-

Monday, December 31, 2012

Temukan Penyebab dan Jawabannya

Atas izin Allah, saya menulis buku dengan judul yang sama dengan tulisan ini. Saya, dan kebanyakan manusia, senangnya mencari jawaban, bukan mencari penyebab. Sehingga kadang-kadang, jawaban yang ditemukan, temporer (sementara) sifatnya, bahkan palsu.

Saya contohkan, di dalam buku tersebut, seorang yang rumahnya tergenang air. Kondisi demikian jangan hanya mengambil kain pel. Tapi lihat, dari mana penyebab genangan itu?

Mungkin gentengnya yang bocor, karpet atas yang robek, talang air yang retak, atau saluran air yang mampet, maka perbaiki semua itu. Insya Allah, genangan air bisa teratasi permanen, bukan temporer.

Untuk urusan kehidupan, penyebab segala masalah adalah perbuatan kita yang berlumur dosa, maksiat, atau karena kita kurang dalam beribadah. Faktor lainnya, hanya sebagai lanjutan saja, atau wasilah. Karenanya, perbaiki diri dan ibadah, niscaya kehidupan ini akan membaik. So, fokuskan pada perbaikan diri.

Kalau kalimatnya saya panjangkan, begini; “... Dan hal yang menjadi fondasi dalam semua urusan kehidupan adalah shalat kita, sedekah kita, perilaku kita, jarangnya kita membuka Alquran, jarangnya ke masjid, jarangnya berzikir, jarangnya berdoa, seringnya bermaksiat, banyaknya dosa, harta haram menyelimuti diri, dan lainnya. Sehingga membuat kehidupan kita karut marut.”

Misalnya, seorang pengusaha yang sedang menuju ambang kebangkrutan, semua orang dia panggil untuk membantunya. Saya yakin, semua yang membantu itu tidak akan bisa menolongnya, hingga Allah yang membantu, atau mengizinkan seseorang untuk menyelesaikan problemnya. Karena itu, apapun masalah yang kita hadapi, segera periksa keadaan diri dan ibadah, sebelum semuanya menjadi terlambat.

Paling awal, periksalah shalatnya. Sudah benarkah shalat kita? Lebih suka menunda-nunda atau langsung dikerjakan? Atau malah tidak melaksanakan sama sekali. Kalau semuanya sudah dilaksanakan, periksa lagi bagaimana dengan amalan sunnahnya?

Jika semuanya sudah beres, evaluasi lagi dosa-dosa dan kemaksiatan yang pernah kita lakukan. Apakah syirik kepada Allah, durhaka sama orang tua, berzina, memakan harta yang haram, suka minuman keras, memutuskan hubungan silaturahim, atau kita kikir dan suka berghibah? Bila ditemukan semua penyebabnya, niscaya akan didapatlah jawabannya. Insya Allah, Allah akan menolong.

Rumah tangga berantakan, jangan menyalahkan keadaan suami atau istri, apalagi menyalahkan kehadiran orang lain. Coba cari segala penyebabnya? Jangan sampai, jika suatu saat berumah tangga lagi, hasilnya pun akan sama.

Saudara memiliki anak-anak yang bandel, coba cari penyebab pada diri saudara. Insya Allah, anak-anak akan saleh-salehah. Istilah saya, pendidikan terbaik dengan juga fasilitas terbaik, nggak banyak pengaruhnya pada anak, kalau sumber rezeki kita untuk menyekolahkannya berasal dari sumber yang haram. Apalagi tidak ada uswah dari orang tuanya.

Menjelang akhir tahun 2012, Republika akan menggelar acara muhasabah di Masjid At-Tiin, Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Mari kita mengevaluasi diri. Saya mengajak saudara-saudara semua, terutama di Jabodetabek, untuk bisa hadir. Ayo kita muhasabah bareng.
Oleh: Ustaz Yusuf Mansur

sumber : www.republika.co.id

Sunday, December 30, 2012

Milik Orang Tua

Dalam hadis riwayat Thabrani dari Jarir RA, ada seorang anak muda mengadu kepada Rasulullah SAW.

Ia berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya ayahku ingin mengambil hartaku.”

Mendengar pengaduan anak muda itu, Rasul berkata, “Pergilah kamu dan bawa ayahmu kesini!”

Setelah anak muda itu berlalu, Malaikat Jibril turun menyampaikan salam dan pesan Allah kepada beliau. Jibril berkata; “Ya, Muhammad, Allah 'Azza wa Jalla menyampaikan salam untukmu, dan berpesan, kalau orang tuanya datang, engkau harus menanyakan apa-apa yang dikatakan dalam hatinya dan tidak didengarkan oleh telinganya.”

Tak lama, anak muda itu datang bersama ayahnya. Rasulullah kemudian bertanya orang tua itu. “Mengapa anakmu mengadukanmu? Apakah benar engkau ingin mengambil uangnya?”

Sang ayah yang sudah tua itu menjawab, “Tanyakan saja kepadanya, ya Rasulullah. Bukankah saya menafkahkan uang itu untuk beberapa orang ammati (saudara ayahnya) atau khalati (saudara ibu)-nya, dan untuk keperluan saya sendiri?”

Rasulullah bersabda lagi, “Lupakanlah hal itu. Sekarang ceritakanlah kepadaku apa yang engkau katakan di dalam hatimu dan tak pernah didengar oleh telingamu.”

Maka wajah keriput lelaki tua itu pun menjadi cerah dan tampak bahagia. Dia berkata, “Demi Allah, ya Rasulullah, dengan ini Allah SWT berkenan menambah kuat keimananku dengan kerasulanmu. Memang saya pernah menangisi nasib malangku dan kedua telingaku tak pernah mendengarnya.”

Rasulullah mendesak, “Katakanlah, aku ingin mendengarnya.”

Orang tua itu berkata dengan air mata yang berlinang. “Saya mengatakan kepadanya kata-kata ini, 'Aku mengasuhmu sejak bayi dan memeliharamu waktu muda. Semua hasil jerih-payahku kau minum dan kau reguk puas. Bila kau sakit di malam hari, hatiku gundah dan gelisah. Lantaran sakit dan deritamu, aku tak bisa tidur dan resah, bagai akulah yang sakit, bukan kau yang menderita.”

“Lalu air mataku berlinang-linang dan mengucur deras. Hatiku takut engkau disambar maut, padahal aku tahu ajal pasti datang. Setelah engkau dewasa, dan mencapai apa yang kau cita-citakan, kau balas aku dengan kekerasan, kekasaran dan kekejaman, seolah kaulah pemberi kenikmatan dan keutamaan.”

“Sayang, kau tak mampu penuhi hak ayahmu, kau perlakukan aku seperti tetangga jauhmu. Engkau selalu menyalahkan dan membentakku, seolah-olah kebenaran selalu menempel di dirimu. Seakan-akan kesejukan bagi orang-orang yang benar sudah dipasrahkan.”

Selanjutnya Jabir berkata, “Pada saat itu Nabi langsung memegangi ujung baju pada leher anak itu, seraya berkata, ‘Engkau dan hartamu milik ayahmu!”

Dari kisah ini, kita bisa mengambil pelajaran bahwa ketika sudah besar, sebagai anak kadang kita lupa kepada orang tua yang telah berjuang mencari nafkah untuk kita. Ayah kita memberikan segala apa yang dimilikinya tanpa pernah meminta kembali.

Sedangkan kita, ketika akan memberikan sesuatu untuk ayah dan ibu, begitu banyak pertimbangan. Tak jarang, kita mencari dan membuat berbagai alasan agar kepunyaan yang dimiliki tidak berpindah kepada orang tua kita.

Dalam kesempatan ini, marilah kita terus mencintai dan menyayangi keduanya, sebelum mereka pergi meninggalkan kita untuk selamanya.



sumber : www.republika.co.id

Saturday, December 29, 2012

Berpikir Positif dalam Berdoa

Banyak orang "memaksa" Allah mengabulkan doa-doanya. Mereka menggunakan dalih bahwa Allah telah berjanji mengabulkan doa para hamba-Nya (QS. Ghafir: 60) dan Allah mustahil mengingkari janji-janji-Nya (QS. Ar-Ra'd: 31).

Jika Allah menunda pengabulan doa atau menggantinya dengan kebaikan lain, mereka kecewa, merasa diperlakukan tidak adil dan tidak jarang menyalahkan pihak lain.

Sebenarnya, tidak cukup seseorang mengeksplorasi satu ayat tentang doa, kemudian memeganginya sebagai satu kaedah paripurna dan sempurna. Hal tersebut karena ayat-ayat tentang doa banyak jumlahnya dan memiliki sisi yang saling melengkapi.

Belum lagi, kita harus menggunakan as-Sunnah dalam memahami kekomprehensifan hakikat doa di dalam Al-Qur'an, sehingga antara yang umum dan khusus terpadu dengan sempurna.

Secara garis besar, Allah SWT mengabulkan doa semua hamba, sebagaimana tersebut dalam keumuman firman-Nya, "Dan Tuhanmu berkata: berdoalah kepadaku, niscaya aku akan mengabulkan doamu." (QS. Ghafir: 60).

Sunah Rasul pun memperkuat pengabulan tersebut, sebagaimana diriwayatkan oleh Salman Al-Farisi bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sungguh, Tuhanmu adalah Tuhan Yang Mahahidup, Mahamulia, yang malu jika hamba-Nya sudah berdoa mengangkat kedua tangan kepada-Nya lalu membalasnya dengan tangan hampa." (HR Ahmad).

Namun secara khusus, doa meniscayakan kelengkapan syarat, etika, situasi, kondisi dan ikhtiar (usaha) yang sungguh-sungguh, sehingga pengabulannya menjadi lebih dekat secara logika. Dari sisi syarat, doa antara lain memerlukan keseriusan, keyakinan dan kemantapan hati.

Dari sisi etika, doa di antaranya meniscayakan kerendahan hati, pendekatan intensif kepada Allah, penafian sikap pamer (riya) dan sombong (QS. Al-A'raf: 55). Dari sisi situasi, doa orang yang terzalimi, orang tua, orang yang berpuasa, pemimpin adil, musafir akan mudah dikabulkan Allah SWT.

Rasulullah SAW bersabda, "Takutlah kamu akan doa orang yang terzalimi, karena doa tersebut tidak mimiliki penghalang antara dia dengan Allah." (HR. Bukhari-Muslim).

Dari sisi kondisi, doa pada keadaan, tempat dan waktu yang istimewa semakin mudah pengabulannya, seperti disebut dalam banyak hadis. Perbedaan kondisi tersebut tidak berarti berdoa di tempat lain tidak dikabulkan, melainkan keadaan, tempat dan waktu istimewa membuat semakin dekat dan mudah dikabulkannya doa karena kemuliaan dan keutamaan yang terdapat di dalamnya.

Rasulullah SAW bersabda, "Allah SWT turun ke dunia pada setiap malam (di sepertiga malam yang terakhir) seraya berfirman: "Barang siapa berdoa kepada-Ku, maka  pasti Aku kabulkan doanya; barang siapa meminta kepada-Ku, maka pasti Aku penuhi permintaannya; dan barang siapa memohon ampun kepada-Ku, maka pasti Aku ampuni dia." (HR. Bukhari).

Dari sisi ikhtiar (usaha), doa merupakan pelengkapnya. Ia sebab, bukan akibat. Jika ikhtiar yang maksimal adalah anggota badan, maka doa adalah kepalanya, sehingga ia merupakan satu kesatuan dari usaha.

Tentu masih banyak sisi lain yang menentukan kekomprehensifan hakikat doa seperti keniscayaan kehalalan prasarana, tidak disertai perbuatan dosa, tidak disertai pemutusan silaturahim, tidak tergesa-gesa, tidak berputus asa dan lain sebagainya.

Namun yang perlu disadari oleh setiap pendoa adalah bahwa pengabulan Allah dapat terjadi dalam tiga bentuk: disegerakan sebagaimana permintaan kita; ditunda sampai hari kiamat; dialihkan dalam bentuk kebaikan yang berbeda.

Dengan pemahaman tersebut, maka tidak elok jika setiap pendoa menagih janji tunai pengabulan doa yang dapat mengakibatkan jiwanya tertekan, melainkan hendaknya berserah diri kepada-Nya dan tetap berpikir kritis serta positif sebab pengabulan doa adalah wilayah Allah SWT. Wallahu a'lam.
Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA

sumber : www.republika.co.id

Friday, December 28, 2012

Sandiwara Dunia

Ibarat panggung sandiwara, manusia lahir ke dunia (naik panggung) dan meninggalkan dunia (turun panggung) dalam waktu yang sangat singkat.

Sebagaimana panggung sandiwara, kehidupan dunia bukanlah kehidupan sesungguhnya. Akhiratlah (setelah turun panggung) kehidupan yang sesungguhnya.

“Dan kehidupan dunia ini hanya senda gurau dan permainan. Dan sesungguhnya negeri akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, sekiranya mereka mengetahui.” (QS al-Ankabut [29]: 64).

Karena itu, kerugianlah bagi orang-orang yang salah persepsi, yakni bersungguh-sungguh dalam permainan dunia dan bermain-main (tidak serius) dalam mempersiapkan akhiratnya. Dunia harusnya bisa menjadi penting, terutama dalam konteks mengumpulkan bekal pulang menuju akhirat. Selebihnya dunia tidak ada artinya dan tidak perlu dilebih-lebihkan.

Seperti panggung sandiwara, kehidupan dunia ada sutradaranya dan ada bintangnya. Kita semua adalah bintang sandiwara dunia. Namun, Allahlah sang Mahasutradara dan penyebab yang sesungguhnya.

Walau hanya permainan dan senda gurau, sang bintang tidak boleh lalai dari skenario yang ada. Berimprovisasi dan merespons reaksi penonton sah-sah saja asal tak berlebihan dan melenceng dari naskah.

Sebagaimana sandiwara, apa yang terjadi di dunia bukanlah sesuatu yang harus terlalu diseriusi atau dilebih-lebihkan. Jika ada yang memberi kesenangan, dia tidak benar-benar memberi kesenangan. Jika ada yang memberi kesusahan, dia tidak benar-benar memberi kesusahan.

Akankah kita marah kepada mitra sandiwara yang pura-pura memukul kita? Akankah kita membenci mitra sandiwara yang tidak mengembalikan uang kita? Tentu tidak. Semua itu sekadar panggung sandiwara.

“Tidak ada suatu musibah yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin Allah; dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Mahamengetahui segala sesuatu.” (QS at-Taghabun [64]: 11).

Izin Allahlah yang memungkinkan kesulitan dan kesenangan datang melalui seseorang atau kejadian. Akankah kita marah kepada Allah karena kesulitan-kesulitan kita? Tentunya tidak.

Akankah kita marah kepada orang ataupun keadaan yang menyulitkan kita? Sulit menjawabnya. Karena kita sudah terlatih dalam sandiwara dunia. Sandiwara yang melatih kita membesarkan dan melebih-lebihkan dunia serta isi dan kejadiannya. Jika kita tidak berani marah kepada Allah, seharusnya tidak juga perlu kebakaran jenggot atas kejadian maupun orang yang menyalahi kita.

Yang paling penting adalah selalu meningkatkan iman, agar Allah memberi petunjuk kepada hati-hati kita. Dan Allah itu Mahaluas serta Mahamengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya. “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia.” (QS Ali Imran [3]: 191). Wallahu a'lam.
 Oleh: A Riawan Amin

sumber : www.republika.co.id

Thursday, December 27, 2012

Suvenir Ini Cuma Ada di Indonesia

Selain memiliki beragam destinasi yang unik dan indah, Indonesia juga punya buah tangan yang tidak dimiliki tempat lain. Inilah suvenir yang hanya berada di Indonesia.

Setelah puas menikmati pemandangan alam, seni budaya dan sejarah yang luar biasa, para traveler biasanya mencari oleh-oleh untuk dibawa pulang. Ada yang membawanya untuk teman dan keluarga, ada juga yang untuk diri sendiri, sebagai kenang-kenangan traveling. Disusun detikTravel, Kamis (27/12/2012) berikut suvenir yang cuma ada di Indonesia:

1. Sertifikat Tugu Nol Kilometer


Sebagai pulau terbarat di Indonesia, Pulau Weh memiliki Tugu Nol Kilometer yang tepatnya berada di Kota Sabang. Di sana, terdapat sebuah bangunan menara menjulang tinggi berwarna putih dan merah. Bagi penjelajah yang ingin berkeliling Indonesia, sudah jadi hal yang wajib untuk berkunjung ke sana.

Banyak wisatawan yang datang ke sana karena ingin merasakan berada di titik nol kilometer Indonesia. Selain itu, ternyata ada pula yang menarik saat melancong ke tugu ini. Setiap wisatawan yang datang dan sudah mendaftarkan diri ke Dinas Pariwisata Kota Sabang akan mendapat sertifikat. Sertifikat yang berisi nama traveler bersangkutan ini menjadi bukti bahwa Anda sudah berkunjung ke titik paling barat di Indonesia. Inilah oleh-oleh yang tidak bisa ditemui di tempat lain kecuali di sini.

2. Angklung


Saat berlibur ke Jawa Barat, jangan lupa melihat dan mencoba alat musik khas sana. Angklung adalah alat musik yang terbuat dari bambu, memiliki tangga nada yang lengkap dan dimainkan dengan cara digoyangkan. Selain jadi alat musik khas suku Sunda, angklung juga jadi salah satu warisan benda tak wujud menurut UNESCO.

Salah satu tempat mendengarkan keindahan suara angklung sambil melihat seniman-seniman muda para pemain angklung ada di Saung Angklung Mang Udjo di Padasuka, Bandung. Di padepokan seni itu, wisatawan bisa menonton keindahan musik angklung sekaligus belajar bermain alat musik tersebut.

Jika ingin membeli sebagai oleh-oleh, angklung dijual di banyak tempat seperti pasar atau toko suvenir di kawasan Bandung dan sekitarnya. Mulai dari angklung asli hingga gantungan kunci terbuat dari angklung pun bisa ditemui di sana.

3. Koteka

 Banyaknya suku yang ada di Indonesia memungkinkan keberagaman budaya. Salah satu budaya unik dimiliki suku di Papua. Sebagian pria di sana mengenakan koteka, untuk menutup alat kelamin laki-laki. Koteka terbuat dari labu yang sudah dikeringkan dengan cara dibakar.

Setelah kering dan isi bagian dalam labu sudah dikikis habis, koteka masih dipoles lagi. Koteka akan dicat dengan lambang-lambang milik suku setempat di Papua. Setiap goresan cat memiliki arti sendiri. Bentuk koteka pun beragam, ada yang kecil hingga besar. Tak ayal, banyak wisatawan yang membeli koteka sebagai oleh-oleh saat berkunjung ke Papua.

Wisatawan bisa membeli koteka di toko-toko suvenir yang tersebar di kota atau pedalaman. Harga yang ditawarkan pun beragam, dari Rp 20.000 hingga Rp 500.000. Bahkan, wisatawan juga bisa membeli gantungan kunci yang berbentuk koteka mini.

4. Batik kayu

 Walau batik diakui UNESCO sebagai warisan Indonesia, Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang memiliki batik. Namun, hanya Indonesia yang memiliki inovasi kerajinan batik kayu. Ini bukan sekadar kayu namun kayu yang sudah dibentuk menjadi sesuatu.

Batik kayu berbentuk badak menjadi cinderamata khas bagi traveler yang sedang berlibur di Taman Nasional Ujung Kulon, Jawa Barat. Badak batik ini hampir selalu jadi oleh-oleh primadona karena di sana badak memang menjadi ikonnya.

Wisatawan juga bisa membantu menyejahterakan masyarakat dengan membeli oleh-oleh ini. Batik kayu badak ini juga ramah lingkungan karena dibuat dari limbah tukang kayu lain. Para pengrajin paham bahwa mengambil kayu di kawasan konservasi sama saja merusak alam.

Tak cuma patung badak, batik kayu juga bisa didapat di Bantul yaitu di Desa Krebet, Sendangsari, Panjangan. Di sana, Anda bisa menemukan batik yang dilukis di atas topeng kayu atau di pajangan kayu lainnya.


5. Kopi luwak


Salah satu kopi paling mahal, paling terkenal, dan paling nikmat di dunia adalah kopi luwak. Jika melihat bagaimana proses pembuatan kopi ini, pasti akan sedikit jijik karena biji kopi berasal dari kotoran luwak yang memakan buah kopi.

Uniknya, sampai saat ini kopi luwak belum ada yang memproduksi kecuali Indonesia. Kenikmatan kopi luwak pun sudah terkenal seantero dunia. Sampai-sampai ada film Hollywood yang berjudul "Bucket List" yang memasukkan kopi luwak ke dalam cerita. Wisatawan yang berlibur ke Aceh, Padang, Lampung, Jawa Barat dan Jawa Timur bisa membeli kopi luwak sebagai oleh-oleh.

Subhanallah, Inilah Keistimewaan Azan

Di antara ajaran Islam adalah azan. Belum lama seorang komposer dan pianis top asal Turki terpaksa dibawa ke meja hijau disebabkan perbuatannya menghina Islam dengan cara mengirim gurauan azan di sebuah jejaring sosial. Musisi yang sering tampil dalam acara “New York Philharmonic” dan “Berlin Symphony Orchestra” terancam hukuman penjara 18 tahun karena telah melecehkan nilai-nilai keagamaan.

Setiap agama tentu memiliki cara-cara tertentu dalam mengumpulkan manusia untuk melaksanakan suatu ibadah, seperti alat lonceng yang berlaku bagi umat Nasrani, terompet bagi umat Yahudi, api bagi Majusi, dan azan bagi umat Islam. Bentuk maklumat beribadah ini sepatutnya dihargai dan dihormati.

Azan merupakan panggilan yang disyariatkan sebagai penanda masuknya waktu shalat fardhu bagi umat Islam. Berkaitan dengan pentingnya azan ini, Nabi SAW menjelaskan beberapa keutamaannya, khususnya bagi orang-orang yang mengumandangkan azan (muazin atau bilal).

Pertama, memperoleh kemuliaan spesial pada hari kiamat. “Sesungguhnya para muazin itu adalah orang yang paling 'panjang lehernya' pada hari kiamat.” (HR Muslim, Ahmad, dan Ibnu Majah). Menurut ulama, maksud 'panjang leher' ini adalah orang yang paling banyak pahalanya, paling banyak mengharapkan ampunan dari Allah, paling bagus balasan amal perbuatannya, dan orang yang paling dekat dengan Allah.

Kedua, mendapatkan ampunan, sebagai saksi dan pahala yang berlipat ganda. “Orang yang azan akan diampuni kesalahannya oleh Allah sepanjang suaranya. Dan, akan menjadi saksi baginya segala apa yang ada di bumi, baik yang kering ataupun yang basah. Sedangkan, orang yang menjadi saksi shalat akan dicatat baginya pahala dua puluh lima shalat dan akan diampuni darinya dosa-dosa antara keduanya.” (HR Abu Dawud dan Nasa’i).

Ketiga, memperoleh jaminan surga. Abu Hurairah berkata, “Suatu ketika, kami sedang berada bersama Rasul SAW, lalu kami melihat Bilal mengumandangkan azan. Setelah selesai, Rasulullah kemudian bersabda, “Barang siapa mengatakan seperti ini dengan penuh keyakinan, maka dia dijamin masuk surga.” (HR Nasa’i).

“Barang siapa yang azan selama 12 tahun, maka wajib baginya mendapatkan surga. Setiap azan yang dilakukannya setiap hari akan mendapatkan 60 kebaikan. Dan dengan iqamahnya, ia dicatat mendapatkan 30 kebaikan.” (HR Ibnu Majah). Demikianlah di antara keistimewaan azan. Seandainya manusia mengetahui rahasia keistimewaan azan, niscaya tak ada penghinaan dan pelcehan. Sebaliknya, mereka akan berlomba-lomba untuk mengumandangkannya.

“Sekiranya orang-orang mengetahui akan rahasia keutamaan azan dan rahasia shaf pertama, niscaya mereka akan berebutan meraihnya meski dengan cara mengundi. Dan seandainya mereka mengetahui rahasia keutamaan yang ada pada waktu panasnya saat Zhuhur, niscaya mereka akan berebut mengerjakan shalat pada saat itu. Dan seandainya mereka mengetahui rahasia keutamaan yang ada pada waktu Isya dan Subuh, niscaya mereka akan mendatanginya untuk melakukan shalat keduanya walaupun harus dengan cara merangkak.” (HR Muslim). Wallahu a'lam.
, Oleh: Imron Baehaqi

sumber : www.republika.co.id

Wednesday, December 26, 2012

Makanan Halal

Diriwayatkan, ada seorang pemuda sedang berjalan di pinggir sungai. Dia menemukan buah anggur yang hanyut di sungai. Ia lantas mengambil buah itu dan memakannya hingga masuk ke perutnya.

Namun, belum habis buah anggur itu dimakan, sang pemuda menyadari bahwa buah itu tidak halal baginya, sebelum sang pemilik buah menghalalkannya.

Sang pemuda ini pun menyusuri sungai dan mencari pemilik kebun anggur itu. Dalam perjalanannya, akhirnya dia berjumpa dengan sang pemilik kebun. Sang pemuda lantas menyampaikan maksudnya dan memohon izin kepadanya untuk mengikhlaskan buah yang sudah dimakannya. Tapi, sang pemilik kebun tak mau menghalalkannya.

Sang pemuda ini terus memohon kepada pemilik kebun itu. Bahkan, ia rela menjadi penjaga kebun itu walau tanpa diupah asal dirinya mendapatkan kehalalan dari buah yang sudah dimakannya. Sebab, ia khawatir, buah anggur yang tidak halal itu bisa menjadi penghalang dirinya masuk ke surga.

Akhirnya, sang pemilik kebun mempekerjakan si pemuda sebagai penjaga kebun. Setelah beberapa waktu, dan melihat kesungguhan si pemuda menjaga dirinya dari hal-hal yang diharamkan, sang pemilik kebun ini berniat menghalalkan buah anggur itu.

“Namun dengan satu syarat,” ujarnya. Sang pemuda ini pun semringah, dan dia siap memenuhi syarat itu asal mendapat ridha dari sang pemilik kebun. “Syarat itu adalah, engkau harus menikah dengan anakku. Ia buta, tuli, bisu, dan lumpuh,” ujar pemilik kebun.

Mendengar hal itu, bukannya gembira, hati si pemuda justru makin gelisah. Sebab, dirinya akan mendapatkan istri yang tidak bisa apa-apa, yakni buta, tuli, bisu, dan lumpuh pula. Namun, demi halalnya anggur yang sudah masuk ke perutnya, ia pun menerima syarat itu.

Singkat cerita, dinikahkanlah si pemuda dengan anak pemilik kebun itu. Sesudah akad nikah, si pemuda dipersilakan menemui istrinya. Alangkah terkejutnya si pemuda, sebab perempuan yang ada di kamar itu, justru tidak buta, tidak tuli, tidak bisu, dan juga tidak lumpuh. Ia bisa melihat, mendengar, berbicara, dan berjalan.

Mengetahui sang suami kebingungan, istrinya kemudian menjelaskan maksud orang tuanya yang menyatakan dirinya buta, tuli, bisu, dan lumpuh. “Ayahku benar. Aku bisu, karena tidak pernah membicarakan hal-hal yang buruk. Aku tuli karena tidak pernah mendengar hal-hal yang haram. Aku buta karena tak pernah melihat kemaksiatan. Dan aku lumpuh karena tak pernah pergi ke tempat maksiat,” ujarnya.

Mendengar hal itu, maka gembiralah hati sang pemuda. Ternyata, ketulusan dan keikhlasannya untuk senantiasa mencari makanan yang halal telah berbalas dengan kebaikan. Ia pun memuji kebesaran Allah SWT. Dari perkawinan mereka, lahirlah seorang ulama besar. Dialah Imam Hanafi. Dalam riwayat lain disebutkan, sang pemuda itu adalah ayah dari Imam Syafii.

Dari cerita ini dapat kita ambil hikmah bahwa orang yang senantiasa mencari rezeki halal, niscaya akan berbuah pada kebaikan. Rasul SAW bersabda; “Akan datang suatu masa yang ketika itu manusia tidak lagi menghiraukan sumber pendapatannya, apakah berasal dari yang halal atau dari yang haram.” (HR Bukhari dan Nasai). Wallahu a’lam.
, Oleh Syahruddin El-Fikri

sumber : www.republika.co.id

Tuesday, December 25, 2012

Subhanallah, Inilah Keutamaan Wudhu

Salah satu kewajiban umat Islam dalam beribadah adalah berwudhu. Wudhu merupakan bukti keimanan yang tak terlihat secara kasat mata. Mirip dengan orang yang berpuasa. Tak ada orang yang menjaga wudhunya kecuali karena alasan keimanan.

Secara syar'i, wudhu ditujukan untuk menghilangkan hadas kecil agar kita sah menjalankan ibadah, khususnya shalat. ''Shalatnya salah seorang di antara kalian tidak akan diterima apabila ia berhadas hingga ia berwudhu.'' (HR Abu Hurairah).

''Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu, kedua tanganmu sampai siku, dan sapulah kepalamu serta basuhlah kedua kakimu sampai mata kaki." (QS Al-Maidah (5): 6).

Eksistensi wudhu sangat besar pengaruhnya bagi kehidupan seorang Muslim, karena dalam wudhu Allah SWT memberikan pesan moral yang tidak jauh dari kehidupan sehari-hari. Membasuh kepala, misalnya, ditujukan agar kita membersihkan kepala atau otak kita dari segala pikiran kotor dan menyesatkan.

Membasuh kaki dan tangan ditujukan agar kita tidak menggunakan tangan dan kaki ini untuk mengambil hak orang lain, menginjak martabat orang lain. Berkumur-kumur, membasuh wajah, dan mengusap telinga, ditujukan agar kita menggunakan mulut untuk menyebarkan perdamaian dan kasih sayang, menggunakan mata untuk melihat nilai-nilai kebenaran, dan menggunakan telinga untuk mendengar nilai kebaikan.

Kita diperintahkankan berwudhu minimal lima kali dalam sehari, yaitu untuk menjalankan shalat lima waktu. Meski demikian, kita dianjurkan berwudhu tidak hanya ketika hendak mendirikan shalat, namun juga ketika hendak melakukan ibadah atau amalan lainnya, misalnya ketika membaca Alquran, mengikuti pelajaran, pengajian, dan memasuki masjid. Bahkan ketika kita hendak makan pun dianjurkan untuk berwudhu. ''Keberkahan makanan adalah dengan wudhu sebelum dan sesudahnya.'' (HR Abu Dawud).

Banyak keutamaan wudhu yang dijelaskan Rasulullah SAW. Antara lain sebagaimana diriwayatkan Thabrani dari Ubadah bin Shamit, bahwa Rasulullah SAW bersabda, ''Jika seorang hamba menjaga shalatnya, menyempurnakan wudhunya, rukuknya, sujudnya, dan bacaannya, maka shalat akan berkata kepadanya, 'Semoga Allah SWT menjagamu sebagaimana kamu menjagaku', dia naik dengannya ke langit dan memiliki cahaya hingga sampai kepada Allah SWT dan shalat memberi syafaat kepadanya.''

Berwudhu merupakan hal yang mudah dilakukan, namun perlu keistiqamahan dalam implementasinya. Seorang hamba yang banyak berwudhu akan mudah dikenali Rasulullah SAW di hari kiamat nanti karena memiliki ciri khas tersendiri. ''Muka dan tangan kalian nanti di hari kiamat berkilauan bekas dari berwudhu.'' (HR Muslim)
Penulis: Imron Soleh

sumber : www.republika.co.id

Monday, December 24, 2012

Memahami Ayat Komunikasi

Praktik komunikasi sebagai kebutuhan manusia sehari-hari dalam menyampaikan ide dan pesannya membutuhkan dasar-dasar ilmu filsafat sebagai induk keilmuan dan juga psikologi karena terkait dengan kepribadian seseorang (komunikan) yang kita hadapi.

Komunikasi yang berkembang di Eropa karena proses akulturasi budaya ini secara riil telah dipraktikkan pada zaman Rasulullah baik melalui proses turunnya kalamullah antara Allah (komunikator utama), Jibril (perantara) dan terakhir Rasulullah (sebagai penerima pesan pertama) yang akhirnya sebagai komunikator untuk seluruh sahabat sezamannya.

Kemudian, pesan-pesan Rasulullah yang berupa qauli (perkataan), fi’li (perbuatan) dan taqriri (ketetapan), disampaikan secara orisinil dengan persyaratan ketat dimana seorang perawi sendiri harus memiliki daya ingat yang kuat serta tidak pernah berdusta untuk dapat dikategorikan penyampai hadits yang terpercaya.

Pembukuan Alquran dan hadis inilah capaian tertinggi umat Islam yang tetap terjaga keasliannya, serta babak baru bentuk komunikasi Islam dalam bentuk dakwah baik seruan langsung, bil haal maupun bil qalam zaman Rasulullah.

Dalam ilmu komunikasi, ada beberapa jenis komunikasi; komunikasi intrapersonal, interpersonal, komunikasi kelompok yang seluruhnya terdapat dalam Al-Quran juga yang lebih penting adalah komunikasi transendental.

Mari kita simak ayat komunikasi intrapersonal dalam QS Al-Ghasiyah 17-20 ini, “Maka apakah mereka tidak memerhatikan unta bagaimana dia diciptakan, Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?”

Ayat di atas apabila ditinjau dari perspektif psikologi komunikasi termasuk kepada komunikasi intrapersonal dengan proses berpikir. Berpikir melibatkan semua proses sensasi, persepsi dan memori. Berpikir dilakukan untuk memahami realitas. Pada surat inilah Allah memerintahkan manusia untuk memerhatikan dan memikirkan semua ciptaan-Nya.

Kedua, dalam komunikasi interpersonal dapat dicontohkan dari dialog Nabi Ibrahim dan Namrud dalam Surah Al-Baqarah ayat 258. Ibrahim berkata, "Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan." Ia (Namrud) berkata, "Aku dapat menghidupkan dan mematikan." Ibrahim berkata, "Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat." Lalu terdiamlah orang kafir itu.”

Dalam komunikasi interpersonal ada yang disebut dengan konsep diri yaitu pandangan tentang diri. Konsep diri memiliki dua komponen, yaitu komponen kognitif dan komponen afektif.

Komponen kognitif disebut citra diri (self image) dan komponen afektif disebut harga diri (self esteem). Konsep diri Namrud yang angkuh inilah membawa dirinya kepada kebuntuan pikiran dan argumentasi karena merasa mampu menyaingi kuasa Allah.

Ketiga, komunikasi kelompok yang salah satunya terdapat dalam QS Al-Mulk, “... apakah belum pernah datang kepada kamu (di dunia) seorang pemberi peringatan?”

Terakhir, komunikasi transendental sebagai bentuk kekayaan Alquran, menghadirkan khazanah baru dalam dunia komunikasi. Komunikasi transendental sendiri banyak dideskripsikan dalam Alquran berupa doa-doa para Nabi. “Nuh berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka telah mendurhakaiku dan telah mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian belaka, (QS. Nuh: 21).

Alquran sebagai 'hadiah' berharga dari Allah bagi manusia yang disampaikan secara berangsur-angsur kurang lebih 23 tahun ini telah jelas menyampaikan dasar-dasar komunikasi dalam beberapa ribuan ayatnya. Penyampaian ini bertujuan agar kita meyakini bahwa kitab suci ini adalah Mahakarya Ilahi yang setiap kedahsyatan ciptaan-Nya harus senantiasa direnungi. Wallahu a'lam.
Oleh: Ina Salma Febriani
sumber : www.republika.co.id

Sunday, December 23, 2012

Menikah di Bulan Muharam, Siapa Takut?

Sebagian Masyarakat Muslim memiliki pandangan bahwa menikah di bulan Muharam hukumnya haram atau makruh.

Mereka yang menghindari prosesi pernikahan di bulan tersebut berkeyakinan bahwa Muharam adalah bulan kesedihan, mengingat banyaknya musibah besar di dunia yang terjadi pada bulan tersebut.

Bahkan, bukan hanya Muharam saja, sebagaian masyarakat yang lain juga memiliki anggapan serupa dengan bulan Syawal dan Shafar.

Padahal pandangan dan anggapan tersebut keliru karena hanya didasarkan pada perangkaian beberapa peristiwa sedih, tidak memasukkan peristiwa bahagia dan tidak didasarkan pada dalil Alquran dan sunah.

Pandangan seperti ini biasanya disebut dengan istilah tahayul atau khurafat. Jika ditelusuri secara ilmiah, maka pandangan tersebut tidak memiliki asal muasal yang jelas dan menyebar dari generasi ke generasi tanpa ada sikap kritis dan upaya mengkritisi terhadap kebenaran anggapan dimaksud.

Jika kita kembalikan pada Alquran dan sunah, maka kita akan mendapati pengetahuan  yang 180 derajat bertolak belakang dengan pandangan tersebut.

Pertama, Muharam bukanlah bulan kesedihan, melainkan justru bulan kegembiraan. Buktinya, Allah SWT mengagungkan bulan tersebut dan memasukkannya sebagai salah satu bulan yang di dalamnya kita diharamkan melakukan peperangan.

Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram." (QS. At-Taubah: 36).

Kedua, Rasulullah SAW menjadikan tanggal ke-9 dan 10 Muharam sebagai hari bersyukur kepada Allah SWT dengan diawali kegiatan berpuasa di kedua hari tersebut.

Rasulullah SAW menyatakan kaum Muslimin lebih berhak mensyukuri peristiwa diselamatkannya Musa AS oleh Allah SWT dibanding kaum Yahudi karena kedekatan akidah, sehingga Rasulullah SAW memerintahkan kaum Muslimin berpuasa tanggal 9 dan 10 Muharam untuk membedakannya dari tradisi puasa kaum Yahudi.

Ketiga, pernikahan merupakan sunah para Rasul dan barang siapa yang telah menikah berarti telah menyempurnakan separuh dari urusan agamanya. Maka bagaimana mungkin ada hari tertentu yang di dalamnya diharamkan atau dimakruhkan melakukan pernikahan?

Yang akan berarti kontradiktif dengan sunah para Rasul tersebut. Sementara semua hari dan bulan adalah milik Allah (QS. At-Taubah: 36) dan tidak ada satu ayat pun yang menegaskan pelarangan nikah pada hari tertentu.

Keempat, peristiwa Aisyah yang dinikahi Rasulullah SAW pada bulan Syawal menegaskan tidak ada kekhawatiran menikah di bulan tersebut. Demikian pula Ali bin Abu Thalib dengan Fathimah yang disinyalir terjadi pada bulan Shafar. Dari Aisyah RA, ia berkata, "Rasulullah SAW menikahiku dan membangun rumah tangga denganku pada bulan Syawal." (HR. Bukhari).

Kelima, dewasa ini dengan jumlah penduduk yang sangat besar, maka jumlah mereka yang menyelenggarakan resepsi pernikahan sangatlah banyak. Bahkan untuk memesan tempat pernikahan diperlukan waktu dua sampai tiga bulan sebelum pelaksanaan.

Bayangkan jika terdapat hari-hari yang tidak diperbolehkan nikah di dalamnya, betapa akan bertambah sulit menentukan hari pernikahan. Padahal prinsip Islam senantiasa memberikan jalan kemudahan dan bukan kesulitan. Allah SWT berfirman, "Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu." (QS. Al-Baqarah: 185).

Demikianlah, Allah SWT menciptakan hari-hari dalam setahun agar kita dapat memanfaatkannya dengan baik dan maksimal untuk kebajikan demi melestarikan sunah Rasul yang sekaligus merupakan sunah-Nya dan perintah-Nya. Wallahu a'lam.
Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA
sumber : www.republika.co.id

Saturday, December 22, 2012

Kebanggaan Ayah

Bakri diundang ke sekolah anaknya untuk menghadiri peringatan 'Hari Ayah'. Sebenarnya, dia sangat enggan untuk datang karena merasa sudah tua dan memiliki empat anak.

Bahkan, anak tertuanya sudah masuk kuliah. Namun, istri dan anaknya yang keempat mendesaknya untuk datang ke sekolah.

Setiba di sekolah, para ayah kemudian dikumpulkan di sebuah ruangan untuk menyaksikan penampilan anak-anak mereka menunjukkan kemampuannya. Ada yang menyanyi, menari, menulis, baca puisi, pidato dalam bahasa asing, dan lainnya.

Setiap selesai penampilan, para ayah ini bertepuk tangan sebagai tanda kegembiraan atas kemampuan anaknya. Bakri hanya membatin bahwa dia juga demikian, saat anak pertamanya melakukan hal itu.

Karenanya, ketika tiba giliran anaknya yang bernama Umar, Bakri tampak biasa-biasa saja. Ia menduga, Umar akan menampilkan hal serupa dengan penampilan kawan-kawannya. Namun, dugaannya meleset.

Saat ibu guru sekolah menanyakan kepada Umar akan penampilannya, Umar menjawab bahwa dia ingin tampil bersama Ustaz Amir, guru ekstrakurikuler membaca Alquran di sekolah itu.

Umar mengatakan, ia akan membaca Surah al-Kahfi. Sadar akan jumlahnya banyak (110 ayat), ia meminta Ustaz Amir memilihkan ayat yang akan dibacanya. Saat diminta membaca ayat 1-5, dengan lancar Umar membaca. Dan yang luar biasa lagi, ternyata bacaan Umar sangat indah.

Ia meniru Muhammad Taha al-Junaid, seorang qari cilik yang terkenal dan sering didengar suaranya oleh Umar. Bacaannya begitu tenang dan penuh kedamaian. Kemudian, Ustaz Amir memintanya untuk membaca ayat ke-60. Dan dengan lancar, Umar membaca dengan suara yang juga sangat merdu serta menenangkan jiwa.

Kini, semua mata para ayah tertuju pada Umar. Mereka semua sangat kagum akan kemampuan Umar. Mata para ayah tampak berkaca-kaca. Seolah mereka penuh harap anak-anak mereka bisa seperti Umar. Demikian pula dengan Bakri, ayah Umar. Ia yang tadinya tak sepenuh hati datang ke sekolah, kini tampak bersemangat.

Belum selesai, Umar lagi-lagi diminta Ustaz Amir untuk membacakan ayat 107-110 Surah al-Kahfi sebagai penutup penampilannya. Maka, Umar pun membacanya tanpa kesalahan. Begitu selesai, Bakri langsung bangkit dan memeluk Umar. Ia begitu bangga dengan buah hatinya. Para ayah yang menyaksikan hal itu pun tampak terharu dengan derai air mata yang membasahi pipi.

Menyudahi suasana haru itu, ibu guru bertanya kepada Umar tentang alasan dia membaca Alquran untuk ayahnya. Umar menjawab, "Ustaz Amir pernah mengajarkan kepadaku agar rajin membaca Alquran. Dan kalau hafal, orang tuanya akan mulia di akhirat. Aku ingin ayah dan ibuku mendapat kemuliaan seperti itu," jawabnya. Semua yang hadir pun memuji kebesaran Allah.

Bakri kemudian meminta izin untuk memberikan sambutan. "Kita menyekolahkan anak-anak di sekolah terbaik agar bisa mengejar kemajuan dunia. Aku juga demikian. Dengan ambisi duniawi, aku menyekolahkan Umar dengan harapan ia akan memiliki masa depan gemilang. Hari ini aku sadar. Anakku justru telah membuat masa depanku gemilang dengan mempelajari dan menghafal Alquran. Terima kasih, anakku. Maafkan ayah yang lupa mendidikmu untuk mempelajari Alquran."

Oleh: Ustaz Bobby Herwibowosumber : www.republika.co.id

Friday, December 21, 2012

Keturunan Ideal

Suatu malam, ketika Umar bin Khattab sedang meronda dan ingin mengetahui kondisi rakyatnya, ia mendengar seorang wanita berkata kepada putrinya. “Bangun dan bergegaslah ke (tempat) susu, campurkan air ke dalamnya.”

Mendengar hal itu, putrinya menjawab, “Ibu, tidakkah Ibu tahu ketetapan Amirul Mukminin?”

Ibunya berkata, “Bukan, itu bukan ketetapan Amirul Mukminin.”

Atas hal itu, putrinya berkata, “Justru itu perkara yang diserukannya. Ia mengimbau, janganlah mencampur susu dengan air.”

Namun sang ibu tetap ngotot. “Bergegaslah ke (tempat) susu, campurkan air ke dalamnya. Karena engkau berada di tempat yang tak dilihat Umar dan ia juga tidak menyerukannya.”

Spontan putrinya menjawab, “Ibu, jika Umar tidak tahu, tapi Tuhan Umar tahu. Tidak, aku tidak mau taat pada-Nya hanya dalam keramaian saja, tetapi maksiat dalam kesendirian.”

Maka begitu tiba waktu pagi, Umar berkata kepada anaknya, Ashim. “Pergilah ke rumah itu karena di sana ada seorang gadis. Jika belum bersuami, nikahilah ia. Semoga Allah menganugerahimu keturunan yang diberkahi.” Setelah mengetahuinya statusnya, Ashim pun melamar gadis itu dan menikahinya.

Benar saja, setelah Ashim menikahi perempuan itu, ia dikaruniai seorang anak yang bernama Ummu Ashim (Laila). Setelah dewasa, anak itu dinikahi oleh Abdul Aziz bin Marwan. Dan, hasil dari pernikahan Abdul Aziz dan Ummu Ashim ini, lahirlah Umar bin Abdul Aziz, yang dikenal sebagai seorang pemimpin yang adil.

Dari kisah tersebut, kita melihat bagaimana Umar bin Khattab memilih calon menantunya. Bukan melirik keturunan, kedudukan, apalagi kekayaan, melainkan agamanya, sekalipun ia seorang yang miskin. Seperti pesan Nabi SAW, “Pilihlah perempuan yang mempunyai agama, niscaya engkau beruntung.”

Umar sangat terkesan dengan kualitas keimanan gadis itu sehingga ia menjadikan anak itu sebagai pasangan untuk anaknya.

Apa yang dilakukan Umar ini merupakan langkah paling dini untuk meretas keturunan ideal dan generasi rabbani, yaitu memilih calon ibu yang salehah, paham akan hak Rabb-nya, hak suaminya, hak anak-anaknya, mengerti akan misinya dalam kehidupan.

Hari-hari belakangan ini, kita sering menyaksikan bagaimana pernikahan atau memilih calon menantu hanya dilandasi karena gengsi dan mengejar popularitas. Sementara kriteria agama diletakkan pada urutan terakhir, bahkan acap kali diabaikan.

Calon mertua amat bangga bila besannya memiliki sejumlah barang yang mewah dan perhiasan berlimpah kendati akhlak menantunya luput dari perhatiannya. Senada dengan orang tuanya, calon pengantin pun memiliki parameter yang sama.

Memang, kriteria harta, kecantikan, ketampanan, dan keturunan merupakan perkara yang dianjurkan oleh Rasulullah. Namun, jika mengabaikan pertimbangan agama, semua itu ibarat angka nol yang berjejer tiga, tak memiliki nilai sama sekali. Namun, begitu ditambah dengan angka satu, yakni kualitas agamanya, angka nol itu pun berubah menjadi seribu. Wallahu a’lam.
Oleh: Makmun Nawawi
sumber : www.republika.co.id

Thursday, December 20, 2012

Belajar Menerima Takdir

Dalam kondisi normal, manusia sepenuhnya sadar bahwa kehidupannya diwarnai dengan suka dan duka, sedih dan gembira, menangis dan tertawa, sengsara dan bahagia.

Namun kesadaran tersebut hilang, manakala manusia tiba-tiba dirundung duka, kesedihan dan kesengsaraan. Sebaliknya, banyak manusia bersikap up-normal pada saat suka-cita, gembira dan bahagia.

Tepatlah kemudian jika Alquran menyitir sifat manusia yang umumnya suka mengeluh, sebagaimana tersebut di dalam firman-Nya, "Sungguh, manusia diciptakan bersikap suka mengeluh. Apabila dia ditimpa kesusahan dia berkeluh kesah, dan apabila dia mendapat kebaikan (harta) dia jadi kikir." (QS. Al-Ma'arij: 19-21).

Namun Alquran mengajarkan kepada kaum muslimin untuk mempertahankan posisi normal dalam keadaan apa pun baik suka maupun duka, baik tertimpa musibah ataupun dianugerahi kebahagiaan.

Hal tersebut karena posisi normal mengisyaratkan ketenangan dan kerelaan seseorang atas takdir yang ditentukan Allah, yang  menunjukkan pula kuatnya iman. Lebih dari itu, posisi normal menjadikan seseorang dapat tetap berpikir logis dan pengendalian diri dengan baik.

Adalah merupakan kewajiban kaum muslimin untuk bersikap sabar dalam menghadapi musibah dan bersyukur saat mendapat anugerah. Hal tersebut karena seorang Muslim yakin bahwa kejadian apapun di bumi dan langit tidak akan terlepas dari takdir Allah SWT serta apa pun bentuk kejadiannya bagi Allah SWT merupakan suatu hal yang amat mudah.

Sehingga seorang Muslim harus senantiasa berbaik sangka terhadap Allah, sedangkan yang dilakukannya tidak lebih sekedar berikhtiar atas apa yang dapat dilakukan. (QS. Al-Hadid: 22). Sikap seorang Muslim tersebut merupakan respons positif dalam mengatasi sifat alamiah manusia yang umumnya mengeluh pada saat susah dan kikir saat mendapat anugerah.

Sikap tersebut merupakan modifikasi dari sifat alamiah-negatif menjadi progresif-positif dengan tujuan agar kaum muslimin tidak sampai bersedih hati dalam menghadapi masalah hingga berujung pada sikap putus asa.

Sebaliknya, jika anugerah yang diberikan oleh Allah, maka seorang mukmin tidak boleh pula terlalu gembira yang berujung pada sikap sombong dan lupa diri. (QS. Al-Hadid: 23). Sikap moderat inilah yang ditekankan Alquran dalam banyak kesempatan sehingga dengan kemoderatannya seorang muslim tetap dalam kondisi normal.

Sikap moderat tersebut sekaligus sebagai bentuk antitesa terhadap sikap orang-orang munafik yang sering berada pada satu titik ekstrem, yaitu berjanji beriman kepada Allah sebelum mendapat anugerah dan bersikap kikir saat mendapatkannya. (QS. At-taubah: 75-77).

Dengan demikian seorang Muslim hendaknya senantiasa memiliki keyakinan kuat bahwa nasib dari perjalanan hidupnya adalah takdir Allah dan kewajiban dirinya adalah berikhtiar dengan sekuat tenaga dan sebaik-baiknya usaha (QS. Al Mulk: 2). Kedua, memiliki prasangka baik terhadap Allah SWT atas takdir apapun pada dirinya.

Ketiga, berusaha untuk bersikap moderat dalam keadaan apa pun dan terus berusaha menjadi lebih baik, sehingga tetap mampu berpikir normal dan kritis serta tidak terbawa oleh penderitaan atau terlena oleh kenikmatan.

Keempat,  memiliki visi untuk senantiasa bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah dan bersabar kala menerima cobaan serta yakin bahwa nikmat yang diberikan Allah jauh lebih banyak dari cobaan yang diterima. Wallahu a'lam.
Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MAsumber : www.republika.co.id

Wednesday, December 19, 2012

Shalawat Amalan Allah

Di antara kiat sukses adalah mengikuti dan meniru cara yang dilakukan oleh orang-orang yang sudah sukses. Dengan begitu, insya Allah kesuksesan juga akan bisa kita raih.

Dalam hal shalawat, tidak tanggung-tanggung, yang kita contoh adalah Allah SWT dan para malaikat-Nya. (QS al-Ahzab [33]: 56).

Subhanallah. Jika kita mau bershalawat untuk Nabi SAW, maka kita telah meniru apa yang dilakukan Allah dan malaikat-Nya. Inilah pesona shalawat. Kesuksesan apa yang akan kita raih?

Allah yang Mahakuasa, yang di tangan-Nya segala kesuksesan, keselamatan, kemuliaan, kehormatan, telah memerintahkan kita selaku hamba-Nya untuk bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW, yakni manusia yang paling dicintai-Nya. Dan, masya Allah, Allah melakukan hal itu; bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW.

Tabarakallah. Mahasuci Allah Yang telah meninggikan nama Nabi Muhammad, sehingga tidak disebut La ilaha illallah, tanpa Muhammad Rasulullah. Allah “menyejajarkan”, “menyandingkan” nama-Nya yang Mahaagung dan Mahamulia, dengan nama Nabi Muhammad di dalam kalimat tauhid, kalimat syahadat.

Masya Allah, ingin menangis rasanya.Ya Rasulallah, izinkan kami—umatmu ini—bershalawat untukmu. “Allahumma shalli wa sallim wa barik ‘ala Sayyidina Muhammad wa ‘ala alihi wa-dzurriyyatihi, wa ashhabihi wa ummatihi.”

Silahkan, mau pakai Sayyidina, boleh. Nggak pakai, juga boleh. Tapi, sebaiknya pakai Sayyidina, sebagai bentuk penghormatan kita untuk membedakan menyebut namanya dengan nama manusia lain.

Saya mengajar tentang shalawat, alhamdulillah atas izin Allah, saya merasa sangat bahagia. Saya mengajarkan kepada diri saya, keluarga saya, dan siapa saja yang mau percaya dan mengikuti untuk membaca shalawat.

Sungguh, jika mau segala kemudahan dan kesuksesan, perbanyaklah bershalawat kepada Rasulullah SAW. Semakin rutin dan banyak jumlahnya, maka akan semakin baik. Dengan begitu, shalawat akan menjadi salah satu pakaian amal kita sehari-hari.

Banyak itu kira-kira minimal 100 kali dalam sehari. Kalau masalah yang dihadapi lagi berat, dan kebutuhan banyak, maka perbanyaklah lagi bershalawat. Kalau perlu hingga1.000 kali dalam sehari atau lebih.

Jika yang demikian itu rutin kita lakukan, sering kita baca, misalnya 40 hari atau 100 hari tanpa putus, insya Allah, segala kemudahan akan menyertai kita. Cobalah, Anda tidak akan rugi.

Jika sudah merasa ada kemajuan, maka teruskanlah bershalawat dalam setiap kesempatan. Dan jika belum, teruslah mencoba dengan sepenuh keyakinan dalam menjalankan amalan yang juga dilakukan Allah dan malaikat-Nya ini.
Insya Allah, Anda akan merasakan manfaatnya. Apalagi, jika kita juga melakukan amal-amal saleh dari amalan-amalan sunnah yang diajarkan Rasulullah, niscaya shalawat itu akan lebih bermakna dan bertenaga.

Shalawat paling pendek, Shallallahu ‘ala Muhammad. Dan di antara shalawat yang paling keren adalah shalawat yang dipakai dalam tahiyyat akhir saat shalat, yakni Shalawat Ibrahimiyyah.

Di situ, kita juga menyebut nama Nabi Ibrahim AS, sang kekasih Allah. Semoga kita yang hina ini, selalu diizinkan Allah untuk beramal dengan amalan Allah, yakni bershalawat. Amin.
Oleh: Ustaz Yusuf Mansur

sumber : www.republika.co.id

Tuesday, December 18, 2012

Mitos dan Eksotisme Alam (Caringin Tilu)

CARINGIN Tilu, tempat wisata alam ini mungkin bisa dibilang asing bagi warga Bandung khususnya, dan Jawa Barat pada umumnya. Kawasan wisata yang syarat dengan mitos dan terkesan eksotisme ini berada di kawasan Kampung Cisayur, Desa/Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung.

Sebagian orang yang sudah mengenal obyek wisata ini menyebutnya dengan Cartil, singkatan dari Caringin Tilu. Cartil dibuka menjadi tempat wisata mulai tahun 2002 silam. Cartil memiliki keindahan alam yang masih perawan. Ketika dibuka , di kawasan ini hanya ada tiga orang penjual makanan. Namun, kini semakin ramai dengan berdirinya 25 saung dengan berbagai varian makanan yang disediakan.

Caringin Tilu dalam bahasa Sunda mempunyai arti tiga pohon beringin. Nama tersebut diambil karena di tempat tersebut terdapat tiga pohon beringin yang berumur ratusan tahun. Kini hanya tersisa satu pohon, karena satu pohon tumbang, dan satu pohon lagi mati kering. Untuk melestarikan keidentikan nama tempat ini dengan keberadaan pohon beringin warga setempat menanam dua pohon beringin sebagai pohon pengganti.

Kenapa Cartil selalu dikaitkan dengan mitos oleh warga setempat? Sebab di atas tempat ini ada makam leluhur yang diyakini merupakan tempat keramat oleh warga sekitar. Mitos yang berkembang selalu dihubungkan dengan kematian dua pohon beringin atau caringin saat kekalahan salah satu partai yang berlambangkan beringin pada pemilihan umum.

Daratan tinggi Cartil yang memiliki keindahan alam sangat alami ini akan membawa kita pada rasa nyaman dan damai melihat harmonisasi alam yang terhampar luas di depan mata kita. Dari hamparan hijau Cartil kita bisa melihat Kota Bandung dengan leluasa. Akan begitu jelas ketika Kota Bandung dilihat pada malam hari. Wow... ibarat lautan hitam yang bertebaran beribu bintang berasal dari ribuan lampu penduduk.

Setiap weekend, Cartil selalu disesaki para pengunjung. Tentu hal tersebut memberi keuntungan yang besar bagi para pedagang yang kebanyakan warga pribumi. Warung-warung di sana menyediakan makanan dan jajanan untuk para wisatawan Cartil.

Keindahan malam

Keindahan wisata Caringin Tilu di malam hari sungguh memesona. Sambil menikmati pemandangan yang hijau itu, pengunjung bisa sekalian memesan jajanan dari warung-warung yang berderet rapi seperti mie goreng, nasi goreng, mie rebus, bandrek, dan banyak lagi.

Secara geografis wilayah Cartil termasuk dalam kawasan Bandung Utara. Caringin Tilu menjadi salah satu lokasi terbaik guna menikmati wisata alam penggunungan di dataran tinggi Bandung. Dari lokasi ini pula, cakrawala dari ujung timur hingga ke barat wilayah Cekungan Bandung yang dikurung pegunungan, terlihat jelas.

Mulai dari sisi utara ke timur tampak Gunung Bongkor, Gunung Bukit Tunggul, Gunung Manglayang, Gunung Geulis, Gunung Mandalawangi. Sisi bagian selatan berjejer Gunung Papandayan, Patuha, dan Gunung Malabar hingga pegunungan sebelah barat, mampu diteropong dari Cartil. Sungguh keindahan alam yang sangat memanjakan pandangan mata.

Wisata Cartil ibarat sebuah intan yang terpendam dalam lumpur karena memiliki potensi wisata yang sangat potensial namun belum terekspos secara maksimal. Jangankan oleh orang luar Kota Bandung, konon, orang-orang Bandung sendiri banyak yang mengernyitkan dahi ketika disinggung soal Caringin Tilu padahal jaraknya hanya sepelemparan batu.

Untuk menuju kawasan Cartil sangatlah mudah. Arahnya dari Terminal Cicaheum Bandung belok kiri ke Jalan Padasuka dari arah Bandung kota. Untuk sampai di Cartil yang jaraknya sekitar 5 km dari Cicaheum kuncinya hanya satu, ikuti saja alur jalan yang berkelok dan menanjak, maka sekitar 20 menit kemudian sampailah kita di puncak tertinggi di Kecamatan Cimenyan itu. Jika Anda punya waktu luang bersama pasangan atau keluarga, tidak ada salahya jika Cartil dijadikan salah satu tujuan wisata Anda.
Galamedia sabtu, 01 desember 2012 01:39 WIB

Monday, December 17, 2012

Joha dan Keledai

Alkisah, dalam kitab “Azhraf al-Zharfa'”, Joha bersama putranya pergi ke pasar mengendarai keledai, sementara putranya berjalan di sampingnya.

Ketika melewati kerumunan, terdengar celoteh, "Dasar orang tua semena-mena, masak anaknya disuruh berjalan kaki."

Merasa tidak nyaman dengan celotehan, Joha turun dari punggung keledai dan berganti posisi dengan anak.

Di kerumunan lain, terdengar cemoohan, "Dasar anak durhaka, tega sekali membiarkan bapaknya berjalan kaki sementara ia duduk enak." Ia menyuruh putranya turun dan berjalan kaki bersamanya sementara keledainya dituntun.

Beberapa langkah kemudian, orang-orang berkomentar, "Orang aneh, mengapa keledai itu tidak dinaiki." Ia bersama sang anak menaiki punggung keledai.

Di lokasi selanjutnya, orang-orang berseloroh, "Bapak dan anak sama dungunya, masak seekor keledai lemah ditunggangi berdua." Tak mau dianggap orang bersalah, Joha dan anaknya turun, lalu keledai itu dipanggul berdua.

Anak-anak kecil yang melihatnya girang dan tertawa-tawa. Keduanya berjalan hingga sampai di jembatan kecil. Joha bingung dan serbasalah. Akhirnya, keledai itu dilemparnya ke sungai.

Cerita di atas adalah gambaran orang yang tidak teguh dalam prinsip. Nashruddin Joha atau dikenal dengan Nashruddin Hoja, tokoh unik pada masa keemasan Islam. Ia bermaksud pergi ke pasar untuk berdagang bersama putranya.

Dalam perjalanan, ia terjebak dalam tindakan yang membuat dirinya kebingungan. Bingung bukan lantaran tawar-menawar harga atau menghitung keuntungan, melainkan bingung karena melakukan tindakan yang tak dimengerti oleh dirinya sendiri.

Joha lupa bahwa tujuan perjalanannya adalah berdagang ke pasar. Maksud hati menyenangkan setiap orang, apa daya bingung yang didapat.

Karakter Joha dalam kisah di atas menurut teori kepribadian dikenal dengan //conformist personality, pembawaan kepribadian yang cenderung membiarkan sikap dan pendapat orang lain untuk menguasai dirinya.

Tindakan ini muncul karena ada perasaan khawatir tidak mendapat pengakuan dari orang lain. Dampak dari kepribadian ini adalah rentan untuk dikuasai oleh pengaruh-pengaruh liar dan tak mampu mempertahankan tujuan atau prinsip.

Menurut hierarki Maslow, aktualisasi diri merupakan kebutuhan tertinggi (meta-needs) dalam hidup. Aktualisasi diri muncul karena adanya konsistensi terhadap tujuan. Aktualisasi diri penting sebab jika tak terpenuhi (bagi sebagian orang yang telah terpenuhi kebutuhan dasarnya) bisa berakibat metapatologi (penyakit kejiwaan), seperti sinisme, kebencian, kegelisahan, depresi dan metapatologi lainnya. 

Namun, dalam kisah Joha, ia terlampau khawatir sehingga melakukan kekeliruan cara meraihnya, bahkan mengorbankan tujuannya. Akibatnya, Joha menderita kerugian waktu, energi, dan keledai.

Alquran memberi solusi untuk mengantisipasi kekeliruan di atas, yaitu dengan istiqamah (konsistensi). "Tetap teguhlah kamu pada jalan yang benar sebagaimana yang telah diperintahkan kepadamu." (QS Hud: 112).

Selanjutnya, bertawakal dengan keputusan yang telah diambil. "Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya." (QS Ali Imran: 159). Wallahu a'lam.
 Oleh: Muhammad Saifudin Kodiran

sumber : www.republika.co.id

Sunday, December 16, 2012

Krisis Moral

Dilihat dari perspektif agama, berbagai krisis yang menimpa bangsa kita, sesungguhnya berakar dari krisis moral (akhlak).

Krisis akhlak bukanlah hal yang sepele, tetapi ia sangat berbahaya dan mengancam eksistensi kita sebagai umat dan bangsa. Krisis akhlak lebih berbahaya dibanding krisis energi, listrik, pangan, dan berbagai krisis lainnya.

Islam adalah agama akhlak. Nabi Muhammad SAW diutus untuk menyempurnakan akhlak (HR Baihaqi). Akhlak, menurut Yusuf al-Qardhawi, adalah energi kehidupan dan puncak keagungannya. Itu sebabnya, kata al-Qaradhawi, Islam selalu menanamkan keluhuran budi pekerti, dalam semua aspek kehidupan.

Kekuatan bangsa sangat dipengaruhi oleh kekuatan akhlak. Sejarawan Arnold Toynbe, dalam risetnya, membuktikan kebenaran tesis ini. Ia pernah meneliti lebih dari 21 peradaban yang hebat di dunia.

Ternyata, diketahui 19 dari 21 peradaban itu musnah (runtuh). Ia runtuh bukan karena penaklukkan dari luar (not by conquest from without), melainkan melalui kerusakan moral dari dalam (by moral decay from within).

Maka, krisis akhlak harus dicegah dengan melakukan perbaikan akhlak bangsa. Secara teori, perbaikan akhlak dapat dilakukan dengan beberapa usaha.

Pertama, menumbuhkan komitmen etis, yaitu pemihakan yang kuat pada kebenaran dan kebaikan. "Surga, dipagari oleh hal-hal yang susah (al-makarih), sedangkan neraka dihiasi oleh kesenangan-kesenangan." (HR Muslim).

Kedua, berlatih dan melakukan pembiasaan diri pada akhlak yang baik. Al-Ghazali, menyebutnya dengan istilah al-takhalluq. Pakar lain menyebutnya dengan istilah al-Tathabbu` Dalam bahasa modern, Takhalluq dan tathabbu` bermakna membangun kebiasaan (habit) dan watak (karakter) yang baik. Dan proses takhalluq membutuhkan waktu dan disiplin yang ketat.

Menurut Ghazali, perbaikan akhlak hanya dapat dilakukan dengan metode penyembuhan terbalik (bi thariqat al-`aks). Artinya, penyakit akhlak hanya bisa disembuhkan dengan lawannya. Sifat bodoh dilawan dengan ilmu, kikir dengan dermawan, sombong dengan rendah hati (tawadhu`), dusta dengan jujur, dan lainnya.

Bertolak dari konsep ini, maka mental korup bangsa ini hanya bisa disembuhkan dengan menumbuhkan sifat jujur (al-shidq), bisa dipercaya, dan bertanggung jawab (al-amanah), serta sikap prorakyat (al-itsar). Wallahu a`lam.
Oleh: A Ilyas Ismail sumber : www.republika.co.id

Saturday, December 15, 2012

Menghargai Kehidupan

Ibadah ritual (hablum minallah) belumlah cukup, sehingga harus dibuktikan lagi di tengah-tengah pergaulan dengan manusia (hablum minannas).

Kecintaan kepada Ilahi dinyatakannya dalam bentuk penuh manfaat yang bersulam kasih kemaafan. Hatinya akan terus-menerus diketuk sabda Rasulullah SAW, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”

Sehingga tampaklah akhlak keteladanan di manapun dia berada. Di jalanan, di perkantoran, di lorong-lorong sempit, bahkan di dalam rumah tangganya telah tegak disiplin untuk menghargai orang lain.

Di jalanan, dia tidak akan melanggar rambu-rambu lalu lintas. Sebab, pelanggaran berarti pengkhianatan terhadap Ilahi dan nilai kemanusiaan yang telah bersepakat menaati peraturan.

Begitu juga para pegawai Muslim akan menunjukkan akhlaknya yang mulia. Jangankan niat korupsi, untuk datang terlambat saja jiwanya bergetar karena takut dikategorikan sebagai orang munafik yang melanggar janji. Ini semua sebagai bentuk nyata dari aplikasi ritual dalam bentuk akhlak pergaulan di dalam masyarakat.

Saya menyaksikan, betapa di negara yang penduduknya mayoritas non-Muslim, bisa menjadi surga bagi penyandang cacat. Bila di bandara ada orang yang memakai kursi roda (wheelchair), mereka diberikan prioritas dalam segala hal.

Mereka diberi jalan dan lift khusus. Di tempat parkir, mereka diberi ruangan khusus untuk para penyandang cacat. Mereka sangat dihargai dan dimanusiakan.

“Orang yang berbelas kasih pasti dikasihi yang Mahapengasih. Berbelas kasihlah kepada penghuni di bumi, niscaya para penghuni langit akan berbelas kasih kepadamu sekalian.” (HR Abu Daud dan Tirmidzi).

Diriwayatkan, ada seseorang yang masuk neraka karena membiarkan kucingnya dikurung sehingga mati kelaparan. Ini tentu sama dengan nyawa manusia. Karena itu, setiap Muslim mengemban tugas menggiatkan kehidupan dan bukan merusak.

“Barang siapa membunuh satu nyawa yang tak berdosa sama dengan membunuh manusia seluruhnya. Sebaliknya, bila kita menghidupkan satu nyawa manusia sama dengan menghidupkan nyawa manusia seluruhnya.” (QS. Al-Maidah [5]: 32).

Itulah salah satu tugas seorang Muslim. Terdapat riwayat, Allah memerintahkan malaikat untuk memasukkan seseorang ke surga, karena ia memberi minum seekor anjing yang kehausan. Jika membantu hewan mendapat balasan surga, apalagi menolong sesama.

Perusahaan yang terus menghidupkan usahanya untuk memberi lapangan kerja. Mereka itu sama dengan menghidupkan manusia seluruhnya. Kehadiran dan keberadaannya, laksana pelita yang menerangi jalan untuk mereka yang tersesat.

"Tidaklah seseorang itu disebut beriman sehingga ia mencintai orang lain sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” Dalam kesempatan lain, Rasulullah bersabda, "Yang disebut Muslim itu adalah mereka yang menyebabkan orang selamat dari lidah dan tangannya.” Wallahu a'lam.
Oleh: Ustaz Toto Tasmara

sumber : www.republika.co.id

Friday, December 14, 2012

Ibrah Nabi Daud

Nabi Daud Alaihissalam (AS) adalah salah satu rasul Allah yang mempunyai kemampuan istimewa. Allah SWT memberikan kepadanya kitab Zabur, sebagai petunjuk bagi kaumnya.
Allah juga memberikan keistimewaan lainnya kepada Nabi Daud berupa kepatuhan sejumlah makhluk Allah mengikuti keinginannya. Seperti gunung-gunung yang bertasbih bersamanya di waktu pagi dan petang, burung-burung yang bisa mengikuti perintah Daud, dan diberikan kerajaan yang sangat besar dan luas.

Selain itu, Nabi Daud AS juga diberikan kekuatan dan keilmuan yang sangat hebat. Dengan ilmu itu, Nabi Daud diharapkan bisa memberikan solusi atas masalah yang dihadapi kaumnya.

Sebagai seorang raja, Nabi Daud memiliki istri yang cukup banyak, jumlahnya 99 orang. Walau demikian, Daud masih menginginkan seorang istri lagi, agar jumlahnya genap menjadi 100 orang.

Calon istri yang ingin disuntingnya adalah milik seorang prajurit kerajaan. Ia sangat menginginkannya. Karena itu, Daud menugaskan sang prajurit ini untuk pergi berperang bersama dengan pasukannya.

Namun, belum sempat hal itu terealisasi, Allah SWT mengutus dua orang malaikat menemui Daud yang berwujud manusia dan menjadi penggembala. Keduanya mengajukan sebuah permasalahan yang sangat rumit untuk segera mendapatkan penyelesaian dari Daud.

Kedatangan kedua orang ini membuat kaget Nabi Daud. Namun, sebagai seorang raja yang dikenal adil, Daud menerima keduanya dengan lapang dada.

Seorang dari mereka berkata, “Saudaraku ini mempunyai 99 ekor kambing betina, dan aku memiliki seekor kambing. Dia ingin mengambilnya dariku. Dan dalam perdebatan, dia mengalahkanku, karena dia berkuasa. Mohon penyelesaiannya dengan adil.”

Setelah mendengar semua persoalan, Daud memutuskan bahwa penggembala yang sudah mempunyai 99 ekor kambing itu tak berhak mengambil kambing milik rekannya. Daud menilai, mengambil paksa milik orang lain itu adalah perbuatan zalim. Dengan keputusan itu, maka senanglah hati sang penggembala yang hanya memiliki satu ekor kambing. Keduanya pun lalu berpamitan pulang.

Seusai memberikan penyelesaian kasus kedua orang penggembala kambing yang tak lain adalah malaikat itu, membuat Nabi Daud tersadar. Ia merasa, bahwa Allah telah menguji dirinya dengan mengutus malaikat untuk mengingatkan perbuatannya yang telah melampaui batas (kezaliman).

Ia pun lantas bersujud kepada Allah, sekaligus memohon ampun dan bertaubat atas kesalahannya. Dan Allas SWT mengampuni kesalahannya dan menerima taubat Daud.

Kisah ini selengkapnya dapat dilihat dalam Surah Shad [38]: 17-29. Kisah ini memberikan sejumlah ibrah (pelajaran) kepada kita. Pertama, keinginan hawa nafsu begitu besar. Walau sudah memiliki segala kekayaan, kemewahan, dan istri yang cantik, tetap saja muncul keinginan untuk memiliki yang lainnya.

Kedua, sebagai pemimpin harus bisa memberikan teladan kepada rakyatnya. Sebab, keteladanan dan keadilan seorang pemimpin, menjadi pintu naungan di Hari Kiamat (HR Bukhari-Muslim).

Ketiga, seorang pemimpin tak boleh memaksakan kehendak. Keempat, pemimpin harus menjunjung tinggi penegakan hukum dengan seadil-adilnya, kendati persoalan yang sama sedang menderanya. Wallahu a’lam.
Oleh: Syahruddin El-Fikri

sumber : www.republika.co.id

Thursday, December 13, 2012

Keistimewaan Sirah Nabi SAW

Tidak satu pun anak manusia yang biografi dan sejarahnya dikupas secara detail, komplet, menyeluruh dan transparan melebihi sosok Muhammad SAW.

Kisah tokoh yang satu ini ditulis oleh setiap generasi manusia dari masa ke masa dengan pendekatan yang berbeda-beda, sehingga tulisan mengenai dirinya terus hidup dan berkembang, tak lekang oleh zaman dan tak tergilas waktu.

Sirah Nabi SAW adalah sejarah hidup (living model) yang menggambarkan kepribadian Muhammad SAW secara utuh dan menyeluruh. Sirah bukan sekedar biografi dan sejarah karena penulisannya didasarkan pada periwayatan sumber-sumber otentik.

Sirah lebih obyektif dari penulisan biografi dan sejarah, sebab ditulis sesuai dengan realitanya tanpa penyembunyian dan pengurangan informasi sedikit pun.

Kegiatan Nabi SAW dalam bentuk shalat, zakat, puasa, haji, jihad, pergaulanya dengan keluarga dan masyarakat luas dengan mudah dapat ditemui di berbagai buku Sirah. Masa lahir, anak-anak, remaja, dewasa, menikah hingga meninggal menjadi perhatian Sirah.

Aisyah RA berkata, "Jika Muhammad itu menyembunyikan sesuatu (dari Allah), maka ia pasti akan sembunyikan ayat ini (QS. Al-Ahzab: 37, perintah menikahi Zaenab Jahsyi)."

Hal tersebut karena Nabi SAW harus mengubah tradisi pernikahan kaum Jahiliyah dan menghadapi tuduhan-tuduhan mereka karena menikahi mantan istri anak angkat yang menjadi pantangan di kalangan mereka.

Namun, Allah SWT memerintahkan Nabi SAW melakukannya untuk menegaskan berlakunya hukum bahwa menikahi mantan istri anak angkat diperbolehkan dalam Islam dan pengharaman penisbatan anak angkat kepada ayah angkatnya.

Dalam peristiwa lain, Nabi SAW juga mendapat teguran dan pembetulan dari Allah SWT ketika seorang sahabat yang buta bernama Abdullah bin Ummi Maktum datang kepada NAbi SAW utuk menanyakan sesuatu.

Pada waktu itu Nabi SAW sedang mengadakan pertemuan penting dengan para pembesar Quraish seperti Abu Jahl bin Hisyam, Uthbah bin Rabi'ah, Ubay bin Umayyah bin Khalaf dan Abbas bin Abdul Muthalib.

Nabi SAW terkesan mengabaikan kedatangan Abdullah bin Ummi Maktum, sehingga beliau langsung mendapat teguran dari Allah dengan turunnya wahyu sebagaimana termaktub dalam Surah Abasa.

Berbagai peristiwa yang dalam perspektif kaum Muslimin menjadi pelajaran berharga dan dalam tahap tertentu menjadi bahan kritikan dan ejekan kaum orientalis tersebut tetap menjadi bagian dari Sirah Nabi SAW, karena Nabi SAW dihadirkan agar menjadi suri teladan yang baik di semua bidang dan contoh ideal hidup manusia, sehingga kepribadian dan perilakunya dipelihara (dari kesalahan dan dosa) oleh Allah SWT.

Lebih dari itu agar semua teladan hidupnya menginspirasikan umat manusia dan menjadi rahmat bagi alam semesta. Yang pasti pula, realitas kepribadiannya lebih indah dari semua pensifatan yang diberikan kepadanya.
Beliau adalah profil manusia terbaik dari sisi akhlak maupun fisiknya. Beliau paling tampan di antara orang yang tampan, tidak terlalu tinggi dan pendek, wajahnya memancar bagaikan matahari dan bulan, serta paling mirip dengan Al-Khalil Ibrahim AS.

Perhatikanlah pengakuan Amr bin Ash yang pada saat sakaratul maut berkata, "Tidak ada seorang pun yang lebih aku cintai daripada Rasulullah SAW, dan tidaklah mataku dipenuhi olehnya, semata-mata karena aku memuliakannya. Jika aku diminta untuk menyifatinya maka aku tidak mampu karena aku tidak memenuhi mataku kecuali dirinya." Wallahu a'lam.
Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA
sumber : www.republika.co.id

Wednesday, December 12, 2012

Memuliakan Orang Tua

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia,” (Qs Al-Isra: 23).

Surah Al-Isra mengisyaratkan keharmonisan dua hubungan yakni hubungan baik dengan Allah, juga dengan manusia yang dalam hal ini ialah sosok yang semestinya kita muliakan, orang tua.

Para mufassir sepakat bahwa perkataan yang mulia menurut firman Allah di atas ialah mengucapkan kata “ah” kepada orang tua tidak dibolehkan oleh agama apalagi mengucapkan kata-kata atau memperlakukan mereka dengan lebih kasar daripada itu.

Penghormatan terhadap orang tua sangat diatur oleh Islam agar terciptanya hubungan baik antara orang tua dan anak.
Lebih spesifik lagi, penghormatan kepada salah satunya sungguh telah Rasulullah yang menyatakan seorang laki-laki datang menghampiri Rasulullah dan bertanya siapakah yang layak untuk dipatuhi? Rasul pun menjawab, “Ibumu,” hingga tiga kali berturut-turut, kemudian, “ayahmu”. (HR Bukhari-Muslim).

Penyebutan lebih dari satu kali dalam hadis Rasul bukan tanpa makna. Pemaknaan yang luas terhadap apa yang pernah beliau sampaikan lebih khusus kepada urusan kepatuhan anak kepada ibu, menjadi kewajiban tersendiri mengingat ibu adalah sosok yang sangat berperan dalam kehidupan si anak dari masa kehamilan, kanak-kanak, hingga dewasa.

Adalah Umar bin Khattab seorang anak yang sangat hormat kepada ibunya, sampai dalam masalah yang sekecil-kecilnya. Dalam hal makan, misalnya, ia tidak pernah makan mendahului ibunya.

Ia bahkan tak berani makan bersama-sama dengan ibunya, sebab ia khawatir akan mengambil dan memakan hidangan yang tersedia di meja, sementara ibunya menginginkan makanan tersebut. Baginya, seorang ibu telah mendahulukan anaknya selama bertahun-tahun ketika sang anak masih kecil dan lemah.

Kasih ibu tak pernah terbalas oleh apa pun juga. Yang bisa dilakukan anak hanyalah memberi penghormatan dan pelayanan, terutama ketika mereka sudah tua dan dalam keadaan lemah. Dalam hal ini Rasulullah mengingatkan kaum Muslimin, "Hidungnya harus direndahkan ke tanah, hidungnya harus direndahkan ke tanah, hidungnya harus direndahkan ke tanah."

Beliau ditanya, "Ya Rasulullah, siapa?" Jawabnya, "Orang yang mendapatkan kesempatan baik untuk membantu kedua orang tuanya di masa tuanya, baik salah satunya maupun kedua-duanya, tetapi ia gagal mendapatkan dirinya masuk surga."

Gagalnya seseorang untuk masuk surga lantaran pengabaian terhadap hak-hak orang tua, dapat kita simak dalam kisah Juraij. Juraij adalah remaja yang taat beribadah. Saat ia ingin melakukan shalat sunah, ibunya memanggilnya.

Kala itu, Juraij bimbang—dahulukan shalat, atau memenuhi panggilan ibunya? Maka, Juraij pun memilih shalat dan mengabaikan panggilan Ibunya yang sudah berkali-kali menggema di telinganya.

Sang ibu pun kecewa, dalam hati, ia berdoa, “Ya Allah, janganlah Engkau mematikan anakku sebelum ia mendapat fitnah dari wanita pelacur.” Singkat cerita, Juraij mendapatkan fitnah dari seorang pelacur karena ia mengabaikan seruan ibunya.

Menghormati dan memuliakan orang tua bukan saja saat mereka masih hidup. Ketika beliau wafat, maka sebagai seorang anak, kita berkewajiban untuk melaksanakan lima hal, seperti hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, kewajiban itu di antaranya ialah menyalatkan keduanya, membacakan istighfar, melaksanakan wasiatnya, bersilaturahim kepada kerabatnya, juga menghormati sahabat-sahabatnya.
Oleh: Ina Salma Febriani


sumber : www.republika.co.id

Janganlah Mendekati Zina

Apabila perzinaan sudah meluas di masyarakat dan dilakukan secara terang-terangan (dianggap biasa),maka infeksi dan penyakit mematikan yang sebelumnya tidak terdapat pada zaman nenek moyangnya akan menyebar di antara mereka.
Seperti kita ketahui, penyebaran AIDS bisa melalui tranfusi darah, alat-alat kedokteran gigi maupun jarum suntik. Namun, penyebaran AIDS yang paling hebat dan sangat mendasar adalah lewat praktek-praktek prostitusi. Ini terbukti, di mana banyak prostitusi, di situ penyakit yang mematikan itu tumbuh subur.

Sebagai muslim, sebetulnya kita tidak perlu khawatir terhadap serangan AIDS, asal -- tentu saja -- kita menaati ajaran agama. Dalam Alquran, Allah telah memberikan kiat penangkal penyakit yang berbahaya itu. ''Wala taqrabu al-zina (Janganlah mendekati zina)'' (Q.S. 17:32).
Kalau kita renungkan, tampaklah bahwa ayat di atas sangat antisipatif: Allah menjaga orang-orang beriman dari bahaya-bahaya yang akan diakibatkan oleh perzinaan. Jangankan melakukan, mendekat pun kita sudah tidak diperbolehkan oleh Allah. Sebab Allah Mahatahu sifat manusia yang apabila mendapat satu, dia menginginka yang kedua, mendapat yang kedua, dia menginginkan yang ketiga dan seterusnya, hingga terjadilah perzinaan itu.

Apabila kita mampu menaati perintah Allah tadi, insya Allah kita akan terbebas dari azab Allah yang ditimpakan kepada kaum yang tidak mau menjaga farajnya, baik azab dunia, terlebih-lebih azab akhirat. Dalam ayat lain disebutkan bahwa orang yang menjaga kemaluannya akan beruntung (Q.S. 23:5). Jika sekarang digalakkan kampanye penanggulangan AIDS yang dilakukan oleh orang-orang terkenal, nampaknya seperti suatu hal yang sia-sia. Karena banyak usaha tersebut tidak sejalan dengan aturan Allah, bahkan ada yang sangat nyata-nyata menentang aturan Allah, misalnya menyediakan kondom bagi pelaku pelacuran.

Mengatakan AIDS adalah penyakit kutukan secara membabi buta barangkali tidak begitu tepat. Namun kita tidak ragu-ragu mengatakan bahwa AIDS adalah azab dunia bagi para pezina. AIDS harus disikapi dari dua dimensi: duniawi dan ukhrawi.
Dalam dimensi duniawi, AIDS mungkin bisa menyerang siapa saja. Sedangkan dalam dimensi ukhrawi penyakit AIDS merupakan azab Allah yang ditimpakan kepada para penentang aturan-Nya. Bala ini sebagai eksesnya bisa menimpa orang beriman, terlebih-lebih jika orang beriman menyetujui praktik perzinaan walaupun tidak melakukan.

Hadis riwayat Ibnu Majah, Al Bazzar, dan Al Baihaqi, yang dikutip di atas kiranya sangat pas untuk menggambarkan keadaan dewasa ini, dan secara gamblang membuktikan kebenarannya. Kalau dahulu hanya dikenal sipilis dan sebangsanya, sekarang dikenal AIDS. Jika praktek prostitusi semakin merajalela, walau seandainya nanti AIDS dapat disembuhkan, tak mustahil akan muncul penyakit lain yang lebih mengerikan. Na'udzubillah.

sumber : www.republika.co.id

Tuesday, December 11, 2012

Manajemen Lebah

Rasulullah SAW mengumpamakan Muslim itu seperti lebah. "Mukmin itu bagaikan lebah. Jika hinggap pada tanaman berbunga, ia memakan sarinya yang baik, tidak mematahkan maupun merusak yang dihinggapinya." (HR Ahmad, Abu Syaibah, dan Thabrani).

Hadis di atas memberi isyarat kuat bahwa setiap Mukmin harus belajar dari manajemen lebah. Setiap Mukmin harus selalu mencari dan mengonsumsi makanan yang halal dan baik (halalan thayyiban) sekaligus tidak membuat kerusakan lingkungan.

Makanan yang halal dan bergizi adalah sumber energi kehidupan yang penuh keberkahan, mendatangkan manfaat, dan memacu produktivitas. Tidak merusak lingkungan berarti bersikap harmoni pada alam, dan selalu berusaha memakmurkan dan menyejahterakan umat manusia di muka bumi. Merusak lingkungan berarti berakibat buruk bagi dirinya dan orang yang ada disekitarnya.

Menurut mufassir Tantowi Jauhari, manajemen lebah itu sungguh unik dan perlu diteladani. Lebah itu tidak ada yang hidup egois dan individualis. Sarangnya senantiasa bersih dan terlindung. Hidupnya selalu bersatu, bekerjasama secara kompak dan saling melengkapi.

Meskipun dipimpin seekor "lebah ratu", komunitas (koloni) lebah selalu berbagi tugas secara rapi. Ada yang membuat sarang, mencari sari madu, mengumpulkan bahan makanan, pembuat madu, prajurit, peneliti (terutama untuk mencari tempat baru), dan sebagainya. Semua bekerja secara "profesional". Hasil kerjanya dipergunakan untuk kemanfaatan semua pihak lain, terutama manusia.

Manajemen lebah sungguh efektif dan produktif. Satu koloni lebah yang berisi puluhan ribu lebah, mampu menghasilkan dua sampai tiga liter madu dalam satu musim. Bukan hanya madu, lebah juga mampu memberi manfaat lainnya. Sengatan lebah bermanfaat untuk terapi akupuntur.

Dengan demikian, nilai-nilai manajemen lebah yang patut diaktualisasikan dalam kehidupan Mukmin adalah kebersihan (lingkungan maupun makanan yang dikonsumsi), visi dan misi yang terorganisasi secara rapi (menghasilkan produk yang bermanfaat).

Selain itu, lebah juga sangat menjaga kesatuan dan kerja sama, mengikuti jalan Tuhan (ketaatan), mobilitas dan produktivitas tinggi, hidup harmoni dengan alam (tidak merusak, tapi justru membantu penyerbukan bunga pada suatu tanaman), dan selalu berprinsip memberi kemanfaatan (obat dan minuman sehat) bagi orang lain. Perhatikan (QS an-Nahl [16]: 68-69).

Nabi SAW menegaskan ayat di atas dengan menambahkan; “Jika engkau bergaul dengannya, ia memberimu manfaat; jika engkau ajak bermusyawarah, ia pun memberi manfaat; jika engkau ajak berdiskusi, ia mau memberi manfaat. Segala aktivitas (hidupnya) memberi manfaat. Demikianlah, lebah dengan segala aktivitas dan produknya selalu bermanfaat." (HR al-Baihaqi).

Meneladani manajemen lebah itu, mengharuskan setiap Mukmin untuk bersikap, berpikir, berbuat, dan berkarya demi kemanfaatan dan kemaslahatan bagi orang lain. Karena, sebaik-baik manusia adalah orang yang paling banyak memberi manfaat bagi orang lain. (HR at-Thabrani).

Jika setiap Mukmin selalu belajar manajemen lebah, niscaya umat dan bangsa ini akan sejahtera, dan terhindar dari perbuatan buruk seperti korupsi. Wallahu a’lam.
Oleh: Muhbib Abdul Wahab

sumber : www.republika.co.id

Tahun Baru dan Semangat Baru

Pekan depan, dunia sudah memasuki tahun baru 2013 Masehi. Meski bukan kalender Hijriah, namun memasuki tahun yang baru ini patut kiranya memberikan semangat baru untuk terus memacu memperbaiki hidup.

Sebagai umat Islam, semangat merayakan pergantian tahun baru bukan sekadar dengan menggelar pesta kembang api atau menghabiskan malam dengan pesta terompet. Namun pergantian tahun ini selayaknya memberikan kita semangat baru dalam membuat karya nyata dan prestasi hidup.

Bagi umat Islam memiliki keyakinan bahwa waktu merupakan merefleksikan diri dalam kehidupan dunia yang akan dipertangungjawabkan di akherat nanti.  Sebagaimana sudah tertulis di dalam Al-Quran yang berbunyi artinya,
“Adalah orang yang merugi jika hari ini sama dengan hari kemarin dan hari esok lebih buruk dengan hari ini. Dan kamu akan termasuk kaum yang beruntung jika hari ini lebih baik dari hari kemarin dan hari esok lebih baik dari hari ini.”

Pemahaman itu memberikan keyakinan bagi kita bahwa waktu bukan sekadar kumpulan angka-angka yang tertera pada jarum jam atau di kalender. Tetapi waktu adalah sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan oleh Allah SWT, Sang Pemilik Zaman.

Memaknai pergantian tahun itu sebagai momentum perubahan budaya secara individual (ibda’ binafsih), keluarga dan masyarakat yang selama tahun sebelumnya mungkin masih ada kekurangan atau kealpaan, diarah lebih baik di masa mendatang.

Perubahan ini bisa terjadi apabila setiap jiwa umat Islam mampu ‘menghijrahkan’ seluruh kekuatannya (pemikiran dan tindakannya) bagi kemajuan dalam kehidupan secara pribadi.

Perubahan yang dimulai dari rumah tangga dan dilanjutkan  melalui lembaga pendidikan akan membawa dampak positif sejalan dengan perkembangan. Semua itu harus dimulai dari sekarang sebagai menciptakan negerasi muda Islami yang mampu melakukan perubahan dalam kehidupan. Sebab sudah digariskan dalam Islam bahwa “Allah SWT tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang akan mengubahnya”.

Karena itu ada tidaknya perubahan dalam kehidupan seseorang atau kelompok masyarakat sangat tergantung pada individu atau kelompok tersebut. Itu langkah minimal yang sejatinya dilakukan setiap muslim dalam memaknai pergantian tahun ini.

Intinya, Islam juga mengajarkan, bahwa hari-hari yang dilalui hendaknya selalu lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Setiap Muslim dituntut untuk selalu berprestasi, yaitu menjadi lebih baik dari hari ke hari, begitu seterusnya.
           
Dengan keyakinan itu, maka orientasi kerja-kerja keduniaan yang selama ini kita lakukan patut kiranya di tahun 2013 kita ubah berdasarkan pada nilai-nilai kebajikan (ma’rufat) dan membersihkannya dari pelbagai kejahatan (munkarat).

Dalam hal ini, ma’rufat mencakup segala kebajikan (virtues) dan seluruh kebaikan (good qualities) yang diterima oleh manusia sepanjang masa, sedangkan munkarat menunjuk pada segenap kejahatan dan keburukuan yang selalu bertentangan dengan nurani manusia. Nilai kebaikan bisa diejawantahakn dengan bekerja berprinsip nilai kejujuran dan profesionalitas.
Sikap jujur sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW agar dapat berperilaku yang baik dengan “menjauhi dusta karena dusta akan membawa kepada dosa dan dosa membawamu ke neraka. Biasakanlah berkata jujur karena jujur akan membawamu kepada kebajikan dan membawamu ke surga.” (HR Bukhari dan Muslim).

Pribadi yang jujur merupakan roh kehidupan yang teramat fundamental, karena setiap penyimpangan dari prinsip kejujuran pada hakikatnya akan berbenturan dengan suara hati nurani. Seperti contoh, para penyelenggara negara pada setiap aktivitas dalam rangka melayani masyarakat tentunya tidak menanggalkan prinsip kejujuran.

Dengan pemahaman itu, maka patutnya pergantian dari tahun 2012 menuju tahun 2013 ini kita jadikan sebagai momentum mengubah diri menuju perubahan dalam segala bidang sebagai upaya penyatuan umat Islam Indonesia. Semoga
 Oleh: Dr HM Harry Mulya Zein

sumber : www.republika.co.id

Monday, December 10, 2012

Damai, Produk Peradaban Islam

Syekh Al-Azhar Al-Syarief, Dr Ahmad Al-Tayyib, mengatakan damai dan perdamaian merupakan produk peradaban Islam sejak masa permulaan (kerasulan).

Oleh karenanya, hubungan antara kaum Muslim dan non-Muslim tecermin dalam satu kata kunci, yaitu mengenal pihak lain (saling mengenal). Hal tersebut karena pemikiran filsafat Islam dalam kaitannya dengan hubungan antara Muslim dan non-Muslim didasari pada dua kenyataan (hakikat).

Pertama, kenyataan bahwa perbedaan (al-ikhtilaf) merupakan hukum alam (sunnatullah) yang ditetapkan Allah SWT. Dia menciptakan manusia dengan perbedaan warna kulit, bahasa, agama, tradisi dan tabiat.

Memang, seandainya Allah berkehendak, maka tidak sulit bagi-Nya menjadikan manusia sebagai satu umat yang sama dalam segala hal. Namun, hal tersebut tidak dikehendaki-Nya, malahan “perbedaanlah” yang dikehendaki-Nya dan atas sebab perbedaan itulah manusia diciptakan.

Allah SWT berfirman, "Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia jadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih, kecuali orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka." (QS. Hud: 118-119).

Penggunaan isim isyarah "dzalika" pada kalimat tersebut menurut para ahli tafsir merujuk pada kata "wa la yazalu mukhtalifiin", sehingga maknanya atas sunnatullah berupa perbedaan keyakinan, pemikiran, rasa, tabiat dan kecenderungan yang terdapat pada manusia itulah maka manusia itu diciptakan.

Kedua, kenyataan bahwa manusia diciptakan dengan hukum alam untuk saling mengenal antara yang satu dengan yang lain. Dengan kata lain, manusia diciptakan untuk saling menjalin "ukhuwah insaniyah" (QS. Al-Hujurat: 13).

Dua kenyataan tersebut, mau tidak mau harus dicarikan solusi dan tata kelolanya oleh manusia. Dan Rasulullah SAW telah menunjukkan melalui perjalanan hidupnya bahwa damai dan perdamaian merupakan jalan terbaik untuk mengkompromikan perbedaan dan upaya untuk saling mengenal antarmanusia.

Perhatikanlah berbagai pendekatan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam menjalankan dakwahnya di Makkah dan Madinah. Perhatikan pula berbagai perjanjian yang dibuat oleh Rasulullah SAW dengan kaum Anshar, kaum Yahudi di Madinah, dan kaum kafir Quraisy yang kesemuanya menunjukkan upaya-upaya serius menciptakan perdamaian dalam rangka mencari tata kelola yang baik demi keberlangsungan kehidupan.

Perhatikan lebih detail lagi syariat peperangan dalam Islam yang tidak lain merupakan situasi pengecualian dalam rangka menghapus kezaliman, menegakkan kebenaran, menafikan kebatilan, menegakkan kedamaian, keamanan dan ketenangan, mempertahankan agama, negara, jiwa, harta, benda, kebebasan beragama dan kemanusiaan.

Allah SWT berfirman, "Diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka dizalimi. Dan sungguh, Allah Maha Kuasa menolong mereka itu, (yaitu) orang-orang yang diusir dari kampung halamannya tanpa alasan yang benar, hanya karena mereka berkata, ‘Tuhan kami ialah Allah’.”

“Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah, Allah pasti akan menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sungguh Allah Mahakuat, Mahaperkasa." (QS. Al-Hajj: 39-40).

Maka, jika pada saat ini terdapat sekelompok orang yang mengatasnamakan diri sebagai kelompok Islam dengan kebiasaan melakukan kekerasan, kejahatan, teror dan mengganggu ketentraman masyarakat, dapat dipastikan bahwa perbuatan mereka bertentangan dengan syariat Islam. Dan mereka perlu belajar Islam langsung melalui teks aslinya, bukan dari para ideolog-ideolog yang salah dalam memahami ajaran Islam yang damai. Wallahu a'lam.
Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA

sumber : www.republika.co.id

Menikmati Beribadah

Hakikat ibadah yang diterima hanya Allah yang mengetahui. Namun, hal itu bisa dinilai dengan sesuatu yang nampak dari ibadahnya. Di antaranya, "hubbul ibadah", sangat senang beribadah.

Muazin baru saja melewati rumahnya, artinya azan belum sama sekali dikeraskan, hatinya terliputi bahagia. Apalagi ketika azan sudah dikumandangkan. Dirinya sudah memastikan berada di barisan shaf shalat terdepan, dan lisannya terus menjawab setiap bait-bait azan.

Inilah tanda kedua yaitu "intizharul awqat", merindukan dan menanti-nanti waktu ibadah. Wajahnya memancar aura cemas, yaitu takut ketinggalan apalagi sampai meninggalkannya.

Seperti semalam dirinya ketiduran, karena lelah yang hebat, sehingga tahajud menjadi terlalaikan. Maka pagi hari, wajah ketidaknyamanan menyebar pada aktivitas hariannya. Sering murung dan selalu komat-kamit beristighfar. Padahal, dirinya sudah merangkai shalat Dhuha dengan mengqadha tahajud.

Berikutnya, berusaha maksimal untuk mempelajari kualitas ibadah yakni tercapainya kekhusyukan dan keikhlasan. Ada kesungguhan dalam menyempurnakan kekurangan ilmu dan bersegera menerapkannya berulang-ulang. Baik dalam prosesi ibadah maupun penerjemahannya dalam amaliyah harian.

Dalam shalat, ia bermujahadah, tunduk, pasrah bersedekap, merendahkan bacaan dan diam tumakninah (QS Thaha: 108). Di luar shalat, memancar kearifan dengan menyibukkan diri dalam muhasabah (introspeksi).

Tanda lain bisa dilihat dari kegemarannya yang tidak putus dalam berdoa. Selalu dalam setiap selesai shalat, terdengar doa-doa permohonan agar dimaafkan segala kekurangan, kesalahan dan diterima semua ibadah.

Dirinya telah memutus kebiasaan selesai shalat meninggalkan tempat (kabur). Sekarang, dirinya terlihat sangat menikmati saat berzikir dan munajat seusai shalat. Di tangannya tasbih terus melingkar.

Di akhir doa, dia merapatkan dahinya pada alas sejadah. Tersungkur dan menangis, bahkan hingga membengkak kedua kakinya (QS Maryam [19]: 58). Menangis karena rasa syukur bisa menikmati ibadah sekaligus rasa takut dengan azab Allah baik di dunia atau di akhirat kelak.

Rumah tangga yang dijalin terlihat “sakkanun”, sangat damai dan tidak beriak. Wajah suami-istri dan anak-anak sumringah bahagia. Santun dan penuh khidmat baik pada keluarga maupun pada lingkungan dan tetangganya. Bahkan, sangat senang untuk berkumpul dalam lingkungan yang sama yang berbalut semangat ibadah dan dakwah.

Subhanallah. Menyenangkan dan menenangkan. Begitulah seharusnya efek dari menikmati ibadah. Tentu kita tidak mau ibadah yang kita senangi ini akan menjadi shalat yang hanya tinggal gerak badan tanpa getar hati.

Ibadah haji dan umrah hanya menjadi salah satu di antara tujuan wisata. Baitullah hanya tampak sebagai seonggok batu dari zaman purba; tidak berbeda dengan Tembok Cina atau Menara Pisa. Zakat dikeluarkan sama beratnya dengan pajak. Dan puasa menjadi rangkaian upacara kesalehan yang lewat begitu saja setelah usai Ramadhan.

Sekali lagi, nikmati keadaan ibadah saudara, dengan hati dan diniati mencari kebaikan semata-mata hanya ridha Allah yang menjadi tujuannya.
Oleh: Ustaz HM Arifin Ilham

sumber : www.republika.co.id

Sunday, December 09, 2012

Berdakwah dengan Empati

Suatu hari datang serombongan budak ke rumah Hasan al-Bashri, salah seorang ulama terkenal.

Rombongan itu mengeluhkan atas sedikitnya orang-orang yang mau memerdekakan budak. Bahkan, terlihat banyak di antara umat Islam yang tak menghiraukan keutamaan ini.

Karena itu, kedatangan para budak ini, untuk meminta Hasan al-Bashri untuk berkhotbah dan mengajak umat Islam agar mau memerdekakan para budak.

Namun, permintaan para budak itu tak serta-merta dilaksanakan Hasan al-Bashri. Jumat demi Jumat berlalu, namun tak jua ada khotbah soal itu. Akibatnya, para budak itu mengira, ulama besar ini telah menelantarkan dan melalaikan urusan mereka.

Beberapa pekan kemudian, Hasan al-Bashri naik ke mimbar dan berkhotbah mengenai pentingnya memerdekakan budak. Seusai berkhotbah, orang-orang pulang ke rumah masing-masing. Dari kediaman mereka terdengar suara kegembiraan. Rupanya, tuan rumah atau majikan para budak memerdekakan mereka secara besar-besaran.

Setelah itu, rombongan budak yang dahulu datang kepada Hasan al-Bashri, datang kembali kepadanya. Selain menyampaikan terima kasih, mereka menanyakan mengapa harus menunggu lama untuk mendengarkan khotbahnya yang berkaitan dengan kemerdekaan budak tersebut.

Mendengar hal itu, Hasan al-Bashri pun berkata, “Saya tidak memiliki seorang budak. Karenanya, saya menunggu sampai saya memiliki seorang budak. Kemudian, setelah memerdekakannya, saya berkhotbah di depan orang-orang mengenai kemerdekaan budak.”

Kisah di atas, memberikan pelajaran yang sangat besar, terutama bagi para pendakwah bahwa seorang dai harus menghayati dan merasakan situasi dan kondisi audiensinya (jamaahnya) sebelum memberikan nasihat kepada mereka.

Dengan kata lain, seorang dai harus berdakwah dengan empati. Metode dakwah seperti inilah yang dilakukan Rasulullah SAW dalam mengajak manusia menuju jalan Allah SWT. “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang Mukmin,” (QS at-Taubah [9]: 128).

Hal ini harus dilakukan karena obyek dakwah adalah manusia yang sikap dan perbuatannya ditentukan oleh kondisi hatinya. Hati adalah penentu fisik untuk bergerak dan merespons.

Ketika seorang dai mampu merasakan dan menghayati situasi serta kondisi jamaahnya, niscaya dakwahnya akan berbobot. Bukan hanya karena ia telah memberikan keteladanan, tapi juga karena apa yang disampaikannya merupakan bahasa hati.

Ia mengetahui perasaan hati jamaah ketika ia menyampaikan dakwahnya. Nasihat yang menyentuh hati itulah yang mampu dan diikuti oleh jamaah dari seorang dai.

Untuk itu, mari kita jadikan hal ini sebagai bekal dalam berdakwah. Sehingga, dakwah para dai mampu menjadi sarana tergeraknya umat dalam menjalankan ajaran Islam dengan baik dan benar. Wallahu a’lam.

Oleh: Moch Hisyam

sumber : www.republika.co.id

Kesalehan Politik

Politik sering diduga sebagai area penuh intrik, tipu daya. Dalam politik, norma akhlak dan moralitas sering kali diabaikan dan dilanggar demi lestarinya kekuasaan. Segala macam cara ditempuh untuk mengabadikan kekuasaan.

Arus deras politik inilah yang membuat Muhammad Abduh, seorang pemikir besar asal Mesir, berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari politik dan para politikus."

Bagi Abduh, politik mungkin menjadi monster yang menakutkan, terutama saat perilaku kotor yang melanggar norma-norma Islam. Rambu-rambu etika tak lagi mampu mengerem syahwat berkuasa yang bergelora dan bergemuruh di dalam dada mereka. Apakah politik haram?

Politik bukan suatu hal yang haram dan dilarang. Politik bisa menjadi ladang amal saleh yang menggiurkan untuk mendapatkan jaminan keselamatan di akhirat. Politik bisa menjadi kunci untuk menggapai rida Allah.

Bahkan, Rasulullah memberikan jaminan bagi para pemimpin dan pelaku politik yang adil untuk mendapatkan naungan khusus dari Allah pada hari kiamat nanti, di mana saat itu tidak ada naungan kecuali naungan Allah. Naungan itu hanya diberikan kepada tujuh golongan manusia yang memiliki kualitas keimanan terbaik.

Doa para pemimpin yang adil termasuk salah satu doa yang tidak akan pernah tertolak. Itu karena tanggung jawab seorang pemimpin sangatlah berat dan besar, baik di sisi Allah maupun di hadapan publik.

Rasulullah bersabda, “Tiga golongan yang tidak akan tertolak doanya, yakni doa orang yang puasa sampai dia berbuka, doa pemimpin yang adil, dan doa orang yang dizalimi.” (HR Tirmidzi).

Karena itu, bagi kalangan generasi awal Islam, jabatan pemimpin bukanlah sesuatu yang diminati. Bahkan, mereka sering menghindar ketika diminta untuk memangku kekuasaan. Sebab, begitu besar tanggung jawabnya di akhirat. Dalam lingkaran kekuasaan, seorang pemimpin sering tergelincir pada hal-hal buruk dan menyeret mereka pada kehidupan yang sulit dan membahayakan.

Umar bin Abdul Aziz, khalifah kaum Muslim yang tersohor bahkan melakukan "bersih-bersih" harta yang dia miliki untuk diserahkan ke kas negara demi menghindari kerakusan dan kecintaan overdosis pada harta. Kalung dan gelang istrinya, Fatimah, dia masukkan ke kas negara. Dia berusaha menjadikan kekuasaan sebagai jembatan pengabdian kepada Allah Tuhan yang memberikan amanah pada dirinya.

Kesalehan politik di zaman sekarang ini menjadi sangat urgen. “Sesungguhnya manusia yang paling dicintai oleh Allah dan paling dekat tempat duduknya kepada Allah pada hari kiamat adalah seorang peminpin yang adil. Dan manusia yang paling dibenci dan jauh dari Allah tempat duduknya di hari kiamat adalah seorang peminpin yang kejam.” (HR Tirmidzi).

Kesalehan dan keadilan dalam politik merupakan syarat mutlak bagi pemimpin dan politisi agar dicintai oleh Allah. Dengan begitu, doa-doanya pun akan dikabulkan dan di akhirat mendapat naungan-Nya. Semoga.
Oleh: Samson Rahman
sumber : www.republika.co.id