-

Thursday, February 28, 2013

Inilah Keutamaan Tasbih, Tahmid, dan Takbir

Setiap selesai shalat kita disunahkan berzikir. Salah satu amalan yang biasa kita lakukan adalah dengan membaca tasbih, tahmid dan takbir, masing-masing tiga puluh tiga kali.

Nabi SAW bersabda, "Barangsiapa bertasbih sebanyak tiga puluh tiga kali, bertakbir tiga puluh tiga kali, dan bertahmid tiga puluh tiga kali, kemudian mengucapkan: Laa ilaaha illa Allah wahdahu laa syarikalah lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ’ala kulli sya’in qadir, setiap selesai shalat, maka akan diampuni dosanya meski sebanyak buih di lautan.”(HR Imam Ahmad, Darimi, Malik)

Tasbih berarti mensucikan Allah dari sifat-sifat makhluk-Nya. Sementara tahmid yaitu memuji Allah, Tuhan semesta alam. Dan takbir adalah mengagungkan kebesaran Allah SWT. Allah berfirman dalam al-Quran: ”Hai orang-orang yang beriman! berzikirlah (mengingat) kepada Allah dengan zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang.” (al-Ahzaab: 41-42).

Ketiga amalan tersebut pernah diajarkan Nabi Muhammad SAW kepada putrinya, Siti Fatimah radhiyallahu anha (RA). Ali bin Abi Thalib menceritakan, pada suatu hari Fatimah datang menemui Nabi SAW. Namun Nabi tidak ada di tempat, dan ia hanya mendapatkan Siti Aisyah radhiyallahu anha (RA).

Kepada Siti Aisyah diceritakanlah keperluannya. Fatimah ingin meminta pembantu karena saat itu, ia mendengar Rasulullah SAW mendapatkan tawanan. Sudah beberapa hari Fatimah merasa kelelahan dan tangannya sakit akibat menumbuk dan menggiling tepung. Dengan meminta seorang pembantu diharapkan bisa meringankan segala pekerjaannya.

Malam harinya Rasul datang menemui Siti Fatimah, saat ia dan suaminya, Ali bin Abi Thalib hendak berbaring tidur. Sabda Rasul kepada Fatimah dan Ali: ”Maukah kalian berdua aku ajarkan perkara yang lebih baik dari yang kalian minta? Jika kalian telah berada di tempat tidur bacalah takbir 33 kali, tasbih 33 kali dan tahmid 33 kali. Itu semua lebih baik buat kalian dari pada seorang pembantu.” (HR Bukhori).

Dalam hadis lain disebutkan. Pernah datang sekelompok orang miskin mengadu kepada Nabi SAW. Mereka mengadu karena orang-orang kaya dengan hartanya bisa mendapatkan kedudukan yang tinggi dan kenikmatan yang abadi. Orang kaya dapat melaksankan shalat, seperti juga orang miskin melakukannya. Orang kaya berpuasa, orang miskin juga berpuasa. Namun orang-orang kaya memiliki kelebihan disebabkan hartanya sehingga dapat menunaikan ibadah haji dan umrah, juga dapat bersedekah dan berjihad.

Mendengar aduan mereka, Rasul SAW bersabda, “Maukah aku sampaikan kepada kalian amalan yang dapat melampaui derajat orang kaya dan tidak ada yang mengalahkan derajat kalian sehingga menjadi yang terbaik di antara kalian dan mereka, kecuali mengerjakan amalan berikut, yaitu, kalian baca tasbih, tahmid, takbir setiap selesai shalat sebanyak 33 kali…”(HR Bukhori)

Dalam hadis riwayat lain disebutkan, bahwa ketiga kalimat tersebut merupakan salah satu macam cara untuk bersedekah sebagaimana aduan orang-orang miskin tentang orang kaya yang bisa mendermakan hartanya. Sabda Nabi SAW: “Setiap kalimat tasbih adalah sedekah, takbir adalah sedekah, tahmid adalah sedekah dan tahlil adalah sedekah.” (HR Muslim)

Dari hadis ini dapat kita ambil hikmah. Betapa banyak sekali keutamaan berzikir membaca tasbih, tahmid dan takbir. Dengan cara banyak berzikir, akan timbul rasa takut kepada Allah dan buahnya kita bisa menjalankan semua perintah dan larangan Allah. Maka, seyogyanya kita senantiasa mendawamkan amalan dari Rasulullah ini dan kita berharap, dapat mencapai keberkahan hidup dan senantiasa menjadi hamba yang tidak merugi.
Oleh Kusnandar SThI Penulis adalah Alumnus Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya

sumber : www.republika.co.id

Tuesday, February 26, 2013

Belajar Optimis

"Janganlah kalian berputus harapan dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah akan mengampuni semua dosa. Karena Dia Mahapengampun lagi Mahapenyayang." (QS al-Zumar/39: 53) "Dan tidak ada orang yang berputus harapan dari rahmat Allah kecuali orang-orang yang sesat." (QS al-Hijr/15: 56)

Dua ayat tersebut mengandung tiga nilai moral-spiritual yang mulia. Pertama, manusia harus terus-menerus belajar optimis dalam meraih rahmat Allah, saat senang maupun susah.

Belajar optimis harus ditujukkan melalui kerja ikhlas, cerdas, keras, berkualitas, dan tuntas  dalam rangka meraih masa depan yang lebih baik.

Menurut Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya, sebuah bangsa akan bangkit menuju kemajuan dan kesejahteraan jika warganya memiliki etos kerja yang profesional dan optimisme yang tinggi. Jadi, optimisme merupakan spirit dan energi positif untuk meraih prestasi tinggi dan cita-cita mulia.

Kedua, putus asa merupakan sikap mental pecundang. Putus asa menyebabkan kehilangan harapan baik di masa depan. Allah melarang hamba-Nya berputus asa karena rahmat (kasih sayang) Allah jauh lebih luas dari yang dibayangkan manusia.

Rahmat Allah menjangkau dan menghampiri seluruh makhluk-Nya. Karena itu, orang yang berputus asa sama artinya dengan berprasangka buruk kepada-Nya. Akibatnya, berputus asa dapat menyebabkan seseorang tersesat dari jalan-Nya.

Ketiga, pintu rahmat dan ampunan Allah senantiasa terbuka bagi siapapun, di manapun, dan kapan saja. Karena itu, hamba harus selalu berupaya mendekatkan diri kepada-Nya, baik melalui ibadah ritual maupun ibadah sosial.
Persoalannya, manusia seringkali lupa diri, sehingga Allah pun melupakannya (QS al-Hasyr/59:19). Ketika manusia dilupakan Allah, maka rahmat-Nya pasti jauh darinya.
Oleh sebab itu, manusia yang beriman harus bersikap rendah hati dan terus optimistis untuk bertaubat, kembali kepada jalan Allah, dengan memohon ampunan-Nya.

Optimisme dalam menghadapi persoalan dan masa depan merupakan bagian integral dari keberimanan seseorang. Belajar optimis berarti belajar mereformasi iman, menyesali dosa-dosa masa lalu, tidak mengulangi kesalahan, dan bertekad menyongsong masa depan yang lebih baik.

Oleh karena itu, belajar optimis seyogyanya tidak berhenti pada perbaikan kualitas hidup di dunia, tapi juga bervisi jauh ke depan, yakni harapan baik dalam kehidupan akhirat kelak.

Allah menyatakan: "Siapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia berbuat baik, dan tidak melakukan kemusyrikan sedikitpun dalam beribadah kepada-Nya." (QS al-Kahfi/18: 110).

Belajar optimis bukan sekadar keinginan tanpa tindakan nyata. Belajar optimis menurut al-Qur’an, harus disertai usaha dan doa.
Usaha itu dapat diwujudkan dengan kembali meneladani perjalanan hidup Rasulullah SAW yang tidak pernah surut dari ujian dan cobaan, bahkan ancaman terhadap keselamatan jiwanya.

"Sungguh pada diri Rasulullah itu terdapat keteladanan yang baik bagi kalian yang mengharapkan Allah dan hari akhir, serta banyak berzikir kepada-Nya." (QS al-Ahzab/33: 21)

Salah satu penyebab putus harapan adalah berpikir negatif (su’udzan), tidak mengingat Allah, dan krisis keteladanan.
Dalam situasi bangsa yang masih mengalami krisis, para pemimpin, pejabat dan tokoh-bangsa diharapkan dapat memberi keteladanan yang baik dalam mengelola negara, memperhatikan dan menyejahterakan mereka.

Para pemimpin tidak cukup hanya memberikan harapan, terutama kepada warga bangsa yang mengalami musibah, tapi juga harus mampu memberikan teladan yang baik dalam berpola hidup sederhana, hemat, sehat, dan cermat, tidak korup dan suka berfoya-foya di atas penderitaan rakyat.

Dengan belajar otimis, kita dapat membangun komitmen baru, berpikir positif, etos kerja produktif,  dan selalu mensyukuri karunia Allah SWT, sehingga cita-cita mulia selalu menjadi target perjuangan hidupnya.

Belajar optimis diiringi dengan doa dapat menjauhkan diri dari murka Allah, karena Allah sangat senang jika dimintai, lebih-lebih hamba yang meminta kepada-Nya dengan penuh optimistis.
Oleh Muhbib Abdul Wahab
sumber : www.republika.co.id

Monday, February 25, 2013

Hadiah Allah

Kamil Lubudy, memasuki gerbang pernikahan, tanpa pernah membayangkan akan punya tiga anak penghafal Alquran terkecil di dunia.

Bersama Rossa, istrinya, Kamil Lubudy hidup seperti pengantin pada umumnya. Membangun impian begini begitu. Nggak terlintas dalam benaknya punya impian akan menjadi sepasang suami istri penghafal Alquran, yang dihadiahi Allah tiga anak yang juga hafal Alquran.

Kamil Lubudy dan istrinya, yang sama-sama berlatar belakang farmasi, apoteker, pada satu masa diberi hidayah Allah. Keduanya atas izin Allah berkeinginan menghafal Alquran. Dan mulailah pasangan ini menghafal Alquran.

Berita ini sangat menggembirakan buat pasangan suami istri muslim-muslimah. Jika Kamil Lubudy dan Rossa bisa, tentunya saudara-saudara yang saat ini belum menghafal Alquran, terbentang luas kesempatan dan peluang untuk bisa menjadi penghafal Alquran. Bukan tidak mungkin, akan dihadiahi pula oleh Allah keturunan yang hafal Alquran.

Saat Tabaarok, begitu nama anak pertama mereka, berusia dua setengah tahun, Kamil Lubudy melihat anak-anak kecil, remaja, dan dewasa, pada menghafal Alquran. "Ada yang 5 juz, 10 juz, 16 juz, bahkan 30 juz," begitu kata beliau. "Saya berdoa saat itu, kepada Allah, agar Tabaarok bisa hafal Alquran."

Karena saat itu juga beliau sedang dekat dengan Alquran, maka Tabaarok pun akhirnya menjadi anak yang beruntung. Tabaarok memiliki orang tua yang punya semangat tinggi untuk menghafal Alquran, belajar Alquran, dan mengajarkannya langsung kepada anaknya.

Kamil Lubudy, walau terlahir sebagai orang Arab, berkebangsaan Mesir, tapi urusan tajwid dan makhraj, memang beda. Beliau belajar lagi tentang kefasihan membaca, bahkan belajar //qiro'ah sab'ah// (bacaan yang berbeda dengan kita di Indonesia).

Subhanallah, Tabaarok putranya, berhasil menamatkan Alquran di usia 3,5 tahun. Pada umur 4,5 tahun, dinobatkan oleh lembaga tahfidz internasional yang dipimpin Syekh Bashfar, dari Liga Muslim Dunia, sebagai penghafal Alquran termuda. Diuji oleh sekian penguji berkaliber ulama Alquran internasional.

Tidak cukup sampai di sana, menyusul dua adiknya Taabarok, yakni Yazid dan Zainah. Pun di usia yang sama, keduanya mengikuti jejak langkah kakaknya. "Bahkan Yazid dan Zainah, kami hanya keluar energi 40 persen. Sebab Yazid dan Zainah sudah duluan sering mendengar kakaknya mengaji."

Itulah hadiah Allah. Hadiah teramat manis buat siapa yang mau berkhidmat dengan Alquran. Dari sekian banyak hadiah, begitu kata Kamil Lubudy, hadiah apalagi yang lebih berharga dari Allah, ketika kami mengakrabkan diri kami dengan Alquran? Tidak lain, adalah Tabaarok, Yazid, dan Zainah. Anak-anak yang saleh- salehah, lagi hafal Alquran.

Insya Allah saudaraku semua, kita pun bisa. Insya Allah. Mulailah sekarang dengan menaruh perhatian lebih terhadap Alquran. Insya Allah ada begitu banyak hadiah Allah buat kita semua. Kita sama-sama berdoa.

Keluarga Kamil Lubudy beserta istri dan tiga anaknya, sedang berada di Indonesia. Mengadakan lawatan ke sejumlah negara di Asia, termasuk di Indonesia. Keluarga ini akan hadir meramaikan Wisuda Akbar ke-4 di GBK Senayan, 30 Maret, bersama Syekh al-Ghomidi. Semoga kita bisa meniru jejak langkahnya. Amien.
Redaktur : Damanhuri Zuhri
Oleh Ustaz Yusuf Mansur

sumber : www.republika.co.id

Sunday, February 17, 2013

Menghormati Pemimpin

Setiap komunitas selalu membutuhkan seorang pemimpin. Islam juga mengajarkan yang demikian itu, pemimpin harus ada.Bahkan dalam kegiatan ritual sekalipun, seperti shalat bersama-sama, harus ditunjuk salah seorang di antaranya  menjadi imam atau pemimpinnya.
Masyarakat yang ideal, manakala memiliki seorang pemimpin yang ditaati, dicintai, dan dihormati. Namun tentu,  perlakuan terhadap pemimpin seperti itu, manakala pemimpinnya mampu berbuat baik, adil, dan jujur terhadap mereka  yang dipimpinnya.
Suasana seperti itu akan melahirkan saling kasih mengasihi antara mereka yang dipimpin dan yang  memimpin.
Tali hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin, agar menjadi tetap kokoh, seharusnya berupa kasih sayang.  Hubungan kasih sayang tidak akan ada yang mengalahkannya.
Kasih sayang akan melahirkan ketaatan, penghormatan, dan  bahkan juga kesediaan untuk berkorban di antara sesamanya.
Dalam alam demokrasi seperti sekarang ini, pemimpin dipilih langsung oleh mereka yang dpimpinnya. Dengan demikian  mestinya para pemimpin adalah orang yang paling dicintai, ditaati, dan dihormati oleh mereka yang memilihnya.
Dalam  memilih sesuatu, tidak terkecuali memilih pemimpin, seharusnya mengambil yang terbaik.
Atas dasar proses demokrasi seperti itu, semestinya tidak ada alasan untuk tidak mencintai, menaati, dan menghormati  pemimpinnya sendiri.
Namun sayang sekali, suasana ideal itu tidak selalu terjadi. Pemimpin yang semula dipilihnya sendiri, ternyata tidak  ditaati dan bahkan ditinggalkan.
Pemimpin yang bersangkutan dianggap tidak jujur dan tidak adil. Bukankah semestinya  tatkala memilihnya, telah menyadari bahwa pemimpin itu sebenarnya adalah orang biasa.
Statusnya sebagai manusia biasa, maka tatkala menjadi pemimpin sekalipun tidak pernah luput dari kekurangan dan  kesalahan. Manusia selalu disebut sebagai //mahallul khotho  wannis-yan// tempatnya salah dan lupa.
Mencari pemimpin  yang tidak memiliki kesalahan, tak akan pernah  mendapatkannya. Sebab semua orang, --kecuali  rasul yang maksum, selalu memiliki sifat lupa dan salah itu.
Pemimpin, siapapun orangnya, seharusnya diterima secara utuh, baik tatkala sedang melakukan kebenaran maupun tatkala  sedang melakukan kesalahan. Apalagi, kesalahannya itu misalnya, tidak disengaja atau tidak dikehaui olehnya.
Sebagai  orang yang sedang dipimpin, manakala pemimpinnya melakukan kesalahan, harus mengingatkan. Membiarkan pemimpinnya  melakukan kesalahan, merupakan kesalahan. Bahkan, dalam shalat sekalipun, ketika imamnya salah, makmum harus  mengingatkannya.
Siapapun yang salah seharusnya diingatkan dan bukan dihukum. Sebab betapa banyak orang yang akan masuk penjara,  manakala setiap orang yang salah harus dipenjara, sementara kesalahan itu sebenarnya adalah milik semua.
Kesalahan  semestinya tidak selalu harus dibalas dengan hukuman, tidak terkecuali kesalahan seorang pemimpin. Pemimpin harus  dihormati, apalagi posisinya diperoleh dari proses yang benar, yaitu lewat pilihan dengan cara-cara yang telah  disepakati bersama. Wallahu a lam.
n
, Oleh Prof Dr Imam Suprayogo
sumber : www.republika.co.id

Saturday, February 16, 2013

Istighfar, Kalimat Penyelamat dari Azab Allah

, Oleh: Yuliasih 
Diceritakan dari Ibnu Abbas, bahwasanya beliau berkata, “Ketika Nabi Yunus AS merasa tidak dapat lagi mengharapkan keimanan dari kaumnya, beliau memohon kepada Allah SWT.

'Ya Allah sesungguhnya kaumku telah durhaka kepada-Mu dan mereka tetap dalam kekufuran. Oleh sebab itu turunkanlah siksaan-Mu kepada mereka.' Allah SWT berfirman: 'Sesungguhnya Aku akan menurunkan siksa-Ku yang sangat pedih'.”

Setelah itu,  Nabi Yunus pergi meninggalkan kaumnya dan mengancam mereka bahwa siksa Allah akan turun setelah kurun tiga hari. Beliau pun membawa keluarganya dan dua anak yang masih kecil-kecil. Kemudian ia mendaki gunung yang tinggi dan mengawasi penduduk Ninawa serta menanti siksa yang akan ditimpakan kepada mereka.

Allah SWT kemudian mengutus Jibril dan berfirman kepadanya, “Pergilah engkau ke tempat malaikat Malik! Katakan kepadanya agar ia meniupkan angin panas dari neraka sebesar biji gandum, kemudian berangkatlah ke penduduk Ninawa dan timpakanlah siksa itu kepada mereka.” Lalu Jibril pun berangkat ke Kota Ninawa dan melaksanakan apa yang telah diperintahkan oleh Tuhannya. Kaum Yunus  pun mulai merasakan siksa Allah yang sangat pedih sesuai dengan apa yang telah dikatakannya kepada kaumnya.

Ibnu Abbas berkata, “Ketika mereka telah yakin bahwa siksa Allah telah menimpa mereka dan mengetahui bahwa apa yang dikatakan Nabi Yunus itu benar, mereka pun mencari-carinya, namun mereka tidak menemukannya.” Pada akhirnya mereka berkata, “Marilah kita berkumpul serta memohon ampunan kepada Allah SWT.”

Kemudian, mereka bersepakat untuk berangkat ke sebuah tempat yang disebut dengan Tal al-Ramad dan Tal al-Taubah. Di tempat itu mereka menaburkan debu pasir di atas kepala dan menginjaki duri-duri dengan kaki mereka sambil memohon ampunan kepada Allah dengan mengangkat suara disertai tangisan dan doa.

Atas kesungguhan mereka dalam bertobat dan beristighfar maka Allah SWT pun menerima tobat dan mengampuni dosa-dosanya. Kemudian Allah SWT berfirman kepada Malikat Jibril, “Wahai Jibril angkatlah siksa yang aku timpakan kepada mereka, sesungguhnya aku telah mengabulkan tobat mereka.” Umat Nabi Yunus pun selamat dari siksaan.

Salah satu pelajaran yang dapat kita petik dari kisah di atas adalah istighfar (permohonan ampun) merupakan kalimat penyelamat. Artinya, kalimat yang mampu menyelamatkan manusia dari ancaman azab Allah.

Kalimat istighfar mengandung makna pengakuan, penyesalan, kesadaran, kerendahan diri, dan keimanan. Dan itu semua merupakan sebab yang dapat mendatangkan kecintaan, pertolongan, dan perlindungan Allah SWT sehingga kita dapat selamat dari siksaan dan kebinasaan.

Tidak ada yang dapat menyelamatkan diri kita dari azab Allah, kecuali kita memohon ampun dan segera bertaubat atas segala kesalahan. Sayyidina Ali karamallahu wajhah berkata, “Sungguh aneh orang yang binasa padahal ia memiliki kalimat penyelamat.” Ditanyakan kepadanya, “Apa itu?” Ia berkata, “Istighfar.” (Al-Mustathraf [2]: 344-345). Wallahu a'lam.

sumber : www.republika.co.id

Friday, February 15, 2013

Hikmah di Balik Kisah Nabi Khidir

Terdapat banyak hikmah dari kisah Khidir , salah satunya, yakni menuntut ilmu. Dalam Islam, menuntut ilmu merupakan perkara wajib. Tampak dalam kisah betapa Nabi Musa sangat antusias menuntut ilmu. Bahkan, meski kedudukannya saat itu merupakan nabi ia tak segan untuk terus menuntut ilmu.
Beliau bahkan bersedia menempuh perjalanan panjang demi bertemu sang guru. Beliau yang berstatus tinggi sebagai nabi, bahkan bersedia merendahkan diri dihadapan sang guru. Alasannya, karena ilmu memiliki kedudukan tinggi dalam Islam.

Allah berfirman dalam surah al-Mujadilah ayat 11, “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu (agama) beberapa derajat.” Banyak ayat yang menyatakan keutamaan ilmu dan kewajiban menuntutnya. Dalam hadis, Rasulullah pun sering mengingatkan umatnya untuk menuntut ilmu. Beliau pun menyatakan keutamaan ilmu bagi para Muslimin.

Dalam hadis riwayat Abu Dawud dan At-Tirmidzi dari Abud Darda menceritakan bahwa Rasulullah bersabda, “Barangsiapa menempuh suatu jalan yang padanya dia mencari ilmu, Allah akan mudahkan dia menempuh jalan dari jalan-jalan (menuju) jannah dan sesungguhnya para malaikat benar-benar akan meletakkan sayap-sayapnya untuk penuntut ilmu.
Dan, sesungguhnya seorang penuntut ilmu akan dimintakan ampun untuknya oleh makhluk-makhluk Allah yang di langit dan yang di bumi, sampai ikan yang ada di tengah lautan pun memintakan ampun untuknya. Dan, sesungguhnya keutamaan seorang yang berilmu atas seorang yang ahli ibadah adalah seperti keutamaan bulan pada malam purnama atas seluruh bintang dan sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi dan para Nabi tidaklah mewariskan dinar ataupun dirham, akan tetapi mereka hanyalah mewariskan ilmu. Maka, barangsiapa yang mengambilnya sungguh dia telah mengambil bagian yang sangat banyak.”
,  Oleh Afriza Hanifa

sumber : www.republika.co.id

Thursday, February 14, 2013

Bahaya Devisit Pahala

Dari Abu Hurairah r.a, bahwa Rasulullah SAW bertanya , “ Tahukah kamu siapakah muflis (orang yang bangkrut) itu ?”.
Para sahabat menjawab, “ Sesungguhnya orang yang bangkrut di kalangan kami ialah orang yang kehabisan uang (dirham) dan barang.”
Rasulullah saw bersabda, “ Sesungguhnya orang yang bangkrut di antara umatku ialah orang yang nanti di hari kiamat datang dengan membawa (pahala) shalat, puasa dan zakat.
Di samping itu, dia juga benar-benar pernah mencaci maki si fulan ini, menuduh si fulan,  memakan harta si fulan ini,  menumpahkan darah si fulan ini, dan memukul si fulan ini.
Maka si fulan ini akan diberinya dari pahala kebaikan-kebaikan orang tersebut dan si fulan ini akan diberinya dari pahala kebaikan-kebaikannya.
Kemudian jika pahala kebaikan-kebaikannya itu telah habis sebelum mencukupi apa yang menjadi tanggungannya, maka dosa-dosa orang yang dizhalimi itu akan diambilnya untuk dipikulkan kepadanya, kemudian sesudah itu barulah dia dilempar ke dalam neraka. “ (HR: Muslim)   
Ada dialog menarik antara Rasulullah saw dengan para sahabat yang diriwayatkan Imam Muslim tentang muflis ( orang yang bangkrut). Para Sahabat menjawab pertanyaan Rasulullah SAW tentang  siapakah yang dimaksud dengan orang bangkrut itu?

Mereka berkata, “ Sesungguhnya orang yang bangkrut di kalangan kami ialah orang yang kehabisan uang (dirham) dan barang. Itu persepsi umum, kalau orang yang bangkrut itu adalah orang yang kehilangan atau orang merugi sehingga kehabisan harta dan barangnya.

Rasulullah SAW menjelaskan sesungguhnya orang yang bangkrut di antara umatku ini ialah orang yang nanti di hari kiamat datang dengan membawa (pahala) shalat, puasa dan zakat.

Di saat yang sama ia membawa dosa-dosa prilaku sosial (hablumminannas) yang ternyata mengakibatkan devisit pahala di akherat nanti. Dosa-dosa prilaku sosial (hablumminannas) tersebut seperti di bawah ini:

Pertama, mencaci maki orang lain. Bila seseorang mencaci-maki seseorang, biasanya akan keluarlah kata-kata yang tak senonoh dari mulutnya sehingga mengakibatkan hilangnya harga diri orang tersebut. Padahal, harga diri dalam Islam sangat dijunjung dan dimuliakan.

Apabila manusia merendahkan dan melecehkan harga diri seseorang, dia hakikatnya melampui otoritas Allah SWT.  Hanya Allahlah yang paling berhak merendahkan manusia yang menyekutukanNya.

Sebagaimana firman-Nya di surah Al-Ahzab ayat 19; ” Mereka bakhil terhadapmu, apabila datang ketakutan , kamu lihat mereka itu memandang kepadamu dengan mata yang terbalik-balik seperti orang yang pingsan karena akan mati.

Apabila ketakutan telah hilang, mereka mencaci kamu dengan lidah yang tajam, sedang mereka bakhil untuk berbuat kebaikan. Mereka itu tidak beriman, maka Allah menghapuskan  amalnya. Dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”

Kedua, menuduh orang lain. Fitnah adalah amal paling buruk, karena fitnah lebih kejam dari pada membunuh. Firman Allah SWT pada surat Al Baqarah ayat 191, “Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu ; dan fitnah  itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan.’’

Ketiga, memakan harta orang lain. Ini perbuatan yang sangat merugikan pihak lain apalagi diambil dengan cara-cara yang kasar dan tanpa berperasaan termasuk prilaku korupsi, apalagi merampas harta anak yatim maka sangat besar murka Allah SWT.

Ini merupakan peringatan kepada para pengelola dana umat terutama harta anak yatim, sebagaimana firman Allah pada surat An-Nisa ayat 10. “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala .” 

Keempat,membunuh orang lain. Islam sangat memuliakan manusia sehingga nilai nyawa seseorang sangatlah besar di hadapan Allah SWT. Membunuh satu manusia sama dengan membunuh semua manusia di alam semesta.

Firman Allah SWT di surat Al Maidah ayat 52  yang artinya; “Oleh karena itu Kami tetapkan  bagi Bani Israil, barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu  membunuh orang lain , atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.’’

Kelima, memukul/menganiaya orang lain. Islam sangat menjunjung persahabatan dan persaudaraan antar sesama. Islam menolak pertikaian sehingga terjadi penganiayaan baik menghina maupun memukul fisik seseorang.

Allah saja tidak mau menganiaya hamba-hambaNya, kenapa manusia menganiaya yang lain sebagaimana firmanNya pada surat Ali Imran (3) ayat 108, “Itulah ayat-ayat Allah. Kami bacakan ayat-ayat itu kepadamu dengan benar; dan tiadalah Allah berkehendak untuk menganiaya hamba-hamba-Nya.”

Apabila seorang Mukmin melakukan kelima hal tersebut terhadap yang lain, kelak di akherat ia akan dituntut oleh  pihak-pihak yang dizhalimi.

Apabila orang tersebut memiliki pahala dari shalat, zakat, haji, dzikir dan yang lainnya, maka diambillah pahala tersebut untuk diberikan kepada pihak-pihak yang didzalimi. Bila pahalanya habis, maka dosa orang yang didzaliminya dilimpahkan kepadanya.

Pihak-pihak yang dilanggar tersebut bisa dari keluarga inti (suami,istri, dan anak), keluarga besar dan masyarakat secara umum yang bergantian mendatangi pihak yang melanggar untuk meminta pertanggung-jawabannya.

Wajar bila nanti di akherat banyak orang ahli ibadah (ibadah mahdhah) namun devisit pahala karena prilaku sosialnya (ibadah ghaira mahdhah/muamalah) yang buruk. Wallahu a’lam
n
, Oleh Naharus Surur

sumber : www.republika.co.id

Wednesday, February 13, 2013

Rental Mobil Bandung

Kami menyediakan Rental mobil


Mobil + Sopir (dalam kota)

Toyota Avanza
Suzuki APV
Rp 400.000
Toyota All New Avanza/All New XeniaRp 425.000
Toyota InnovaRp 500.000
Toyota Grand New InnovaRp 550.000
KIA Travello
KIA Pregio
Rp 600.000
Isuzu ElfRp 625.000
  • Tidak termasuk: BBM, tiket masuk, parkir, makan untuk sopir, dll.
  • Overtime: 10% / jam dari tarif sewa.

untuk informasi selengkapnya silahkan hubungi:
Nama:  Akang Agus
No Telp: 087825703075
Pin BB: 26C2DCC0
YM: a_goest@yahoo.com
Twitter: @akangagus

Kemaksuman Nabi Muhammad SAW

Sudah menjadi pengatahuan bersama bahwa setiap Nabi dan Rasul dijaga oleh Allah SWT dari kesalahan dan dosa (Maksum), termasuk Nabi Muhammad SAW.

Kesalahan kecil dan tidak berarti bagi kaum awam tidaklah pernah mengkhawatirkan mereka, namun bagi maqam para nabi dan rasul maka hal tersebut bisa menjadi masalah besar dalam kaitannya dengan kredibilitasnya (muru'ah). Hal itu tidak lain karena perbedaan sikap dan pandangan (maqam) dalam melihat substansi sebuah kesalahan dan perbedaan kualitas pribadi masing-masing jiwa.

Allah SWT menjaga kemaksuman Nabi Muhammad SAW secara fisik maupun non fisik. Terlahir dalam keadaan tersunat, penjagaan atas keterbukaan auratnya di mata masyarakat, terlindungi dari kemaksiyatan dan keburukan perilaku kaumnya, dan keterjagaan fisiknya terjatuh dalam kemungkaran merupakan beberapa bentuk penjagaan Allah SWT secara fisik terhadap Muhammad SAW.

Sedangkan penjagaan non fisik dianugerahkan oleh Allah SWT dalam bentuk ketundukan hawa nafsu Nabi Muhammad pada bimbingan ilahi, pembersihan hatinya dari sifat tercela melalui pembedahan dadanya, dan kegemaran hatinya pada tradisi khalwat sebagai bentuk persiapan hati dan ibadah sebelum datangnya wahyu pertama.

Suatu hari Muhammad kecil yang hidup di perkampungan Halimatus Sa'diyah berkeinginan untuk mendengarkan musik pada resepsi pernikahan di Makkah. Berangkatlah Muhammad sore itu dengan berpamitan kepada kawannya sesama penggembala kambing. Ketika waktu malam sampai di Makkah, Muhammad menyaksikan sebuah resepsi pernikahan yang di dalamnya terdapat hiburan musik.

Muhammad duduk di tempat itu, namun tiba-tiba dirinya mengantuk, dan ditidurkan oleh Allah SWT. Muhammad baru bangun satelah sinar matahari menerpa dirinya. Pagi hari Muhammad kembali ke kampung ibu susuannya dan ditanya oleh kawannya, "Apa yang kamu saksikan?"

Muhamamd menjawab: "Aku tidak melakukan apa-apa." Kemudian Muhammad menceritakan kejadian tertidurnya kepada kawannya.

Malam berikutnya Muhammad kembali ke Makkah dengan tujuan yang sama, namun peniduran Allah kembali terjadi pada pengalaman yang kedua. Pada saat kawannya bertanya, Muhammad menjawab bahwa ia tidak menyaksikan dan mendengar apa-apa karena tertidur hingga waktu pagi tiba.

Suatu waktu salah seorang pedagang dari Qabilah Az-Zabidi di Yaman dizalimi oleh Al-Ash bin Wail As-Sahmi dari Quraish yang tidak membayar barang dagangan. Merasa tidak ada yang menolong, pedagang dari Yaman tersebut naik ke gunung Abi Qubais dan menyeru kaum Quraish yang berkumpul di tempat itu. Dia berteriak menyerukan supaya haknya yang terzalimi dikembalikan.

Az-Zubair bin Abdul Muthalib mengumpulkan beberapa qabilah di antaranya Bani Hasyim, Bani Zuhrah, dan Bani Taim di rumah Abdullah bin Ja'dan untuk membuat perjanjian pengembalian hak orang yang terzalimi tersebut. Muhammad SAW termasuk yang hadir dalam perjanjian itu dan mereka menemui Wail serta mengambil dengan paksa barang milik pedagang Az-Zabidi.

Muhammad SAW berkata mengenai kejadian tersebut. "Saya telah menyaksikan di rumah Abdullah bin Ja'dan, sebuah perjanjian yang lebih aku cintai dari pada seekor unta berwarna merah, seandainya saya diajak dalam perjanjian yang sama dalam Islam, maka saya akan bergabung." (Al Bidayah wa Al-Nihayah).

Kedua riwayat tersebut yang satu menegaskan mengenai kemaksuman Muhammad secara fisik dan yang lainnya secara non fisik, yaitu berupa kecenderungan dan keperpihakan hati Muhammad pada keadilan.

Demikianlah Allah SWT menjaga kemaksuman nabi tercintanya, sebab kemaksuman tersebut dipersiapkan dalam rangka menerima wahyu, sehingga sesuatu yang suci harus diturunkan kepada pribadi yang suci.

Lebih dari itu, kemaksuman memberikan penegasan bahwa jika  manusia pada umumnya mendapat pengajaran dan bimbingan manusia melalui madrasah insaniyah, maka madrasah para nabi dan rasul adalah madrasah rabbaniyah, sehingga kendati mereka secara fisik sama dengan manusia pada umumnya, tetapi SDM yang terdapat di dalam tubuhnya sungguh benar-benar berbeda dengan manusia biasa.

Wallahu A'lam.
, Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA
sumber : www.republika.co.id

Tuesday, February 12, 2013

Menjaga Air untuk Kehidupan

Air adalah sumber kehidupan bagi makhluk hidup di Bumi. Ketiadaan air bisa mengancam kelangsungan hidup dan ekosistem alam. Bagi manusia, selain sebagai konsumsi sehari-hari, benda cair itu juga bermanfaat untuk mandi dan mencuci.Air juga menopang pembangunan infrastruktur, seperti rumah, masjid, perkantoran, dan lainnya. Ini merupakan makna bahwa segala apa yang ada di Bumi memang diperuntukkan bagi kepentingan manusia (QS Luqman [31]:20).

Kebutuhan air bersih dan terlindungi sehingga aman untuk minum di Indonesia masih belum maksimal. Sebuah data menyebut, capaian proporsi akses penduduk terhadap sumber air minum terlindungi (akses aman) secara nasional sampai dengan 2011 masih sebesar 55,04 persen. Persentase ini masih belum optimal. Padahal, target MDGs untuk akses itu pada 2015  sebesar 68,87 persen.   

Di sisi lain, muncul paradoks. Air bersih justru dieksploitasi secara berlebihan. Syekh Yusuf al-Qaradhawi dalam makalahnya berjudul “Al-Biah fil Islam” mengatakan, pentingnya menjaga air sebagai sumber kehidupan telah ditegaskan dalam Alquran Surah al-Anbiyaa' ayat 30. “Dan, dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup.”

Karena itu, air adalah kekayaan paling berharga dan warisan penting bagi generasi mendatang. Allah SWT memberikan nikmat air itu secara gratis. Sayangnya, nikmat tersebut tidak dipergunakan dan dimanfaatkan dengan baik dan proporsional oleh manusia.

Sering kali pendayagunaan air, kata Sekjen Ulama Internasional ini, tidak optimal dan bahkan di banyak kesempatan cenderung eksploitatif. Hal ini tidak bisa dibiarkan dan harus dicegah. Pasalnya, berbeda dengan kekayaan Bumi atau alam lainnya, air bersifat surut dan tidak bisa dibudidayakan.

Ia menegaskan, jika pemakaian yang tak tepat guna dan konsumsi berlebihan tetap terjadi maka tak mustahil krisis air pun akan terjadi. “Dan, Kami turunkan air dari langit menurut suatu ukuran, lalu Kami jadikan air itu menetap di Bumi, dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa menghilangkannya.” (QS al-Mu'minuun [23]:18).

Syekh al-Qaradhawi mengajak umat Muslim tampil sebagai garda terdepan menjaga kelestarian air. Ajakan ini bukan tanpa alasan. Islam memiliki segudang tuntunan agar air tetap terjaga, bersih, bebas dari pencemaran, dan laik dikonsumsi.

Contoh perhatian Islam terhadap pelestarian air ialah larangan mencemari air sungai ataupun sumber air pegunungan, misalnya, dengan limbah manusia, seperti air seni dan tinja. Dalam hadis riwayat Bukhari Muslim, Rasulullah SAW melarang para sahabatnya buang air besar di sumber air.

Di riwayat lain dari Abu Dawud, larangan itu ditekankan pula atas kencing di air kolam ataupun air danau yang tidak mengalir. Sementara, lokasi itu dipergunakan sehari-hari oleh warga sekitar.

Menurut Syekh al-Qaradhawi, bentuk pencemaraan saat ini tak hanya terbatas pada kotoran manusia. Melainkan, limbah rumah tangga dan industri. Limbah-limbah tersebut justru lebih berbahaya.

Sampah kerap menggunung di kali-kali atau bantaran sungai. Dampaknya pun cukup jelas, paling  utama banjir. Soal bahaya limbah industri tak lagi diragukan. Kandungan bahan kimia bisa merusak ekosistem sungai. Akibatnya, air yang telah tercemar tak lagi laik dikonsumsi.

Satu lagi bentuk pelestarian terhadap air, katanya, ialah larangan untuk eksploitasi air yang berlebihan. Rasulullah pernah mengingatkan Saad bin Abi Waqash agar berwudhu dengan air secukupnya. Tidak usah berlebih sekalipun berada di lokasi dengan air yang melimpah.

Di riwayat lain bahkan Rasul mewanti-wanti munculnya fenomena terlalu berlebihan ketika bersuci (mempergunakan air). Karena itu, hendaknya pendayagunaan air harus dikedepankan untuk dikonsumsi untuk diminum. Peruntukkan yang lain tentu hendaknya didistribusikan secara proporsional. 

Teladan Nabi agar menjaga kelestarian air mengilhami para sahabatnya. Hal itu seperti yang tergambar dari sikap Bilal bin Rabah. Muazin pertama tersebut selalu mendambakan tinggal di Makkah dan sekitarnya dengan air melimpah, gunung menjulang tinggi, dan pepohonan tumbuh sumbur. Ia pun bersenandung, “Andai saja aku bisa bermalam di lembah dan sekitarku rerumputan hijau membentang dan seandainya aku menikmati gemericik air surga yang mengalir.
, Oleh: Heri Ruslan
sumber : www.republika.co.id

Monday, February 11, 2013

Agar Mudah Bersabar dan Bersyukur

Alquran mengisahkan, bagaimana kesabaran Nabi Ayub AS menerima cobaan. Ia merasakan tiga penderitaan sekaligus, yaitu rasa sakit, kesedihan, dan kesendirian. Allah SWT mengujinya dengan harta, keluarga, dan penyakit.

Hartanya musnah, ia ditinggal istri dan tak lagi memiliki teman, dan ia  menderita penyakit kulit akut. Ini seperti tertuang di surah al-Anbiya' ayat 83-84. Ia tetap bersabar. Buah kesabaran itu, ia akhirnya sembuh dan meraih kasih sayang Allah.

Bersabar tak hanya pada hal yang tidak disukai, tapi makna bersabar juga mencakup menahan diri dari nafsu ketika mendapat nikmat. Seperti kala mendapat promosi jabatan atau rezeki tak terduga.

Beberapa cara bisa ditempuh untuk mudah bersabar. Ini sejatinya adalah 'perangkat lunak' dalam diri kita sebagai anugerah dari Allah. Di antaranya ialah memperbanyak senyum. Jika sedang terbakar emosi, tersenyumlah. Senyum adalah obat hati yang mujarab.

Bisa juga dengan cara mengalihkan perhatian, yaitu melupakan masalah itu sendiri. Melupakan, bukan berarti lari dari masalah, tetapi menghindari keterpakuan terhadapnya. Coba juga cara ini, yaitu tidak menelan mentah-mentah perkataan orang lain dalam hati. Saringlah baik-baik.

Bagaimana dengan syukur? Hakikat syukur ialah mengungkapkan pujian kepada Sang Pemberi Kebahagiaan, yaitu Allah. Sebab, segala anugerah datang dari-Nya. Ini kemudian diejawantahkan dalam sikap dan perilaku sehari-hari. Bersyukur artinya berbuat baik untuk diri sendiri dan orang lain.

Dengan syukur, Allah akan mempermudah jalan bagi kita untuk meraih impian dan kesuksesan. Tanpa disertai syukur, bisa saja Allah berkehendak mencabut nikmat itu seketika. Lalu, bagaimana membiasakan diri bersyukur?

Ini bisa dilakukan setiap hari menjelang malam, salah satunya. Pejamkan mata dan renungkan apa saja kenikmatan di hari itu yang telah Anda terima. Berterima kasihlah kepada Allah. Dengan begitu, kita akan menyadari bahwa nikmat Allah sangat besar.

“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS an-Nahl [16]: 18).

Dan, syukur harus menjadi sarana taat kepada Allah. Ketika banyak rezeki, jangan hanya dibicarakan, berbuatlah sesuatu yang bermanfaat. Bantulah sesama yang membutuhkan. Tunaikan zakat dan berinfaklah. Karena, kesemuanya itu adalah bukti nyata rasa syukur.
, Oleh: Nashih Nashrullah

sumber : www.republika.co.id

Sunday, February 10, 2013

Al Amin

,Mohammed one of the greatest man that humanity has ever produced. Great not simply as a prophet, but he was true to himself, his people and above all to his God. (Glyn Leonard, Islam-Her moral and Spiritual value, London 1972 pp. 20-21).

Kita hafal betul, betapa baginda Muhammad saw sebelum diangkat menjadi nabi dan rasul, terlebih dahulu tampil sebagai Al Amin. Sosok manusia yang tidak saja dikenal dan ditauladani kita semua, tetapi juga tak kurang para cendekiawan nonmuslim terpesona oleh keagungan ahlak beliau. Begitu terpesonanya, sehingga Glyn Leonard, menulisnya sebagai Manusia Agung (The Greatest Man) yang dilahirkan untuk kemanusiaan. Dan keagungan ahlak beliau bertumpu pada sikapnya yang senantiasa berpihak pada kebenaran dan kejujuran.

Michael H Hart, seorang sejarawan Amerika, setelah melalui riset yang mendalam kemudian tanpa ragu sedikit pun menempatkan Muhammad nomor satu di atas tokoh lainnya di dunia, dan memberikan komentar: ''A Striking example of this is may ranking Muhammad higher than others, in large part, because of my believe that Muhammad had a much greater personal influence on the formulation of The Moslem.... (The Hundreds, A Ranking of the most influential Person in Hostory, New York, 1978).

Glyn Leonard dan Michael H Hart, sepakat bahwa keagungan Rasulullah saw karena pengaruh ahlaknya yang luar biasa. Jujur pada dirinya sendiri, jujur pada manusia dan terlebih, Muhammad jujur pada Tuhannya (and above all true to his God).

Tetapi tidakkah kita merasa pedih dan sembilu, ketika di sekitar kita bahkan pada diri kita sendiri, pesona kejujuran telah memudar, lentera kebenaran telah memudar dan kusam. Sehingga, tanpa merasa berdosa kita sering berbohong dengan memainkan kata-kata banci dan pengecut, walau berlindung dibalik alasan memperhalus bahasa.

Pelacuran kita ganti dengan wanita tuna susila atau WTS. Kenaikan harga diganti penyesuaian. Korupsi dan kolusi disebut kesalahan prosedur dan birokrasi. Sogok dan suap berubah kata menjadi uang pelicin. Masya Allah! Kita sadar, bahwa manusia hanya mungkin mampu memanusiakan dirinya sendiri, ketika ia mampu berbuat jujur pada nuraninya. Lantas, apakah masih pantas kita menampakkan wajah kemanusiaan kita di hadapan Allah, jika sedikit pun tidak merasa berdosa ketika mengkhianati atau berbuat tidak jujur pada diri sendiri, ataukah memang seperti yang diprediksi Allah swt, bahwa kelak banyak manusia penghuni neraka yang lebih hina dari binatang ternak? yaitu mereka yang telah menutup mata, telinga dan nuraninya dari kejujuran (7: 176).

Mungkin ada baiknya, sesekali kita mengingat makna ihsan yang disabdakan Rasulullah saw: ''hendaklah engkau beribadah seakan-akan melihat Allah, dan apabila engkau tak melihatnya, ketahuilah -- sesungguhnya Allah melihatmu (h.r. Muslim) Tetapi, kalau tetap saja berbuat tidak jujur, masih mau disogok atau menyogok, ah...

sumber : www.republika.co.id

Saturday, February 09, 2013

Rasulullah: Potret Idealisasi Fitrah Manusia

“Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung,” (Qs. Al-Qalam: 4)
 

Potret manusia sempurna sepanjang sejarah terlukis pada seorang insan kamil, nabi akhir zaman, Muhammad Rasulullah Saw baik dari segi fisik maupun kepribadiannya. Kesempurnaan yang didesign khusus oleh Zat Sebaik-baiknya Pencipta, tersusun sejak beliau masih di dalam kandungan ibunya, Siti Aminah.

Di usia yang masih sangat kecil, ketabahan beliau sudah sedemikian diuji oleh Allah. Pengasuhan yang berpindah-pindah, dari asuhan tulus penuh kasih sayang dari Ibu susunya, Halimatus Sa’diyah, lalu kakeknya, kemudian pamannya, membuat pribadi Rasulullah kian kuat: mandiri, sahaja, berkharisma dan sederhana, sebab beliau menyadari betul bahwa dirinya sebatangkara— tanpa orangtua.

Kepribadian yang sungguh berbeda dari anak-anak sebayanya; tidak pernah menyembah berhala, apalagi menenggak arak dan berdendang ria, membuat kita meyakini bahwa Allah telah mempersiapkan risalah suci jatuh kepada beliau, karena proses panjang yang dialami Rasulullah pra-kenabian sungguh mengagumkan.

Genap di usia 40 tahun, akhirnya beliau menerima sebuah risalah yang sungguh membuatnya gelisah; kalamullah yang ribuan untaian kalimah-nya begitu memukau, terlantun indah.

Secara kauniyah (faktual) isi dan kandungan Al-Quran telah dirasakan dan dialami terlebih dahulu oleh jiwa Rasulullah untuk kemudian ayat secara berangsur-angsur turun sesuai dengan permasalahan yang dialami para sahabat atau pertanyaan (tantangan) dari kaum kuffar Quraisy. Itulah yang disebut asbabun nuzul (sebab turunnya wahyu) yang sifatnya membenarkan dan meluruskan pengalaman yang terjadi.

Sebab tujuan Al-Quran secara bertahap itulah, dalam suatu hadits diriwayatkan bahwa akhlaq Muhammad ialah Al-Quran itu sendiri, yang dimaknai bahwa segala perbuatan, ketetapan, perkataan beliau refleksi dari kandungan Al-Quran sebagai anugerah dan rahmat dari Allah sesuai fitrah manusia.

Selain sebagai peneguh hati beliau, alasan lain Quran diturunkan secara bertahap ialah sebagai ‘proses pengajaran’ langsung dari Allah. Al-Quran diturunkan secara berangsur-angsur agar koheren antara masa (waktu), masalah, dan jawaban penting sesuai dengan pertanyaan dan rasa ingintahu para sahabat dan kaum kafir.

Sesuai dengan Qs Al-Furqan 32-33, “Orang-orang kafir bertanya, ‘Kenapa Al-Quran tidak diturunkan pada Muhammad sekaligus?’ Demikianlah, kami turunkan secara berangsur agar memperteguh hatimu dan Kami bacakan secara tartil. Tiap mereka datang padamu membawa pertanyaan Kami selalu datangkan padamu kebenaran dan penafsiran yang sebaik-baiknya.”

Pendapat rajih juga berpendapat bahwa Rasulullah mendapatkan wahyu 13 tahun di Makkah (fase Makiyyah) dan usai hijrah ke Madinah selama 10 tahun (fase madaniyah) dan total turunnya wahyu kurang lebih 23 tahun.

Sebab proses turunnya Al-Quran secara berangsur-angsur itulah Al-Quran turun apabila terjadi sebuah peristiwa, permasalahan, pengalaman, yang dirasakan dalam jiwa manusia baik yang berupa sebuah keburukan ataupun kebaikan. Al-Quran bertindak sebagai furqanan (yang memberikan keterangan perbedaan antara fitrah kesucian dan keburukan) itulah sebabnya pula Rasulullah bersabda bahwa Islam adalah agama fitrah atau sebagai rahmat seluruh alam karena Quran adalah sebuah pengalaman yang muncul dalam jiwa manusia. Yang keluar dari jiwa itulah jiwa yang baik maupun yang buruk.

Selain itu, Rasulullah diutus untuk membangkitkan kecenderungan yang inheren pada diri manusia terhadap tauhid dan akhlak yang merupakan bawaan sejak lahir.

Allahumma shalli ‘alaa sayyidinaa Muhammad..

Wallahu a’lam..
 

,  Oleh: Ina

sumber : www.republika.co.id

Friday, February 08, 2013

Inilah Umat yang Terbaik Itu

Umat Islam merupakan umat yang terbaik. Di dalam Alquran ditegaskan, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (QS [3]: 110).

Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda, “Kalian sebanding dengan 70 umat dan kalian adalah sebaik-baik dan semulia-mulia umat bagi Allah.” (HR Tirmidzi). Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyatakan, kemuliaan umat Islam tidak lain karena kemuliaan Nabi Muhammad SAW.

Nabi Muhammad adalah makhluk paling terhormat dan Rasul paling mulia di sisi Allah SWT. Beliau diutus Allah dengan syariat yang sempurna nan agung yang belum pernah diberikan kepada seorang Nabi dan Rasul sebelumnya.

Oleh karena itu, derajat terbaik dari kalangan umat Islam ini ada pada mereka yang konsisten mengikuti ajaran Rasulullah dengan terus-menerus melakukan amar makruf nahi mungkar sebagaimana telah diteladankan oleh manusia paripurna itu (QS al-Ahzab [33]: 21).

Amar makruf nahi mungkar tentu sangat luas cakupannya. Karena itu, setiap Muslim berpeluang untuk mengamalkan perintah agung tersebut. Amar makruf bisa diwujudkan dengan mengajak manusia pada keimanan dan ketakwaan dengan cara-cara yang telah disyariatkan oleh-Nya. (QS [16]: 125).

Sementara nahi mungkar bisa kita amalkan dengan cara mengajak umat Islam menjauhi hal-hal yang dapat mengundang kemurkaan Allah SWT. Dalam hal nahi mungkar, Rasulullah juga telah memberikan panduan yang sangat jelas untuk umatnya.

“Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu, hendaklah dia mengubah hal itu dengan lisannya. Apabila tidak mampu lagi, hendaknya dia ingkari dengan hatinya dan itulah bentuk selemah-lemah iman.” (HR Muslim).

Berangkat dari hal itu, kriteria umat terbaik itu akan tetap kita miliki, hanya apabila kita mau melakukan amar makruf nahi mungkar secara beriringan. Tidak sekadar amar makruf tetapi tidak nahi mungkar. Atau, sekadar mencegah yang mungkar tetapi tidak mengerjakan yang makruf (kebaikan).

Imam Qatadah, sebagaimana dikutip Ibnu Katsir dalam tafsirnya, menjelaskan, suatu waktu Umar bin Khattab pernah berkata, “Barang siapa yang ingin menjadi bagian dari umat ini (umat terbaik), maka ia harus memenuhi syarat yang telah ditetapkan Allah dalam ayat tersebut.” (HR Ibnu Jarir).

Namun demikian, amar makruf dan nahi mungkar bisa berjalan efektif manakala umat Islam sendiri memang memiliki identifikasi diri yang pasti dengan ajaran Islam secara keseluruhan (kafah). Karena, mustahil sapu yang kotor bisa digunakan untuk membersihkan lantai yang juga kotor.

Rasulullah memerintahkan umatnya untuk konsisten mengikuti sunahnya. Jika tidak, dia ibarat penjual obat yang hanya bisa menawarkan obat penyembuh, tapi tidak bisa mengobati penyakitnya sendiri.

Apabila keteladanan itu jauh dari umat Islam maka tidak saja kegagalan yang akan diperoleh, tetapi juga kemurkaan Allah SWT (QS [61]: 3). Karena secara prinsip, amar makruf nahi mungkar, mensyaratkan keteladanan yang merupakan akar dari segala kemuliaan.
, Oleh: Imam Nawawi

sumber : www.republika.co.id

Thursday, February 07, 2013

Anak Yatim yang Memberkahi

Bukanlah kebetulan jika Muhammad SAW lahir dalam keadaan yatim, sebab keyatimannya merupakan salah satu tanda kenabian. Justru dengan kondisi yatim tersebut terkandung berbagai maksud dan hikmah yang terdapat di dalamnya. Para ahli sirah nabawiyah mengungkapkan beberapa maksud dan hikmah keyatiman Muhammad SAW, di antaranya:

Pertama, agar Muhammad memiliki kaitan langsung dengan Allah SWT sebagai pencipta. Dialah yang mendidik, melindungi, mengajar dan mempengaruhi Muhammad secara langsung, berbeda dengan manusia pada umumnya yang keberagamaan dan kehidupannya dipengaruhi oleh kedua orang tua dan lingkungannya.

Allah SWT berfirman: "Bukanlah Dia (Allah) mendapatimu sebagai anak yatim, lalu Dia melindungi(mu). Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai orang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan." (QS. Ad-Duha: 6-8).

Kedua, agar Muhammad SAW mengalami langsung kehidupan sebagai anak yatim dalam suka maupun duka, sehingga pada saat Allah memerintahkan santunan kepada ayat yatim, beliau memiliki pengalaman dan tahu betul apa serta bagaimana susahnya menjadi anak yatim tanpa harus bertanya pada pengalaman pihak lain. Allah SWT berfirman: "Maka terhadap anak yatim, janganlah engkau berlaku sewenang-wenang." (QS. Ad-Duha: 9)

Ketiga, agar Muhammad SAW memiliki pengalaman sebagai orang miskin, sebab keyatiman identik dengan kemiskinan jika kedua orang tuanya tidak memiliki banyak harta warisan. Dengan demikian beliau juga menjadi orang pertama yang mengasihi kaum fakir miskin pada saat Allah SWT memerintahkan untuk mengasihi kaum fakir miskin.

Allah SWT berfirman: "Dan kepada orang yang meminta-minta, janganlah engkau menghardik(nya)." (QS. Ad-Duha: 10).

Keempat, agar Muhammad SAW menjadi contoh ideal bagi semua anak manusia yang dilahirkan dalam keadaan yatim, yaitu seorang anak yatim yang memberkahi, mencukupkan diri dengan keterbatasannya, tidak nakal atau mengambil hak orang lain, serta menjadi rahmat bagi manusia di sekelilingnya.

Lihatlah bagaimana Muhammad SAW menjadi pribadi yang memberkahi bagi kehidupan ibu yang menyusuinya, Halimah Al-Sa'diyah dengan menggembala kambing dan membantunya pada saat ibunya tersebut mengalami masa paceklik. Lihat lah pula betapa anak yatim ini mampu menempatkan diri dengan baik di rumah pamannya yang miskin dengan tidak mengambil hak sedikit pun dari anak-anak pamannya.

Kelima, agar Muhammad menjadi profil yang menarik sebagai motivator bagi kehidupan anak-anak yatim, yaitu seorang anak yatim atau yatim piatu tidak harus cengeng dan terpuruk serta menjadi alasan pembenaran untuk tidak mendapatkan akses dalam banyak hal.
Sebaliknya dari kondisi yang lemah itulah beliau bangkit dengan ikut berdagang bersama pamannya, membantu kehidupan pamannya, kemudian menjadi manager yang jujur, menjadi owner yang penuh kasih, menjadi investor yang cerdas, lalu dai konsisten sepanjang zaman.

Tidak tercatat dalam kitab-kitab sirah berapa banyak kekayaan Muhammad SAW, namun jika dilihat dari mahar yang diberikan kepada Khadijah dengan 20 ekor unta muda dan 12 gram emas pada saat itu, sudah terlihat betapa beliau menjadi pribadi yang sukses dalam berdagang dan pernah mengalami hidup kaya raya.

Kekayaan beliau melimpah pada saat berada di Madinah dalam bentuk Fa'i (harta ingkar perdamaian), Al-Shafi (harta pilihan sebelum Ghanimah dibagi), Al-Sahm (bagian di luar 1/5 yang menjadi hak rasul) dan hadiah. Namun beliau tetap dermawan dan hidup bersahaja, sampai-sampai seorang lelaki musyrik yang meminta kekayaan kepadanya menyeru kepada kaumnya dengan mengatakan: "Masuk Islamlah kalian, sebab Muhammad jika memberi sesuatu tidak takut miskin."

Demikianlah seharusnya kondisi yatim tidak menjadi alasan terbatasnya akses pendidikan, pemicu kemalasan, kerendahan diri, dan keterpurukan dalam kemiskinan, melainkan sebaliknya harus menjadi motivasi dalam meraih kehidupan yang lebih baik dengan tetap menekankan sikap jujur, amanah, dan memfungsikan kecerdasan akal serta pendekatan diri kepada Allah SWT sebab hanya dengan cara itu anak-anak yatim yang ada di sekitar kita dapat menjadi anak yatim yang memberkahi sebagaimana pribadi Rasulullah SAW. Wallahu A'lam.
, Oleh: Dr Muhammad Hariyadi MA

sumber : www.republika.co.id

Wednesday, February 06, 2013

Meneladani Kepemimpinan Rasulullah saw

, Oleh: Prof Dr Imam Suprayogo
Pada peringatan Maulud Nabi saw seperti sekarang ini, banyak hal yang perlu diambil pelajaran, terutama oleh para pemimpin bangsa ini. Nabi Muhammad saw adalah sosok pemimpin yang sukses. Beliau mengubah masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat yang hidup secara damai, aman, dan sejahtera.

Tentu, kapan dan di mana pun, bukan pekerjaan mudah untuk melakukan perubahan masyarakat dalam waktu yang singkat namun sedemikian mendasar itu.

Perjuangan nabi dibagi menjadi dua fase, yaitu fase di Makkah dan kemudian dilanjutkan di Madinah. Setelah kurang lebih 13 tahun di Makkah dan dihitung hasilnya kurang maksimal, maka nabi mengambil kebijakan strategis, yaitu hijrah ke Madinah.

Perpindahan itu bukan pekerjaan mudah. Apalagi antara Makkah dan Madinah cukup jauh jaraknya. Sekarang saja, dengan kendaraan bus atau taksi harus ditempuh selama 5 hingga 6 jam. Tentu kepindahan itu sangat berat sekali, tatkala belum ada kendaraan seperti sekarang ini.

Tapi, pemimpin harus berani mengambil keputusan, apapun beratnya. Dalam perjuangan, tatkala di suatu tempat sudah tidak mendapatkan hasil maksimal, dihitung-hitung tantangan menjadi semakin berat, Rasul memelopori untuk berpindah, meninggalkan tanah kelahirannya, Makkah.

Nabi melawan naluri kemanusiaan, sekalipun tempat kelahirannya, dan begitu pula Ka'bah, Arafah dan Mina sebagai pusat kegiatan ritual berada di sekitar Makkah, beliau hijrah ke Madinah.

Memperhatikan peristiwa hijrah dan dikaitkan dengan persoalan terkini di ibu kota, tatkala penduduk Jakarta sudah sedemikian padat, sehari-hari macet, dan banjir, belum lagi polusi dan lain-lain, mestinya para pemimpin negara ini berani mengambil keputusan, sebagaimana dilakukan Rasulullah saw.

Memindahkan ibu kota memang sulit dan beresiko. Tapi resiko dan kesulitan berpindah itu juga telah dialami oleh sang pemimpin 14 abad yang lalu. Ketika sehari-hari, merasa sedemikian beratnya hidup di Jakarta, para pemimpin bangsa ini segera mengambil keputusan, pindah.

Semakin cepat semakin baik. Kelambatan dalam mengambil keputusan akan berakibat biaya dan resiko semakin mahal dan berat. Banyak orang berspekulasi, masing-masing akan berusaha untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.

Selain tauladan tentang keberanian menanggung resiko, dari proses berhijrah saja, tidak sedikit nilai-nilai yang seharusnya diambil para pemimpin dan pejabat. Ada kisah menarik di dalam perjalanan Nabi saw bersama sahabat dari Makkah ke Madinah.

Tatkala mengalami kehabisan bekal: beberapa sahabat kehausan serius, sementara di kanan kiri jalan tidak terdapat air. Kebetulan tidak jauh dari tempat yang dilewati itu, menurut suatu kisah, terdapat rumah penduduk yang juga tidak memiliki air, tapi punya kambing betina kurus yang tidak mungkin bisa diperas susunya.

Apa boleh buat, nabi meminta izin pemiliknya untuk memeras susu kambing tua dan kurus itu, sekiranya bisa digunakan untuk menghilangkan rasa haus bagi semua yang ikut dalam rombongan perjalanan itu.

Dikisahkan, semula pemilik kambing menolak dengan alasan tidak mungkin kambing seperti itu mengeluarkan air susu. Setelah berdialog, pemilik kambing mengijinkan. Tak diduga, kambing tua dan kurus itu mengeluarkan air susu. Satu demi satu para sahabat dipersilahkan meminumnya, termasuk pemilik kambing itu sendiri. Setelah semua kebagian, maka giliran terakhir, nabi meminumnya.

Dalam suasana kepepet, merasa haus, nabi tidak mengajak para sahabat untuk berebut. Nabi mengerjakan sendiri, memeras susu kemudian membagikannya. Ketika membagi, sebagai pemimpin, nabi tidak mengambil terlebih dahulu, sebaliknya justru yang terakhir.

Umpama cara-cara seperti ini juga dilakukan para pejabat dan pemimpin bangsa ini, yaitu mendahulukan orang lain daripada dirinya sendiri, maka kehidupan ini akan menjadi damai. Mereka tidak perlu harus berebut, sebab semua telah memikirkan kebutuhan orang lain. Wallahu'alam.
n

sumber : www.republika.co.id

Tuesday, February 05, 2013

Menjadi Minoritas

Imam Ahmad bin Hanbal, dalam bukunya Az-Zuhud, meriwayatkan bahwa suatu hari, Khalifah Umar bin Khattab berjalan di sebuah pasar. Saat melintas, dia mendengar seorang laki-laki sedang berdoa.

Dalam pandangan Umar, orang itu berdoa dengan aneh dan tak biasa. Orang itu berdoa, “Ya Allah, jadikanlah aku termasuk golongan orang yang sedikit.”

Merasa aneh dengan cara berdoa orang itu, Umar mendatanginya seraya bertanya, “Wahai hamba Allah, siapa yang engkau maksud dengan golongan orang yang sedikit itu? Dan, dari mana engkau mendapatkan doa yang demikian itu?”

Lelaki itu menjawab, “Aku mendengar Allah berfirman, ‘Dan, tidaklah beriman bersamanya (Nuh), kecuali sedikit.’ (QS Hud [11]: 40). Kemudian pada ayat lain, aku mendengar Allah berfirman, ‘Dan, hanya sedikit dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.’” (QS Saba [34]: 13). Mendengar jawaban cerdas dari lelaki itu, Umar berkata, “Setiap orang lebih faqih (ahli) daripada Umar.”

Banyak di antara kita pada zaman ini selalu larut dan hanyut dalam logika mayoritas. Kita merasa asing jika melakukan sesuatu yang mungkin dianggap melawan arus, melawan mainstream.
Kita merasa asing dan terkucilkan jika masih bertahan dengan idealisme kita, cita-cita luhur kita. Kita merasa tidak nyaman jika harus berbeda dengan orang-orang sekitar yang larut dan terbenam dalam kesalahan kolektif yang dilegalkan, korupsi kolektif kolegial, korupsi berjamaah.

Bahkan, untuk menyatakan kebenaran yang mungkin selama ini kita yakini, lidah kita menjadi kelu. Kerongkongan menjadi tersumbat. Karena, kita khawatir dan tidak ingin dicap melawan arus besar yang sedang menggusur secara masif pilar-pilar idealisme yang telah kita bangun.

Kita menjadi bisu dan tuli tatkala ada kejanggalan yang disaksikan di depan mata. Kepekaan sosial, budaya, dan politik kita menjadi tumpul dan lumpuh karena kita mengidap penyakit promayoritas. Padahal, kelompok mayoritas itu sedang berada dalam pusaran kezaliman.

Anehnya, kita juga tak lagi gusar melihat kemungkaran dipamerkan di depan mata. Mereka begitu pongah dan sombongnya mempertontonkan segala macam bentuk kemaksiatan.

Lelaki dalam kisah di atas mengajarkan pada kita bahwa kegigihan untuk bertahan di tengah arus besar pandangan dan sikap manusia itu bukanlah suatu hal yang mudah. Butuh akar iman yang menghunjam dan energi Islam yang kuat agar kita bisa melawan arus besar yang tidak sesuai dengan norma dan ajaran Islam itu.

Dan, perlu kita sadari bahwa orang yang siap untuk melakukan demikian itu sangatlah sedikit. Maka, tak ada salahnya apabila kita berdoa dengan cara yang sama seperti laki-laki itu. “Allahumma ij’alni min ‘ibadika al-qaliil. (Ya Allah, jadikanlah aku bagian dari hamba-hamba-Mu yang sedikit).” Amin.
Wallahu a’lam bis shawab.
, Oleh Ustaz Samson Rahman

sumber : www.republika.co.id

Monday, February 04, 2013

Tiga Pesan Moral dari Air

Air dihadirkan oleh Allah dalam kehidupan manusia sebagai rezeki (QS al-Baqarah [2]:22).  Namun, air tidak sekadar rezeki, ia pun menjadi ayat kauniyah, tanda kebesaran-Nya, yang perlu dibaca agar kita merengkuh pesan moral (QS adz-Dzariyat [51]: 20-21). Ada sejumlah pesan moral yang dapat dipelajari dari air.

Pertama, air itu menghidupi. Allah SWT berfirman, "Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup." (QS al-Anbiya' [21]: 30). Air menumbuhkan tanaman, menyuburkan tanah, bahkan mengalirkan oksigen dalam darah manusia. Di mana pun air berada, ia bermanfaat. Manusia pun selayaknya demikian. Rasulullah SAW bersabda, "Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi yang lain." (HR Ahmad).

Kedua, ia bergerak tanpa henti. Karena jika ia diam, pasti kotor dan keruh. Imam Syafii berkata, "Saya lihat air yang diam menyebabkan kotor. Bila dia mengalir, ia menjadi bersih. Dan bila tidak mengalir, ia tidak akan jernih. Singa bila tidak meninggalkan sarangnya, dia tidak akan pernah memakan mangsanya. Dan anak panah bila tidak terlepas dari busurnya, tidak akan pernah mengenai sasarannya."

Orang yang tidak memiliki aktivitas atau pekerjaan, pikiran dan hatinya kemungkinan besar akan  keruh dan kotor. Akibatnya, mata dan hatinya melihat secara negatif segala sesuatunya (suuzhan).

Ketiga, Air tak pernah bisa dipecah, atau dihancurkan. Bahkan, ia akan menenggelamkan benda-benda keras yang menghantamnya dan menghanyutkan. Ia hanya akan pecah saat ia mengeras, membeku. Inilah karakter dasar air, yakni mencair, mudah meresap, menguap, dan  kembali turun untuk menyejukkan.

Karakter cair ini berguna jika seseorang menghadapi masalah. Karena bila kita bersikap mengeras, membatu, maka kita mudah pecah, stres, gampang dilempar ke sana-sini, dan seterusnya dalam menghadapi samudera kehidupan.

Ketiga, air berpasrah diri (Islam) secara total pada tatanan (kosmos) alam.  Ia mengalir dari tempat tinggi ke arah yang lebih rendah. Ia menguap bila terkena panas, membeku jika tersentuh dingin, meresap di tanah, menguap ke awan, dan turun sebagai hujan. Ia kemudian menyatu di lautan raya, berpencar di sungai, kali, dan selokan.

Air mengikuti harmoni alam (sunatullah) yang digariskan Allah SWT. Harmoni alam itu tunduk dan patuh pada prinsip keseimbangan dan keadilan (QS al-Rahman [55]:7). Jika kesimbangan dirusak maka air pun protes. Air berhak atas tempat resapan. Jika tidak ada tempat resapan, air akan terus mencari tempat yang paling rendah.

Jika tak ada yang tepat sebagai resapannya maka terjadilah banjir. Banjir merupakan bentuk protes air karena tempat resapan serta jalan kembali ke lautan raya, tergusur oleh kerakusan dan keserakahan tangan manusia (QS ar-Rum [30]: 41).

Sudahkah kita seperti air, yang berpasrah, tunduk, dan patuh secara total pada Allah SWT? Sudahkah kita memelihara tatanan kehidupan secara adil? Wallahu a'lam bish shawab.
, Oleh M Subhi-Ibrahim

sumber : www.republika.co.id

Sunday, February 03, 2013

Budaya Memberi, Atasi Korupsi

Korupsi di Indonesia terjadi, sejalan dengan budaya yang dikembangkan di negeri ini. Siapapun yang menjadi pemimpin, akan melakukan hal yang sama yaitu korupsi.Bangsa kita ini sedang mengembangkan budaya rendah yaitu budaya berebut, dan bukan budaya tinggi yaitu budaya berjuang.
Orang yang sedang berebut, apalagi hanya berebut kekuasaan dan bergandeng dengan uang, akan sangat berpotensi untuk menyimpang yang disebut dengan korupsi.

Apapun jenis permainan dan siapapun pelakunya, akan memprioritaskan kemenangan dari pada sekadar menjaga etika.

Lihat saja pemain olahraga, sepakbola, basket, takrau dan bahkan tinju sekalipun yang pemainnya hanya berdua, harus ada wasit yang memimpin. Semua permainan selalu berpotensi menyimpang.

Tanpa wasit, permainan perebutan kemenangan akan berjalan curang. Begitu pula kehidupan di negeri ini, dibangun suasana berebut untuk meraih kemenangan, apalagi di antara mereka tanpa idiologi yang jelas, maka siapa pun manakala berkesempatan, akan melakukan kecurangan agar menang. Bentuknya ya korupsi.

Oleh karena itu, harus segera dibangun budaya tinggi, yaitu budaya sebagai khalifah atau pejuang. Pemimpin, khalifah atau pejuang pada diri mereka pasti akan tumbuh kesadaran untuk berkorban.

Budaya ini lawan atau ujung lain dari budaya rendah yaitu berebut. Islam mengajarkan untuk menjadi khalifah atau pejuang.

Maka, dalam Islam ditanamkan budaya pejuang, budaya tangan di atas, budaya memberi dan sebaliknya bukan budaya menerima, budaya berebut untuk mendapatkan kemenangan berupa kekuasaan dan harta.

Kita harus punya pemimpin yang mampu mengubah budaya rendah menjadi budaya unggul dan agung yaitu sebagai pejuang yang siap berkorban untuk sesama dan bukan berebut untuk mengisi perut dan mengikuti hawa nafsunya. Wallahu 'alam bis shawab.
n
, Oleh: Prof Dr Imam Suprayogo
sumber : www.republika.co.id