesia.

Sekitar 70 ribu jamaah memenuhi Gelora Bung Karno Senayan. Mendengar langsung bacaan Alquran para syekh, mendengar juga langsung tausiyah mereka, melihat wajah-wajah sejuknya, dan mengaminkan doanya. Subhanallah.

Syekh-syekh tersebut di antaranya adalah Syekh Sa'ad al Ghamidi (Imam Masjid Nabawi), Syekh Bashfar (Ketua Organisasi Tahfidz Internasional yang berpusat di Jeddah, membawahi 67 negara, termasuk Indonesia).

Ada juga Syekh Abdurrahman Yusuf (Pimpinan Daarul Qur'an Gaza Palestina), Syekh Muhammad Kholil (Imam Masjid Quba), Syekh Muhammad dan Syekh Yusuf (Daarul Qur'an Yaman), Syekh Halabi (dokter dari Kerajaan Arab Saudi, yang sedang ambil program doktoral).

Syekh Thoriq (dari Kementerian Agama Qatar, beliau juga penulis kitab-kitab Alquran dan termasuk memiliki sanad Alquran tertinggi di dunia), Syekh Hasan (Dari Organisasi Pengajaran Internasional di Jeddah), Syekh Mahmud (Mesir), dan banyak lagi yang lain sebagai pemerhati dan tamu undangan.

Tidak pelak, tamu yang paling ditunggu oleh jamaah adalah Syekh Sa'ad al Ghamidi. Bertepatan pada Sabtu, pas acara, pas juga hari milad (ulang tahun) Syekh Sa'ad al Ghamidi.

Suara emas beliau sangat masyhur di kalangan kaum muslimin Indonesia. Suara dan bacaan Alqurannya teramat menyentuh, memesona, menggugah, dan kerap membuat haru bagi yang mendengarnya.

Syekh Sa'ad al Ghamidi memimpin pembacaan Surah an-Naba. Surah an-Naba adalah salah satu surah yang dihafal dan diujikan kepada peserta yang hadir.

Saya, yang mendampingi di samping beliau, dan relatif semua jamaah, menangis dan terharu. Menangis rindu juga, sangat ingin menjadi makmum di Masjid Nabawi Madinah, dan Masjidil Haram di Makkah langsung.
Labbaik Allahumma labbaik. Labbaika laa syariika laka labbaik. Innalhamda wanni'mata laka walmuk. Laa syariika lak.
Seorang syekh yang lain, yakni Syekh Abu Mahdi, asal Aljazair yang bermukim di Swedia, di pagi-pagi acara, menerobos langsung ke lapangan tengah, ke lapangan rumput. Beliau sujud dan berdoa.

Beliau berbisik kepada saya, kurang lebih, "Sungguh saya melihat keberkahan yang banyak buat negeri ini, dan saya tidak tahan untuk tidak berdoa untuk semuanya dan Indonesia." Masya Allah. Dan semua jamaah pun melihat dan menyaksikannya.

Mudah-mudahan negeri ini bukan negeri darurat korupsi. Bukan negeri darurat zina. Tapi negeri darurat Alquran. Suara Alquran memanggil Indonesia. Untuk kembali kepada Alquran. Berakhlak Alquran. Dan berlandaskan konstitusi yang tidak meninggalkan Alquran, serta selaras dengan Alquran. Amien.
, Oleh Ustaz Yusuf Mansur


sumber : www.republika.co.id

Belajar dari Nyamuk

"Sesungguhnya Allah tidak segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan, "Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?"
Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik."(QS Al-Baqarah [2]: 26).

Ayat tersebut secara tidak langsung memotivasi dan mengilhami kita semua untuk mau belajar dari nyamuk. Karena tidak mungkinkan Allah SWT membuat perumpamaan tanpa ada pelajaran berharga yang dapat dipetik oleh yang mau mempelajarinya.

Dari sekian banyak makhluk Allah, fakta empirik menunjukkan nyamuk merupakan serangga yang paling banyak membunuh manusia, meskipun ukurannya tergolong sangat kecil.

Menurut sebuah riwayat, raja superdiktator,  Namrud juga mati karena telinganya dipenuhi dan digigit nyamuk. Hampir setiap hari ada saja warga kita meninggal akibat terkenan DBD.

Tidak sedikit pula warga yang terserang cikungunya yang virusnya juga ditularkan melalui gigitan nyamuk. Mengapa manusia banyak mati karena nyamuk daripada karena gigitan ular atau binatang buas lainnya?

Fakta tersebut setidaknya menjadi pelajaran yang sangat bernilai bagi manusia. Pertama, siapa pun yang ingin terbebas dari bahaya nyamuk tentu harus menjaga kebersihan lingkungan. 

Dalam hal ini, peluang untuk perkembangbiakan nyamuk perlu diminimalisir, misalnya dengan menguras dan membersihkan bak atau penampungan air secara rutin, mengubur barang-barang bekas, dan menangkal diri dari gigitan nyamuk dengan tanaman pengusir nyamuk atau obat anti nyamuk.

Kedua, nyamuk telah menginspirasi pentingnya profesi dokter di bidang penyakit akibat gigitan nyamuk. Nyamuk juga mengilhami aneka ragam produk obat anti nyamuk. Hal ini tentu menguntungkan para produsen, pekerja, pegawai, dan sebagainya.

Belum ada produk 'penolak' yang melebihi produk anti nyamuk. Jadi, nyamuk sesungguhnya dapat menyebabkan kematian, sekaligus kehidupan bagi banyak orang. Tidak terhitung berapa banyak orang yang dapat bertahan hidup karena bekerja pada perusahaan produksi obat nyamuk.

Ketiga, nyamuk memang suka usil dan mengganggu kenyamanan tidur kita.  Tapi ketika menggigit dan mengisap darah kita, nyamuk pada dasarnya melatih kesabaran dan 'kedermawanan' kita untuk mendonorkan sebagian darah yang kita miliki. 

Keempat, nyamuk merupakan objek penelitian yang sangat menantang. Menurut Harun Yahya, manusia sering salah paham terhadap nyamuk. Misalnya, makanan nyamuk adalah darah manusia, padahal tidak semua nyamuk mengisap darah manusia.
Hanya nyamuk betina yang mengisap darah manusia. Nyamuk jantan ada yang mengisap dedaunan, buah-buahan, dan lainnya.
Ketajaman penciuman dan kemampuan menyuntik, bagaimana virus ditularkan nyamuk kepada manusia, dan lainnya sungguh menantang para ilmuwan untuk menemukan jawabannya secara ilmiah.

Nyamuk sering disepelekan manusia, padahal ia merupakan salah satu serangga yang banyak memberi pelajaran bagi manusia. Karena itulah Allah SWT membuat perumpamaan dengannya. 

Hikmah di balik penciptaan nyamuk itu sungguh luar biasa. Tidak hanya mendorong kita selalu menjaga kebersihan lingkungan, melainkan juga menginspirasi kita untuk mengembangkan riset ilmiah untuk memajukan ilmu pengetahuan.

 "Ya Tuhan kami, sungguh tidak ada yang sia-sia  apa yang telah Engkau ciptakan. (QS Ali Imran [3]: 191).

Kita memang harus belajar dari nyamuk untuk bisa hidup sehat dan jauh dari penyakit sekaligus memajukan sains dan teknologi di bidang 'pernyamukan'. Wallahu a'lam bish-shawab!
, Oleh Muhbib Abdul Wahab

sumber : www.republika.co.id

Friday, April 05, 2013

Lima Tips Hafal Alquran dari Imam Masjidil Haram

Menghafal kitab suci Alquran merupakan hal yang paling mulia. Selain memiliki banyak keutamaan di akhirat, Allah juga berjanji akan meninggikan derajat mereka yang hafal Alquran dibanding para hamba-Nya yang lain.
Imam Masjid Nabawi, Syaikh Sa'ad Al Ghamidi memberikan lima tips yang harus diperhatikan bagi penghafal Alquran. Tips tersebut harus diperhatikan, khususnya bagi orang yang sama sekali tak bisa berbahasa Arab. Pertama, harus mempunyai tujuan yang jelas. "Teman-teman Indonesia harus memiliki tujuan yang jelas, apa tujuan antum menghafal Alquran," katanya, Ahad (31/3) malam.
Kedua, ujar Sa'ad, harus ada lembaga yang menyelenggarakan program menghafal Alquran. Lembaga ini berfungsi untuk mengkoordinasi mereka yang ingin menghafal Alquran agar nantinya tidak patah dan berhenti di tengah jalan.
Ketiga, harus ada metode yang digunakan dan tak asal begitu saja. Jika memang ingin sungguh-sungguh, maka mesti ada metode yang dipakai. "Metode yang digunakan harus efektif dan bisa digunakan bagi seluruh kalangan. Sebab, kemampuan masing-masing orang dalam menghafal berbeda-beda. Ada yang bisa menghafal satu halaman per hari, namun ada juga yang hanya bisa menghafal satu ayat saja per hari," jelasnya.
Keempat, harus ada mu’allim (guru) yang menjadi rujukan dan mempunyai kemampuan membaca Alquran dengan baik dan benar. "Jadi mu’allim harus dilihat juga, apakah bacaannya fasih? Apakah hafalan Alqurannya baik? Apakah dia bisa menjadi qudwah (tauladan) dari kepribadian dan akhlaknya? Jadi memang diperlukan seleksi yang ketat dalam menentukan mu’allim itu,” jelas Syaikh.
Kelima, harus ada follow-up setelah menyelesaikan hafalan Alquran. Jadi, mereka yang telah merampungkan hafalan Alquran mereka tidak dibiarkan begitu saja. "Bagi sebahagian madrasah Tahfidz Alquran hanya menfokuskan santrinya bagaimana mencetak para hafiz Quran. Namun yang tak kalah pentingnya, apa yang akan mereka lakukan setelah mereka menjadi hafiz Quran?” paparnya.

sumber : www.republika.co.id

Thursday, April 04, 2013

Keutamaan Menjaga Shalat

Suatu ketika Abu Thalhah ra shalat di kebunnya. Tiba-tiba seekor burung terbang di antara pepohonan. Burung itu terbang kesana kemari. Lalu masuk ke dalam rerimbunan daun yang lebat dan terjebak disana.

Melihat hal ini perhatian Abu Thalhah ra terarah pada tingkah laku burung tersebut sehingga ia lupa jumlah rakaat yang telah ia lakukan. Ia sangat kesal atas hal ini. Ia sadar karena kebunnyalah ia menjadi lalai dalam shalatnya. Dan bagi Abu Thalhah itu merupakan musibah baginya.

Seusai shalat, ia langsung menjumpai Nabi Muhammad SAW untuk menyampaikan semua kejadian tersebut. Lalu ia berkata, “ Ya Rasulullah, kebunku ini telah menyebabkan saya lalai dalam shalat. Oleh karena itu saya sedekahkan kebun ini fi sabilillah. Gunakanlah sekehendakmu.”

Peristiwa semacam ini juga pernah terjadi pada masa Khalifah Ustman ra. Ketika seorang anshar sedang shalat di kebun kurmanya, matanya terus memandang ke arah kurma yang sedang berbuah lebat. Hatinya senang karena panennya akan bagus. Perhatiannya kepada kurma tersebut menyebabkan ia lupa jumlah rakaat yang telah dilakukannya.
Hatinya menjadi sedih. Ia sadar bahwa karena kebunnyalah ia ditimpa musibah dalam shalatnya.

Ia segera menemui Khalifah Ustman ra. dan berkata, “Ya Amirul Mu’minin, saya infakkan kebun ini fi sabilillah. Gunakan sekehendakmu.” Kebun itu akhirnya dijual seharga 50 ribu dirham, dan hasilnya digunakan fi sabilillah. ( Himpunan Fadhilah Amal : 70)

Sungguh luar biasa para sahabat menjaga kualitas shalat mereka. Hal ini dikarenakan kesadaran yang sempurna akan hakikat shalat. Begitu pentingnya shalat sehingga shalat disebutkan pada urutan kedua setelah iman.

Mari kita mengingat hadis Nabi saw dari Abu Hurairah ra, “Sesungguhnya amal seorang hamba yang pertama kali akan dihisab pada hari kiamat adalah shalatnya. Jika baik shalatnya maka ia akan beruntung dan selamat. Dan jika buruk shalatnya maka ia akan merugi. Jika ditemui ada kekurangan pada shalat fardhunya maka Rabb (Allah SWT) akan berkata (kepada malaikat), ”Lihatlah apakah hambaKu memiliki amalan shalat sunah?” Maka kekurangan shalat fardhu akan disempurnakan dengan shalat-shalat sunah. Kemudian amal-amal lainnya akan dihisab seperti itu. (Tirmidzi)

Coba perhatikan shalat kita. Tidak terhitung berapa kali kita lupa rakaat dalam shalat. Alih-alih bersedih dengan “lupa rakaat” shalat, seringkali kita justru menunda shalat karena urusan dunia. Atau bahkan meninggalkan shalat. Astaghfirullahal ‘adzim. Kita merasa terlalu sibuk sehingga shalat kita terabaikan. Padahal shalatlah yang pertama kali akan dihitung pada hari kiamat.

Dalam konteks berharganya shalat, Rasulullah saw. pernah bersabda, “Barang siapa yang terlepas satu shalatnya, seolah-olah ia telah kehilangan seluruh keluarga dan hartanya. (Ibnu Hibban-At Targhib). 

Kedua kisah diatas selayaknya menyentil hati kita. Mari memperbaiki Shalat. Sholat tidak lagi dikerjakan ketika ”sempat”. Melainkan menjadi amalan utama yang harus paling kita perhatikan.

Bagi yang sudah menjalankan shalat lima waktu, mari kita perbaiki lagi dengan menjaga shalat di awal waktu. Kemudian kita tingkatkan lagi dengan shalat sunah dan amalan ibadah lain.

Dengan demikian peran shalat dalam mencegah kemunkaran dapat menjadi nyata dalam kehidupan kita. “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan munkar.” (QS. Al-Ankabut : 45) Dalam skala yang lebih luas, Shalat dapat memperbaiki moral bangsa yang kian terpuruk. Wallahua’lam
, Oleh Soraya Khoirunnisa Halim

sumber : www.republika.co.id