-

Thursday, January 31, 2013

Banjir Kaum Saba

Kisah tentang banjir, beberapa kali disebutkan di dalam Alquran. Mulai dari banjir di zaman Nabi Nuh AS, hingga banjir besar yang menimpa kaum Saba. Dalam Alquran disebutkan, banjir dan berbagai musibah yang dialami umat manusia disebabkan oleh ulah tangan-tangan manusia sendiri. Mereka bukan melestarikan, melainkan merusak lingkungan.

Salah satunya adalah kisah tentang banjir besar yang dialami kaum Saba. Lihat Alquran surah Saba [34]: 15-17. Dalam ayat tersebut, Allah menceritakan bahwa penyebab utama musibah dan banjir yang dialami kaum Saba itu adalah rusaknya lingkungan akibat pelanggaran yang mereka lakukan.

Berawal dari pelanggaran ajaran agama, yang kemudian merembet pada persoalan lain, sehingga merusak lingkungan. Seperti, melanggar peraturan izin mendirikan bangunan (IMB), melakukan pencemaran dengan membuang limbah dan sampah sembarangan, dan pembalakan hutan secara liar.

Saba awalnya adalah negeri yang penuh keadilan dan kesejahteraan. Namun, negeri itu berubah menjadi rusak akibat ulah penduduknya. Allah telah menciptakan alam ini dengan ukuran dan karakteristik tertentu. (QS al-Qamar [54]: 49). Manusia diperintahkan untuk menjaganya demi kehidupan yang baik, aman dan damai bagi seluruh makhluk hidup. (QS al-Furqan [25]: 2).

Lingkungan alam akan selalu seimbang bila tidak ada unsur perusakan oleh manusia. Keseimbangan alam akan terjaga bila semua unsur dan faktor lingkungan terpelihara dengan baik. “Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran.” (QS al-Hijr [15]: 19).

Ayat ini menegaskan bahwa gunung-gunung dan laut diciptakan untuk menjaga keseimbangan Bumi. Tumbuh-tumbuhan diciptakan untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup. Berbagai macam tumbuhan diciptakan sesuai dengan keseimbangan lingkungan.

Pencemaran adalah suatu bentuk kejahatan yang dilakukan manusia akibat perusakan terhadap keseimbangan sistem ekologi. Kerusakan di bumi akibat tangan manusia dan pelanggaran hak-hak manusia seperti pembunuhan, kezaliman, penganiayaan, dan pencemaran. (QS al-A'raf [7]: 85).

Untuk itulah kita wajib mengajak dan memelopori umat untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah dan menggerakkan umat untuk memelihara lingkungan. Pertama, menjaga kebersihan dan menghindari pencemaran lingkungan. Kedua, menggalakkan penanaman pohon dan tidak membiarkan lahan tanpa tanaman.

Ketiga, memelopori penghematan dalam penggunaan energi, air, dan BBM. Keempat,  membudayakan pembuatan biopori dan sumur resapan di semua kalangan masyarakat.

Ketika kita bersama-sama memelihara lingkungan maka akan tercipta lingkungan yang sehat dan aman. Dengan demikian, maka berbagai pencemaran lingkungan, banjir, tanah longsor, dan berbagai bencana lainnya, akan mudah teratasi. Itulah salah satu dari tujuan penciptaan manusia, yakni melestarikan dan mengelola alam ini dengan sebaik-baiknya.
Oleh: KH Achmad Satori Ismail

sumber : www.republika.co.id

Wednesday, January 30, 2013

Kejahatan Kemanusiaan

Di dalam Alquran dan hadis terdapat berbagai istilah yang pengertiannya jauh lebih luas dari pengertian yang selama ini dipahami.

Misalnya, tijarah (perdagangan) selalu dipahami dengan jual beli atau tukar-menukar komoditas tertentu.

Tetapi, di dalam Alquran Surah ash-Shaff [61] ayat 10 dan 11, yang juga dikatakan tijarah atau perdagangan dalam bentuk lain yang akan menyelamatkan dari azab neraka, yaitu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya dengan harta dan jiwa.

Juga istilah cendekiawan, selama ini selalu dipahami orang yang memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam. Tetapi, di dalam hadis riwayat Abu Dawud, yang dikatakan cendekiawan itu adalah orang yang dengan ilmunya berusaha melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.

Karena itu, walaupun seseorang memiliki gelar akademik yang tinggi, yang menunjukkan kecendekiaannya, tetapi dia tidak pernah rukuk dan sujud, bermunajat dan berdoa kepada Allah, hakikatnya adalah bukan cendekiawan.

Terdapat juga pengertian muflis (orang yang bangkrut), seperti dikemukakan dalam hadis riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah, bukanlah hanya orang yang merugi di dalam kegiatan usahanya, sehingga semua asetnya habis.

Namun, orang yang melakukan berbagai macam perintah Allah, seperti shalat, puasa, dan zakat, serta dalam waktu yang bersamaan melakukan kejahatan kemanusiaan. Memfitnah orang lain, melakukan pembunuhan karakter, mencaci maki, mengadu domba, mengambil hak orang lain, bahkan tidak segan-segan pula untuk melukai dan membunuhnya.

Jika hal tersebut memang diperlukan untuk mencapai tujuannya, di akhirat nanti, pahala dari kebaikan yang dilakukannya akan diberikan kepada orang yang dianiaya dan dijahatinya, sehingga semua pahalanya habis.

Dan apabila masih banyak orang yang dijahatinya, yang tidak sempat memaafkannya, maka keburukan-keburukan orang yang dijahatinya itu akan ditimpakan kepadanya, sehingga akhirnya dia dilemparkan ke dalam neraka. Naudzubillah.

Beramal ibadah kepada Allah SWT, harus berbanding lurus dengan kebaikan bagi sesama manusia. Orang yang suka beribadah kepada Allah, tetapi jahat kepada sesama manusia adalah sama buruknya dengan orang yang baik kepada sesama manusia, tetapi tidak mau beribadah kepada Allah SWT.

Karena itu, meskipun dalam suasana hiruk pikuk dan kegaduhan dalam berbagai bidang kehidupan saat ini, seorang Muslim harus tetap istiqamah, berbuat baik kepada Allah, dan berbuat baik kepada sesama manusia.

Sehingga, hidupnya akan diselamatkan Allah SWT di dunia ini maupun di akhirat nanti. Wallahu a’lam.
Oleh: KH Didin Hafidhuddin
sumber : www.republika.co.id

Tuesday, January 29, 2013

Musibah Banjir

Musibah  banjir yang melanda  seluruh wilayah Kota Jakarta dan Tangerang membuat panik semua warga.  Sepertinya musibah banjir di negeri ini selama kurun waktu lima tahunan, adalah  musibah yang teramat parah.

Kondisi ini pada dasarnya tidak luput dari prilaku manusia. Jika kita mau  membuka kembali Alquran, tampak jelas bahwa bencana alam dan krisis lingkungan akibat dari ulah merusak sebagian dari umat manusia.

Dalam sebuah ayat Allah berfirman, ”Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar” (QS Ar-Rum[30]:41).

Ayat ini secara eksplisit menegaskan bahwa kerusakan di muka bumi disebabkan ulah tangan manusia. Bencana yang datang silih berganti bukan fenomena alam. Akan tetapi karena prilaku merusak manusia sendiri yang telah merusak alam ciptaan Allah.

Para pemikir Timur dan Barat kontemporer memandang masalah utama kerusakan parah Bumi akibat terjadinya pemisahan serius antara sains dan dari spiritualitas dan nilai-nilai moral. Para pemikir menilai krisis lingkungan yang terjadi dewasa ini menunjukkan bahwa sebagian besar negara-negara dunia dilanda problem nilai dan spiritualitas.

Fritjof Capra memandang krisis lingkungan bermuara pada kesalahan cara pandang manusia modern terhadap alam semesta. Manusia modern pada umumnya masih menganut paradigma mekanistis dan reduksionistis terhadap alam semesta.

Implikasinya, alam sebagai objek yang selalu diekspolitasi secara berlebih. Oleh karena itu, pandangan manusia harus diubah menuju paradigma yang holistik dan ekologis.

Bahwa merusak alam dan lingkungan merupakan perbuatan dosa dan pelanggaran karena mengakibatkan gangguan keseimbangan di bumi.

Ketiadaan keseimbangan itu, mengakibatkan siksaan kepada manusia. Semakin banyak perusakan terhadap lingkungan, semakin besar pula dampak buruknya terhadap manusia, termasuk akan berdampak kepada manusia yang tidak berdosa disekitarnya.

Dalam Islam sudah sangat terang, bumi, alam, lingkungan diciptakan Allah swt bukan tanpa arti. Penciptaan alam, lingkungan, bumi merupakan tanda keberadaan Allah, Tuhan Yang Maha Pencipta. Sebagaimana firman Allah swt dalam Alquran bahwa terdapat tanda-tanda kebesaran-Nya di bumi ini.

"Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin,”(QS Adz-Dzariyat [51]:20).

Dalam Al-Quran, Allah menyatakan bahwa alam diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Allah berfirman,”Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya.

Sesungguhnya pada demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir,”(QS Al-Jatsiyah [45}:13). Ayat inilah yang menjadi landasan teologis pembenaran Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan manusia. Islam tidak melarang memanfaatkan alam, namun ada aturan mainnya. Manfaatkan alam dengan cara yang baik (bijak) dan manusia bertanggungjawab dalam melindungi alam dan lingkungannya serta larangan merusaknya.

Manusia sebagai khalifah (wakil atau pengganti) Allah, salah satu kewajiban atau tugasnya adalah membuat bumi makmur. Ini menunjukkan bahwa kelestarian dan kerusakan alam berada di tangan manusia.

Kini manusia harus lebih ramah terhadap alam semesta melebihi sebelumnya. Untuk mewujudkan kedamaian dan keseimbangan dengan lingkungan, manusia harus memiliki ikatan yang kokoh dengan pencipta alam semesta.

Orang yang mematuhi aturan Ilahi, maka ia juga memiliki hubungan yang baik dengan sesama manusia dan alam semesta.

Merusak dan mencemari lingkungan menyebabkan terjadinya berbagai bencana seperti banjir  saat ini. Untuk itu, Islam mengharamkan setiap tindakan yang merusak alam. Dalam Islam, kerusakan lingkungan juga mengakibatkan kerusakan sosial yang menyebabkan terjadinya perampasan terhadap hak jutaan orang. Saatnya menjaga kelestarian lingkungan.
Oleh: Dr HM Harry Mulya Zein


sumber : www.republika.co.id

Monday, January 28, 2013

Hakikat Tawakal

Suatu hari, seorang lelaki Badui datang ke masjid menunggangi kuda. Sesampainya di Masjid, ia menghadap Rasulullah SAW tanpa mengikat kudanya. Ketika ditanyakan hal itu kepadanya, lelaki itu berkata, "Aku sudah bertawakal kepada Allah." Atas hal ini, Rasulullah SAW pun berkata, "Ikatlah kudamu, kemudian bertawakallah kepada Allah." (HR Tirmidzi).

Pesan penting ini disampaikan Rasulullah SAW untuk membuka pemahaman kita akan makna penting dari tawakal.

Tawakal yang seharusnya mendasari segala aktivitas orang-orang beriman dan menjadi landasan bagi mereka yang senantiasa berserah diri kepada Allah SWT.

Inilah salah satu ajakan Rasulullah SAW kepada umatnya untuk bertawakal hanya kepada pencipta kehidupan ini. "... dan hanya kepada Allah sajalah hendaknya orang-orang mukmin bertawakal." (QS Ibrahim: 11).

Permasalahannya, banyak di antara kita yang sering misunderstanding (salah persepsi) dalam menafsirkan dan mengaplikasikan bentuk tawakal tersebut.

Banyak orang yang mengaku bertawakal kepada Allah SWT dalam setiap urusannya, namun mereka tidak atau belum melakukan usaha secara maksimal. Dan ketika terjadi kegagalan, mereka menyalahkan takdir atau ketentuan yang mereka terima.

Banyak manusia yang condong mengutamakan pasrah tanpa usaha sebagai bentuk tawakal mereka. Mereka menyerahkan segala urusan kepada Allah SWT tanpa ada upaya untuk menyelesaikannya.

Misalnya, seorang hamba berzikir dan berdoa kepada Allah SWT dengan sepenuh hatinya ketika dia mendapati kesulitan membayar utangnya. Dia berharap karunia Allah secara tiba-tiba. Namun, dia tak punya usaha untuk menyelesaikan utangnya itu.

Tawakal bukan berarti meniadakan upaya, harus ada kerja nyata dan kesungguhan dalam mewujudkan impian. Apabila bekerja harus ada usaha dalam mencapai hasil kerja yang terbaik, meski untuk hasilnya hanya Allah SWT yang menentukan.

Sekelompok semut pun harus bekerja sama mengangkat makanan cadangan untuk disimpan, kendati mereka mendapatkan makanan itu dari tempat yang sangat jauh. Demikian juga dengan seekor merpati yang harus terbang lagi mencari makan, walaupun tuan pemiliknya telah meletakkan makanan di depan kandangnya.

Demikianlah sebagai kiasan pada orang-orang yang bertawakal dengan sesungguhnya. Tawakal yang tidak menjadikan seseorang berdiam diri dalam menunggu takdir. Tawakal menuntut kita untuk berupaya semaksimal, sembari mengharap rida Allah SWT.

"Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya Allah akan memberikan rezeki kepadamu, sebagaimana Allah memberikan rezeki kepada burung yang berangkat di pagi hari dalam keadaan lapar, lalu pulang di sore hari dalam keadaan kenyang." (HR Tirmidzi).

Rasulullah SAW sangat menganjurkan kepada umatnya untuk bekerja keras dan tidak sekadar bergantung pada doa. Rasulullah juga mengimbau kaum Muslim untuk mencari rezeki tanpa putus asa dan menyerahkan apa pun hasilnya kepada Allah SWT. "... Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya..." (QS ath-Thalaq [65]: 3).
 

Oleh: Zainal Arifin
sumber : www.republika.co.id

Sunday, January 27, 2013

Pohon yang Baik

Allah SWT. mengajarkan kepada kita salah satu metode pembelajaran dalam al-Qur’an yakni perumpamaan (amtsaal). Suatu masalah akan lebih mudah dipahami jika diumpamakan, apalagi menyangkut perkara yang metafisik.  

Dalam umpama terkandung kearifan dan renungan, seseorang tidak secara langsung merasa menjadi objek, namun perlahan menyadari arah dan maksud pesan  tersebut. Perumpamaan dimaksudkan agar kita mengambil i’tibar (hikmah) dari suatu peristiwa. (QS. 29:43,17:89).


Dalam al-Quran, Allah SWT. memberikan banyak perumpamaan.  Menjadikan nyamuk sebagai umpama (QS.2:26) yang berkaitan dengan kelemahan berhala (QS.22:73). Kebenaran seperti air dan logam murni, kebatilan laksana buih air dan tahi logam (QS.13:17).

Cahaya Allah ibarat lobang yang tidak tembus (misykat) di dalamnya ada pelita besar (QS.24:35). Berinfak  di jalan Allah bagaikan sebutir biji yang tumbuh tujuh tangkai (QS.2:161) dan berinfak dengan riya tak ubahnya debu di atas batu licin (QS.2:265).

Begitu juga orang berilmu tapi tidak mengamalkan disamakan dengan keledai (QS.62:5).  Masih banyak perumpamaan lain, meskipun kita seringkali tidak pandai mengambil pelajaran.

Perumpamaan yang sangat menarik adalah seorang Mukmin itu laksana pohon yang baik (QS.14:24-25).  Kalimatan thoyyibah (kalimat yang baik) laksana pohon yang baik (syajaratun thoyyibah). Kalimat yang baik itu adalah laa ilaha illahllah (syahadat). 

Dalam Tafsir Jaami’ul Bayan, Ibnu Jarir Ath-Thabari juga menjelaskan kalimatan thoyyibah adalah persaksian tiada tuhan selain Allah, dan  syajarotun toyyibah adalah seorang Mukmin, ashluha tsabitun artinya laa ilaha illallah yang tertanam di dalam hati seorang Mukmin, wa far’uha fis-samaai yakni amal perbuatannya akan diangkat ke langit.


Jika kita renungkan ayat di atas, indikator pohon yang baik atau berkualitas ada tiga hal: Pertama, ashluha tsabitun (akarnya menghujam ke perut bumi). Akar yang kuat menjadi dasar dan tumpuan tumbuhnya pohon yang besar.

Di sinilah pentingnya peran sang penanam yang ikhlas dan sungguh-sungguh, berkorban tanaga, pikiran dan membutuhkan waktu yang cukup lama.  Semakin dalam akarnya, maka semakin kuat pula pohon itu. Tidak mudah tumbang walau dihantam badai. Akar ibarat akidah tauhid (iman) yang tertanam di dalam lubuk hati sanubari seorang mukmin.

Jika akidahnya kuat, maka ia mampu menghadapi cobaan dan godaan hidup seberat apapun.  Akidah tauhid harus ditanamkan oleh orang tua dan guru kepada anak sejak dini. Peran keduanya sebagai pendidik  sangat penting agar akar akidah anak menghujam ke lubuk hati sanubari. (QS.31:13).

Kedua, far’uha fis-samai (dahannya menjulang ke langit). Pohon yang sudah berurat berakar, akan menumbuhkan batang yang besar, dahan dan ranting yang banyak serta berdaun lebat.   Ia akan membagikan oksigen yang bersih dan kesejukan bagi manusia. Hijau dan menyejukkan.

Inilah ibarat seorang Mukmin yang taat dalam menjalankan syariat Islam, baik dalam ibadah ritual maupun sosial (muamalah). Akidah (iman) yang kuat harus tampak pada kepatuhan dalam menjalankan ibadah ketika menjalankan aktivitas sehari-hari.  

Ketiga, tu’tii ukulaha kulla hiin (berbuah setiap waktu). Pohon yang baik tidak hanya berakar kuat dan berdahan besar, tapi juga berbuah banyak dan enak. Bukan hanya pada musimnya, tapi di setiap musim tiada henti. Pohon berbuah  menguntungkan pemiliknya dan orang lain. Semakin bagus kualitasnya, semakin tinggi pula harganya.

Inilah perumpamaan Mukmin yang berakhlak karimah. Akidah dan syariat yang kuat dan benar mestilah berbuah akhlak mulia (karakter islami). “Sebaik-baik keislaman seseorang adalah yang terbaik akhlakhnya”. (HR. At-Turmudzi). 

Akhlak karimah inilah yang mulai pudar dari sebagian anak-anak, orang tua, pemimpin, politisi dan pejabat negara kita.  Pendidikan karakter hanya berhasil  jika ada model. Dalam sejarah, tidak ada yang berhasil menjadi model kecuali Nabi Muhammad SAW. (QS.33:21).

Orang tua di rumah dan guru di sekolah harus menjadi pilar utama dan bertanggung jawab dalam menanamkan akidah, menjalankan syariat dan teladan dalam akhlak karimah. Insya Allah, anak-anak kita akan menjadi “pohon yang baik”. Amin. Allahu a’lam bish-shawab. ***
n
Oleh: Ustadz Hasan Basri Tanjung MA

sumber : www.republika.co.id

Saturday, January 26, 2013

Meneladani Insan Kamil

Kesempurnaan adalah sebuah keniscayaan yang sejatinya hanya ada dalam zat Tuhan, Allah SWT.

Jika seluruh alam semesta lengkap dengan isinya tunduk pada Sang Maha Pencipta, maka bagaimana posisi manusia—dalam perannya sebagai khalifah fil ardh—yang enggan tunduk pada-Nya?

Sempurna, dalam perspektif ketuhanan, memang tak terbatas. Kamil (baca: sempurna) hanya dianugerahkan-Nya pada insan yang pantas menerima sebab keluruhan budi pekertinya, yakni baginda Rasulullah SAW (QS Al-Ahzab: 21).

Insan kamil sendiri diartikan sebagai manusia nan sempurna. Adapun yang dimaksudkan dengan sempurna adalah sempurna dalam ibadah dan penghidupannya. Dan seseorang dapat dianggap sempurna jika ia memiliki kriteria tertentu.

Kriteria tersebut dimiliki oleh manusia-manusia biasa yang mau berusaha untuk menjadi ‘luar biasa’ di hadapan Tuhannya. Mereka—terlepas dari para sufi, dai, ustaz, kai, atau orang biasa sekalipun—pada hakikatnya mampu meneladani segala teladan Rasulullah, jika ia meyakini Allah sebagai Rabb-nya, Alquran sebagai pedoman hidupnya, dan menjadikan Muhammad SAW sebagai sebaik-baiknya insan yang patut diteladani.

Jejak hidup Rasulullah SAW pun sudah terhimpun menjadi sebuah bacaan dari beragam sudut pandang. Tak terhitung berapa banyak sudah sirah nabawiyah yang mengulas lebih dalam baik kesahajaan, kehebatan, kesempurnaan, maupun keseharian beliau yang memang jauh dari kemewahan, namun menempati posisi mewah di hadapan Rabb-nya.

Selama hayatnya, segenap perikehidupan beliau menjadi tumpuan perhatian masyarakat. Karena segala sifat terpuji yang terhimpun dalam dirinya merupakan lautan budi pekerti yang tak pernah kering. Itulah cerminan abadi yang patut diteladani umat Islam, untuk meraih insan kamil.

Untuk dapat meraih derajat insan kamil, biasanya seseorang lebih senang dengan menempuh cara hidup sebagai seorang sufi. Kehidupan para sufi pun lebih menonjolkan segi rohani dan spiritual.

Tentu prinsip ajarannya sesuai dengan tuntunan yang telah termaktub dalam Quran maupun hadits. Hasan Al-Basri, seorang sufi yang menuangkan prinsip khauf (takut) dan raja’ (pengharapan), juga Rabiah Al-Adawiyah, sufi wanita yang mencetuskan konsep mahabbah (cinta) pada Allah, adalah dalam upaya mencapai derajat insan kamil dan menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan, bukan yang lain.

Tiada manusia yang sempurna. Begitu ungkapan yang sering kita dengar. Betul bahwa tiada manusia yang sempurna. Kita dianugerahi kekurangan agar dapat saling melengkapi antarmanusia lainnya.

Namun hakikatnya, semua manusia mampu berusaha untuk tidak menempatkan dunia sebagai tujuan, namun sebagai pemenuhan totalitas amalan ukhrawi yang nantinya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Menyisihkan kepentingan dunia bukan berarti mengabaikan apalagi ‘meninggalkan’ kewajiban duniawi. Namun lebih dari itu, meneladani potret insan kamil ialah dengan menyeimbangkan kehidupan dunia, tempat kita beramal shaleh sebagai bekal akhirat.

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS Qashash: 77).
Oleh: Ina Salma Febriani

sumber : www.republika.co.id

Friday, January 25, 2013

Tiga Misi Risalah Kenabian

Rasulullah SAW menjalankan misi kenabian selama 23 tahun, 10 tahun di Makkah dan 13 tahun di Madinah.

Misi tersebut dijalankan Rasulullah dengan sukses disertai rida Allah SWT, sehingga pada penutup wahyu-Nya, Allah SWT berfirman: "Pada hari ini Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu." (QS. Al-Maidah: 3).

Dr Muhammad Basam Al-Zein Dalam  karyanya "Muhammad Rasulullah" membagi misi kenabian Muhammad SAW dalam tiga bagian.

Pertama, pembacaan ayat-ayat Alquran. Pembacaan di sini berarti bahwa Allah SWT mengajarkan pembacaan dan makna Alquran kepada Muhammad melalui Jibril AS lengkap dengan pengucapan makhraj huruf, tajwid, urutan dan sistem aturan di dalamnya (QS. Ar-Rahman: 1-2).

Kemudian pengajaran di sini juga berarti bahwa Rasulullah SAW lalu mengajarkan Alquran kepada para sahabatnya, para sahabat mengajarkan kepada para tabiin, para tabiin mengajarkan kepada tabiit-tabiin, dan begitu seterusnya hingga pada generasi Alquran terakhir hari kiamat nanti.

Allah SWT berfirman, "Dan Alquran (Kami turunkan) berangsur-angsur agar engkau (Muhammad) membacakannya kepada manusia perlahan-lahan dan Kami menurunkannya secara bertahap." (QS. Al-Isra': 106).

Kedua, penyucian jiwa. Rasulullah SAW telah melakukan penyucian jiwa orang-orang terdekat dan para sahabatnya dengan cara menanamkan dan menumbuhkan keimanan di dalam hati mereka; mengalahkan hawa nafsu mereka; mendidiknya agar sesuai dengan petunjuk Alquran; konsisten dalam keimanan dan takwa; serta berlaku ihsan dalam setiap perbuatan, sehingga ciri khas keberhasilan dari proses penyucian jiwa tersebut adalah menemukan manisnya keimanan.

Rasulullah SAW bersabda, "Tiga perkara yang jika terdapat pada diri seseorang maka ia akan mendapatkan manisnya keimanan: Pertama, Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari selain keduanya; Kedua, cinta seseorang semata-mata karena Allah; Ketiga, benci kembali dalam kekufuran sebagaimana benci dilemparkan ke neraka." (HR. Bukhari).

Ketiga, pengajaran Alquran, as-sunnah dan al-hikmah. Rasulullah SAW telah mengajarkan ketiga ilmu tersebut kepada para sahabat dan mereka mengajarkan kepada generasi ke generasi hingga saat ini bahkan sampai hari kiamat nanti.

Pengajaran ketiga ilmu tersebut merupakan warisan Rasulullah SAW sebagaimana komentar Abu Hurairah RA pada saat melihat sebagian kaum shalat di masjid, sebagian yang lain membaca Alquran, sebagian lagi belajar halal-haram, lalu Abu Hurairah berkata, "Semua itu adalah warisan Muhammad SAW." (HR. Tabrani dengan sanad hasan).

Ketiga misi kenabian tersebut tidak lain merupakan pengabulan Allah SWT atas doa Nabi Ibrahim AS. Allah SWT berfirman: "Sungguh, Allah telah memberi karunia kepada orang-orang beriman ketika (Allah) mengutus seorang Rasul (Muhammad) di tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab (Alquran), dan hikmah (sunnah), meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata." (QS. Ali-Imran: 164). Wallahu a'lam.
Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA
sumber : www.republika.co.id

Thursday, January 24, 2013

Berbaik Sangka

Rasulullah SAW selalu mencontohkan kepada para sahabatnya untuk berbaik sangka terhadap semua orang.

Abu Hurairah RA meriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah mengutus Umar untuk menarik zakat, tetapi Ibnu Jamil, Khalid bin Walid, dan Abbas paman Rasulullah tidak menyerahkan (zakat).

Sehingga beliau bersabda, "Tidak ada sesuatu yang membuat Ibnu Jamil enggan untuk menyerahkan zakat, kecuali karena dia fakir, kemudian Allah menjadikannya kaya."
"Adapun Khalid, sesungguhnya kalian telah berbuat zalim terhadapnya (karena) ia menginfakkan baju besi dan peralatan perangnya di jalan Allah. Adapun Abbas, aku telah mengambil zakatnya dua tahun yang lalu." (HR Bukhari dan Muslim).

Rasul SAW senantiasa memperingatkan umat Islam agar menjauhi prasangka buruk. "Jauhilah prasangka karena sesungguhnya prasangka itu pembicaraan yang paling dusta. Janganlah kalian menyadap (pembicaraan kaum), memata-matai mereka, berlomba-lomba (dalam hal yang tidak baik), saling mendengki, saling membenci, dan saling membelakangi. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara." (HR Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah).

Al-Hafidz mengatakan bahwa Khaththabi berpendapat bahwa yang dimaksud prasangka dalam hadis tersebut adalah benar-benar prasangka, bukan sesuatu yang terlintas dalam benak pikiran, sebab hal itu di luar kemampuan seseorang.

Prasangka yang dimaksud oleh Khaththabi adalah prasangka yang menetap dalam hati. Lintasan hati adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari manusia. "Allah mengampuni prasangka yang terlintas dalam hati manusia selama mereka tidak membicarakan atau melakukannya." (HR Bukhari dan Muslim).

Qurthubi mengatakan, yang dimaksud dengan prasangka (yang terlarang) adalah tuduhan tanpa alasan. Misalnya menuduh seseorang melakukan zina tanpa ada bukti nyata. Karena itu, kata azh-zhann dalam redaksi hadis ini, dihubungkan dengan larangan untuk memata-matai orang lain.

Jika seseorang memiliki sedikit prasangka yang mengarah pada tuduhan di dalam hatinya, ia akan berupaya untuk mewujudkan tuduhan itu. Dia akan mencari-cari kesalahan orang yang dituduh dengan memata-matainya. Karena, langkah-langkah itu dilarang agama.

"Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain..." (QS al-Hujarat: 12).

Dalam kehidupan masyarakat kita akhir-akhir ini banyak kejadian yang bersifat prasangka dan tuduhan di antara sesama warga (su'uzhon). Padahal, berbagai persoalan tersebut memerlukan penelitian, klarifikasi (tabayyuni) sehingga duduk persoalan jelas dan kita dapat menyikapinya dengan bijaksana agar tidak menyalahkan orang lain.

Karena itu, kearifan dari berbagai pihak khususnya para tokoh dan pemimpin masyarakat merupakan sikap Nabi yang selalu husnuzhan dalam menyikapi berbagai persoalan sehingga masalah menjadi cair, jernih, dan sejuk dan akhirnya persoalan dapat diselesaikan dengan damai dan adil. Wallahu 'alam.
Oleh: Nanat Fatah Natsir

sumber : www.republika.co.id

Wednesday, January 23, 2013

Bahaya Harta Haram

Dari Jabir bin Abdillah RA, ia berkata, “Telah diriwayatkan kepada kami bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Wahai Kaab bin Ujroh, aku mohonkan perlindungan untukmu kepada Allah dari kepemimpinan orang-orang bodoh.’

Kaab bertanya, ‘Apakah itu, wa hai Rasulullah?’

Beliau menjawab, ‘Setelahku akan ada para penguasa di mana siapa yang ikut mereka dan membenarkan ucapannya serta mendukung kezalimannya maka mereka bukanlah golonganku dan aku tidak termasuk golongannya dan mereka tidak akan masuk dalam telagaku’.”

“Dan barang siapa yang tidak mau ikut mereka, tidak membenarkan ucapannya dan tidak mendukung kezalimannya, maka mereka termasuk golonganku dan aku termasuk golongannya serta mereka akan masuk dalam telagaku.”

“Wahai Kaab bin Ujroh, shalat adalah taqarrub, puasa adalah benteng, sedekah menghapuskan kesalahan seperti air memadamkan api. Hai Kaab, tidak akan masuk surga orang yang dagingnya tumbuh dari makanan haram karena neraka lebih dekat dengannya.” (HR Muslim, Nasai, ad-Darami).

Allah memerintahkan kita agar selalu makan makanan halal dan menjauhi yang haram sebagai bentuk syukur untuk menambah keberkahan hidup. (QS al-Baqarah [2]: 172). Orang yang memakan makanan halal akan dilindungi dari api neraka.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar RA, ia berkata, “Seseorang di bawah tanggungan Rasulullah SAW bernama Kirkiroh, kemudian ia meninggal. Namun Rasul berkata, ia akan masuk ke neraka. Maka, para sahabat pergi memeriksanya, ternyata mereka menemukan sebuah baju jubah hasil tipuan.” (Shahih Bukhari, hadis No. 2845).

Di antara bahaya memakan harta haram, pertama, pelakunya akan masuk neraka. “Barang siapa yang mengambil hak milik orang Muslim dengan menggunakan sumpah, maka Allah akan mewajibkannya masuk neraka dan diharamkan masuk surga.”

Seorang bertanya, “Walaupun barang yang kecil, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Walaupun sepotong kayu arok.” (HR Muslim, Nasai, ad-Darami dari Abu Umamah).

Kedua, pemakan haram tidak akan mencapai derajat takwa. Orang bertakwa adalah ahli surga. Dari Atiyyah as- Sa’di, Rasulullah SAW bersabda, “Seorang hamba tidak akan mencapai derajat muttaqin sampai meninggalkan sebagian yang halal karena khawatir terperosok pada yang haram.”

Ketiga, orang yang makan makanan haram kesadaran beragamanya sempit, artinya tidak banyak beramal yang mendapat pahala sehingga mudah masuk neraka. “Seorang mukmin akan berada dalam kelapangan agamanya selama tidak makan yang haram.” (HR Bukhari).

Keempat, pemakan harta haram tidak diterima amalnya dan ditolak doanya. “Demi Zat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, seorang yang memasukkan sekerat daging haram ke perutnya, maka tidak akan diterima amalnya selama 40 hari dan barang siapa yang dagingnya tumbuh dari barang haram dan riba maka neraka lebih utama untuk membakarnya.” (HR Muslim, Tirmidzi, Ahmad dan ad-Darami).

Orang yang makan harta haram sama dengan berusaha menghancurkan dirinya, merusak ibadahnya, mempermainkan doanya dan menghancurkan keluarga serta keturunannya.
Oleh: KH Achmad Satori Ismail
sumber : www.republika.co.id

Tuesday, January 22, 2013

Luasnya Rahmat Allah

Harus kita akui bahwa ibadah, amal saleh, dan bentuk-bentuk ketaatan lainnya kepada Allah SWT, masih lebih sedikit bila dibandingkan dengan aneka kemaksiatan dan dosa yang kita lakukan pada-Nya.

Sebaliknya, dibanding rahmat-Nya yang sampai kepada kita atau murka- Nya, yang justru deras mengguyur kita adalah rahmat-Nya.

Padahal, yang meluncur kencang adalah kemaksiatan dan dosa kita. Seakan murka-Nya tersembunyi di balik kasih sayang atau rahmat Allah.

Benarlah demikian adanya. Setiap hari kita menabung dosa, tapi justru dibalas oleh rahmat-Nya. Bukankah kita masih diperkenankan hidup. Udara dunia masih bisa kita hirup. Bahkan, berbagai fasilitas kehidupan pun masih dipenuhi.

Alam masih relatif bersahabat dengan kita bila dibandingkan dengan umat-umat terdahulu yang langsung diazab dan direspons oleh alam ketika dosa dan kemaksiatan semakin merajalela. Sekali lagi ini menandakan rahmat Allah di atas murka-Nya.

Karena itu, di hadapan para sahabatnya, Rasulullah berpesan, “Tatkala Allah menciptakan seluruh makhluk, Allah menuliskan di dalam kitab-Nya, yang kitab itu berada di sisi-Nya di atas Arsy, yang isinya adalah: “Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan kemurkaan-Ku.” (HR Bukhari Muslim).

Pernah terjadi suatu waktu, rombongan tawanan perang dihadapkan kepada Rasulullah. Di tengah-tengah rombongan itu ada seorang ibu yang sedang mencari-cari bayinya. Tatkala dia berhasil menemukan bayinya itu maka dia pun memeluknya erat-erat ke tubuhnya dan lalu menyusuinya.

Saat itulah Rasulullah bertanya kepada rombongan itu. “Apakah menurut kalian ibu ini akan tega melemparkan anaknya ke dalam kobaran api?” Rombongan itu menjawab, “Tidak mungkin, demi Allah. Sementara dia sanggup untuk mencegah bayinya terlempar ke dalamnya.”

Maka Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh, Allah lebih sayang kepada hamba-hamba-Nya daripada ibu ini menyayangi anaknya.” (HR Bukhari Muslim).

Saudaraku, jika kini kita semakin yakin betapa luasnya rahmat Allah Ta’ala maka seharusnya kita lebih bersemangat lagi untuk menjemputnya dan jangan sampai terlintas dalam benak pikiran untuk berputus asa. Sikap putus asa ini adalah sifat orang-orang kafir dan sesat.

“Mereka menjawab, ‘Kami menyampaikan berita gembira kepadamu dengan benar maka janganlah kamu termasuk orang-orang yang berputus asa.’ Ibrahim berkata, ‘Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Rabb- Nya, kecuali orang-orang yang sesat’.” (QS al-Hijr: 55-56).

Yakinlah, siapa pun kita masih terbuka peluang meraih rahmat Allah SWT, walaupun banyak dosa dan kotoran kesalahan menyelimuti diri kita. Ingatlah, selama kita masih menghela napas, maka pintu rahmat Allah SWT senantiasa terbentang luas.

Allah akan memberikan rahmat-Nya kepada orang-orang yang memintanya. Karena itu, bersegeralah bertaubat dan meraih rahmat-Nya. Wallahu a’lam.

Oleh: Ustaz M Arifin Ilham
sumber : www.republika.co.id

Monday, January 21, 2013

Manajemen Emosi

Dalam sebuah peperangan, Ali bin Abi Thalib—Karramallahu wajhah—terlibat duel dengan salah satu jawara kaum musyrik. Ia berhasil menjatuhkan lawannya.

Ketika Ali hendak membunuhnya, sang musuh meludahi Ali dan mengenai wajahnya. Atas hal itu, Ali mengurungkan niatnya dan berlalu meninggalkannya.

Orang musyrik itu pun memandang aneh sikap Ali. “Hendak ke manakah engkau?” ujarnya.

Ali menjawab, “Mulanya, aku berperang karena Allah, namun ketika engkau melakukan apa yang telah engkau lakukan terhadapku (meludahiku), aku khawatir membunuhmu hanya sebagai balas dendam dan pelampiasan kemarahanku. Jadi, aku membebaskanmu karena Allah.”

Orang itu pun berkata, “Semestinya kelakuanku lebih memancing kemarahanmu hingga engkau segera membunuhku. Jika agama yang kalian anut sangat toleran, maka sudah pasti ia adalah agama yang benar.”

Sekelumit kisah tersebut menunjukkan setidaknya empat nilai akhlak mulia. Pertama, menjaga ketulusan niat dan komitmen. Niat suci untuk berjihad karena Allah SWT yang sudah dibulatkan dalam hati yang bersih tidak boleh dinodai oleh niat lain yang dapat menggugurkan kesucian niat awal.

Jika kesucian niat sudah terkontaminasi oleh hal-hal yang tidak mulia, niscaya dapat merusak amal kebaikan dan menjadikannya tidak bermakna, sia-sia di mata Allah SWT. (HR Bukhari dan Muslim).

Kedua, menahan diri untuk tidak terprovokasi dan melakukan balas dendam merupakan akhlak yang sangat terpuji, terutama dalam suasana permusuhan dan peperangan. Manusia seringkali tidak bisa mengendalikan diri (emosi) jika dimusuhi.

Dalam hal ini, Ali justru tidak sudi membunuh musuh yang terang-terangan telah meludahinya, meskipun beliau dapat melakukannya terhadap musuh yang sudah tidak berdaya.

“Orang yang kuat bukanlah karena kehebatan kekuatannya, akan tetapi orang yang kuat itu adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya di saat marah.” (Muttafaq 'alaih).

Ketiga, mengelola kemarahan dengan tidak mendendam merupakan energi positif untuk memberi ruang bagi munculnya sikap arif dan mau memaafkan orang lain. Memberi maaf jauh lebih baik daripada melampiaskan balas dendam.

Alquran mengajarkan kepada kita untuk membela diri jika diperlakukan secara zalim. Namun, memberi maaf lalu berdamai itu pasti lebih indah dan damai. (QS as-Syura [42]: 39-40).

Keempat, sikap lapang dada dan besar hati untuk hidup damai merupakan kata kunci toleransi dan kerukunan hidup. Kemarahan pada dasarnya wajar (manusiawi), tetapi membiarkan kemarahan tanpa kendali adalah awal dari sikap dan perilaku disharmoni.

Karena itu, ketika ada seorang sahabat menemuni Nabi dan meminta nasihat kepadanya, beliau menyatakan, “Jangan marah! (beliau mengulanginya sampai tiga kali).” (HR Muslim).

Manajemen emosi dan kemarahan dapat diterapi dengan berwudhu, karena marah itu ibarat bara api yang bergejolak dan hanya dapat padam jika disiram dengan air.

Manajemen emosi bisa berfungsi lebih efektif dan optimal jika dibarengi dengan zikrullah (mengingat Allah), beristighfar kepada-Nya, mengingat kematian, berbaik sangka, berpikir positif, dan bersabar. Wallahu a'lam.
Oleh: Muhbib Abdul Wahab
sumber : www.republika.co.id

Sunday, January 20, 2013

Pentingnya Sikap Istiqamah

Kecerdasan akal merupakan karunia Allah dan modal untuk meraih tujuan dan cita-cita. 

Namun, modal tersebut belum cukup sebab kecerdasan akal harus dilengkapi dengan kecerdasan spiritual dan emosional.

Betapa banyak sahabat di bangku sekolah dasar hingga kuliah yang hebat kemampuan akalnya, namun ketika terjun di masyarakat dilampaui peranan dan kesuksesannya oleh sahabat-sahabat lain yang pada masa pendidikan biasa-biasa saja.

Akal memerlukan pemeliharaan ketajaman dan kecerdasannya. Pemeliharaan tersebut dilakukan oleh jiwa dengan cara menjaga semangat, ketekunan, keteguhan dan komitmen atau di dalam bahasa agama dengan sikap istiqamah.

Jika akal istiqamah dengan tujuannya, maka istiqamahlah seluruh anggota badannya, sebaliknya jika akal bengkok maka hilanglah fokus pada tujuan yang dimaksudkannya.

Islam memandang penting sikap istiqamah setelah seseorang meyakini kebenaran akidah. Allah SWT memerintahkan baginda Rasulullah SAW untuk bersikap istiqamah melalui firman-Nya,  "Maka istiqamahlah engkau (Muhammad) di jalan yang benar..." (QS. Huud: 112).

Sikap istiqamah juga dipegang teguh oleh para sahabat dalam mempertahankan keimanan mereka, betapa pun ejekan, intimidasi dan penyiksaan terus menimpa. Lihatlah penyiksaan yang dialami oleh Bilal bin Rabah, namun semua bentuk intimidasi dan penyiksaan tersebut sama sekali tidak menggoyahkan keimanannya.

Kita (kaum muslimin) juga diperintahkan oleh Allah SWT untuk beristiqamah dalam memegang teguh dan menjalankan agama ini dengan disertai memohon ampun kepada-Nya. (QS. Fushilat: 6).

Istiqamah menjadi penting di dalam beragama maupun di semua bidang usaha karena ia merupakan kumpulan dari cabang ibadah dan keimanan serta pembuka bagi jalan yang lurus, Maka Rasulullah SAW pun berwasiat kepada kita semua agar kita senantiasa beristiqamah, "Katakanlah, aku beriman kepada Allah kemudian beristiqamahlah." (HR. Muslim).

Sedemikian pentingnya sikap istiqamah, sehingga tidak ada satu usaha (ikhtiar) yang berujung pada keberhasilan tanpa dilandasi oleh sikap istiqamah. Rasulullah SAW telah memberikan petunjuk mengenai sikap istiqamah melalui sabdanya, "Tidaklah istiqamah iman seseorang sampai hatinya istiqamah. Dan sekali-kali hati seseorang tidak akan istiqamah sampai lisannya dulu istiqamah).”

Adapun keuntungan bagi orang-orang yang istiqamah, maka mereka ini akan senantiasa merasa dekat dengan Allah, tenang hati dan pikirannya, pandai menerima takdir, tidak takut dan khawatir dalam menghadapi segala macam cobaan dan rintangan dalam kehidupan dunianya, selalu optimis dan tidak kenal kata putus asa.

Sebagaimana kabar gembira yang diberikan Allah SWT, "Sesungguhnya orang-orang yang berkata, "Tuhan kami adalah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan berkata), "Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu.”

“Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat. Di dalamnya (surga ) kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan mendapatkan apa yang kamu minta." (QS. Fushshilat: 30-31). Wallahu a'lam.Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA

sumber : www.republika.co.id

Saturday, January 19, 2013

Kejujuran Mahkota Kehidupan

"Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati." (QS Ghafir: 19).

"Sesungguhnya Rabb-mu benar-benar mengawasi." (QS al-Fajr: 14).

Suatu hari, Khalifah Umar bin Khattab berjalan melintasi padang rumput. Dia terpesona melihat kambing-kambing yang gemuk dan sehat.

Dia kemudian menemui sang penggembala dan berniat untuk membelinya. Namun, budak itu menolak, dengan alasan kambing itu punya majikannya.

Khalifah Umar berkata lagi, "Bilang saja kepada majikanmu bahwa kambing itu dimakan serigala."

Namun, apa kata si bocah gembala? "Kalau begitu, di mana Allah?" Akhirnya, Umar membebaskan budak tersebut dan menyerahkan seluruh kambing itu kepadanya.

Pada waktu lainnya, ketika musim paceklik, Khalifah Umar berjalan berkeliling Kota Madinah. Sebelumnya, dia mewanti-wanti kepada kaum Muslim agar jangan berlaku curang.

Ketika pada suatu malam dia melintas dekat sebuah rumah, terdengar percakapan antara seorang ibu penjual susu dan anak gadisnya. Sang ibu menyuruh anaknya untuk mencampur susu tersebut dengan air, supaya hasilnya lebih banyak dan mereka untung lebih besar.

Namun, sang gadis tidak mau, karena Khalifah Umar melarang warga mencampur susu dengan air. "Memang, tidak ada orang yang mengetahui perbuatan kita. Tapi, di mana Allah? Allah dan para malaikat tahu, dan besok di hari kiamat kita akan dimintai pertanggungjawabannya," kata si gadis.

Mendengar kejujuran sang gadis, Khalifah Umar lalu mengambilnya sebagai menantu.

Dua kisah di atas menggambarkan betapa agungnya kejujuran. Kejujuran yang lahir dari iman yang teguh kepada Allah SWT. Iman yang meyakini bahwa Allah Mahamelihat apa pun yang kita lakukan, biarpun tidak ada orang lain yang tahu. Selalu jujur kapan pun dan di manapun. Selalu merasa diawasi oleh Allah SWT (muraqabah).

Rasul SAW memerintahkan kepada setiap Muslim untuk selalu bersikap dan berbuat jujur. Sebaliknya, Rasul SAW mengingatkan setiap Muslim agar menghindari sikap dan perbuatan dusta.

Mari kita simak hadis berikut ini: "Bersikaplah jujur. Sesungguhnya kejujuran mengantarkan pada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan ke surga… Jauhilah bohong. Sesungguhnya kebohongan menyeret pada kedurjanaan, dan kedurjanaan menyeret ke neraka…" (HR Muslim).

Jujur adalah mahkota kehidupan. Karena itu, sudah seharusnya kaum Muslim senantiasa berpegang teguh pada kejujuran. Kejujuran akan mencegah seseorang dari melakukan hal-hal yang tidak diridai Allah SWT.

Misalnya, korupsi, berjudi, berzina, mencuri, merampok, menipu, memperdaya orang lain, dan berbagai perbuatan buruk lainnya yang selama ini, dan terutama akhir-akhir ini, makin sering terjadi di negeri ini.

"Sesungguhnya Allah itu cemburu. Cemburunya Allah, yaitu jika seseorang melakukan sesuatu yang diharamkan terhadapnya." (HR Bukhari-Muslim).
Oleh: A Riawan Amin

sumber : www.republika.co.id

Friday, January 18, 2013

Semangat Bekerja Keras

Tahun baru 2013 baru saja kita jalani. Di tahun ini, semangat bekerja keras dan berusaha harus kita terus tingkatkan. Setiap umat Islam, menjaga semangat dalam bekerja dan berusaha merupakan anjuran Rasulullah SAW yang harus terus dijaga dan dipupuk.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, Rasulullah pernah bersabda, “Tiada makanan yang baik bagi Anak Adam kecuali yang ia dapat dari tangannya sendiri. Sungguh, Nabi Daud AS makan dari hasil tangannya sendiri.”

Dalam hadits lain yang diriwayatkan Baihaqi, Rasulullah pernah bersabda “Sesungguhnya, sebaik-baik mata pencaharian adalah seorang berwirausaha.”

Islam sebagai agama Allah yang sempurna memberikan petunjuk kepada manusia tentang bidang usaha yang halal dan cara berusaha. Keagungan Islam tidak hanya memerintahkan manusia bekerja untuk kepentingan individual secara halal, namun juga mengajarkan cara manusia berhubungan baik sesama bagi kepentingan dan keuntungan kehidupan mereka di bumi ini. 

Sebagai umat Islam, menjaga semangat dalam bekerja menjadi sebuah keharusan untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Karena itu, Islam benar-benar mengajarkan umatnya untuk bekerja keras, mandiri dan tidak pantang menyerah.
Setidaknya terdapat beberapa dalam kandungan Alquran maupun Hadis yang dapat menjadi rujukan pesan tentang semangat kerja keras dan kemandirian ini. Seperti Hadis yang diriwayatkan Abu Dawud, Rasulullah pernah bersabda, “Amal yang paling baik adalah pekerjaan yang dilakukan dengan cucuran keringatnya sendiri.”

Islam memandang bahwa bekerja merupakan satu kewajiban bagi setiap insan. Karena dengan bekerja, seseorang akan memperoleh penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan juga keluarganya serta dapat memberikan maslahat bagi masyarakat di sekitarnya.

Dalam sebuah Hadis disebutkan, “Dari Anas r.a. berkata : Nabi SAW bersabda ” Bukan orang yang baik diantara kamu, orang yang meninggalkan kepentingan dunia untuk mengejar akhiratnya, atau meninggalkan akhirat karena mengejar dunia, sehingga dapat mencapai keduanya, karena dunia bekal untuk akhirat, dan kamu jangan menyandarkan diri pada belas kasihan orang”.

Menurut Isa Abduh dan Ahmad Ismail Yahya dalam al-Amal fi al-Isl’m, Islam adalah agama yang menekankan amal atau bekerja. Sebab, amal atau bekerja merupakan salah satu cara praktis untuk mencari mata pencarian yang diperbolehkan Allah SWT.

Bekerja dalam Islam merupakan kewajiban bagi setiap individu atau kelompok. Konsep amal dalam Islam sangat luas dan tidak hanya menyangkut soal bisnis atau dagang. Amal adalah setiap pekerjaan yang dilakukan manusia yang pantas untuk mendapatkan imbalan (upah), baik berupa kegiatan badan, akal, indra, maupun seni.

Dalam sebuah kitab dijelaskan, orang yang dengan ikhlas bekerja keras, Allah SWT akan memberikan beberapa ganjaran, seperti: pertama, akan diampuni dosa-dosanya oleh Allah SWT. Kedua, dihapuskan dosa-dosa tertentu yang tidak dapat dihapuskan dengan shalat, puasa dan shadaqah. Ketiga, mendapatkan cinta Allah SWT. Keempat, terhindar dari azab neraka dan terakhir bekerja mencari nafkah digolongkan dalam fi sabililah.

Karena itu, di tahun baru ini, patut kita terus menjaga semangat bekerja keras dengan keringat kita sendiri. Dengan begitu, kita Insya Allah termasuk ke dalam golongan yang selamat dunia dan akhirat. Amin.
Oleh: Dr HM Harry Mulya Zein

sumber : www.republika.co.id

Thursday, January 17, 2013

Keutamaan Bertobat

Ada seorang tukang kayu yang amat mencintai seorang budak wanita milik tetangganya. Suatu hari pemilik budak itu mengutusnya ke suatu desa untuk sebuah keperluan. Si tukang kayu itu pun membuntutinya.

Di tengah perjalanan pria itu merayunya. Wanita itu berkata, “Janganlah lakukan hal itu. Memang aku sangat mencintaimu, tetapi aku sangat takut kepada Allah.”

Mendengar itu, pria itu tersentak dan sadar bahwa apa yang akan diperbuatnya itu adalah dosa, lantas pria itu menyahut, “Engkau takut kepada Allah SWT, sedangkan aku sendiri tidak takut kepada-Nya?”

Kemudian, ia kembali ke kampungnya dan bertobat. Di tengah terik matahari yang sangat panas, pria itu mengalami kehausan yang hampir saja mencekik lehernya.

Tidak lama kemudian, datang seorang nabi dari Bani Israil dan bertanya tentang keadaannya. “Apakah yang terjadi denganmu?”

Ia menjawab, “Aku kehausan dan merasakan panasnya terik matahari.”

Nabi itu berkata, “Marilah kita berdoa hingga Allah memberi kita naungan berupa awan sampai kita memasuki perkampungan itu.”

Ia berkata, “Aku tidak mempunyai amalan yang baik satu pun.”

Nabi itu berkata, “Jika demikian halnya, aku akan berdoa kepada Allah dan hendaklah engkau mengamininya.”

Lalu, nabi itu pun berdoa, sementara pria tukang kayu itu mengamininya. Akhirnya, selama dalam perjalanan mereka selalu dinaungi oleh awan hingga mereka sampai di perkampungan yang dituju.

Tukang kayu tersebut pergi ke rumahnya, tapi awan itu masih menaunginya. Nabi itu berkata lagi, “Engkau mengatakan bahwa tidak mempunyai amalan baik sedikit pun, kemudian aku yang berdoa, sedangkan engkau yang mengamininya sehingga kita selalu dinaungi oleh awan. Aku sengaja mengikutimu agar engkau memberi tahuku tentang urusanmu.”

Setelah itu, pria tersebut menceritakan keadaan yang baru saja dialaminya kepada nabi itu. Mendengar penuturan pria itu, nabi berkata, “Orang yang bertobat kepada Allah akan mendapatkan kedudukan di sisi-Nya dengan kedudukan yang tidak didapatkan orang lain.”

Kisah di atas memberikan pelajaran kepada kita akan keutamaan orang yang bertobat berupa kedudukan yang tinggi di sisi Allah SWT. Pertama, orang yang bertobat adalah orang yang menyadari dan menyesali akan kesalahannya serta mengetahui akan keburukan dosanya sehingga membuat dirinya bertekad untuk tidak mengulanginya lagi.

Hal ini menjadi sebab dihapuskan segala kesalahannya sehingga seolah-olah ia tidak memiliki dosa. (QS al-Anfal [8]: 38). “Orang yang bertobat adalah laksana orang yang tidak memiliki dosa.” (HR Ibnu Majah).

Kedua, orang yang bertobat adalah orang yang mengetahui bahwa tidak ada yang dapat mengampuni dosanya kecuali Allah sehingga ia selalu mendekati-Nya dan hidup di atas jalan-Nya. Hal ini menjadikan Allah bergembira dengannya, mencintainya, dan menempatkannya pada kedudukan yang mulia.

Sebagai manusia, kita tidak luput dari dosa. Dan, sebaik-baiknya orang yang berdosa adalah bertobat atas dosanya. Untuk itu, mari kita bersegera bertobat kepada Allah SWT dan membiasakan diri beristighfar setiap hari agar mendapatkan keberuntungan dan kedudukan yang tinggi di sisi Allah SWT. Amin. Wallahu a’lam.
Oleh: Moch Hisyam

sumber : www.republika.co.id

Wednesday, January 16, 2013

Nasihat Bisu

Bahasa apa yang paling indah untuk mengingatkan ujung perjalanan? Bisikan seperti apa yang paling menggugah untuk menyadarkan betapa hidup hanyalah suatu penantian?

Sambil menanti jemputan, kita pun merenda waktu dengan asyik bercanda. Padahal, tanpa mengetuk pintu, utusan langit pasti datang menjemput tanpa menyapa. Malaikat maut pemutus kelezatan siap merenggut.

Wahai para penempuh jalan, kitab seperti apa yang akan kau jadikan petunjuk, sedangkan setiap ayat Alquran adalah cahaya penerang kebahagiaan.

Nasihat seperti apa lagi yang engkau butuhkan, sedangkan Rasulullah bersabda, "Nasihati dirimu dengan dua hal. Nasihat yang berbicara yaitu Alquran dan nasihat yang bisu yaitu kematian."

Dengarkan dan simaklah dengan rasa haru, betapa Sayidina Ali memberikan fatwanya yang sangat indah.

Ia berkata, "Ketahuilah wahai hamba-hamba Allah, kamu sekalian serta segala yang kamu miliki dari dunia ini berada di jalan orang-orang sebelum kamu yang telah pergi meninggalkannya.”

“Mereka lebih panjang usianya daripada kamu, lebih makmur kediamannya dan lebih membekas peninggalannya. Suara-suara mereka kini redup membisu, kegiatan mereka tak berbekas, tubuh-tubuh mereka hancur, rumah-rumah mereka sunyi senyap dan peninggalan mereka kini hanya reruntuhan.”

"Nama dan panggilan mereka sirna diterkam warna zaman. Istana yang dilulur manik manikam dan permadani, kini hanya fosil bebatuan. Tempat-tempatnya berhimpitan, namun penghuninya berjauhan. Betapa mungkin mereka saling berkunjung, sedangkan jasad-jasad mereka telah hancur luluh oleh kerapuhan."

"Kini bayangkanlah seolah-olah kalian sendirian telah menjadi mereka. Tertahan di atas tempat pembaringan seperti itu, terkungkung dalam ruangan gelap pengap. Tubuhmu yang gagah, kini ajang pesta rayap-rayap kecil.”

“Apa kiranya yang akan kalian lakukan apabila telah sampai akhir perjalanan. Saat gundukan tanah terakhir menutup lubang kuburan, jawaban apa yang akan engkau berikan pada saat sidang peradilan? Sedangkan junjungan tercinta Rasulullah SAW bersabda, ‘Ketahuilah bahwa kubur itu taman-taman yang ada di surga atau lubang dari segala lubang di neraka’." (HR Tirmidzi).

“Maka datangilah kuburan. Biarkan setiap nisan bisu itu menjadi nasihat untuk dirimu. Tataplah dengan penuh rasa haru. Di hadapanmu ada gundukan tanah yang memeluk tulang belulang. Di antara mereka ada yang namanya disanjung atau dipasung."

"Di antara mereka ada yang hidupnya mewah penuh suka cita gelak tawa. Tetapi, ada pula mereka yang selama hidupnya didera deru derita penuh duka. Kini tubuh mereka bernasib sama, bisu beku, mendebu. Tetapi, ruhnya berbeda-beda. Ada yang memasuki taman surga, ada yang menjerit memasuki lubang-lubang gelap yang lebih gelap lagi.”

Orang bijak berkata, "Ketika terlahir engkau menangis dan semua yang menyambut tertawa. Maka, ketika datang hari perjumpaan, jadikanlah dirimu tertawa menatap taman surga dan orang-orang menangis duka kehilangan dirimu."

Karena itu, jadilah anggota rombongan yang tahu ke mana akhir perjalanan mengarah.
Oleh: KH Toto Tasmara

sumber : www.republika.co.id

Tuesday, January 15, 2013

Kebaikan Bulan Shafar

Shafar adalah bulan baik dan mulia, sebagaimana sebelas bulan lainnya yang telah ditetapkan Allah SWT dalam hitungan satu tahun.

Kebaikan bulan tersebut menurut Dr Taisir Rajab Al Tamimi terletak pada eksistensi bulan tersebut sebagai bulan Allah yang diperbolahkan bagi manusia untuk melakukan perbuatan apa saja dengan catatan kebaikan dan takwa.

Adapun anggapan yang memandang bulan shafar sebagai bulan kesialan dan tidak menguntungkan yang mengakibatkan sekelompok orang tidak berani melakukan akad nikah dan bepergian di bulan Shafar, merupakan pandangan tanpa dasar kuat yang tidak lain merupakan sisa-sisa kepercayaan kaum Jahiliyah.

Mereka jika hendak bepergian memiliki kebiasaan melemparkan burung ke udara dan mempercayainya bahwa jika burung tersebut terbang ke arah kanan maka mereka jadi bepergian dan jika burung tersebut terbang ke arah kiri, maka mereka menunda rencana bepergian.

Betapa menyulitkan tradisi tersebut, jika hingga kini masih ada yang melestarikannya. Pasalnya, bukan hanya akan mengganggu kegiatan kemanusiaan secara menyeluruh, melainkan juga menunda banyaknya kebajikan yang seharusnya dapat dilakukan.

Apalagi, binatang, alam dan segala yang ada di dunia ini diciptakan dan ditundukkan bagi manusia agar dapat melaksanakan fungsi kepemimpinan dan memakmurkan bumi.

Namun demikian, dewasa ini tindakan serupa masih terjadi, walaupun obyeknya bukan lagi manusia. Penggunaan Paul Si Gurita, Onta, Babi, Sapi, Burung, dan binatang lain untuk memprediksi kemenangan pertandingan sepak bola merupakan kegiatan naif yang menumpulkan akal manusia.

Kebanyakan manusia menyadari bahwa kegiatan tersebut sekedar mencari sensasi karena keakuratannya tidak valid sebab sumberdaya binatang hanya terletak pada instingnya. Bagaimana mungkin akal manusia yang istimewa tunduk pada insting binatang yang alakadarnya?

Dalam rangka mengarahkan kepercayaan yang salah menjadi benar, Rasulullah SAW bersabda, "Tidak ada 'adwa (penularan penyakit tanpa seizin Allah), thiyarah (kepercayaan pada burung yang membawa kesialan), hammah (kepercayaan burung hantu yang hinggap di atas rumah sebagai pertanda kematian) dan Shafar (kesialan di bulan shafar)." (HR. Bukhari Muslim).

Maksud dari hadis tersebuat adalah peniadaan segala bentuk kepercayaan pada makhluk baik berupa penyakit, benda (jimat), binatang, bulan tertentu dan semacamnya yang dipandang membawa kesialan atau mara bahaya. Hal tersebut karena, pertama: Allah-lah yang menciptakan, mengatur, menguasai, mengizinkan segala sesuatu terjadi sesuai dengan takdir-Nya. (QS. Yunus: 31-33). Tanpa izin Allah, tentu semua kepercayaan itu hanya pepesan kosong belaka.

Kedua, Rasulullah SAW mengganti kepercayaan buruk dengan cara berpikir positif bahwa yang bermanfaat bagi manusia terhadap sesamanya dan Allah SWT adalah berpikir baik dan positif dalam bentuk perkataan baik sebab perkataan baik merupakan representasi pikiran yang baik.

Ketiga, berkeyakinan bahwa tidak ada yang dapat membahayakan manusia selama dirinya mengingat terus Allah dan berpegang teguh pada agama-Nya. Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa yang dipalingkan dari keperluannya oleh perasaan bernasib sial, maka sungguh dia telah bersuat syirik."

Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, apa penebus perasaan itu." Beliau menjawab, "Salah seorang dari kalian mengucapkan, ‘Wahai Allah, tidak ada kebaikan melainkan kebaikan-Mu. Tidak ada kesialan kecuali kesialan yang engkau takdirkan dan tidak ada sembahan selain-Mu’." (HR. Ahmad).

Dari petunjuk Rasulullah SAW tersebut tampak jelas bahwa tidak manusia, benda, binatang, hari maupun bulan yang membuat diri kita menjadi sial, kecuali kesialan yang kita ciptakan sendiri dalam bentuk perbuatan buruk, dosa dan melanggar aturan agama. Wallahu a'lam.

Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA

sumber : www.republika.co.id

Monday, January 14, 2013

Hukum Tarik-Menarik

Baru-baru ini, seorang rekan hadir dalam sebuah pelatihan motivasi.

Dan sebagaimana umumnya, peserta diberikan motivasi bahwa kita bisa mendapatkan, mencapai, dan menjadi apa saja yang diinginkan.

Syaratnya harus tahu pasti apa yang kita mau, kemudian secara konsisten memvisualisasikan atau menuliskan keinginan tersebut dan membacanya berulang-ulang.

Konsep motivasi ini sudah sangat umum dan diyakini oleh masyarakat dari beragam agama dan kepercayaan. Salah satu yang terkenal adalah the law of attraction atau hukum tarik-menarik.

Bahwa, pikiran kita yang dominan akan menarik keadaan yang sejenis dengan pikiran tersebut ke dalam kehidupan kita. Sebagian teman membenarkannya berdasarkan kesesuaian dengan hadis Qudsi yang diriwayatkan Bukhari. "Aku bersama prasangka hamba-Ku."

Namun, benarkah demikian? Ketika kita memvisualisasikan atau mencatat keinginan-keinginan itu, sudahkah kita bertanya dari mana sumber keinginan tersebut? Apakah motif di balik keinginan itu?

Adakah bermotif ibadah ataukah sekadar ketamakan dunia? Apakah kita tahu pasti akan berakhir dengan kebaikan? Dari manakah datangnya, apakah hasil dari petunjuk yang didasarkan pada iman, hasil tahajud, istikharah, ataukah buah dari hawa nafsu?

"Tidak ada musibah yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin Allah; dan barang siapa beriman kepada Allah, niscaya Allh akan memberi petunjuk kepada hatinya." (QS At-Taghabun [64]:11).

Lihat juga peringatan dalam Surah al-Furqan [25]: 43-44, tentang manusia-manusia yang menjadikan keinginannya sebagai tuhannya. Padahal, keinginan tersebut berdasarkan hawa nafsu semata. Kita hendaknya berhati-hati dengan konsep-konsep motivasi sekuler ini. Karena terkadang mengandung kebenaran namun bersifat parsial.

Hukum tarik-menarik akan menjadi benar, hanya jika dielevasi ke atas pada tatanan yang lebih tinggi yaitu kekuasaan Allah Yang Mahakuasa. Selain itu, hendaknya diperluas cakrawalanya ke dalam konteks kehidupan yang luas dan lengkap, yang terdiri atas kehidupan dunia yang fana dan kehidupan akhirat yang abadi.

Artinya, benar bahwa Allah bersama prasangka hamba-Nya. Namun, bukan prasangka hamba yang mewujudkan keinginan-keinginan. Dengan mengangkatnya ke tatanan yang lebih tinggi, kita seharusnya meyakini bahwa kebersamaan Allah jualah yang akan mewujudkan keinginan-keinginan tersebut.

Tanpa izin-Nya, walaupun kita sudah jungkir balik menuliskan, memvisualisasikan, dan mengulang-ulang secara konsisten segala apa yang diinginkan, niscaya hal itu tidak akan bisa terealisasi. Sebaliknya, hal itu akan membuat kita stres.

Perwujudan keinginan kita yang baik itu pun harus dilihat dalam konteks yang lebih luas. Tidak semua keinginan baik akan mewujud ke dalam kehidupan yang singkat ini.

Bisa jadi kebersamaan dengan Yang Mahakuasa tersebut akhirnya mewujudkan keinginan baik kita, namun tidak di dunia ini, melainkan di kehidupan abadi kita. Bukankah ini lebih baik ketimbang perwujudan di dunia yang sementara? Orang-orang yang beriman pasti akan membenarkannya. Wallahu a'lam.
Oleh: A Riawan Amin

sumber : www.republika.co.id

Sunday, January 13, 2013

Menahan Syahwat Korupsi

Dunia dan nafsu memang seumpama bayang-bayang, keduanya merupakan kerabat dekat. Saking dekatnya, perselingkuhan mereka dapat melahirkan beragam enigma kehidupan masyarakat kita saat ini.

Mulai dari persoalan dunia hiburan yang lebih senang mengeksploitasi keindahan tubuh wanita, sejumlah konflik dalam pemilukada yang tak jarang memicu konflik, hingga apa yang saat ini dikenal sebagai corruption by greed, atau korupsi yang dilakukan karena adanya sifat keserakahan untuk bisa hidup bermewah-mewahan di kalangan artis maupun pejabat.

Tak salah, jika kemudian nafsu sering diibaratkan dengan air laut, yang apabila diminum tidak menghilangkan dahaga tetapi hanya akan menambah haus. Jadi, manusia tidak akan puas memperturutkan hawa nafsunya. Sedangkan dunia tak ubahnya laksana fatamorgana.

Allah SWT telah menyindir tentang fatamorgana yang kerap menyilaukan manusia ini dalam surah Ali-Imran ayat 14. “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga).”

Khalifah Ali bin Abi Thalib pernah marah kepada saudaranya Aqil yang memintanya untuk mengambil uang kas negara demi melunasi utang-utangnya. “Saya sebetulnya sangat ingin membantumu, tapi tidak dengan uang kas negara,” kata Ali tegas.

Aqil tentu saja kecewa dan terus mendesak. Hingga akhirnya Ali pun marah. “Karena engkau terus mendesak dan tidak mau mendengarkan pendapatku. Aku menyarankan sesuatu yang dapat melunasi hutangmu. Lihatlah kotak uang di pasar itu, saat pasar sepi, ambil!”

Aqil terkejut, lalu bertanya, “Mengapa engkau menyuruh aku mencuri uang pedagang yang seharian bekerja keras?”

Ali bin Abi Thalib lantas menjawab, “Lalu, bagaimana bisa engkau mendesakku untuk mencuri uang seluruh rakyat negeri ini?”

Laksana roda pedati, hidup ini akan selalu berputar. Menyusuri irisan demi irisan kesenangan, duka dan lara. Rasa aman, kasih sayang, dan perhatian dari orang lain datang dan pergi seiring bergantinya hari. Itu adalah rahasia kehidupan yang dirajut oleh Allah untuk hambanya di dunia.

Hawa nafsu akan kemewahan dunia hanyalah akan membuat roda pedati enggan berputar kembali, dan rajutan kehidupan hancur tak berpola. Untuk itu, hanya sabar dan shalat tepat waktulah yang akan membuat roda pedati kembali berputar, dan rahasia kehidupan mengungkapkan keindahannya.

Sabar adalah ibu dari segala cita dan keinginan. Sementara shalat tepat waktu adalah rumus untuk dapat menguasai jiwa, hawa nafsu dan pikiran serta menentang syahwat korupsi. Sabar dan shalat tepat waktu adalah jalan untuk mendekatkan diri kepada Sang Pemilik segala keindahan dan kenikmatan sejati.
Oleh: Ma’ruf Muttaqien
sumber : www.republika.co.id

Saturday, January 12, 2013

Yang Terbaik

Sahabatku, tidak ada satu pun kejadian yang menimpa kita tak ada tujuannya (there is no coincident in life). Keterbatasan pengetahuanlah yang menyebabkan manusia buta akan makna dalam setiap peristiwa.

Hanya mereka yang berpikir dan terus meningkatkan ketawakalan karena mengimaninya, akan mendapatkan jawaban atas setiap pertanyaan dan merasakan kebahagiaan di balik kesusahan.

Memang, tak semua dari kita yang menyadarinya. Atau bahkan melakukan perenungan batin atas setiap kejadian yang menimpa. Padahal, perenungan dan berpikir adalah tugas mulia yang hendaknya manusia banyak melakukannya. Kenapa? Karena setelah itu, jiwa ini akan dibimbing-Nya untuk menemukan jawaban. Dan, iman pun semakin dikuatkan.

Pernah suatu ketika, dalam perjalanan pulang dari Bangladesh, awal Desember 2012 lalu, kami mengalami peristiwa yang menyedihkan jika diukur dari keinginan manusiawi. Pesawat yang ditumpangi, ada sedikit kendala teknis pada mesin dan divonis tidak bisa terbang malam itu.

Berpindah ke maskapai penerbangan lain adalah pilihan, padahal tugas menumpuk telah menunggu di Jakarta. Disaat jeda itu lah, suara adzan maghrib dari Bandara  memanggil dan shalat pun didirikan. Karena sedang di perjalanan, kami pun menjamaknya.

Bertegur sapa dengan sahabat yang berasal dari Bangladesh dan lama menetap di Amerika Serikat, adalah awal ceritanya. Seolah menduga kesulitan yang tengah dihadapi, sahabat yang duduk disamping kami itu pun bertanya: “Pasti Anda sedang ditimpa kesulitan,” ujarnya yakin. 

Saya bertanya balik: “Kok bisa bapak bisa menebak?” Dalam bahasa Inggris.  Lantas sahabat Bangladesh yang usianya sekira 60 tahunan berkata: “Iya, saya bisa lihat dari wajah Anda, namun sayangnya manusia baru ingat Allah Sang Pencipta di kala tertimpa kesulitan”.

Yakinlah, bahwa segalanya telah diatur oleh Yang Maha Kuasa, inti pesan dia.  Obrolan pun semakin hangat dan mendalam. Sahabat tersebut mengaku gelisah, kini berbagai aktivitas ibadah banyak yang dimudahkan atasnama rasionalitas dan kesibukan manusia.

Dia pun mengaku khawatir, kelak, akan banyak ibadah yang ditinggalkan oleh umat Islam hanya dengan alasan Islam itu memudahkan. Padahal dari setiap gerak dan ritualitas itu, ada makna mendalam yang boleh jadi belum diketahui.
Melalui sahabat tersebut, Tuhan seolah mengingatkan kami  tentang pentingnya ketawakalan dan berprasangka baik kepada-Nya. Bukankah Tuhan sesuai persangkaan hamba-Nya?

Hanya berselang beberapa belas menit setelah adzan Isya berkumandang, panggilan dari pilot pesawat kami tiba dan perjalanan pulang yang awalnya terkendala, seizin Allah, ajaib dapat  kembali dilanjutkan. Tidak perlu berpindah maskapai, karena tentu akan sangat merepotkan.

Namun sepanjang jalan, jiwa ini mengiyakan, bahwa obrolan santai dengan sahabat tadi memberikan keteguhan batin, bahwa seburuk apapun yang dialami, jika  iman menyertai dan tawakal menjadi pijakan, selalu ada hikmahnya.

Pertemuan tadi seolah hendak  menuntun kami untuk kembali mengingat makna kekhusyuan dan  pengutamaan ibadah kepada-Nya dibandingkan urusan lain. Agama memang tidak mempersulit, tapi bukan untuk dipermudah. Tidak boleh ada hal apapun yang memalingkan kita dari beribadah kepada-Nya.

Pertemuan itu pun sekaligus mengafirmasi bahwa Tuhan selalu memberikan yang terbaik. Manusiawi, bila kita merasa sedih dan takut. Tapi ingatlah,  sesungguhnya itu merupakan ujian. Sebentuk pengingatan bahwa ada kuasa yang melebihi kuasa manusia.

Tersenyum menghadapi seluruh peristiwa kehidupan, berprasangka baik kepada-Nya, bertawakal setelah berusaha keras, sertai doa ikhlas adalah jawabannya. Ingatlah, setiap saat, limpahan rahmat-Nya terus mengaliri helaan napas kehidupan. Hanya karena Dia memberi kita sedikit ujian, pantaskah nikmat yang sangat besar itu kita dustakan?
 Oleh: Sandiaga S Uno


sumber : www.republika.co.id

Friday, January 11, 2013

Mengubah Nasib

Dalam beberapa pidato yang menggetarkan hati jutaan pendengarnya, Presiden Soekarno beberapa kali menyelipkan petikan ayat suci Alquran.

Dalam sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) awal 1960-an, umpamanya, orator ulung itu mengutip penggalan surah ar-Ra’d [13]: 11… “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan yang ada pada mereka sendiri…”

Maksud Bung Karno kala itu menggemakan semangat bangsa Indonesia lewat forum internasional untuk mengubah keadaan (nasib) menjadi lebih baik di masa depan.

Presiden pertama RI itu tidak keliru, karena kata “qowmin” dalam teks aslinya—seperti dikutip Muhammad Abduh dalam Risalatut Taukhid—menyangkut nasib suatu kaum (masyarakat dan bangsa), bukan nasib seseorang.

Entah karena latah atau biar tampak beragama dengan baik dan benar, sampai sekarang pun banyak orang suka mengutip penggalan ayat itu bila bicara tekad untuk mengubah nasib. Tafsirnya pun meniru persis Soekarno—perubahan dari negatif (kurang mampu, miskin, terbelakang) menjadi positif (mampu, modern, maju).

Dalam kasus Indonesia sekarang, tafsir serupa itu justru malah bisa menampakkan kezaliman diri sendiri. Telaah para mufasir klasik tentang penggalan ayat itu mengungkapkan bahwa  sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu “kaum” dari keadaan baik (positif)—seperti telah ditetapkan-Nya—menjadi buruk (negatif).

Perkara keadaan kaum itu kemudian menjadi buruk, tentu itu karena kelancangan kaum itu sendiri.

Dalam “At-Tafsir al-Muyassar”, Dr ‘Aidh al-Qarni, seperti juga M Quraish Shihab dalam “Tafsir al-Mishbah”, diuraikan bahwa rahmat, hidayah, dan anugerah dari Tuhan yang semula serbabaik (positif), telah diubah menjadi buruk (negatif) oleh suatu kaum.

Tuhan konsisten tidak mengubah nikmat yang diberikan kepada suatu kaum, tetapi kaum itu sendiri yang mengubahnya menjadi niqmat (bencana).     

Untuk kasus bangsa kita, misalnya, siapa berani mengatakan bahwa surga dunia ciptaan Tuhan yang bernama Indonesia, yang subur makmur tiada terkira ini, sekarang berubah menjadi berantakan begini bukan karena ulah tangan bangsa Indonesia sendiri?

Kita mengubah anugerah dan nikmat Tuhan menjadi bencana dan laknat. Tuhan memberi kita kesyukuran dan kita membalasnya dengan kekufuran. Tuhan menanamkan iman ke lubuk hati hamba-Nya, kita malah asyik menyekutukan-Nya dengan berhala-berhala hiburan, politik, dan ekonomi.

Sungguh mengerikan kalau masih ada orang yang lantang berpidato, “Karena Tuhan tidak mengubah nasib suatu bangsa. Sebagai bangsa, kitalah yang harus mengubah nasib kita sendiri.” Naudzubillhi min dzalik.
Oleh: EH Kartanegara
sumber : www.republika.co.id

Thursday, January 10, 2013

Siapakah Tuhanmu?

"Siapakah Tuhanmu?" Jika ditanyakan kepada semua orang, termasuk diri kita sendiri, jawabannya suka meyakinkan, Allah adalah Tuhanku, tak ada yang lain. Terkadang agar lebih meyakinkan, pakai tanda seru, biar jelas dan tegas.

Padahal, dalam realitasnya kita tak sepenuhnya demikian. Kita sering salah menempatkan posisi Tuhan. Karena itu, semuanya perlu pembuktian.

Sekarang, cobalah hal yang sederhana. Silakan ibu-ibu pergi ke pasar seperti biasa belanja harian tanpa membawa uang. Untuk bapak-bapak, silakan pergi ke rumah makan dan makanlah disana, tanpa membawa uang. Gimana, bisa?

Biasanya suka pada tertawa. "Emangnya ke pasar, muter doang? Lah, nggak bawa uang, mau belanja pakai apa?" Yang bapak-bapak juga menjawab sambil tertawa kecil, sebab dianggapnya pertanyaan ini ada-ada saja. "Ngutang mah bisa kali. Yang namanya makan, ya bayar. Apalagi di rumah makan tertentu, bayarnya duluan."

Ini dia. Ini baru contoh kecil. Tuhannya udah bukan Allah, tapi duit. La ilaha illa fulus (uang). Nggak ada uang, maka kita nggak bisa berbuat apa-apa. Nggak bisa beli ini dan itu.

Sekarang, bertanyalah pada diri sendiri. Semua yang ada di langit dan di bumi ini, milik siapa? Milik Allah, kan? Termasuk pasar dengan segala isinya, juga milik Allah.

Nah, sekarang berangkatlah ke pasar. Minta terlebih dahulu kepada Allah. Masak iya yang berangkat ke pasar bawa uang, lalu ditemani Yang Punya Uang dan Punya Pasar, kemudian pulang ke rumah nggak bawa barang-barang belanja?

Cobalah cara yang kecil ini. Untuk sementara, nggak usah yang besar dulu, seperti pergi haji umrah, nggak pakai uang. Bangun rumah, nggak pakai uang. Memulai usaha, mengembangkan usaha, juga nggak pakai uang. Menyekolahkan dan nguliahin anak, nggak pakai uang. Beli motor atau mobil, nggak pakai uang.

Cobalah yang kecil dulu. Benar-benar pergi ke warung makan. Minta sama Allah dengan meyakinkan, bahwa kalau minta, ya mesti dikasih. Jangan minta sama yang menjaga dan menunggu warung. Minta sama Yang Punya Warung. Insya Allah dikasih. Malah bisa dikasih lebih. Plus bungkus, he he.

Insya Allah, cara-cara-Nya akan ditunjukkan oleh Allah untuk mereka yang percaya dan yakin. Tapi bagaimana mau yakin? Belum apa-apa sudah meminggirkan Allah. Dan tuhannya semakin banyak saja. Selain uang, dia ada berbentuk pikiran, atau kadang ikhtiar.

Ya, ikhtiar suka jadi tuhan juga. Belum lagi kehadiran kenalan, sahabat, keluarga, yang juga kerap menjadi Tuhan.

Oke. Mumpung masih di awal tahun, kembalilah bertuhan Allah. Sebenar-benarnya bertuhan Allah. Apa saja, andalkan Allah, berharap sama Allah. Bahwa kita bermuamalah, berdagang, bekerja, berusaha, berikhtiar, semua hanyalah adab kita, akhlak kita, dan ibadah kita, kepada Allah. Wallahu a'lam. 

Oleh: Ustaz Yusuf Mansur
sumber : www.republika.co.id

Wednesday, January 09, 2013

Usia dan Dosa

Fudhail bin Iyadh merupakan salah seorang sufi yang hidup semasa dengan Khalifah Harun al-Rasyid.

Suatu hari, ia berjumpa seorang kakek tua yang sedang bersandar di tongkatnya. Fudhail bertanya, “Berapa usia tuan?”

Sang kakek menjawab, “Enam puluh tahun.”

Fudhail bertanya lagi, “Apakah usia 60 tahun tuan gunakan untuk  ketaatan kepada Allah? Tuan hampir sampai,” (menemui ajal),” ujarnya.

Mendengar hal itu, sang kakek itu menangis tersedu-sedu. Ia berkata, “Aku galau. Umurku terbuang percuma. Aku banyak melakukan dosa. Aku pun tak tahu, apa yang akan Allah perbuat untukku.”

Mendengar ungkapan tulus itu, Fudhail menawarkan solusi. “Mau aku beri tahu jalan keluarnya? Pergunakan waktu tersisa untuk kebaikan, niscaya Allah SWT mengampuni kesalahan yang telah lalu,” kata Fudhail.

Dialog ini sangat inspiratif dan mendorong kita untuk merenung. Paling tidak ada tiga hal penting dalam hidup ini, yaitu usia, dosa, dan amal saleh sebagai bekal atau persiapan menyongsong kematian (al-isti`dad li yaum al-ma`ad).

Pertama, usia. Usia adalah waktu yang disediakan Tuhan untuk ibadah (QS Al-Furqan [25]: 62). Waktu terus berputar dan berlalu begitu cepat. Hari, bulan, dan tahun pun berganti. Lantas, apakah usia (waktu) yang kita miliki dipergunakan untuk kebaikan?

Inilah pertanyaan Fudhail yang mesti kita renungkan. Nilai usia tidak terletak pada jumlah (kuantitas)-nya, tetapi pada kualitas dan keberkahannya. “Sebaik-baik manusia adalah orang yang panjang umurnya dan bagus amalnya.” (HR Tirmidzi dan Ahmad dari Abi Bakrah).

Kedua, dosa. Manusia, pada umumnya, lebih mengingat kebaikan daripada dosa dan kesalahannya. Tapi, perlu diketahui, bahwa Allah SWT tak pernah lupa. Dia terus mencatat dosa manusia, dan memperlihatkannya kelak di hari Kiamat. (QS al-Mujadilah [58]: 6).

Supaya tidak mudah lupa dengan dosa yang kita lakukan, Imam Ghazali menyarankan agar kita melempar batu kecil (kerikil) di halaman rumah setiap kali melakukan dosa. Jika hal itu dilakukan, demikian al-Ghazali, maka boleh jadi, dalam waktu tidak terlalu lama, kerikil itu akan menumpuk dan menggunung.

Untuk menghapus dosa ini, maka cara yang harus dilakukan adalah bertaubat. Taubat berasal dari kata taba yang berarti kembali ke jalan yang benar dengan cara berhenti melakukan dosa, baik yang besar maupun kecil.

Taubat adalah akses yang disediakan Tuhan bagi hamba-hamba-Nya yang ingin kembali ke jalan-Nya. Bagi mereka yang bertaubat, Allah menyediakan pahala dan ampunan. (QS al-Furqan [25]: 70-71).

Ketiga, amal saleh. Secara harfiah, amal saleh bermakna kerja atau perbuatan yang mendatangkan kebaikan. Amal saleh adalah moode of existence atau cara beradanya manusia.

Manusia dipandang benar-benar eksis, bila ia bekerja dan berbuat kebajikan. Tanpa kerja (amal saleh), ia sama dengan tidak ada. Itu sebabnya, amal saleh menjadi satu-satunya faktor yang mempermudah jalan menuju Allah.

“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal saleh, dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya." (QS al-Kahfi [18]: 110). Wallahu a`lam.

Oleh: Dr A Ilyas Ismail

sumber : www.republika.co.id

Tuesday, January 08, 2013

Optimistis dengan Iman

Pada suatu hari, Ibrahim bin Adham, anak raja, yang beralih menjadi sufi ini, bertemu seorang yang sedang gelisah (galau).

Untuk menghibur dan dengan maksud membantu orang itu keluar dari keputusasaan dan kegalauan, Ibrahim menyampaikan tiga pertanyaan kepadanya.

Pertama, “Apakah sesuatu yang tidak dikehendaki Allah bisa terjadi di alam ini?” Jawabnya, “Tidak.”

Kedua, “Apakah rezeki yang ditetapkan Allah kepadamu bisa berkurang?” Jawabnya, “Tidak.”

Ketiga, apakah umur yang ditentukan Allah kepadamu bisa berkurang?” Jawabnya, “Tidak”! Lantas, mengapa engkau larut dalam kesedihan dan kegalauan,” sanggah Ibrahim.

Dialog ini menarik dan menyampaikan pesan berharga. Pertama, soal perlunya perhatian dan kepedulian kita kepada orang lain. Perhatian, juga tegur sapa, sangat penting, karena manusia pada abad ini makin tidak sosial. Perhatian dan kepedulian menjadi barang langka.

Kini, dengan kemajuan teknologi, alat-alat komunikasi memang membeludak alias bertebaran. Tapi, karena sibuk internetan, BBM-an, SMS-an, dan lain-lain permainan, kita tak jarang menjadi lupa dan abai pada orang-orang di sekitar kita.

Terjadi ironi di sini. Alat-alat canggih itu mampu mendekatkan yang jauh, tetapi dalam waktu bersamaan, bisa menajuhkan yang dekat.

Kedua, soal perlunya peningkatan peran dai dalam memecahkan persoalan umat. Dakwah tidak boleh dipersempit maknanya hanya sebagai ceramah atau retorika, tetapi merupakan usaha orang beriman mengindentifikasi dan mencari solusi terhadap problem-problem keumatan.

Dai, seperti ditunjukkan Ibrahim bin Adham, tak ubahnya seorang dokter. Ia pandai melakukan diagnosis dan memberikan resep dan terapi penyembuhan dengan cermat dan tepat.

Al-Bahi al-Huli, memang menyebut dai sebagai “Thabib al-Mujtama” (dokter sosial) yang harus menanggulangi berbagai penyakit masyarakat, baik penyakit moral, sosial, maupun spiritual.

Berbagai penyakit masyarakat itu, kata al-Huli, tak bakal bisa disembuhkan hanya dengan retorika, dengan cara memainkan kata-kata atau menggerak-gerakkan telunjuk.

Ketiga, soal perlunya penghayatan dan pengamalan iman. Iman, dalam pengertian generiknya, mengandung makna percaya atau lebih tepat lagi, menaruh kepercayaan, kepada Allah SWT. 

Kepercayaan kepada Allah SWT, Pencipta dan Penguasa alam jagat raya ini, menjadi sumber pengharapan (optimisme) bagi orang beriman. Maka logikanya, iman yang benar (al-iman) mesti menimbulkan rasa aman (al-amn) dan rasa damai (al-salam) yang tinggi. (QS al-Hasyr [59]: 23).

Iman adalah fitrah dalam arti panggilan dan kecenderungan primordial manusia (QS al-Rum [30]: 30). Dengan iman, manusia menjadi eksis dan survive, lantaran ia berada di jalan (orbit) Tuhan dan senantiasa menuju kesempurnaan dengan menghayati kehadiran-Nya melalui proses transendensi secara terus-menerus.

Dalam pengertian ini, iman menjadi sumber optimisme dan pangkal kebahagiaan. Inilah yang dipesankan Nabi dalam hadis Muslim, “Janganlah kamu mati, kecuali engkau penuh harap (optimistis) kepada Allah.” Wallahu a`lam. Oleh: A Ilyas Ismail

sumber : www.republika.co.id

Monday, January 07, 2013

Zikir Akhir Tahun

Istilah zikir berasal dari bahasa Arab, dzakara-yadzkuru-dzikr. Artinya menyucikan dan memuji (Allah); ingat, mengingat, peringatan; menutur; menyebut; dan melafalkan. Di dalam Alquran--yang juga disebut Adz-Dzikra--kita dapat menjumpai kata itu dalam berbagai bentuknya lebih dari 280 kali dengan beragam makna.
Zikir secara istilah berarti mengingat dan menyebut Allah. Seseorang yang mengingat Allah maka lisannya terus menyebut Allah. Dan, hatinya juga terus mengingat Allah.
Mengingat gerak hati sedangkan menyebut gerak lisan. Karena itu, zikir bisa dilakukan dengan hati (mengingat), bisa pula dengan lisan (mengucap). Perpaduan keduanya akan mengantarkan pada makna khusyuk.
Zikir sebenarnya merupakan inti dari doa yang kita panjatkan sehari-hari. Bahkan, amaliah yang selalu kita tautkan kepada Zat yang Menggerakkan, juga bagian dari zikir. Karena itulah, lazim kita temukan pembagian zikir pada empat bentuk: zikir qalbiyah, zikir aqliyah, zikir lisaniyah, dan zikir amaliyah.

Pertama, zikir qalbiyah (hati), yakni zikir dengan merasakan kehadiran Allah. Jika ingin menghabiskan akhir tahun pada tahun ini, silakan saja, tapi hendaklah amalan tersebut mengajak hati untuk meyakini bahwa Allah bersamanya.

Sadar dan ingat bahwa Allah selalu melihat, menatap, mendengar, dan mengetahui gerak-gerik hati, lintasan pikiran, dan ejawantah amaliahnya. (QS Saba: 3). Dalam terminologi agama, zikir qalbiyah ini lazimnya disebut ihsan.

Kedua, zikir aqliyah, yaitu kemampuan menangkap bahasa Allah di balik setiap gerak-gerik alam. Allah yang menjadi sumber gerak dan yang menggerakkan. Sejatinya kehidupan kita masuk dalam sebuah sistem universal dari Zat yang Menciptakan.

Kita berada dalam madrasah Allah, universitas jagad raya yang mencakup langit dan bumi dan terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berpikir (tafakur, zikir). (QS Ali Imran [3]: 190-191).

Ketiga, zikir lisan, yaitu buah dari zikir hati dan akal. Setelah melakukan zikir hati dan akal, barulah lisan berfungsi untuk senantiasa berzikir, menyebut dan mengagungkan Allah SWT. Apa yang di hati itulah yang dipikirkan, dan apa yang dipikirkan itulah yang diucapkan. Karena itu, orang yang berzikir, pasti mempunyai kepribadian jujur.

Abdullah bin Busr RA berkata, "Ya Rasulullah ajaran-ajaran Islam telah banyak padaku, maka beritahukanlah sesuatu yang dapat aku jadikan pegangan.” Rasulullah SAW pun menjawab, “Biarkanlah lisanmu terus basah dengan menyebut Allah." (HR Tirmidzi).

Keempat, zikir amaliyah yaitu menyatukan zikir hati, akal, dan lisan dengan keselarasan perbuatan sebagaimana tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Orang yang berzikir itu adalah al-muthi', orang yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya.

Karena itu, orientasi berzikir adalah melahirkan pribadi-pribadi yang bertakwa kepada Allah SWT. Dan mereka yang bertakwa akan senantiasa mendapat limpahan rahmat-Nya. (QS al-Araf: 96).

Momentum akhir tahun ini, sangat baik bagi kita untuk bermuhasabah dengan menghadiri majelis-majelis zikir untuk menuai keberkahan Allah. Republika sudah tepat dan istiqamah dengan menggelar zikir dalam menutup dan mengawali setiap pergantian tahun. Dengan berzikir, semoga kita senantiasa menjadi hamba-hamba-Nya yang diberkahi.
 


Oleh: Ustaz M Arifin Ilham


sumber : www.republika.co.id

Sunday, January 06, 2013

Amanah Terbesar

Dalam Alquran, banyak sekali ayat yang membicarakan amanah dalam berbagai konteksnya. Misalnya, amanah sebagai tugas-tugas keagamaan (33:72), larangan mengkhianati amanah (8:27), memelihara amanah (23:8, 70:32), menyampaikan amanah kepada yang berhak (4:58), dan lainnya.

Rasulullah saw juga mengingatkan dengan tegas akan pertanggungjawaban atas segala amanah yang Allah titipkan. Amanah berkaitan dengan kepemimpinan, dan kepemimpinan tidak lepas dari setiap manusia, apa pun kedudukannya.

Nabi saw bersabda, ''Setiap orang adalah pemimpin, imam (pejabat apa saja dan dalam tingkatan apa pun), suami, istri, dan pembantu rumah tangga pun merupakan pemimpin yang akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. (Hadits Riwayat Bukhari).

Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah menjelaskan, amanah adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain untuk dipelihara dan dikembalikan bila tiba saatnya atau bila diminta oleh pemiliknya.

Amanah adalah lawan dari khianat. Ia tidak diberikan kecuali kepada orang yang dinilai pemberinya dapat memelihara dengan baik apa yang diberikannya itu.

Amanah bukan hanya sesuatu yang bersifat material, tapi juga nonmaterial dan bermacam-macam. Semuanya diperintahkan Allah untuk ditunaikan. Ada amanah antara manusia dan Allah, manusia dan manusia, manusia dan lingkungannya, serta manusia dan dirinya. Lalu, apakah amanah terbesar?

Abdul Aziz bin Fauzan dalam buku Fiqh at-Ta’amul Ma’an Naas mengatakan, amanat terbesar adalah anak. Sekalipun anak menjadi penyejuk mata dan buah hati (25:74) dan perhiasan kehidupan dunia (18:46), ia adalah amanah yang berat bagi orang tua.

Amanah yang bisa menjadi fitnah dan musuh bagi orang tuanya (8:28, 64:14-15). Berbeda dengan amanah yang lain, seperti harta, kedudukan, dan pangkat yang bersifat ikhtiyari (pilihan) dengan batas waktu tertentu.

Begitu Allah menitipkan anak kepada orang tua, itu menjadi kewajiban sepanjang hayat. Sejak dalam kandungan, dilahirkan, disusui dua tahun, dibesarkan hingga dewasa, dan menikah. Bahkan, setelah menikah pun, secara moral dan sosial tetap tak bisa terlepaskan.

Anak saleh dan berakhlak karimah akan mengangkat harkat martabat orang tuanya di dunia dan akhirat. Orang tua akan bahagia jika anak taat beribadah dan berbakti kepada orang tua.
Sebaliknya, cobaan yang paling berat pun adalah anak. Nama baik, kehormatan dan kedudukan bisa sirna dan rusak sekejap karena ulah anak yang tidak baik.

Orang tua menderita jika anaknya tidak mau ibadah, akhlaknya buruk, dan durhaka. Apalagi, terjerumus pada tindak kriminal, pornografi, pergaulan bebas, narkoba, dan lainnya. Naudzu billahi min zalik.
Kewajiban orang tua untuk menjaga mereka dari api neraka, baik neraka dunia maupun ne raka akhirat (66:6) dengan pendidikan Islami.

Sepatutnya orang tua mencurahkan segala daya upaya, tenaga, pikiran, harta, dan waktu untuk menjaga dan mendidik mereka. Salah dalam mendidik maka orang tua yang akan menanggung akibatnya.
Pepatah Arab mengatakan, “Man yazro’ yahsud” (barang siapa menanam, ia yang akan menuai).
n
, Oleh: Ustaz Hasan Basri Tanjung MA
sumber : www.republika.co.id

Takut kepada Allah

Dari al-Qasim bin Muhammad, ia berkata, “Kami pernah bepergian bersama Abdullah Ibnu Mubarak. Selama dalam perjalanan, sering kali terbetik dalam hatiku, lalu aku berkata dalam hati, ‘Kelebihan apakah yang dimiliki orang ini dari kami sehingga ia terkenal di tengah masyarakat seluas ini? Kalau ia shalat, kami juga shalat.

Kalau ia berpuasa, kami juga berpuasa. Kalau ia berperang, kami juga berperang. Dan kalau ia menunaikan haji, kami juga menunaikan haji?’”

“Maka pada suatu malam, ketika kami berjalan-jalan di Kota Syam, tiba-tiba lampu padam. Seseorang dari kami berdiri, lalu mengambil lampu, atau keluar untuk mencari penerangan. Tak lama kemudian, ia pun datang membawa lampu.

Saat itu, saya melihat wajah Ibnu Mubarak dan janggutnya basah dengan air mata.” Saya pun berkata dalam hati, ‘Karena rasa takut inilah agaknya, orang ini dilebihkan atas kami. Barangkali ketika tak ada lampu, lalu gelap, ia ingat akan Hari Kiamat.’”

Pada era saat ini, padamnya lampu atau matinya listrik adalah hal biasa. Namun, bagi orang-orang alim yang terasah nuraninya dengan sejumlah ibadah mahdhah, fenomena alam yang kecil saja menjadi sesuatu yang menggetarkan jiwanya, yang menggiringnya menguak kebesaran Allah sehingga menjadikan dirinya merasa kerdil di hadapan-Nya.

Dari hatinya yang lembut, gelap gulitanya dunia ini bisa melambungkan spiritualitasnya sehingga semua itu ditangkapnya sebagai miniatur dari pengapnya alam kubur atau bahkan Hari Kiamat. Betapa semua fenomena alam ini membentangkan pelajaran dan pesan-pesan Ilahi yang sarat makna, seraya memuji-Nya (Ali Imran: 191) dan takut kepada-Nya (QS al-Fathir: 28).

Bila ketakutan (kepada Allah) ini sudah bertengger dalam hati manusa, ia akan membakar dan mengharu biru sarang-sarang syahwat yang bercokol dalam dirinya, mengusir dunia darinya, dan meremukkan hatinya sehingga selalu terpaut dengan akhirat. (QS an-Nazi'at: 40-41).

Selama manusia mempunyai rasa khauf pada Allah, ia tetap berada dalam jalan yang benar dan aman dari terseret arus kemaksiatan. Namun jika rasa takut pada-Nya sudah lenyap, ia akan tersesat jalan dan akan mudah terseok-seok dalam bujuk rayu setan. Meruyaknya perilaku korup, merebaknya perbuatan zina, masa bodohnya manusia dari usaha atau makanan yang halal atau haram, mudahnya meremehkan amanah, semua itu merupakan cermin mulai memudarnya ketakutan kepada Allah.

Berbeda dengan takut terhadap makhluk (manusia) yang ditandai dengan menjauh darinya, takut kepada Allah justru mendekat dan tak ingin jauh dari-Nya. Dan, itu antara lain bisa dilatih dengan memahami asma-Nya, selalu beribadah pada-Nya, tidak alfa dari amalan fardhu dan rajin menjalankan amalan sunah, menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya, serta hanya mengonsumsi barang-barang yang halal dan menghindari yang haram.

Kalau Ibnu Mubarak bisa takut kepada Allah melalui peristiwa yang sederhana—seperti tersimpul dalam narasi di atas—haruskah kita baru takut pada-Nya jika terbebas dari kecelakaan maut atau bila dokter sudah memvonis kematian buat kita?
Oleh: Makmun Nawawi

sumber : www.republika.co.id

Saturday, January 05, 2013

Zahra dan Ayah yang Lalai

Akbar adalah seorang yang supersibuk dengan urusan kantornya. Saking sibuknya, ia terkadang lupa memberikan waktu sejenak buat keluarga. Berkali-kali putri semata wayangnya, Zahra, ingin bermanja dengan ayahnya, tetapi sering tidak terlaksana.

Padahal, gadis berusia lima tahun itu sudah sangat kangen dengan ayahnya. Sang ibu pun harus memberi pengertian kepada Zahra tentang kesibukan ayahnya itu.

Suatu sore, di tengah kesibukan Akbar mengurusi berkas-berkas kantor, Zahra mendekatinya, seraya memohon untuk dibacakan cerita bergambar. “Maaf Zahra, ayah sedang sibuk. Dibacakan sama ibu saja, ya?” ujar Akbar.

Akan tetapi, Zahra tetap meminta sang ayah untuk membacakannya. Berkali-kali ia memohon dan mengharap ayahnya mau meluangkan waktu untuknya. “Ayah kan sibuk dan jarang punya waktu buat Zahra. Jadi, selagi ayah ada di rumah, ayolah, Yah. Zahra ingin ayah yang membacakannya,” harapnya.

Namun, Akbar tetap tak acuh dengan keinginan putrinya. Karena sering didesak, Akbar pun mulai hilang kesabarannya. Ia emosi. Ia mendorong putrinya sambil berkata dengan nada tinggi. “Zahra, ayah bilang nggak bisa. Ngerti nggak?” bentaknya.

Menyaksikan ayahnya semakin emosi, Zahra pun segera berlalu menuju pintu. Sesampainya di pintu, ia memandangi ayahnya dari belakang dengan mata berkaca-kaca. “Zahra sayang sama ayah,” ujarnya, kemudian menutup pintu ruang kerja ayahnya.

Tanpa menghiraukan, Pak Akbar kembali melanjutkan pekerjaannya.

Setelah selang beberapa saat, terdengar suara keras diiringi suara teriakan di depan rumah. Akbar pun bergegas mencari sumber suara. Ia kaget bukan kepalang. Ia menyaksikan anaknya, Zahra, tergeletak di tengah jalan dengan darah yang terus mengalir akibat tertabrak seorang pengendara sepeda motor yang kemudian melarikan diri.

Akbar segera membawa Zahra ke rumah sakit dengan mobilnya. Ia masih sempat mendengar suara Zahra yang meminta supaya dimaafkan karena sikapnya terhadap ayahnya tadi. Namun, kondisi Zahra yang demikian parah, nyawanya tak tertolong.

Akbar begitu menyesal. Ia memaki dirinya sendiri. Ia menyesali dirinya yang bodoh karena telah lalai. Dan akibat kelalaiannya, anaknya pun pergi untuk selama-lamanya.
Ia tak menyangka, seandainya ia membacakan buku cerita untuk Zahra, mungkin bukan seperti ini kejadiannya. Ia sangat menyesal, tetapi penyesalannya sudah terlambat.

Beberapa pelajaran penting dapat dipetik dari cerita singkat tersebut di atas, terutama bagi pemimpin rumah tangga yang telah memiliki buah hati, hendaknya bisa meluangkan waktu buat keluarga. Sebanyak apa pun aktivitas kita, tetaplah meluangkan waktu untuk keluarga.

Karena, keluarga menjadi pelita dan tempat yang damai bagi seseorang yang telah bekerja keras. Dan, anak adalah permata hati yang menjadi titipan Allah. Semoga kisah ini memberikan kita keteladanan dalam membangun sebuah rumah tangga yang terbaik demi mengharap rahmat Allah SWT. Wallahu a'lam.
, Oleh: Ismail Syakban

sumber : www.republika.co.id

Friday, January 04, 2013

Satu Hari Satu Ayat

Andai saja lembaran Alquran itu uang Rp 100 ribu atau Rp 50 ribu yang tergeletak, maka pasti banyak orang yang berebut mengambilnya. Padahal, Alquran itu bukan uang, tapi ia lebih daripada uang, dan takkan ternilai dengan uang.
Karena itu, dekatilah Alquran, baca, dan pahami isinya. Apalagi kalau ditambah dengan menghafalnya, niscaya rezekinya akan berbeda. Dan pasti akan tambah berbeda bila mau mengamalkan isi Alquran yang mulia itu. Baik mengamalkannya melalui keseharian maupun dengan cara membaca dan mempelajarinya setiap hari, dan juga dipergunakan dalam setiap shalat. Subhanallah.
Sekarang, coba ambil kertas dan pulpen. Tuliskanlah keadaan sahabat-sahabat semuanya sekarang ini dengan apa adanya, tanpa menambah atau menguranginya. Intinya semua yang dialami sekarang ini dan di masa lalu dituliskan semuanya. Misalnya utang, tuliskanlah berapa banyak utang itu? Anda punya tabungan, tuliskanlah sekarang ini jumlah tabungan Anda.
Kemudian, rumah yang anda tempati saat ini, apakah milik sendiri, kontrak/sewa, atau hasil pemberian orang tua? Berapa luas rumah itu? Kalau perlu, foto rumah itu. Dan seandainya ia milik anda, berapa nilainya saat ini.
Lalu tentang usaha Anda, apakah sudah berjalan dengan baik atau ada masalah, maju atau sedang sekarat? Kalau maju, seberapa majunya, dan jika rugi sebrapa kerugiannya.
Juga jangan lupa untuk menuliskan tentang jodoh Anda. Apakah saat ini sudah punya jodoh atau belum? Sudah punya anak atau belum? Tulislah semua keadaan Anda, termasuk keadaan yang sedang anda rasakan sekarang, apakah lagi kecewa, senang, sedih, atau susah?
Buat apa semua itu dicatat? Tujuannya adalah untuk merasakan secuil hakikat apakah benar kalau dekat dengan Alquran itu hidup akan berubah? Apakah dekat dengan Alquran itu anda akan untung, lebih beruntung, tambah kaya, hidup berkah atau sebaliknya?
Mumpung sebentar lagi tanggal baru dan tahun baru masehi, coba buktikan satu hari satu ayat anda hafalkan Alquran berikut dengan maknanya. Setelah itu, Anda baca juga Alquran satu hari satu halaman berikut terjemahnya. Rasakan perubahan apa yang terjadi?
Lakukan dan jalani kegiatan itu selama 1-2 minggu, 1-2 bulan, atau 1-2 tahun. Kemudian, buka lagi catatan yang telah anda tulis tentang rumah, harta, jodoh, usaha, serta lainnya. Kemudian bandingkan keadaan Anda setelah dekat dengan Alquran? Saya yakin, akan ada yang berbeda.
Jangan lupa, minta ampun sama Allah SWT, supaya amal saleh yang telah dikerjakan tidak ditujukan untuk menghapuskan dosa yang kita perbuat, melainkan langsung diangklat derajat hidup.
Cobalah buktikan. Sebab, Allah sudah menjamin hal itu. "Bacalah Alquran, sesungguhnya ia akan menjadi penolong di hari kiamat, bagi semua sahabatnya."
Pertanyaannya, siapakah sahabat Alquran itu? Jawabannya, adalah semua yang dekat dengan Alquran. Dan sahabat sejati akan selalu ada dan setia. Apalagi kalau mau mendakwahkan Alquran juga. Masya Allah.
Oleh: Ustaz Yusuf Mansur
sumber : www.republika.co.id