-

Wednesday, October 31, 2012

Shalat Arbain di Masjid Nabawi

Shalat arbain (40 kali) di Masjid Nabawi merupakan salah satu kegiatan yang ditradisikan oleh sebagian besar umat Islam di dunia.
Dalam melaksanakan shalat arbain, jamaah praktis harus tinggal di Madinah minimal selama delapan hari.

Kegiatan tersebut didasarkan pada hadis riwayat Anas bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Barang siapa shalat di masjidku (nabawi) empat puluh kali shalat yang tidak terputus, maka ia akan ditulis terbebas dari neraka, selamat dari siksa dan terbebas dari sifat munafik." (HR. Ahmad dan Tabrani).

Dalam hadis lain riwayat Anas, Rasulullah SAW bersabda: "Barang siapa shalat empat puluh hari dengan berjamaan dan mendapati takbiratul ihramnya imam, maka ia akan ditulis terbebas dari dua perkara; bebas dari neraka dan sifat munafik." (HR. Tirmidzi).

Nasiruddin Al Al-Bani memasukkan hadis pertama dalam daftar hadis dhaif, karena hanya diriwayatkan oleh satu perawi (nabiith). Sedangkan hadis kedua dinilainya shahih.

Penilaian yang sama juga dilakukan oleh Syekh Abdul Aziz bin Baz. Menurutnya, ziarah Masjid Nabawi tidak dibatasi oleh waktu tertentu. Apalagi adanya anggapan harus tinggal di Madinah selama delapan hari guna mengejar shalat Arbain.  Ziarah Masjid Nabawi dapat dilakukan sesuai kebutuhan. Ia boleh dilakukan sesaat, sehari, dua hari atau lebih dari itu.

Yang menarik adalah apa yang dilakukan oleh Dr Arif Syekh yang menggabungkan dua hadis tersebut. Ia memandang penggabungan dua hadis di atas memungkinkan karena hadis yang kedua bernilai shahih, yang substansinya menegaskan keutamaan pembiasaan diri shalat berjamaan fardu empat puluh hari di masjid manapun.

Jika masjid yang digunakan dalam shalat Arbain itu Masjid Nabawi, maka tentu keutamannya akan lebih besar, sebab dalam hadis shahih lain Rasulullah SAW bersabda, "Shalat di masjidku ini (Masjid Nabawi) lebih utama seribu kali shalat dibanding masjid lainnya, kecuali di Masjidil Haram. Adapun shalat di Masjidil Haram lebih utama seratus ribu shalat dibandingkan dengan shalat di masjid lainnya." (HR. Muslim).

Dari sini jelas bahwa keutamaan shalat di Masjid Nabawi sangatlah besar, namun tidak berarti lebih besar dari Masjidil Haram. Logikanya kemudian, harusnya shalat Arbain di Masjidil Haram lebih ditekankan dan ditradisikan sebab keutamaannya jauh lebih besar di banding Masjid Nabawi atau masjid manapun.

Namun kenyataannya tidak demikian, karena tidak ada bab shalat Arbain yang berkaitan dengan Masjidil Haram yang disepakati oleh ulama hadis di dalam enam kitab hadis utama (kutubus sittah).

Jika demikian adanya, maka kalau kita hendak meletakkan dan meraih keutamaan yang lebih besar, hendaknya peletakan strata prioritasnya tepat dan benar. Masjidil Haram dengan segala keutamaannya jauh lebih tepat dan benar untuk lebih banyak disinggahi dan shalat di dalamnya di banding Masjid Nabawi atau masjid manapun.

Maka, dengan tanpa menghilangkan kebiasaan kita memperbanyak shalat fardu di Masjid Nabawi, orientasi tempat ibadah kita seyogianya mulai dirubah untuk lebih banyak lagi dilakerjakan di Masjidil Haram.

Memang Masjid Nabawi memiliki kesyahduan tersendiri yang berbeda auranya dengan Masjidil Haram. Hal itu tidak kita mungkiri karena di Masjid Nabawi terdapat maqam Rasulullah SAW dan sahabat serta Raudah. Kota Madinah sendiri memiliki tekstur dan suasana kota yang terasa lebih "ramah" dan nyantai di banding Makkah.

Di dalamnya dengan puas dan lega, kita dapat menyampaikan salam kepada junjungan kita dan serasa kita berada di taman surga-Nya. Namun dalam kaitannya dengan keutamaan, harusnya kita tidak menyandarkan diri pada perasaan, melainkan pada dalil naqli Alquran dan as-Sunnah sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh Rasulullah SAW. Wallahu a'lam.
Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA

sumber : www.republika.co.id

Tuesday, October 30, 2012

Tafakur Umur

“Dan Allah menciptakan kamu dari tanah kemudian dari air mani, kemudian Dia menjadikan kamu berpasangan (laki-laki dan perempuan). Dan tidak ada seorang perempuanpun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan sepengetahuan-Nya.”

“Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu bagi Allah adalah mudah.” (QS. Fathir: 11).

Dalam ayat di atas, Allah SWT memberi penegasan bahwa hidup manusia di dunia adalah suatu proses panjang yang sudah tertulis dan diabadikan dalam lauh mahfudz. Dari proses penciptaan, lahirnya ke dunia, tumbuh dewasa hingga menunggu kapan panggilan-Nya menyapa.

Dalam tiap fase kehidupan itulah Allah menganugerahkan fasilitas gratis yaitu umur yang nilainya takkan sebanding dengan apa pun. Terlebih jika umur itu dikerahkan untuk melakukan hal-hal terbaik untuk Allah juga sesama guna menghadapi pertemuan dengan-Nya kelak.

Pertemuan dengan Allah diawali dengan berakhirnya jatah usia manusia di alam dunia. Sebagaimana kita tahu, kematian tidak dapat dipercepat apalagi ditangguhkan. Sejauh apa pun kaki melangkah, setinggi apapun benteng tempat persembunyian, seterpencil manapun kita hijrah ke suatu negeri, tetap ada fase kehidupan yang tidak bisa kita hindari; kematian.

Kematian bak final dari setiap perlombaan yang kita ikuti selama di dunia—hanya saja, perlombaan untuk berbuat hasanah atau maksiat—itu diserahkan sepenuhnya kepada hamba itu sendiri. Sebab hidup ialah memilih. Jalan mana yang semestinya kita pilih, harus dipertimbangkan secara matang agar penyesalan tidak timbul di kemudian hari.

Sejatinya, setiap insan ‘tahu’ bahwa dirinya akan mati dan kembali kehadirat Ilahi Rabbi, namun amat disayangkan, bekal untuk menghadapi sesuatu yang amat besar itu sering diabaikan. Persiapan menghadapi kehidupan yang sebenarnya perlu disiapkan dengan berbagai amalan yang berbuah pahala dan ridha Allah, tanpa perlu menyampingkan kewajiban-kewajiban duniawi.

“Orang yang terbaik di antara kamu bukanlah orang yang meninggalkan dunianya untuk akhirat dan yang meninggalkan akhiratnya untuk dunianya. Sesungguhnya, dunia ini ialah bekal ke akhirat dan janganlah kamu menjadi beban atas manusia.” (HR Ibnu Asakir)

“Perbanyak mengingat kematian,” begitu Rasulullah SAW memberikan anjuran kepada umatnya. Sebab, dengan mengingat kematian, kikislah perasaan tamak terhadap harta, tahta, dan cinta yang berlebih kepada sesama. Kesadaran penuh akan makna kematian, jika sudah menusuk ke relung hati, juga akan menghadirkan perasaan cukup (qanaah) dan penyerahan diri secara total kepada Allah (tawakal).

Jika kita sepakat bahwa semua milik Allah (Inna Lillah) serta semua akan kembali kepada Allah (Ilaihi Raji’un), maka nampaknya sudah jelas tugas kita di dunia. Rezeki, kematian, jodoh, semua sudah dirancang sedemikian rapi oleh Allah, namun dengan tetap berikhtiar kepada-Nya.

Kalau kita mau berpikir jernih, sebenarnya tidak ada takdir buruk untuk manusia, yang ada hanyalah manusia itu sendiri yang belum melihat sisi baik dari setiap cobaan dalam tahap-tahap kehidupan. Juga tidak ada takdir yang tidak sejalan antara apa yang ditetapkan Allah dengan apa yang kita inginkan.

Jika umur adalah amanah Allah, maka Allah jualah yang akan mengambil titipannya—sesuai waktu yang masih menjadi rahasia-Nya. Tetapkan rasa syukur jika mendapatkan apa yang kita kehendaki, dibarengi dengan rasa sabar jika apa yang kita kehendaki, belumlah Dia wujudkan hingga saat ini. Dengan syukur dan sabar, maka hidup semakin berarti. Wallahu a’lam.
Oleh: Ina Salma Febriani 

sumber : www.republika.co.id

Monday, October 29, 2012

Rental Mobil dan Penginapan (Wisata Bandung)

Jika anda sedang berlibur di Bandung dan tidak mempunyai waktu banyak, kami akan memberikan solusi untuk anda agar bisa datang ketempat wisata dengan waktu yang efesien dan teratur.

Lengkapi liburan weekend anda dengan perhitungan waktu dan berkunjung ketempat wisata yang tepat, untuk menghemat waktu anda agar bisa berkunjung ketempat–tempat wisata yang lainnya.

Kami menyediakan Rental mobil

Mobil + Sopir (dalam kota)

Toyota Avanza
Suzuki APV
Rp 400.000
Toyota All New Avanza/All New XeniaRp 425.000
Toyota InnovaRp 500.000
Toyota Grand New InnovaRp 550.000
KIA Travello
KIA Pregio
Rp 600.000
Isuzu ElfRp 625.000
  • Tidak termasuk: BBM, tiket masuk, parkir, makan untuk sopir, dll.
  • Overtime: 10% / jam dari tarif sewa.

untuk informasi selengkapnya silahkan hubungi:
Nama:  Akang Agus
No Telp: 087825703075
Pin BB: 26C2DCC0
YM: a_goest@yahoo.com
Twitter: @akangagus
Untuk sementara Penginapan Penuh, sampai tanggal 20 januari 2013

Ibu nan Pemurah

Matahari baru saja naik. Para ibu petani bersiap-siap pulang ke rumah masing-masing. Mereka sudah bekerja di sawah dan ladang semenjak selesai shalat Subuh. Jam sembilan pagi mereka sudah kembali ke rumah.

Mereka menggarap sawah dan ladang milik sendiri. Hasilnya memang tak seberapa, sekadar buat tambahan, bukan pemasukan utama. Para lelaki atau suami mereka bekerja sebagai pedagang di pasar.

Sekali dalam sepekan ibu-ibu kampung itu mengikuti majelis taklim yang diadakan mulai jam 10.00 sampai waktu Zuhur dengan ustaz yang tetap. Di samping untuk menambah ilmu agama dan memperkuat ruhaniah, mereka juga memanfaatkan acara itu untuk silaturahim dan berbagi cerita tentang keluarga.

Amai adalah salah seorang di antara ibu-ibu itu. Suaminya sudah lama meninggal dunia. Putra-putrinya juga sudah dewasa dan berkeluarga. Sebelum menetap di kampung, Amai dan suaminya tinggal di kota, dua jam naik mobil dari kampungnya. Dulunya, sang suami bekerja di toko grosir, milik adik kandungnya sendiri.

Sejak lama, Amai terkenal dengan sifat pemurahnya. Anak-anak paling senang berkunjung ke rumah Amai karena pasti disuguhi makanan, sekali-sekali uang. Apalagi kalau ada saudara Amai yang berkunjung, anak-anak itu akan diberi uang. Padahal, Amai bukan orang kaya.

Pagi itu setelah pulang dari sawah, Amai bersiap untuk menghadiri majelis taklim. Kebetulan dua hari yang lalu putrinya datang membawakan Amai baju baru yang bagus dan kelihatannya juga mahal. Putri semata wayangnya itu sekarang sudah cukup kaya. Dia ikut berdagang dengan suaminya. Pakaian baru itu dipakai Amai ke masjid.

Di masjid, ada seorang ibu yang memuji dan mengagumi baju Amai. “Bagus sekali bajunya Amai, beli di mana?” Tentu, Amai menjelaskan bahwa baju itu hadiah dari putrinya. Pulang dari majelis taklim, Amai segera mengganti bajunya dan membungkus baju baru itu kemudian pergi ke rumah ibu yang mengagumi bajunya itu dan menghadiahkan kepadanya.

Kadang dia pergi ke toko putrinya, meminta handuk, selimut, dan baju beberapa potong. "Untuk apa semuanya ini?" tanya putrinya.

Amai menjawab, "Kasihan si itu …si itu …." Tentu saja, semuanya akan dibagi-bagikan oleh Amai kepada orang-orang yang membutuhkannya. Kadang-kadang putrinya juga kesal karena selalu saja baju-baju Amai habis di almari karena dibagi-bagikan.

Sepulang menunaikan haji beberapa tahun lalu, banyak tetangga dan karib kerabat datang berkunjung. Dengan senang hati, Amai menerima mereka dan membagikan sejumlah oleh-oleh dengan dibantu putra-putrinya. Putrinya sendiri belum kebagian. Hingga akhirnya tersisa sebuah selendang, putrinya berharap semoga yang satu itu tidak dibagikan lagi kepada orang lain dan diberikan kepadanya.

Namun, alangkah kecewanya putrinya tatkala ada lagi tamu yang datang, lalu selendang itu juga diberikan. Walaupun kecewa, putri Amai bangga ibunya mempunyai sifat mulia seperti itu.

Waktu Amai meninggal dunia, praktis almari pakaiannya sudah kosong, kecuali tersisa beberapa lembar pakaian yang biasa digunakan Amai sehari-hari. Kini, masyarakat merasa kehilangan setelah wanita pemurah itu meninggal dunia.
Oleh: KH Yunahar Ilyas

sumber : www.republika.co.id

Sunday, October 28, 2012

Spiritualitas Haji

Semua ibadah yang disyariatkan Allah bertujuan untuk menanamkan keutamaan, kebaikan, akhlak mulia, dan mengikis sifat kezaliman dan kerusakan.

Shalat mencegah perbuatan keji dan mungkar. (QS Al-Ankabut: 45). Puasa menanamkan ketakwaan dalam diri Muslim. (QS Al-Baqarah [2]: 183). Zakat untuk membersihkan hati dari sifat kikir (QS At-Taubah [9]:103).

Adapun haji diwajibkan untuk memperbanyak zikir, menyaksikan manfaat duniawi dan ukhrawi (QS al-Hajj: 27-28), mengokohkan ketakwaan, menjauhi rafats, fusuk, dan jidal. (QS Al-Baqarah 197). Allah memerintah Nabi Ibrahim AS agar menyeru umat manusia untuk berhaji agar manusia menjadi tamu-Nya dan mendapatkan karunia, rahmat, dan ampunan-Nya.

"Jamaah haji dan umrah adalah para tamu Allah, bila mereka berdoa dikabulkan dan bila beristighfar akan diampuni." (HR al-Baihaqi dalam Kitab Syu'abul Iman juz III hal 476).

Ibadah haji adalah wisata suci yang mendorong jamaah menjauh dari ketergantungan dengan dunia dan segala isinya. Mereka meninggalkan keluarga dan kerabat, untuk membebaskan diri dari ikatan-ikatan penghambaan duniawi menuju panggilan Ilahi. Mereka berseru, "Labbaika Allahumma Labbaik," (Aku memenuhi panggilan-Mu ya Allah).

Haji merupakan perjalanan spiritual. Jamaah selalu tawadhu dan melepaskan diri dari berbagai kesenangan materi untuk bersimpuh di hadapan keagungan-Nya. Mereka berangkat untuk menyambut seruan Ilahi dengan tauhid murni, menanggalkan sebagian tirai dunia untuk menembus alam malakut.

Tak ada omongan kotor, kefasikan, dan ketakaburan. Mereka selalu mengekang diri dari kebuasan nafsu syahwat demi satu tujuan, menggapai hajjun marbur, sa'yun masykur, dan dzanbun maghfur.

Mereka berseragam putih-putih ketika ihram untuk mengingatkan kain kafan yang akan membalutnya saat kematian. Mereka menunaikan manasik yang sama di tempat yang sama, mengumandangkan talbiyah yang sama, wukuf di Arafah, thawaf, mabit, dan melempar jumrah.

Semua ini melukiskan persatuan umat dan kesamaan derajat di hadapan Allah kecuali dengan ketakwaan. Mereka merupakan satu kelurga besar yang sejajar bagai gerigi sisir. Tak ada perbedaan antara pemimpin dan rakyat, kaya dan miskin, kuat dan lemah.

Semua menyatu tenggelam dalam menghamba kepada Allah untuk mengharap rahmat dan ampunan-Nya. Betapa indah rihlah ruhiyyah dalam menunaikan haji. Sejak keluar rumah sudah diawali dengan doa, “Bismillah tawakkaltu 'alallah, la haula wala quwwata illa billah”.

Selama perjalanan haji, hanya diisi dengan ibadah, zikir, istighfar, doa, shalawat, dan manasik haji. Sejak hari Tarwiyah pada 8 Dzulhijjah, jamaah tamattu' mulai bergerak menuju Mina untuk mabit. Mereka hanyut dalam zikrullah dengan penuh tawadhu, antara khauf dan raja'.

Saat di Arafah semua menangis khusyuk dan larut luluh dalam doa, munajat dan mohon ampunan dari semua dosa masa lalu. Kondisi jamaah haji yang berhari-hari tenggelam dalam spiritulitas ibadah yang indah seperti ini, niscaya akan memengaruhi kehidupan setelahnya sebagai haji mabrur.
Oleh: Prof Dr A Satori Ismail

sumber : www.republika.co.id

Saturday, October 27, 2012

Kriteria Ulama

Kata-kata ulama disebutkan dalam Alquran sebanyak dua kali, dalam Surah Asy-Syu'ara' 197 dan Surah Fathir 28. Intisarinya, ulama adalah orang yang memiliki ilmu yang mumpuni sehingga membawa dirinya memiliki sifat khasyyah (takut) hanya kepada Allah.

Ulama dalam kontek Alquran sering digunakan istilah ulil albab yang disebutkan 16 kali. Mereka disanjung sebagai orang yang memiliki sifat khasyyah, martabat mulia, banyak zikir, takwa, mencapai derajat iman dan keyakinan yang tinggi, komitmen dengan syariat Islam dan ajaran-ajarannya.

"Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, 'Kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami. Dan tidak dapat mengambil pelajaran daripadanya melainkan ulil albab'." (QS Ali Imran [3]: 7).

Kriteria umum ulil albab yakni khasyyah (rasa takut) ini terdapat dalam  QS Al-Maidah [5]: 100, Ath-Thalaq [66]: 10, Al-Baqarah [2]: 179 dan 197. Sedangkan kriteria rinci yang harus dimiliki ulama, banyak bertebaran dalam Alquran.

Pertama, orang yang selalu berzikir kepada Allah, baik dalam keadaan berdiri, duduk, ataupun berbaring. Ulama akan menjauhi perbuatan laghwun atau lahwun. Kedua, selalu bertafakur tentang penciptaan langit dan bumi. (QS Ali Imran [3]: 191).

Ketiga, menjauhi penyembahan kepada thagut yaitu sesembahan selain Allah. Kalau ada orang yang masih percaya atau memberikan pengabdian kepada jin, jimat, atau totem lainnya bukanlah termasuk Muslim apalagi ulama. Keempat, mengembalikan semua urusan kepada Allah dan hanya Allah sajalah yang disembah-Nya. (QS Az-Zumar: 17).

Kelima, selalu mengikuti hal-hal yang terbaik dari semua pendapat yang didengarnya kemudian direalisasikan dalam bentuk perbuatan dan sikap atau ucapannya. (QS az-Zumar: 18). Ulama tidak congkak dengan pendapatnya. Memiliki sifat toleran terhadap pendapat orang lain.

Keenam, senantiasa memenuhi janji Allah untuk mengakui rububiyah dan memenuhi apa yang diajarkan Allah dalam kitab suci-Nya. Ketujuh, tidak merusak perjanjian umum yang telah dikukuhkan antara mereka dan Allah atau dengan manusia (QS Ar-Ra'd [13]: 20).

Kedelapan, mereka selalu menghubungkan apa-apa yang diperintahkan Allah untuk dihubungkan seperti silaturahim, loyal terhadap sesama mukmin, iman terhadap semua nabi, dan menjaga semua hak manusia. Kesembilan, memiliki sifat khasyyatul ammah kepada Allah dan keagungan-Nya. Kesepuluh, takut kepada keburukan hari hisab. (QS Ar-Ra'd [13]: 21).

Kesebelas, Memiliki kesabaran dalam menghadapi semua beban, kesulitan, dan musibah di dunia serta senantiasa menentang kehendak hawa nafsu. Kedua belas, mendirikan shalat dan memeliharanya agar jangan sampai terlewat waktunya atau kurang syarat rukunnya. (QS Ar-Ra'd [13]: 22).

Ketiga belas, menginfakkan sebagian hartanya, baik dalam keadaan rahasia atau terang-terangan untuk kepentingan jihad fi sabilillah atau bentuk sedekah lainnya. Keempat belas, menolak kejahatan dengan kebaikan. (QS Ar-Ra'd [13]: 22). Itulah beberapa sifat dan kriteria yang mesti dimiliki para ulama atau ulil albab. Wallahu a'lam.
Oleh: Prof Dr Achmad Satori Ismail

sumber : www.republika.co.id

Friday, October 26, 2012

Melucuti Keangkuhan

Suatu hari setelah mengimami shalat Ashar, Khalifah Umar bin Khattab RA menanyakan tentang kabar salah seorang sahabat yang tidak menghadiri shalat berjamaah.

Seorang sahabat berkata, “Kabarnya dia sakit, ya Amiral Mukminin.” Umar RA memutuskan untuk pergi ke rumahnya. Setiba di sana ia ketuk pintu rumahnya dan dari dalam sahabat itu bertanya, “Siapa yang mengetuk pintu?”

Dari luar, Umar menjawab, “Umar bin Khattab.”

Mengetahui yang datang adalah Amirul Mukminin, orang itu berlari dengan sigap untuk segera membuka pintu.

Tapi ketika kedua mata Umar bin Khattab bertatapan dengan kedua mata sahabat itu, Umar bertanya dengan nada menegur, “Mengapa engkau tidak shalat jamaah bersama kami? Padahal Allah telah memanggil engkau dari atas langit ketujuh: “hayya alash shalah” (mari mendirikan shalat), tetapi engkau tidak menyambutnya. Sedangkan panggilan Umar bin Khattab sempat membuatmu gelisah dan ketakutan.”

Inilah contoh diktum bahwa keimanan dan kesalehan, tak selalu bisa dipahami dengan pendekatan nalar dan logika. Betapa banyak kebenaran yang amat mudah dipahami, namun begitu berat untuk dilaksanakan.

Pekik suara muazin yang merdu dan sekaligus menitipkan pesan Ilahi, sama sekali tak bermagnet dibanding dengan gebyar suara musik. Masjid yang jaraknya hanya beberapa meter dari rumah seseorang, amat jarang dikunjungi. Tapi, berbagai tempat kemaksiatan yang jauh sekalipun, menjadi ringan untuk didatangi.

Demikian pula, terhadap nilai-nilai buruk. Bahwa, korupsi itu keji dan bisa diselami dengan pemikiran yang sederhana, namun tetap saja menghipnotis banyak orang agar tertarik untuk melakukannya.

Penyalahgunaan narkoba itu mengundang aneka macam kemudaratan dan menumbangkan banyak orang penting di negeri ini, tetap saja banyak diminati. Bahkan, Indonesia menjadi surga narkoba dan menduduki peringkat ketiga sebagai pasar narkoba dunia. Permusuhan dan pertikaian itu juga besar madaratnya, tapi tetap saja perpecahan terjadi di mana-mana, bahkan di kalangan para petinggi negeri.

Rupanya, pengetahuan atau pemahaman seseorang terhadap kebenaran, belum cukup untuk menggerakkannya menjadi sebuah tindakan nyata. Demikian pula pemahaman terhadap kemafsadatan (kerusakan) lantaran dosa atau kemaksiatan, tidak praktis menjadikan dirinya lari dari kemaksiatan tersebut.

Doa menjadi suatu kensicayaan yang harus dilakukan oleh seorang hamba. Karena kesalehan, ketundukan, kesabaran, kedermawanan, dan sifat-sifat luhur lainnya, hakikatnya dari Allah semata (QS an-Nisa [4]: 49). Demikian pula terhindarnya seseorang dari keburukan dan sifat-sifat buruk.

Itulah sebabnya mengapa Umar bin Khattab acap kali berdoa: “Ya Allah, perlihatkanlah yang hak (benar) itu sebagai hak dan anugerahi kami untuk mengikutinya. Perlihatkanlah yang batil itu sebagai batil, dan anugerahi kami untuk menjauhinya. Jangan Engkau jadikan hal itu bias bagi kami sehingga kami sesat. Dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”

Dengan berdoa, kita memang sedang berupaya melucuti berbagai macam keangkuhan, supremasi, dan egosime yang bersarang dalam dada. Wallahu a'lam.
Oleh: Makmun Nawawi

sumber : www.republika.co.id

Thursday, October 25, 2012

Panutan Sepanjang Zaman

Menjadi seorang pemimpin yang jujur, berwibawa dan penuh kharisma bukanlah perkara yang mudah.

Ketidakmudahan itu muncul karena sang pemimpin dituntut untuk memahami dan menjadi sentral panutan masyarakat dengan suku, keyakinan, persepsi, latar belakang budaya dan pendidikan yang sangat variatif.

Keanekaragaman masyarakat yang dipimpinnya secara langsung maupun tidak, melahirkan banyak ketidakselarasan ide, gagasan, juga dalam pemecahan masalah sosial.

Namun nampaknya, pemimpin teladan sepanjang zaman dengan kesempurnaannya, telah terpotret dalam diri Sang Teladan. Beliau membuktikan bahwa dirinya mampu menghadapi segala rintangan yang sungguh berat. Beliau adalah Muhammad bin Abdullah, Muhammad Rasulullah.

Seperti yang kita ketahui bersama, Rasulullah digariskan untuk hidup di tengah-tengah masyarakat Jjahiliyah, masyarakat yang kental akan kemusyrikan, kebodohan iman dan merajalelanya penganiayaan.

Mereka telanjur meyakini bahwa berhala-berhala di sekitar Ka’bah-lah Tuhan nan sesungguhnya. Betapa tidak goncangnya ranah Arab saat hadirnya utusan Tuhan yang sejatinya menjadi rahmat bagi seluruh alam. “Dan tidaklah aku diutus kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (QS Al-Anbiya: 107). Dan, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia.”

Transisi zaman berhala menuju keyakinan kepada Allah SWT semata, memerlukan usaha yang luar biasa sulitnya. Rasulullah SAW sebagai manusia biasa yang dianugerahi amanat yang jauh lebih berat daripada memanggul langit dan bumi, adakalanya sedih, putus asa, dan khawatir akan kondisi yang mengenaskan terhadap akhlak masyarakat Arab zaman itu.

Praktik perbudakan, penganiayaan, kecurangan dalam berniaga hingga lahirnya rumah bordir dimana-mana, membuat dirinya makin tertantang membumihanguskan tindakan yang betul-betul merusak moral umatnya.

Namun, karena beliau menyadari sesungguhnya bahwa tugas ini adalah untuk kebaikan seluruh umat manusia, beliau tabah menerima cercaan, makian, hinaan, teror, bahkan kekerasan dari kaum kuffar. Hingga akhirnya Allah menjamin keselamatan jiwa beliau dan bahwa kuffar Quraisy tidak mampu memberikan mudharat sedikitpun kepada beliau.

Atas jaminan itulah, Rasulullah tampil menjadi seorang Nabi, pemimpin, guru, ahli perang, serta teladan bagi seluruh umat manusia. Beliau-lah yang mengajarkan kalamullah dan memupuk hubungan dengan Allah juga dengan manusia harus terjaga secara beriringan. Sehingga perkataan, perbuatan dan ketetapan beliau diwariskan dan dijaga secara turun temurun menjadi sebuah hadits.

Pada intinya, Rasulullah SAW adalah sosok pembaharu, peletak sendi-sendi kepemimpinan juga model peradaban di ranah Arab baik dari moral dan keimanan yang rusak menuju perbaikan diri sesuai bimbingan Ilahi.

Rasulullah pula yang senantiasa mengajarkan umatnya untuk berusaha mencontoh teladan beliau, termasuk membalas keburukan seseorang dengan kebaikan. Karena kesabaran dan konsistensi beliau itulah peradaban besar muncul.

Rasulullah memulai tatanan masyarakat baru di Jazirah Arab pasca Fathu Makkah (Pembebasan Kota Makkah), setelah sekian lama terusir dari tanah kelahirannya sendiri. Kemajuan dalam bidang keimanan dan keilmuan pun berkembang pesat.

Betapa tidak? Siang dan malam beliau isi hari-harinya dengan membimbing langsung masyarakat Arab baik yang sudah lama memeluk Islam maupun yang ‘baru’ mengenal islam. Sehingga, kondisi segenting apa pun, tak menyurutkan langkah beliau untuk terus mentransfer pesan-pesan Ilahi dan memperluas wilayah dakwah sehingga beliau sanggup membangun sebuah peradaban mencerahkan. Peradaban terbaik yang dipelopori oleh panutan sepanjang zaman.

Oleh: Ina Salma Febriani
 sumber : www.republika.co.id

Wednesday, October 24, 2012

Penyebab Terhalangnya Hujan

Sekitar satu tahun tidak turun hujan, Bani Israil dilanda bencana yang teramat sangat. Tak hanya kekeringan, tapi juga berbagai penyakit menyerang. Mereka meminta kepada Nabi Musa AS agar berdoa kepada Allah supaya menurunkan hujan.

Nabi Musa kemudian mengumpulkan semua penduduk di tanah lapang dan mengajak mereka berdoa bersama. “Wahai Tuhan penguasa hujan, turunkanlah hujan.”

Namun, hujan tidak juga turun. Mereka berdoa kembali, “Wahai Tuhan penguasa hujan, turunkanlah hujan.” Musa kemudian berkata, “Ya Allah, biasanya Engkau selalu mengabulkan permohonan kami, mengapa kali ini hujan tidak kunjung turun?”

Allah menjawab, “Musa, hujan tidak turun karena di antara kalian ada orang yang bermaksiat kepada-Ku selama 40 tahun. Karena keburukan maksiatnya, Aku mengharamkan hujan dari langit untuk kalian semua.”

Allah kemudian memerintahkan supaya orang itu dikeluarkan dari daerah tersebut. Musa pun berkata kepada kaumnya, “Saudara-saudaraku Bani Israil, aku bersumpah bahwa di antara kita ada orang yang bermaksiat kepada Allah selama 40 tahun. Akibat perbuatannya itu, Allah tidak menurunkan hujan untuk kita. Hujan tidak akan turun hingga orang itu pergi. Maka, usir orang itu dari sini.”

Orang yang ahli maksiat itu pun sadar. Kemudian, ia melihat sekelilingnya, berharap ada orang lain yang melangkah pergi. Namun, tak seorang pun yang beranjak dari tempatnya. Ia berdoa, “Ya Allah, aku telah bermaksiat kepada-Mu selama 40 tahun. Aku mohon Engkau menutupi aibku. Jika sekarang aku pergi, pasti dilecehkan dan dipermalukan. Aku berjanji tidak akan mengulangi perbuatanku lagi. Terimalah taubatku dan tutupi aibku ini.”

Belum sempat meninggalkan tempat, hujan pun turun. Nabi Musa terkejut atas hal ini. “Ya Allah, hujan telah turun padahal tak seorang pun dari kami yang pergi.”

Allah berfirman, “Musa, hujan turun karena Aku gembira, hamba-Ku yang bermaksiat kepada-Ku selama 40 tahun itu telah bertaubat.”

Atas hal ini, Musa pun memohon kepada Allah agar menunjukkan orang yang dimaksud itu kepadanya, sehingga dia bisa menyampaikan kabar gembira tersebut. Allah menjawab, “Musa, ia bermaksiat kepada-Ku selama 40 tahun, dan semuanya Kurahasiakan. Mungkinkah setelah sekarang ia bertaubat, Aku akan mempermalukannya?”

Kisah tersebut di atas memberikan pelajaran (ibrah) berharga kepada kita bahwa kemaksiatan atau dosa yang dilakukan oleh segelintar orang dapat menghalangi terkabulnya doa, termasuk ditahannya hujan dari langit. Begitulah pengaruh buruk dari berbuat maksiat.

Pengaruh buruk itu, kata Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, antara lain, dapat menghalangi turunnya rezeki, menjauhkan pelakunya dengan orang baik, menyulitkan urusan, melemahkan hati, memperpendek umur, merusak akal, hilangnya rasa malu, berkurangnya nikmat, dan mendatangkan azab.

Karena itu, agar hujan tidak terhalang, selain dengan shalat Istisqa, hendaknya dibarengi dengan memperbanyak istighfar dan bertaubat. “Mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertaubatlah, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa.” (QS Hud [11]: 52). Wallahu a'lam.
Oleh: Imam Nur Suharno

sumber : www.republika.co.id

Tuesday, October 23, 2012

Keadilan Hukum

Ketika menyampaikan khutbah Haji Wada', Nabi Muhammad SAW menyampaikan pesan universal tentang pentingnya kesetaraan.

“Wahai umat manusia, sesungguhnya Tuhan kalian itu Esa. Kalian semua adalah anak cucu Adam. Sedangkan, Adam diciptakan dari tanah. Tidak ada keistimewaan dan diskriminasi antara orang Arab dan non-Arab (asing) atau non-Arab dan orang Arab; antara yang berkulit hitam dan yang berkulit putih, atau yang berkulit putih dan yang berkulit hitam, kecuali karena takwanya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Islam memerintahkan umatnya untuk menekankan pentingnya kesetaraan umat manusia dalam kehormatan dan perlakuan, meski tanah air, suku bangsa, dan etnisnya berbeda. Bahkan, Alquran telah menjelaskan kesatuan martabat kemanusiaan itu bagi pengikut para Rasul.

Atas dasar persamaan dalam martabat itulah, Alquran menentang Firaun yang menjadikan warga masyarakatnya terpecah belah, lalu ia menghormati kelompoknya sendiri, dan melecehkan kelompok lain. (QS Al-Qashash [28]: 4).

Alquran menegaskan, perlakuan diskriminatif itu menyalahi kodrat dan tabiat kemanusiaan yang paling asasi. Karena itu, tidak mengakui kesetaraan manusia, lebih-lebih di depan hukum, merupakan salah satu jenis perangai atau perilaku jahat Firaun yang karenanya dia digolongkan sebagai pelaku kerusakan.

Sejarah mencatat bahwa Rasul SAW pernah berbincang-bincang dengan beberapa pembesar Quraisy, lalu seorang buta (Ibn Ummi Maktum) datang menemuinya dengan maksud memohon agar beliau mengajarinya tentang Islam. Rasulullah SAW merasa khawatir—jika beliau mengalihkan perhatiannya kepadanya—para pembesar itu pergi meninggalkan beliau, padahal beliau sangat menginginkan mereka itu masuk Islam.

Rasulullah kemudian memalingkan muka (terhadap si buta itu) sambil bermuka masam. Sikap Nabi SAW yang 'kurang perhatian' ini dikritik keras oleh Alquran, meski beliau tidak bermaksud merendahkannya. (Lihat QS Abasa [80]: 1-11).

Jika Rasulullah saja ditegur sedemikian keras, sudah semestinya kita sebagai pengikutnya belajar untuk berlaku adil, egaliter, dan tidak diskriminatif. Sumber masalah di negeri ini, antara lain, adalah hilangnya ketidakadilan hukum karena perlakuan yang tidak setara; tebang pilih dalam penegakan hukum, dan hukum cenderung berpihak kepada yang berkuasa dan kaya, bukan membela kebenaran dan keadilan.

Benang kusut pemberantasan korupsi semestinya diurai dengan penegakan hukum secara adil, siapa pun orangnya dan jabatannya. Pemberantasan korupsi akan lebih efektif jika aparat penegak hukumnya jujur, bersih, dan berkomitmen membersihkan diri serta lingkungannya dari korupsi.

Selain itu, para koruptor yang terbukti bersalah diberi hukuman setimpal yang dapat memberi efek jera bagi calon koruptor.

Keadilan hukum seharusnya tidak pernah pandang bulu agar semua merasakan sama dan setara di depan hukum. Keadilan hukum akan tegak manakala para pemimpin dan penegak hukum memiliki integritas moral dan spiritual yang jujur dan tepercaya, sekaligus benar-benar mampu menjadi teladan penegakan hukum seadil-adilnya.
Oleh: Muhbib Abdul Wahab
sumber : www.republika.co.id

Monday, October 22, 2012

Amalan yang Terbaik

Alquran dan sunah Nabi SAW telah mengajarkan berbagai macam amal kebajikan sebagai bentuk ibadah seorang hamba kepada Allah untuk memperoleh surga-Nya.

Dalam Alquran terdapat banyak ayat yang menjelaskan jenis kebajikan.

“Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat, melainkan kebajikan itu adalah orang yang beriman kepada Allah, hari kiamat, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, musafir, peminta-minta, dan memerdekakan hamba sahaya, orang yang melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menunaikan janjinya, serta orang-orang yang sabar ketika dalam kemelaratan, penderitaan, dan peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar dan bertakwa.” (QS al-Baqarah [2]:177).

Dalam masalah tingkatan iman, Nabi SAW membaginya pada lebih dari 70 cabang. Cabang yang paling tinggi adalah kalimat tauhid la ilaha illallah (tidak ada Tuhan kecuali Allah). Sedangkan, cabang iman yang paling rendah adalah membuang duri atau rintangan di jalan (HR Jamaah dari Abu Hurairah).

Demikianlah Alquran dan sunah Nabi SAW yang banyak menjelaskan macam-macam amal ibadah dengan kedudukan dan keutamaan yang berbeda-beda. Ada yang wajib, sunah, yang asas, dan yang cabang. Selain itu, ada pula yang berfungsi sebagai rukun dan syarat sah ibadah, ada juga yang lebih tinggi kedudukannya dari ibadah yang lain.

Berkaitan dengan ini, para sahabat sering bertanya kepada Rasul SAW tentang amalan yang paling utama dan dianjurkan dalam Islam. Misalnya, pertanyaan Abdullah bin Masud ra tentang amalan yang paling disukai Allah. Rasul menjawab, “Shalat pada waktunya, berbuat baik kepada ibu bapak, dan jihad di jalan Allah.” (HR Bukhari dan Muslim).

“Maukah aku ingatkan kalian dengan suatu amalan yang paling baik; amalan yang paling suci pada apa yang kalian miliki, paling tinggi derajatnya; lebih baik dan utama bagi kamu sekalian daripada menginfakkan emas; lebih baik bagi kamu sekalian daripada kalian berhadap-hadapan dengan musuh, kalian pukul lehernya dan mereka pun memukul leher kalian?” Para sahabat menjawab, “Tentu kami mau, ya Rasulullah.” Lalu Nabi bersabda, "Mengingat Allah.” (HR Tirmidzi).

Jika disimpulkan, perbuatan yang dapat digolongkan dalam amalan paling super adalah mengucapkan kalimat tauhid, menjaga rukun iman dan Islam, berzikir (mengingat Allah), bersedekah dengan harta yang dicintainya, shalat pada waktunya, berbuat baik kepada orang tua, dan berjihad di jalan Allah (dengan maknanya yang sangat luas).

Di samping itu, masih ada amal perbuatan yang patut digolongkan dalam amalan yang paling super (terbaik), yaitu menciptakan kedamaian. Bahkan, kedudukan amalan ini lebih utama daripada derajat ibadah shalat, puasa, dan zakat.

“Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang suatu amalan yang lebih utama daripada derajat shalat, puasa, dan sedekah? Yaitu, menciptakan kedamaian (merukunkan) antara manusia sebab kerusakan hubungan di antara manusia adalah pembinasa agama.” (HR Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Hibban). Wallahu'alam.Oleh: Imron Baehaqi
sumber : www.republika.co.id

Sunday, October 21, 2012

Kerja dan Pekerja

Bekerja merupakan kewajiban mulia atas setiap insan agar bisa hidup layak dan terhormat. Bekerja dengan sungguh-sungguh mendapatkan posisi istimewa karena dianggap bisa melebur dosa-dosa yang tak bisa dihapus dengan ibadah mahdhah.

Rasulullah SAW pernah menjabat tangan seorang buruh yang bengkak karena kerja keras, lalu menciumnya seraya berkata, “Inilah tangan yang dicintai Allah dan Rasul-Nya.”

Bekerja dalam Islam dilihat dari kualitas. Buruh yang baik adalah yang berusaha meningkatkan kualitas kinerjanya. (QS Al-An'am [6]: 132). Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah senang bila salah seorang dari kamu bekerja dengan kualitas tinggi.”

Islam sebagai agama rahmatan lil alamin memerhatikan hak dan kewajiban buruh dan meletakkan beberapa aturan. Pertama, Islam menuntut agar buruh selalu bertakwa dalam setiap situasi dan kondisi. Ketakwaan ini akan mendorongnya untuk melaksanakan tugasnya dengan baik dan berusaha membersihkan dirinya dari berbagai niat jahat.

 “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan jalan keluar baginya dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.” (QS Ath-Thalaq [65]:  2-3).

Kedua, Islam menganjurkan kepada setiap buruh bekerja secara profesional. Kualitas kerja tak mungkin terealisasi, kecuali dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan tinggi. Ketiga, menanamkan semangat kompetisi sehat dengan memberikan kebebasan untuk memilih pekerjaannya sesuai dengan keahliannya.

Keempat, Islam melarang membebani buruh di luar batas kemampuannya. Rasulullah bersabda, “Janganlah kamu sekalian membebani buruh dengan tugas yang dia tidak kuat memikulnya.”

Islam menganjurkan perusahaan agar memberikan bantuan dan rangsangan kepada buruh bila memberikan tugas tambahan. “Bila kamu sekalian membebani mereka maka berilah dorongan dan bantuan.”

Kelima, memerhatikan kebutuhan primernya, baik keamanan, loyalitas, penghargaan, informasi, pengetahuan, keindahan, aktualisasi diri, dan kebutuhan rohaninya.

Keenam, Islam menganjurkan supaya dibuat kesepakatan kerja antara pengusaha dengan buruh. Kesepakatan ini meliputi hak-hak dan kewajiban masing-masing, termasuk masalah upah dan pekerjaan yang harus dilaksanakannya.

Rasulullah bersabda, “Barang siapa mempekerjakan seorang buruh hendaknya memberitahukan terlebih dahulu berapa jumlah upahnya.” Tujuannya, agar seorang buruh memiliki motivasi kerja yang tinggi. Dalam hadis lain dikatakan, “Berikanlah upah buruh sebelum kering keringatnya.”

Islam sangat menjamin hak-hak pengusaha. Kesepakatan antara buruh dan pengusaha merupakan sumpah yang harus ditunaikan oleh masing-masing. Hal ini juga menjadi alat pengontrol dalam melaksanakan kewajibannya. Seorang buruh juga harus berpegang pada janjinya dalam bekerja. (QS Al-Maidah [5]: 1).

Dalam ayat lain, Allah mengingatkan, “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain mereka mengurangi.” (QS Al-Muthaffifin [83]: 1-3). Wallahu a'lam.
Oleh: Prof Dr Achmad Satori Ismail
sumber : www.republika.co.id

Saturday, October 20, 2012

Memahami Strategi Debat para Nabi

Sebagai agama rahmatan lil alamiin, Islam senantiasa menganjurkan pemeluknya untuk bisa belajar Alquran, berpikir dan mendalami karakter manusia di sekelilingnya.

Selain itu, manusia juga bertindak dengan menggunakan ilmu dan strategi yang layak. Strategi tersebut harus dipikirkan secara matang agar penerima pesan (komunikan) tidak salah dalam menangkap dan menstimulasi pesan yang kita hantarkan.

Strategi juga harus diramu sedemikian rupa karena kita menghadapi komunikan yang tidak terhingga batasnya untuk mendukung ataupun menolak gagasan yang kita utarakan.

Berbicara perihal ‘debat’, aktivitas ini sudah banyak dilakukan oleh para Nabi terdahulu untuk melawan musuh-musuh Allah yang jelas-jelas menentang dan menolak Allah. Namun demikian, seburuk apa pun komunikan yang kita hadapi, di situlah ada sebuah cara khusus untuk membuat komunikan mau menerima apa yang kita ungkapkan.

Mari kita simak Surah Al-Baqarah ayat 61. “Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: ‘Hai Musa, kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. Sebab itu mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya’.”

“Musa berkata, ‘Maukah kamu mengambil yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik? Pergilah kamu ke suatu kota, pasti kamu memperoleh apa yang kamu minta…’ (QS. Al-Baqarah: 61).

Bani Israil ialah salah satu kaum yang Allah abadikan nama dan sejarahnya. Terkenal dengan sifatnya yang gemar membantah perintah para nabi. Bani Israil pun terus berusaha menyulitkan Musa AS, memberinya tantangan, serta terus bertahan dalam ketidakyakinannya terhadap Allah dan kenabian Musa AS.

Menurut Surah Al-Baqarah ayat 61 di atas, Bani israil terus mendesak Musa agar ia mau memberikan makanan lain selain manna dan salwa. Lalu apa komentar Musa di atas? Adakah Musa geram lalu memarahi kaumnya? Sama sekali tidak. Musa justru berkata, “Maukah kamu mengambil yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik? Pergilah kamu ke suatu kota, pasti kamu memperoleh apa yang kamu minta.”

Secara jelas, Musa menganggap apa yang kaumnya minta adalah tindakan bodoh. Dan hanya orang-orang bodoh saja yang mau menukar sesuatu yang baik dengan sesuatu yang lebih rendah.

Contoh perdebatan lain ialah tentang kisah Namrud dan Nabi Ibrahim. Kisah ini tertera dalam Surah Al-Baqarah ayat 258. Ibrahim berkata, "Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan."

Orang itu berkata, "Aku dapat menghidupkan dan mematikan."

Ibrahim berkata, "Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat." Lalu terdiamlah orang kafir itu.

Pada perdebatan contoh kedua, ada nilai etika Nabi Ibrahim AS yang harus kita petik. Pertama, Ibrahim hanya memuji Tuhannya (Allah), seperti apa yang terdapat di awal surah tersebut. Merasa tersaingi bercampur ketidakpercayaan akan kenabian Ibrahim, Namrud tak mau kalah. Ia juga menjawab bahwa ia mampu menghidupkan lagi. Raja Babilon yang bengis ini akhirnya bingung, ia tentu tidak dapat menerbitkan matahari dari arah yang berlawanan tempat biasa Allah menerbitkannya.

Dari dua contoh di atas, sedikit banyak memberikan kita motivasi bahwa setiap orang dapat menerima argument kita jika kita sudah mengantongi strategi apa yang akan dikeluarkan agar meeka luluh. Dan yang lebih penting, menjauhi pertikaian dan kekerasan baik secara verbal maupun non verbal. “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik…” (QS. An-Nahl: 30). Wallahu a’lam.
Oleh: Ina Salma Febriani sumber : www.republika.co.id

Friday, October 19, 2012

Keutamaan Bulan Dzulhijjah

Kaum Muslimin sepatutnya menyambut kedatangan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Hal tersebut karena Allah SWT telah menjadikan hari-hari pertama bulan Dzulhijjah sebagai "musim kebaikan" baik bagi para jamaah haji maupun bagi yang sedang tidak melaksanakan rukun Islam kelima tersebut.

Allah SWT bersumpah demi sepuluh hari itu (QS. Al Fajar: 1-2), dan tiadalah sumpah dikemukakan oleh Tuhan kecuali di dalamnya terkandung keagungan dan keutamaan tempat, waktu maupun keadaan.

Bagi para jamaah haji, pemanfaatan momentum sepuluh hari bulan Dzulhijjah akan meningkatkan kualitas dan konsentrasi ibadah haji serta syiar Islam secara keseluruhan.

Sedangkan bagi yang tidak melaksanakan haji, bersungguh-sungguh beribadah pada hari-hari tersebut kualitasnya menyamai jihad fi sabilillah, karena keutamaan awal sepuluh hari Dzulhijjah semisal keutamaan sepuluh malam terakhir Ramadhan.

Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebut bahwa keistimewaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah disebabkan oleh berkumpulnya ibadah-ibadah utama yang terdiri dari: shalat, sedekah, puasa dan haji.

Sedangkan Ibnu Katsir menukil riwayat dari Ibnu Abbas RA menyatakan bahwa Allah SWT mewahyukan Taurat kepada Musa AS yang didahului dengan berpuasa selama 40 hari; 30 hari disinyalir berada pada bulan Dzulqa’dah dan 10 hari lainnya awal Dzulhijjah. Puasa itu menjadi penyempurna turunnya Taurat kepada Musa, dan pada bulan yang sama Allah SWT menurunkan wahyu terakhir Alquran kepada Rasulullah SAW.

Di bulan Dzulhijjah, Allah SWT menggabungkan keharaman waktu (Dzulhijjah sebagai salah satu bulan haram), keharaman tempat (Makkah dan Madinah sebagai tanah Haram), dan keharaman kondisi/momentum (berhaji di Baitul Haram yang menjadi profil paripurna seorang Muslim).

Maka, berbagai keistimewaan tersebut menjadikan bulan Dzulhijjah sebagai bulan istimewa, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "Tidak ada suatu hari yang perbuatan baik di dalamnya lebih dicintai oleh Allah SWT daripada amalan sepuluh hari."

Para sahabat bertanya, "Tidak pula jihad fi sabilillah (lebih baik darinya)?"

Rasulullah SAW menjawab, "Tidak pula Jihad di jalan Allah (lebih baik darinya), kecuali seorang laki-laki yang keluar rumah dengan mambawa jiwa dan hartanya serta pada saat pulang tidak membawa apa-apa." (HR. Bukhari).

Karena keistimewaan itu, beberapa perbuatan baik yang istimewa dilakukan di antaranya:

1. Menjalankan ibadah haji bagi mereka yang mampu melaksanakannya. Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa melakukan ibadah haji di rumah ini dan tidak berkata kotor maupun tidak berguna, maka dosanya akan dihapuskan sebagaimana bayi yang baru keluar dari rahim ibunya." (HR. Bukhari-Muslim).

2. Puasa sunah tarwiyah dan arafah. Adalah Rasulullah SAW yang berpuasa pada tanggal 9 Dzulhijjah, Hari Asyura dan tiga hari dalam setiap bulan." (HR. Abu Daud).
 
3. Memperbanyak takbir, tahmid dan tahlil. Dari Ibnu Umar RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tidak ada hari yang perbuatan baik di dalamnya lebih agung di sisi Allah dan dicintai-Nya dibanding sepuluh hari. Maka perbanyaklah tasbih, tahmid, tahlil dan takbir di dalamnya." (HR. Tabrani).

4. Melaksanakan penyembelihan kurban (jika mampu). Dari Ummu Salmah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Apabila kalian menyaksikan bulan Dzulhijjah dan berkeinginan untuk berkurban, maka janganlah mengambil sekecil apa pun bagian dari rambut maupun kukunya sampai ia disembelih." (HR. Muslim).

5. Memperbanyak ibadah sunah semisal berpuasa, shalat, sedekah, membaca Alquran dan semacamnya. (QS. Ali Imran: 133).

Demikianlah keistimewaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dengan harapan kaum Muslimin dapat memanfaatkan momentum istimewa dengan amal ibadah yang bernilai istimewa. Wallahu a'lam.
Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA
sumber : www.republika.co.id

Thursday, October 18, 2012

Malulah pada Allah

“Dan milik Allah timur dan barat. Ke manapun kalian menghadap di sanalah wajah Allah. Sungguh, Allah Mahaluas, Maha Mengetahui.” (QS [2]: 115).

Jika Anda sedang mandi dan tiba-tiba muncul wajah seseorang di hadapan Anda, bagaimana rasanya? Tidak malukah Anda? Tidakkah segera Anda berusaha menutupi aurat Anda?

Setiap saat wajah Pencipta hadir dalam seluruh episode kehidupan kita. Dalam ketelanjangan kita menjalankan perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai perintah-Nya, bahkan melawan larangan-Nya.

Tidak malukah kita? Ataukah kita berpikir Allah sedang mengantuk dan tertidur? Padahal, Allah menegaskan, “Allah, tidak ada ilah selain Dia. Yang Mahahidup, yang terus-menerus mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur.” (QS [2]: 255).

Atau, kita berpikir Allah tidak melihat? Padahal, “Bagi Allah, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi di bumi dan di langit.” (QS [3]: 5). Jangan-jangan kita berpikir Allah tidak menyadari apa yang sedang terjadi?

Padahal, Allah menantang manusia, “Dan rahasiakanlah perkataan kalian atau nyatakanlah. Sungguh, Dia Mahamengetahui segala isi hati. Apakah (pantas) Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui? Dan Dia Mahahalus, Maha Mengetahui.” (QS [67]: 13-14).

“Dan kunci semua yang gaib ada pada-Nya; tidak ada yang mengetahui selain Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Tidak ada selembar daun pun yang jatuh yang tidak diketahui-Nya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, yang tidak tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS [6]:59).

Naudzubillaahi min dzaalik. Tanpa sadar kita telah mengecilkan Dia Yang Mahabesar. Tanpa sadar kita telah menyunat dan mengerdilkan iman kita sendiri.

Dia Yang Mahatahu apa yang dilahirkan maupun yang disembunyikan. Kita dapat menutupi aurat dari pandang an manusia, tetapi kita tak mungkin menutupi cela kita dari Dia yang Maha Melihat dan Mendengar.

Dari Dia yang selalu menghisab hamba-hamba-Nya. “Milik Allahlah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Jika kalian menyatakan apa yang ada di hati kalian atau kalian sembunyikan, niscaya Allah memperhitungkannya (tentang perbuatan itu) bagi kalian. Dia mengampuni siapa yang Dia kehendaki dan mengazab siapa yang Dia kehendaki. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS [2]: 284).

Karenanya, janganlah malu pada dunia, malulah pada Pemilik dunia. Jika malu pada dunia, Anda takkan malu jika tak ada wajah yang hadir. Jika malu kepada Pemilik dunia, Anda akan menjaga perbuatan di mana pun dan kapan pun. Ada maupun tak ada orang lain. Itulah yang disebut muraqabah, yakni selalu merasa diawasi oleh Allah.

Nabi SAW bersabda, “Beribadahlah engkau kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Kalaupun engkau tidak bisa melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihat engkau.” Jadi, malulah kepada Allah!
Oleh: A Riawan Amin
sumber : www.republika.co.id

Wednesday, October 17, 2012

Menyelami Nasihat Luqman

Dalam Surah Luqman, Allah SWT berfirman, “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS Luqman: 13).
Petikan firman Allah di atas yang secara jelas termaktub dalam QS Luqman ayat 13 hingga 19. Dari beberapa nasihatnya yang Allah abadikan dalam Alquran, Luqman dikenal sebagai seorang ayah bijak yang menasihati anaknya perihal beberapa tanggungjawab manusia kepada Tuhannya, ibu-bapaknya, juga sesamanya.

Secara garis besar, Luqman menasihati anaknya dengan nasihat bijak, santun, indah, hingga Allah pun mengabadikan nama Luqman juga beberapa nasihat yang ia tuturkan untuk buah hatinya.

Tanggung jawab manusia kepada Tuhan, menurut Luqman, adalah dengan tidak mempersekutukan-Nya dengan apa pun, baik dalam hal keyakinan maupun material. Kedua, tanggung jawab manusia kepada orangtuanya adalah dengan berbakti, menghormati, dan tidak menyakiti keduanya kecuali jika orangtua tersebut menyuruh berbuat maksiat.

Ketiga, tanggung jawab manusia kepada sesamanya agar tidak berperilaku sombong, membiasakan diri untuk berperilaku sederhana, baik dalam berjalan dan bertutur. Dan poin terakhir inilah yang disadari maupun tidak, sering kita abaikan.

Imam Ali RA pernah berkata, “Jadilah manusia paling baik di sisi Allah, jadilah manusia paling buruk dalam pandangan dirimu dan jadilah manusia biasa di hadapan orang lain.”

Jadilah manusia yang paling baik di sisi Allah. Maksud paling baik disini ialah dengan memaksimalkan sisa usia dengan bertafakur, berusaha mengingat nikmat-nikmat Allah serta berusaha mensyukurinya.

Selain syukur, manusia juga dituntut untuk bersabar kala cobaan mendera dan menyapa secara tiba-tiba. Rasulullah SAW pernah bersabda, bahwa hati manusia hanya dituntut untuk dua hal, yakni syukur dan sabar. Syukur jika kita memperoleh nikmat yang secara langsung maupun tidak kita bersedia berbagi dengan sesama.

Kedua sabar, sabar dalam arti luas mampu melihat segala cobaan bukan dari ‘ujian’ semata, namun juga ‘teguran’ Allah SWT agar kita menyadari sepenuhnya bahwa setiap masalah yang datang, juga karena tindakan yang kita perbuat. Sebab apa yang kita tanam, itulah yang akan kita tuai di luar konteks ‘cobaan’ Allah. Sebab, tidak ada cobaan yang tidak membuahkan hikmah dan pelajaran yang berharga.

“… dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS Luqman: 17).

Kedua, jadilah manusia yang paling buruk dalam pandangan dirimu. Nasihat Imam Ali RA ini setidaknya menyiratkan dua hal yaitu menyadari bahwa status kita hanyalah ‘hamba’ di hadapan Allah, juga mengajarkan kita bahwa (mungkin) manusia lain derajatnya justru lebih tinggi di hadapan Allah. Pada intinya, dua hal ini akan mengantarkan kita kepada sikap tawadhu dan menetralisir perasaan tinggi hati dalam diri.

Ketiga, jadilah orang biasa di hadapan sesama. Dalam pandangan Islam, semua manusia itu sama dan Allah tidak membedakan manusia hanya karena harta dan tahta, namun Allah membedakan manusia karena ketakwaannya. Oleh karenanya, sebagian besar ulama berdoa sebagai berikut:

“Allahummaj‘alnii shobuuron waj’alnii syakuuron waj’alnii fii ‘ainii shogiiron wa fii a’yunin naasi kabiiron” (Ya Allah jadikan aku orang yang bersabar dan bersyukur. Jadikanlah aku seorang yang hina menurut pandangan diriku sendiri, dan jadikanlah aku orang yang besar menurut pandangan orang lain).
Oleh: Ina Salma Febriani

sumber : www.republika.co.id

Tuesday, October 16, 2012

Kisah Kepemimpinan

Pasca Rasulullah SAW wafat, Abu Bakar Ash-Shiddiq dipilih dan disepakati oleh kaum Muslimin melalui musyawarah untuk menjadi pemimpin menggantikan posisi Rasulullah SAW.

Dapat dibayangkan kesulitan Abu Bakar dalam memimpin umat yang sebelumnya kuat dilandasi oleh ikatan kekerabatan (kabilah), tidak mengenal aturan, buta huruf, pelanggaran kehormatan, dan penyerangan terhadap saudara maupun kerabat.

Dapat pula dibayangkan beratnya Abu Bakar dalam mentransformasikan konsep "Jamaah Islamiyah" menjadi "Daulah Islamiyah".

Sadar bahwa suatu bangsa tidak mungkin menjadi besar kecuali telah melampaui proses ratusan tahun, satu jalan alternatif untuk mempercepat akselerasi kebesaran itu antara lain dengan menjalin kesatuan hati dan pemahaman yang sama tentang konsep kekuasaan.

Maka Abu Bakar menerapkan konsep kepemimpinan yang benar, yaitu pemimpin yang ditaati kendati terkadang terdapat perbedaan pandangan dalam melihat beberapa permasalahan.

Program pertama yang digagas Abu Bakar adalah memerangi orang-orang murtad (keluar dari agama Islam) pascawafatnya Rasulullah SAW. Guna menyukseskan gagasan tersebut, Abu Bakar melakukan berbagai rangkaian pendekatan dan konsultasi kepada para sahabat. Sebagian kecil sahabat setuju, sementara sebagian besarnya menentang.

Namun, tidak ada satu pun dari mereka yang mengatakan berbeda pendapat dengan lugas, kemudian tidak menaati Abu Bakar. Mereka tetap taat kepada Abu Bakar karena sadar, sekiranya mereka berselisih, maka Islam tidak akan berdiri tegak.

Perselisihan hanya akan membawa orang-orang murtad menyerang Islam dan melumpuhkan kekuatannya. Oleh karenanya, ketaatan kepada pemimpin menjadi perkara yang wajib bagi para sahabat karena mengandung kekuatan, kebaikan, kemuliaan dan keagungan.

Dalam perjalanannya Abu Bakar menunjuk Usamah memimpin pasukan kaum Muslimin. Sebagian sahabat lagi-lagi kurang setuju dengan penunjukan tersebut. Akan tetapi, ketika Abu Bakar meyakinkan pandangannya dan bertekad melaksanakan gagasannya, semua sahabat tanpa kecuali taat dan menjalankan perintahnya.

Tidak ada seorang pun dari sahabat yang berkata bahwa pendapatnya berbeda secara diametral lalu menentang Abu Bakar. Para sahabat tetap mengambil posisi taat kepada pemimpin karena rahasia kekuatan, kebaikan, kemuliaan dan keagungan yang terkandung di dalamnya.

Maka demikianlah, dalam waktu yang relatif singkat, kaum Muslimin berhasil menjalin persatuan yang kuat, disamping kebaikan, kemuliaan dan keagungan umat Islam. Orang-orang murtad berhasil ditumpas, kendati dengan pengorbanan gugurnya puluhan syuhada dari kelompok penghafal Alquran.

Demikianlah etika mulia dari para sahabat dalam kisah kepemimpinan yang memprioritaskan kepentingan umat dibanding kepentingan diri sendiri maupun kelompok.

Memberikan nasihat kepada pemimpin adalah hak orang yang dipimpin. Namun di dalam pelaksanaan hak dan kewajiban sesungguhnya terdapat pertimbangan kepatutan, sehingga dalam menyampaikan kritik membangun diperlukan cara-cara santun dan proporsional agar tetap patut dan tidak melahirkan cibiran orang. Wallahu a'lam.
Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA

sumber : www.republika.co.id

Monday, October 15, 2012

Mina dan Harapan

Ummul Mukminin, Aisyah RA berkata, “Para sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW, tidakkah (sebaiknya) kami bangunkan rumah untuk engkau di Mina (sebagai tempat bernaung)?”

Beliau menjawab, “Tidak perlu, karena Mina tempat singgah siapa yang datang lebih dahulu.” (HR Tirmidzi, hadis hasan sahih).

Pada zaman dahulu, Mina merupakan hamparan padang luas dan belum dibangun seperti sekarang ini. Dengan luas sekitar 650 hektare, Mina mampu menampung jamaah haji dalam jumlah yang cukup besar, kendati tidak sama dengan saat ini.

Di sekitar Mina, belum ada pengaturan tempat, pembangunan jembatan, terowongan, dan perkemahan serapi saat ini.

Namun, perkembangan jamaah yang terus meningkat hingga mencapai tiga juta orang, mendorong Pemerintah Arab Saudi untuk meningkatkan layanan ibadah haji. Hal itu dilakukan untuk menghindari jatuhnya korban jiwa saat melempar jumrah.

Kondisi demikian sangat jauh berbeda dengan masa Rasulullah SAW, jamaah haji yang datang menaiki unta dan datang lebih awal ke Mina, dipersilakan untuk mengikatkan untanya di tempat yang ia kehendaki. Bagi jamaah haji yang datangnya belakangan, tidak mendapatkan tempat sebagaimana yang datang lebih dahulu.

Mina atau Muna dalam bahasa Arab berarti harapan, tempat ini menjadi harapan bagi Nabi Adam AS, setelah dibisiki bertemu dengan Hawa karena perpisahan selama dua ratus tahun. Pada kisah yang sama, Mina berasal dari kata Amna berarti mengalirkan darah.

Mina menjadi tempat bagi Nabi Ibrahim AS melaksanakan perintah Allah SWT untuk menyembelih putranya, Nabi Ismail AS. Ibadah ini kemudian disyariatkan kepada umat Islam untuk menyembelih hewan kurban pada Hari Raya Idul Adha hingga hari Tasyrik, untuk mengenang peristiwa yang terjadi pada Nabi Ibrahim itu.

Mina berarti juga mengalami cobaan. Tidak saja harus mengorbankan putra tersayangnya, Ibrahim juga diuji oleh setan. Karena itulah, Nabi Ibrahim AS melempari setan itu dengan batu. Kisah ini diabadikan dengan kewajiban setiap jamaah untuk melempar jumrah (Aqabah, Ula, Wustha).

Tidak hanya berhenti sampai di situ, Rasulullah SAW juga dibaiat oleh orang-orang Anshar untuk menjadi warga setempat ketika tiba di Mina. Di Mina, jamaah haji tidak diperbolehkan melakukan hubungan suami istri sampai prosesi ibadah hajinya selesai.

Peristiwa-peristiwa besar di atas menggambarkan akan harapan-harapan dan kebaikan saat melaksanakan ibadah haji di Mina. Mina menjadi saksi atas berkumpulnya dua perkara penting yaitu perintah (amr) dan juga larangan (nahy). Ibrahim menaati perintah Allah untuk menyembelih putra yang disayanginya, dan larangan mengikuti setan, serta menjauhi hubungan suami istri.

Di Mina, jamaah disunahkan berdoa, “Ya Allah, tempat ini adalah Mina, maka anugerahilah aku apa yang telah engkau anugerahkan kepada orang-orang yang selalu dekat dan taat kepada-Mu.”

Mari kita berlomba-lomba menuju Mina agar mendapatkan tempat paling baik untuk memperoleh harapan dan kebaikan di Mina. Wallahu a’lam.
 Oleh: Luthfan sumber : www.republika.co.id

Sunday, October 14, 2012

Keimanan dan Rasa Malu

Dalam sebuah hadis riwayat Imam Hakim dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya rasa malu (untuk melakukan perbuatan buruk) dan keimanan adalah dua hal yang selalu digandengkan dan dikaitkan. Apabila diangkat salah satunya maka akan diangkat pula yang lainnya.”

Sabda Rasulullah SAW tersebut menggambarkan dengan jelas tentang salah satu konsekuensi iman yang sangat penting, yakni terbangunnya rasa malu dengan kuat untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tercela dan merusak. Apabila rasa malu itu hilang, akan hilang pula kekuatan keimanan yang menyertainya.

Koruptor yang merampok dan meng-gashab uang negara untuk kepentingan dirinya dan kelompoknya, sesungguhnya adalah orang yang kehilangan rasa malunya. Dengan demikian, hilang pula keimanan yang ada pada dirinya.

Karena itu, tidaklah mengherankan jika para koruptor yang jelas-jelas melakukan kejahatan itu masih berkelit dari dosa yang dilakukannya, mencari pembelaan dan pembenaran, dan berpenampilan seperti orang yang tidak pernah melakukan kesalahan, bahkan masih bisa mengumbar senyum dan tertawa di depan umum (misalnya di depan kamera).

Para pelajar yang tawuran dengan brutal dan berani melakukan perbuatan merusak itu, juga karena hilangnya rasa malu dan keimanan yang dimilikinya. Tidak heran jika setelah melakukan penusukan dan pembunuhan, dia merasa puas terhadap perbuatannya tersebut.

Para wanita yang membuka auratnya lebar-lebar di depan publik (untuk maksud dan tujuan apa pun), dan tampak berbangga dengan perbuatannya itu pada dasarnya telah kehilangan rasa malunya dan kehilangan pula keimanan yang dimilikinya.

Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Rasulullah SAW menyatakan, “Apabila engkau sudah tidak punya rasa malu, maka engkau akan melakukan berbagai macam perbuatan tanpa kendali apa pun (sekehendak hati).”

Dari hadis tersebut dan jika dikaitkan dengan berbagai kejadian di Tanah Air saat ini, maka pendidikan di dalam keluarga maupun di sekolah seyogianya ditekankan pada penguatan keimanan yang melahirkan rasa malu untuk melakukan perbuatan yang merusak, baik bagi dirinya maupun bagi orang lain.

Ibadah-ibadah yang disyariatkan oleh ajaran Islam, seperti tergambar dalam rukun Islam, hakikatnya adalah membangun kesadaran beriman dan bertauhid, merasa terus-menerus dilihat dan diawasi Allah (muraqabah), sehingga akan merasa malu (karena Allah) jika melakukan perbuatan yang bertentangan dengan syariat dan ketentuan-Nya.

Tentu semua ini harus berjalan beriringan dengan contoh dan keteladan yang baik dari para orang tua, para guru, para tokoh masyarakat, maupun para pejabat publik lainnya. Wallahu a’lam bish shawab.
Oleh: KH Didin Hafidhuddin

sumber : www.republika.co.id

Saturday, October 13, 2012

Kurban dan Pengorbanan

"MAKA dirikanlah salat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah" (Q.S. Al-Kautsar: 2)

Itulah ayat yang sering disampaikan para penceramah ketika menyampaikan tausiahnya di bulan-bulan ini. Beberapa hari lagi kita akan memasuki bulan Zulhijah, bulan yang disyariatkan untuk pelaksanaan ibadah kurban.

Beberapa keterangan menyebutkan sejarah pelaksanaan kurban diawali saat Nabi Ibrahim a.s. bermimpi. Dalam mimpinya beliau diperintah Allah SWT untuk menyembelih putranya, Nabi Ismail a.s. Kisah ini diabadikan dalam Alquran sebagai berikut, "Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: 'Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!' Ia menjawab: 'Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar'" (Q.S. Ash-Shafat: 102)

Mimpi seorang nabi merupakan salah satu cara turunnya wahyu dari Allah SWT. Maka Nabi Ibrahim pun dengan segera melaksanakan apa yang diperintah Allah untuk menyembelih puteranya. Meskipun dengan perasaan berat hati untuk melakukannya, apalagi ketika itu Nabi Ismail sedang memasuki usia remaja.

Keadaan seperti itu tidak mengurungkan Nabi Ibrahim untuk melaksanakan perintah Allah tersebut. Sebagai seorang nabi, pesuruh Allah, dan pembawa agama yang menjadi contoh dan teladan bagi para pengikutnya dalam bertaat kepada Allah, ia harus mengutamakan cintanya kepada Allah di atas cintanya kepada anak, istri, harta benda, dan lain-lain.

Pengorbanan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ini pun akhirnya Allah ganti dengan menyuruh Nabi Ibrahim agar menyembelih seekor domba yang telah tersedia di sampingnya. Allah berfirman, "Dan Kami panggillah dia: 'Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata'" (Q.S. Ash-Shafat: 104 -106)

Di sinilah makna kurban sesungguhnya, yakni pengorbanan seorang hamba kepada Allah SWT sebagai syariat yang telah ditetapkan oleh-Nya. Selain itu, ibadah kurban juga memiliki makna horizontal antarsesama manusia, yaitu kepedulian untuk berbagi.

Maka berbahagialah bagi kita yang mampu melaksanakan ibadah kurban, karena tentu termasuk orang-orang yang diberikan kelebihan oleh Allah SWT. Semoga ibadah kurban yang kita laksanakan merupakan bentuk pengorbanan, ketaatan, dan bentuk syukur kita kepada Allah, yang senantiasa akan membalasnya sebagai amalan yang diterima.
(Penulis adalah staf pengajar Al Biruni dan pengurus DKM Thariqul Huda, Kompleks Bumi Panyileukan, Cibiru, Kota Bandung)**
Galamedia
jumat, 05 oktober 2012 00:45 WIB
Oleh : M. Nuzul Nurulhuda, S.Kom.I.

Friday, October 12, 2012

Cegah Trafficking dari Sekolah

"KITA harus mempunyai komitmen untuk memerangi kejahatan perdagangan manusia". Demikian kalimat yang disampaikan Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Jawa Barat, Netty Heryawan dalam kampanyenya memerangi perdagangan manusia (human trafficking) (Galamedia, 2/9). Sebelumnya dalam PR (1/9) ia menyatakan bahwa anak remaja usia 14-15 tahun pulang dalam keadaan hamil. Ini mengerikan bagi perjalanan bangsa ke depan. Makanya, kita dorong terus angka rata-rata lama sekolah anak-anak.

Usia 14-15 merupakan usia sekolah, kurang lebih antara kelas VIII dan kelas IX SMP. Kalau masuk SD-nya berusia enam tahun berarti usia 15 tahun sekitar kelas XI SMA. Dengan demikian, usia tersebut masa-masa menimba ilmu, mengenyam pendidikan di tingkat SLTP dan SLTA.

Namun, kenyataan membuktikan bahwa tidak semua usia tersebut masih berada di bangku sekolah. Berbagai sebab menggiringnya untuk meninggalkan bangku sekolah atau tidak dapat mengenyam bangku pendidikan ke jenjang berikutnya. Salah satu sebabnya karena faktor ekonomi. Terlebih karena bukan saja orang tuanya tidak mampu membiayai sekolahnya, tetapi juga orang tuanya mendorong dirinya untuk meninggalkan bangku sekolah untuk mendapatkan rupiah.

Permasalahan putus sekolah sebenarnya bukan hal baru. Namun, agak miris kalau saat ini masih banyak yang putus sekolah untuk tingkat SD dan SLTP karena pemerintah telah menganggarkan adanya dana bantuan operasional sekolah (BOS). Ya, ternyata permasalah pendidikan sangat kompleks, tidak hanya biaya sekolah saja. Di antaranya kondisi keluarga siswa turut menentukan. Dengan demikian, perlu adanya integritas pemahaman yang sama dari orang tua untuk mendukung anaknya bersekolah.

Ketika anak putus sekolah, baik usia SD, SMP, atau SMA sebenarnya sangat riskan. Tidak sedikit akibat anak putus sekolah menimbulkan beban dan penyakit masyarakat. Walau pun anggapan itu tidak sepenuhnya benar. Namun, lihat saja misalnya, kita sering melihat anak-anak usia sekolah berada di setopan lampu merah sekedar untuk menerima belas kasih pengendara bermotor. Mereka mengaharap rupiah dengan berbagai cara, di antaranya dengan memukul-mukulkan sepotong kayu kecil yang telah ditempeli beberapa tutup botol ke tangannya sambil bernyanyi yang tak jelas; atau seorang anak yang masih usia SD menggendong balita berkeliling menengadahkan tangan ke pengendara bermotor, dan sebagainya.

Di sisi lain, putus sekolah mendorong peningkatan human trafificking atau penjualan orang. Dari beberapa kasus didapati bahwa tidak sedikit remaja usia sekolah yang tergiur oleh iming-iming penghasilan kerja yang lumayan besar. Akhirnya, sekolah pun ditinggalkan untuk bekerja. Terlebih, bagi yang telah putus sekolah terlebih dahulu, ajakan tersebut merupakan angin surga. Yang padahal pekerjaan yang diterima ternyata tidak sesuai dengan yang dijanjikan semula. Hal itu tentu berdampak buruk bagi perkembangan jiwa remaja tersebut. Melihat fenomena tersebut, ada benarnya apabila Linda Amalia Sari Gumelar, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2&PA), mengatakan bahwa perda gangan orang kebanyakan diakibatkan kemiskinan dan pendidikan yang rendah. Selain itu, gaya hidup instan yang dikejar kalangan remaja.

Inilah dua hal utama yang perlu diwaspadai orang tua dan pihak sekolah. Selanjutnya keduanya dapat bekerja sama untuk terus memotivasi siswa agar bersemangat mengikuti pelajaran di sekolah sekaligus agar tidak putus sekolah. Sebab pada dasarnya, siswa berada di sekolah untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar (KBM) kurang lebih hanya delapan jam dari 24 jam sehari-semalam. Sisanya, lebih banyak di rumah atau di tempat pergaulannya di luar sekolah. Dengan demikian, selepas siswa mengikuti KBM di sekolah, peran orang tua sangat diperlukan untuk mengawasi dan membimbingnya.Termasuk, mengetahui arah dan model pergaulan anaknya sehingga dapat mengarahkan ke pergaulan yang lebih baik dan bermanfaat.

Selain itu, orang tua dan pihak sekolah memberikan arahan pada siswa untuk menghidari budaya instan yang membahayakan. Di antaranya agar siswa tidak mudah terbujuk mengikuti gaya hedonisme yang menyesatkan. Ketiga, rembug dengan orang tua dan pihak yang terkait untuk mencegah terjadinya siswa yang putus sekolah.

Selain hal di atas, tentu faktor agama tak dapat diabaikan. Sebenarnya itu merupakan benteng utama yang semestinya dimiliki siswa. Untuk itu, siswa selain mendapat wawasan dan ilmu agama di sekolah, juga selayaknya untuk gemar mengaji di masjid, musala, atau majlis taklim yang berada di lingkungan rumahnya. Sementara ini, anak-anak gemar mengaji kebanyakan sampai usia SD. Ketika mereka menginjak SMP atau SMA sudah enggan lagi mengikuti pengajian. Hal ini tentu sebenarnya mesti menjadi bahan pemikiran orang tua dan pihak sekolah. Oleh sebab itu, perlu terjalin komunikasi yang baik antara orang tua, pihak sekolah, dan pengurus Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) atau pesantren. Paling tidak melalui buku penghubung.

Berkaitan dengan hal itu, Allah swt telah mengingatkan kita di dalam Alquran. Di antaranya dalam Alquran surah Thaha ayat 123-124, "Jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan ia tidak akan celaka. Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta."

Rasulullah saw bersabda, "Aku tinggalkan dua perkara untuk kalian. Selama kalian berpegang teguh dengan keduanya tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku." (HR. Abu Hurairah).

Dengan beberapa ikhtiar di atas, sebenarnya kita pun berarti telah turut mendukung pemerintah dalam memerangi penjualan orang, sebagaimana pemerintah telah mengeluarkan Perpres No. 69/2009 untuk melawan dan memberantas perdagangan orang dan anak.
(Penulis, guru di lingkungan YPP Darul Falah, Cihampelas, Bandung Barat)**
Galamedia
senin, 08 oktober 2012 01:31 WIB
Oleh : ASEP JUANDA

Thursday, October 11, 2012

Nyamannya Kampung Batu Baleendah

Tersedia Makanan Langka Gulai Tutut (Keong Sawah)
BALEENDAH (GM) - SEBUAH wahana wisata di Bandung Selatan ini menjadi alternatif bagi wisatawan yang enggan terjebak kemacetan ke kawasan Bandung Utara. Tempat wisata yang menyediakan wahana cukup lengkap ini jaraknya hanya sekitar 7 kilometer dari Gerbang Tol Buahbatu atau 6 kilometer dari Gerbang Tol Moch. Toha dan bisa dijangkau dalam waktu 15-20 menit.

Kampung Batu Malakasari lokasi wisata tersebut sebelumnya merupakan kawasan bekas penambangan batu yang berada di Desa Malakasari, Kec. Baleendah, Kab. Bandung, Propinsi Jawa Barat. Dahulu kawasan ini merupakan sebuah gunung batu dengan sebutan Gunung Panggung, yang telah ditinggalkan terbengkalai oleh masyarakat penambang.

Melalui sentuhan seorang geofisikawan jebolan ITB yang juga seorang master trainer yakni Ir. Bambang Suteja tempat ini di reklamasi menjadi sebuah kawasan wisata edukasi dan tempat Outbound.

Kawasan seluas 50.000 meter persegi ini awalnya merupakan sebuah bukit atau gunung lipatan menurut istilah geologi yang di dalamnya tersembunyi bongkahan Batuan Metamorfik.

"Secara geologi kawasan ini merupakan bukti adanya gerakan lempeng ataupun sederetan gempa tektonik sejak beberapa juta tahun yang lalu. Dimulai pada tahun 1900 sampai dengan tahun 1970an batuan metamorfik ini ditambang atau dieksploitasi oleh masyarakat secara tradisional," jelas manajer marketing Kampung Batu Achmad Sobari, S.E., kepada klik-galamedia.com di ruang kerjanya, Jumat (5/9/2012).

Sejak tahun 2002, kata Achmad, kawasan ini dimiliki oleh Bapak Ir. H. Waryo seorang peternak ayam ras pedaging asal Desa Cipinang Pangalengan yang memiliki kepedulian sangat tinggi terhadap pelestarian lingkungan hidup.

"Kemudian beliau melakukan reklamasi sehingga lokasi bekas galian ini membentuk formasi geologi yang indah, dan unik serta memiliki daya tarik sebagai Kawasan Wisata Alam yang diberi nama Kawasan Rumah Adat, dan Budaya Sunda Kampung Batu Malakasari ( KBM )," paparnya.

Kampung Batu Malakasari menyediakan wahana wisata yang cukup lengkap terutama untuk anak-anak. Disini terdapat Rusa Totol yang tidak asing lagi bagi sebagian masyarakat Indonesia terutama yang pernah berkunjung ke Istana Bogor. Apalagi bagi penduduk kota Bogor karena telah ditetapkan menjadi fauna identitas Kota tersebut sejak tahun 1995.

Untuk masyarakat Bandung dan sekitarnya, kata Achmad, tidak perlu ke Bogor untuk melihat Rusa Totol tersebut, karena disini terdapat penangkaran rusa totol yang juga sebagai kawasan Wisata Alam Edukasi dan Outbound. Di penangkaran Rusa Kampung Batu ini terdapat 23 ekor Rusa Totol yang sudah jinak.

"Rusa totol mempunyai nama latin Axis axis bukanlah fauna asli Indonesia melainkan berasal dari India dan Sri Lanka dalam bahasa Inggris disebut sebagai Chital, Axis Deer, Indian Spotted Deer, satu genus dengan Rusa Bawean (Axis kuhli) yang asli Indonesia," jelasnya.

Disamping itu, kata Achmad, pengunjung bisa bermain Panjat dinding dan Flying Fox, naik Rumah Pohon, naik Perahu, bahkan bisa mencoba membajak sawah khas sunda pakai kerbau (ngawuluku) yang sangat menantang dan mengasyikkan. Bahkan sebuah wahana baru Tektona Waterpark yang dilengkapi dengan berbagai jenis kolam renang yang menarik diantaranya toots pool, kids pool dan semi olimpic bisa membuat ceria keluarga. "Dan jangan khawatir, kami juga menyediakan tim lifeguard dan klinik kesehatan sehingga bagi pengunjung tetap aman dan nyaman, " ujar Achmad.

Jika lapar jangan khawatir. Karena di kawasan ini, kata Achmad, terdapat kompleks kuliner yang menyediakan berbagai makanan berat seperti nasi timbel, ayam goreng/bakar, ikan goreng/bakar, mie baso juga makanan ringan serta minuman dingin dan bermacam juice buah. Bahkan pada hari minggu, disini tersedia makanan langka yaitu gulai tutut! (Keong Sawah). Selamat berlibur!.
Galamedia
jumat, 05 oktober 2012 08:26 WIB
m. iqbal

Wednesday, October 10, 2012

Visi Seorang Muslim

Ketika Rasulullah mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar, Abdurrahman bin Auf dipersaudarakan dengan seorang sahabat Anshar yang berkecukupan secara materi, yaitu Saad bin Rabi'.

Sebagai seorang Muslim, Saad telah memiliki visi besar yang hendak diraihnya dalam kehidupan dunia akhiratnya. Maka, atas dorongan imannya yang kuat dan penuh keyakinan, Saad menawarkan separuh dari apa yang dimilikinya kepada Abdurrahman bin Auf.

“Saya memiliki dua rumah dan dua kebun. Jika engkau berkenan saudaraku, ambillah separuh darinya. Saya juga punya dua orang istri, jika engkau berkenan silakan lihat satu di antaranya. Niscaya aku akan menceraikannya untukmu,” demikian tawaran Saad bin Rabi'.

Aneh dan sangat mengejutkan, Abdurrahman bin Auf justru menolak semua permintaan Saad bin Rabi' itu. Abdurrahman berkata kepada Saad bin Rabi', “Tidak saudaraku, aku tidak membutuhkan semua itu. Semoga Allah memberikan keberkahan bagi harta dan keluargamu. Tunjukkanlah kepadaku di mana pasar.”

Kisah ini sangat mengagumkan. Bagaimana mungkin ada seorang manusia yang rela memberikan separuh harta yang dimilikinya untuk saudara seimannya. Dan, lebih mengagumkan lagi, bagaimana ada seorang manusia yang mendapat tawaran harta lalu menolaknya dengan penuh kesantunan.

Berbeda dengan saat ini, di mana sebagian orang yang kaya memiliih hidup kikir dan yang miskin begitu bernafsu mendapatkan bantuan. Bahkan umumnya, manusia kini sibuk berlomba-lomba mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Sebagian besar malah tidak peduli lagi dengan cara mendapatkannya, halal atau haram, semuanya disikat habis.

Sebagai seorang Muslim, kisah antara Saad bin Rabi' dan Abdurrahman bin Auf sangat layak dijadikan bahan renungan bagi kita semua, guna meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Keduanya sama sekali tidak terbelenggu oleh kenikmatan harta dunia.

Sebagai seorang Muslim yang memulai hidup baru, dengan hanya memiliki pakaian di badan, Abdurrahman bin Auf memiliki etos kerja yang tangguh. Visinya untuk menjadi seorang Muslim yang paling bermanfaat bagi perjuangan umat Islam, mengantarkannya sebagai seorang pedagang sukses. Sampai akhirnya dia berhasil menjadi konglomerat.

Tetapi, karena visi ukhrawinya yang kuat, ia tidak terjebak pada kekayaan yang digenggamnya. Ia berhasil keluar dari jebakan harta dunia yang telah menenggelamkan Qarun dan menistakan Tsa'labah.

Seolah tidak mau kalah dari Saad bin Rabi' yang begitu dermawan, ketika ia telah menjadi seorang konglomerat, seluruh harta yang dimilikinya, sepenuhnya disedekahkan untuk perjuangan dan kelangsungan hidup umat Islam. Bahkan, Abdurrahman bin Auf telah menyumbangkan 700 ekor unta dan muatannya untuk umat Islam. Suatu peristiwa istimewa yang tentu untuk hari ini sangat langka kita menemukannya.

Siapa yang lebih memilih mencintai harta dunia daripada mencintai Allah dan Rasul-Nya, maka belumlah sempurna keimanannya. (QS Ali Imran [3]: 92). Padahal, hanya dengan kesempurnaan iman visi seorang Muslim benar-benar akan merealita. Yakni, menjadi manusia yang paling bermanfaat bagi yang lainnya.
Oleh: Imam Nawawi
sumber : www.republika.co.id

Tuesday, October 09, 2012

Berlapang Dada

Kesuksesan seseorang diawali dengan sikap lapang dada menghadapi berbagai tantangan. Orang sempit dada sulit maju karena kekerdilan dan kepicikan jiwa.

Agar sukses dalam membawa misi, Nabi Musa memohon kelapangan dada. Berkata Musa, “Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku.” (QS Thaha [20]: 25).

Sebelum Rasulullah SAW mengemban tugas risalah, beliau juga dilapangkan dadanya terlebih dahulu. “Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?” (QS Al-Insyirah [94]: 1).

Walau Nabi SAW sudah dilapangkan dadanya, saat menghadapi hinaan kaum Quraisy, masih merasa kesempitan dada. Allah menegaskan, “Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan.” (QS Al-Hijr [15]: 97).

Intimidasi kaum Quraisy ini mendesak Rasulullah untuk meminta perlindungan kerabatnya di Thaif. Namun, saat ke Thaif beliau dilempari batu oleh budak-budak yang dikerahkan oleh para tuan mereka. Saking beratnya penderitaan Nabi saat itu, Allah mengutus Malaikat Jibril dan menawarkan diri untuk menyiksa panduduk Thaif.

Namun, Rasul SAW tak ingin melakukan hal itu. Beliau hanya berdoa, “Ya Allah berilah petunjuk kaumku karena mereka tidak mengetahui.”

Allah berfirman, “Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (shalat), dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).” (QS Al-Hijr [15]: 98-99).

Berdasarkan ayat di atas, untuk menghadapi berbagai penyebab kesempitan dada, Allah memberikan petunjuk tiga hal. Pertama, memperbanyak zikrullah, bertasbih dengan memuji Allah. Zikrullah adalah penyebab masuk surga. (QS Ali Imran [3]: 133-134). Zikrullah adalah amalan utama untuk menuju surga dan dengan zikrullah hati menjadi tenang. (QS Ar-Ra’du [13]: 28).

Abdullah bin Bashar RA meriwayatkan, seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya pintu kebajikan sangat banyak dan aku tidak bisa melaksanakan semuanya, maka beritahukan kepadaku suatu amalan yang bisa aku selalu pegang tapi tidak terlalu banyak, nanti aku lupa.” Beliau menjawab, “Hendaklah lisanmu selalu dibasahi dengan zikrullah.” (HR Tirmizi).

Kedua, memperbanyak sujud. Dengan banyak sujud berarti kita banyak menunaikan shalat, khususnya yang wajib ditambah dengan nawafil (sunah). Dan ini adalah sebab masuk surga.

Rabi’ah bin Ka’b Al-Aslami berkata, “Aku menginap di rumah Rasulullah untuk melayani wudhu dan semua kebutuhannya.” Lalu beliau bersabda, “Mintalah (sesuatu) kepadaku!” Aku berkata, “Aku memohon agar bisa bersamamu di surga.” Beliau bersabda, “Apakah tidak ada yang lain?” Aku menjawab, “Itu saja.” Lalu Beliau bersabda, “Untuk itu, bantulah aku dengan memperbanyak sujud.” (HR Muslim dan Abu Daud).

Ketiga, menjadikan semua aktivitas hidup dalam kerangka ibadah kepada Allah. (QS Al-An’am [6]: 162). Kalau kita memiliki etos hidup seperti ini, kita akan merasa nyaman karena senang bersyukur dan susah bersabar, semua akan berpahala.
Oleh: Prof Dr Achmad Satori Ismail
sumber : www.republika.co.id

Monday, October 08, 2012

Pergi Sehat, Pulang Semangat

BERKENDARA di jalan raya dan bergulat dengan kemacetan merupakan rutinitas harian yang sulit dihindari. Polusi udara akibat asap knalpot kendaraan bercampur debu jalanan di saat musim kemarau, menebarkan aneka polutan berbahaya bagi kesehatan. Rumah Sehat adalah pilihan tepat bagi jiwa dan raga untuk melepas lelah dan meminimalkan pengaruh racun polusi.

Dalam sebuah seminar nasional bertema "Proyeksi Iklim dan Kualitas Udara 2010-2014", beberapa waktu lalu di Bandung menyimpulkan bahwa tingkat polusi udara di Jawa Barat diklaim tertinggi di Indonesia. Dikatakan Afif Budiyono, Kepala Bidang Pengkajian Ozon dan Polusi Udara Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) bahwa biangnya polusi udara adalah pertambahan jumlah penduduk, jumlah kendaraan bermotor, dan polusi industri.

Debu-debu jalanan dan kemacetan lalu-lintas seolah jadi penyedia polutan asap kendaraan yang harus diterima pengguna jalan dengan penuh keterpaksaan. Uji emisi kendaraan meskipun sudah ada aturannya tetapi dalam pelaksanaan masih sulit diterapkan. Taman-taman kota, yang jadi tumpuan harapan sebagai penangkap debu dan pemberi oksigen penetral polutan, tidak berfungsi dengan baik karena kurangnya perawatan dan pengelolaan.

Kompleksitas permasalahan polusi udara di jalan tidak serta-merta dapat tertangani dengan cepat. Banyak faktor perlu dipertimbangkan, misalkan pembatasan kendaraan bermotor dan monitoring kualitas emisi asap kendaraan, haruslah diimbangi dengan keseriusan pemerintah dalam hal ketersediaan sarana umum transportasi dan penegakan aturan hukum tentang emisi.

Penyelesaian bijak penolak polusi udara untuk jangka pendek dan sederhana bisa dimulai dari rumah. Targetnya adalah Rumah Sehat, seperti dinyatakan dalam Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), merupakan rumah yang dapat memberikan kesehatan, rasa aman dan nyaman bagi penghuninya, sehingga mereka dapat hidup dan beraktifitas secara optimal. Pengertian rumah disini mencakup ruangan yang ada didalam rumah, halaman dan area di sekelilingnya.

Persyaratan kualitas udara dalam ruang rumah, menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1077/MENKES/ PER/V/ 2011 tentang Pedoman Penyehatan Udara Dalam Ruang Rumah diantaranya : Suhu 18 - 30 oC, Pencahayaan Minimal 60 Lux, Kelembaban 40 - 60 % Rh, Laju Ventilasi (pertukaran) Udara 0,15 - 0,25 meter/detik, Partikel debu diameter 2,55 (PM 2,5) dalam 24 jam maks 35, Partikel debu diameter 105 (PM 10) dalam 24 jam maks 70, Bebas Jamur dan Bakteri Patogen, dan Angka Kuman kurang dari 700 Coloni Form Unit (CFU)/m3. Sedangkan sumber pencemaran kimia yang berasal dari cemaran bahan bakar yang tidak ramah lingkungan seperti arang, kayu bakar dan batu bara, cat atau material yang mengandung Timbal (Pb) dan asap rokok tidak boleh melebihi ambang batas yang telah ditetapkan.

Upaya penyehatan dalam ruang rumah wajib dilakukan agar tercipta Rumah Sehat dan menjadi penyemangat setelah pulang kerja atau beraktifitas, melewati jalan dan lingkungan yang dipenuhi polutan. Beberapa parameter Rumah Sehat seperti ketersediaan sirkulasi atau aliran udara bersih (minimal 10 % luas lantai dengan sistem ventilasi silang), suhu dan kelembaban udara merupakan faktor penting untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme. Ketiganya juga menciptakan lingkungan tempat tinggal yang nyaman dan sehat, terhindar dari ancaman berbagai penyakit.

Parameter lain yaitu partikel debu, berpotensi terhadap gangguan paru-paru, sistem pernafasan, alergi dan bronchitis khronis berasal dari sisa partikel asap rokok, dan debu jalanan yang menempel pada perabotan rumah tangga.

Langkah menuju Rumah Sehat dimulai dari beres-beres rumah dengan urutan kerja sebagai berikut : memilah dan memisahkan barang-barang yang tidak terpakai, membersihkan rumah dari debu dan kotoran, dan merapikan rumah. Periksa pula apakah sirkulasi udara cukup, dan beri kesempatan sinar matahari menyinari bagian rumah yang memungkinkan. Jangan lakukan kegiatan merokok di dalam rumah, karena sisa polutannya (nikotin) akan bertahan lama menempel pada dinding dan perabot rumah.

Lindungi sekeliling rumah dengan tanaman penangkal debu yang cocok selera (tanaman hias atau pagar tanaman) dan hiasi bagian dalam rumah dengan tanaman anti polusi seperti lidah mertua, lidah buaya dan tanaman anti polusi lainnya. Tentang lidah mertua (sansevieria) berdasarkan penelitian NASA mampu memerangi polusi ruangan dan terus-menerus menyerap zat berbahaya di udara, dan mudah tumbuh di lingkungan manapun.

Bila hal itu terjadi, siapa pun akan rindu pulang ke Rumah Sehat. Dan yang pasti, pergi kerja atau beraktifitas lain dengan badan sehat, pulangnya berbuah semangat karena kenyamanan dan kesehatan menanti dirumah.
(Penulis, alumnus Kimia ITB, pemerhati lingkungan hidup, teknologi pangan, kesehatan, kimia pangan dan praktisi di industri pangan)**
Oleh : JOHANES KRISNOMO
Galamedia
senin, 01 oktober 2012 01:34 WIB

Sunday, October 07, 2012

Kearifan Lokal di Era Digital

KITA tahu, Indonesia dihuni berbagai latar etnik. Di negeri tercinta ini, ada sekitar lebih dari 17.500 pulau, 400 bahasa lokal, dan 600 etnis. Apabila dikelola secara baik, tentu saja akan menjadi kekuatan besar untuk membangun bangsa. Namun di tengah perkembangan zaman, setiap generasi bermetamorfosa, baik secara kultural, sosial, filsafat, dan pandangan hidup.

Indonesia masih menyisakan narasi kultural yang diwakili masyarakat Indonesia yang kukuh dengan warisan falsafah hidup lokal. Mereka berada di pelosok-pelosok desa yang tidak ngeh dengan kebudayaan dari luar. Biasanya, komunitas seperti ini terdapat di lingkungan masyarakat adat, kampung yang jauh jaraknya dengan perkotaan, dan jika dekat dengan kota, mereka punya peraturan ketat untuk terus kukuh terhadap adat-istiadat.

Selain itu, di negeri kita juga masih menyisakan narasi kultural yang diwakili kalangan muda Indonesia yang telah "melek" dengan kebudayaan dari luar. Generasi muda Indonesia ini, lahir sebagai etnik Indonesia, hidup di wilayah yang banyak dihuni beragam kebudayaan, hingga membentuk pola pikir yang plural dan melahirkan laku yang menjauh dari adat-istiadat keindonesiaan. Mereka, biasanya, berasal dari pelajar sekolah, mahasiswa, dan kaum tua "gila" dengan ideologi kapitalisme yang dibawa arus globalisasi, yang terbujuk rayu globalisasi hingga meminggirkan nilai-nilai lokal dalam hidup kesehariannya.

Bumi pertiwi ini juga masih dihuni masyarakat pada narasi kultural yang menyisakan kerinduan terhadap identitas kultural aslinya, tanpa terperangkap pada konsumerisme buta. Mereka memiliki pola pikir yang sama dengan generasi Indonesia plural, karena melek dengan perangkat globalisasi (seperti HP, internet, video digital, komputer, note book, dll); tapi punya kekhasan kultural seperti yang dipegang secara kukuh oleh masyarakat adat.

Narasi kultural yang ketiga inilah yang kita butuhkan eksistensinya di era kini. Istilah sosiologis untuk menyebut narasi ketiga ini --mengutip pendapat sosiolog kontemporer Roland Robertson (1992)-- ialah masyarakat glokal (global and local); berpikir global bertindak lokal. Secara sosiologis, mereka melakukan sebuah gerakan kultural dengan cara memanfaatkan perangkat atau produk globalisasi untuk mengeksiskan identitas lokalitas, seperti menulis di website, blog, dan media sosial di internet, dengan konten kebudayaan lokal. Gerakan ini sangat penting bagi bangsa Indonesia agar memicu lahirnya kekuatan bangsa. Karena perkembangan teknologi --seperti kehadiran komputer dan internet-- menjadi keniscayaan dimanfaatkan oleh masyarakat lokal dalam mengeksiskan eksistensi etnik kultural di Indonesia kepada dunia.

Kreasi berbasis teknologi tanpa melupakan jati diri lokalitas warga menjentik kita, jangan melupakan keaslian jati diri bangsa. Kuntowijoyo (Budaya dan Masyarakat, 2006: 6), berpendapat dalam budaya kita akan ditemukan adanya tiga komponen pokok, yaitu lembaga budaya, isi budaya, dan efek budaya (norma-norma). Lembaga budaya menanyakan siapa penghasil produk budaya, pengontrol, serta bagaimana kontrol itu dilakukan. Isi (substansi) budaya menanyakan apa yang dihasilkan atau simbol-simbol apa saja yang diusahakan. Sementara itu, efek budaya menanyakan konsekuensi apa yang diharapkan.

Kini kebudayaan digital seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Hampir setiap lorong kehidupan manusia ter-digitalisasi hingga menciptakan ruang penuh keterasingan diri dari realitas sosial. Saat ini, kita sedang menghadapi wabah kecanduan perangkat yang mampu menghadirkan informasi secara digital. Kehadiran gadget super cerdas seperti Ipad, Iphone, Blackberry, dan Apple iBooks, menciptakan kebudayaan berkomunikasi baru pada sebagian masyarakat melek informasi. Tak hanya itu, merebaknya jejaring sosial facebook dan situs microblogging Twitter juga menginisiasi gaya manusia modern ketika mencari informasi untuk menambah wawasan.

Fenomena ini melahirkan semacam digitalisasi ide-ide yang dapat membangun kolektivitas bangsa oleh masyarakat melek informasi, melalui perangkat teknologi sebagai gudang mencari informasi. Isu-isu lokal kedaerahan di era digital ini pun dapat disebarkan secara massif. Dalam dunia pewayangan, kita selalu menemukan "pertarungan dahsyat" antara Pandawa dan Kurawa, yang sebetulnya mimesis sikap kita terhadap arus kapitalisme yang dilakukan masyarakat pada narasi kultural yang ketiga (globalisasi). Konfigurasi tokoh serupa Semar, merupakan petanda pentingnya kearifan dan kebijaksanaan dalam menyikapi perkembangan zaman.

Falsafah hidup warga -- yang kini sedang berada di alam teknologis baru -- sangat mendesak dihadirkan di aras kebudayaan digital. Eksistensi media-media baru merupakan tempat yang begitu cocok untuk dijadikan kanal informasi ikhwal kearifan hidup ketika berbangsa dan bernegara. Bangsa yang terdiri dari aneka ragam suku, agama, status sosial, dan kepercayaan berbingkai spiritualitas agama dan kearifan lokal, mesti dijadikan modal atau kekuatan.

Mengkaji ulang warisan budaya adalah sebuah keniscayaan, apalagi dalam konteks kekinian, Indonesia diklaim sebagai salah satu negara yang tingkat kekerasannya terbilang tinggi. Setiap warga sejatinya aktif menanggulangi persoalan kekerasan, misalnya teror, pemiskinan struktural, dan impor bahan pokok dengan memanfaatkan kebebasan berpendapat di dunia maya. Kita tidak mengharapkan kerawanan sosial menggejala ke permukaan. Dan, kita berharap pada internet --melalui akses digitalnya-- dapat menyebarkan pemahaman toleran atas perbedaan yang niscaya hadir di Indonesia.
(penulis, adalah blogger dan pegiat media sosial)**
Oleh : Sukron Abdilah
Galamedia
kamis, 04 oktober 2012 01:14 WIB

Saturday, October 06, 2012

Mengembalikan Cinta Kasih

Sungguh sangat memprihatinkan kita semua bahwa tawuran antarpelajar semakin menjadi-jadi dalam skala yang lebih luas dan brutal.

Kematian seorang pelajar dalam kondisi yang sangat mengenaskan beberapa hari yang lalu sebagai korban tawuran antardua, sekolah menambah panjang daftar korban dari kejadian ini.

Sulit dipahami oleh akal dan nalar yang sehat hal ini bisa terjadi. Para pelajar berangkat pagi atau siang dari rumahnya masing-masing menuju sekolah dengan tujuan utama mau belajar.

Di sekolah mereka mendapatkan berbagai ilmu pengetahuan dan informasi yang berguna bagi kehidupan mereka di masa yang akan datang. Para guru yang mengajar adalah orangorang yang secara formal telah memenuhi kriteria mengajar, bahkan mungkin di antara mereka sudah me miliki sertifikat mengajar.

Tetapi, ketika mereka pulang dan bertemu dengan sesama temannya dari sekolah lain yang seharusnya saling menyapa dengan penuh keceriaan dan persahabatan, tanpa sebab yang jelas langsung terjadi tawuran, mereka saling melukai, menyakiti, bahkan membunuh.

Tampak jelas dari sikap dan gaya mereka dalam tawuran tersebut, nafsu amarah yang muncul dan mendominasi serta mengalahkan secara total rasa cinta dan kasih sayang.

Allah SWT berfirman dalam QS Yusuf [12] ayat 53: “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh pada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Mahapengampun lagi Mahapenyayang.”

Ketika nafsu amarah ini yang berperan maka keburukan, kejahatan, dan kerusakanlah yang akan dilakukannya. Tetapi sebaliknya, jika rasa kasih sayang dan cinta pada sesama yang ditanamkan dan melekat dalam hati sanubari yang dalam, maka kedamaian, keselamatan, dan menyelamatkan orang lain yang akan menjadi kepribadiannya.

Dalam perspektif inilah kita memahami pesan Rasulullah SAW bahwa seorang Muslim yang paling utama itu adalah yang mampu menyelamatkan orang lain dari gangguan lisan dan tangannya (al-muslimu man salima almuslimuuna min lisaanihi wayadihi) [HR Bukhari]).

Pendidikan yang berlangsung di rumah, di sekolah, maupun di tengah masyarakat, harusnya berorientasi pada penanaman nilai-nilai cinta dan kasih sayang pada sesama manusia dan juga pada makhluk lainnya. Orang tua di rumah harus menjadi orang yang paling mencintai anaknya (dengan kecintaan yang benar); di sekolah para guru harus menjadi orang yang paling mencintai dan dicintai murid-muridnya. Demikian pula di tengah masyarakat.

Jika yang dibangun rasa cinta yang bersumber dari iman dan tauhid kepada Allah, maka insya Allah tawuran antarpelajar, antarmahasiswa, dan bahkan antarpenduduk bisa diatasi dengan sebaik-baiknya. Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Oleh: Prof Dr KH Didin Hafidhuddin     

sumber : www.republika.co.id

Friday, October 05, 2012

Jalanan juga Punya Hak

Diceritakan bahwa suatu hari Rasulullah SAW menegur para sahabat dan orang-orang Muslim yang sedang bergerombol duduk di pinggir jalan. Mereka bercengkerama dan berdiskusi di tempat itu lantaran tidak adanya balai pertemuan. Rumah-rumah mereka juga tidak begitu luas.

Rasulullah menegur mereka untuk pindah dari tempat itu dan meninggalkan kebiasaan lama bergerombol dan mengobrol di pinggir jalan. Namun, para sahabat keberatan karena tidak ada tempat yang layak untuk berkumpul.

“Ya Rasulullah, kami terpaksa memakai tempat ini sebagai tempat berdis kusi.” Kemudian Rasul bersabda, “Kalau memang kalian enggan pindah, maka tunaikanlah haknya.” Para sahabat itu bertanya, “Apakah hak jalan itu?”

Pertama, Rasul menjawab, ghaddul bashar, yaitu menundukkan pandangan. Setan akan terus berusaha dengan segala macam cara untuk menggelincirkan manusia dari jalan ketaatan menuju kemaksiatan.

Begitu banyak kenikmatan sesaat dan pemandangan elok di sekitar jalan. Saat kita menurutinya, kita telah melakukan kemaksiatan dan tanpa sadar hal itu akan melalaikan diri dari ibadah. Menundukkan pandangan adalah solusi agar kita terus ingat hakikat diri bahwa kita seorang hamba yang patut berlindung kepada Allah SWT.

Kedua, kafful adzaa, yakni tidak mengganggu dan menyakiti orang lain. Duduk-duduk di sekitar jalan tanpa pekerjaan akan mengakibatkan kekosongan pikiran. Hal itu dapat menggiring pada tindakan yang tidak bermanfaat, seperti ghibah, mengumpat, mengganggu pejalan kaki, hingga menyakiti orang lain. Semuanya seakan tampak menyenangkan, padahal hakikatnya sangatlah merugikan.

Ketiga, raddus salam, menjawab salam. Menebar salam sesama Muslim merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan, terlebih menjawabnya. Tidak akan gugur kewajiban menjawab salam bagi sekelompok orang, hingga salah satu dari mereka ada yang menjawabnya. Dengan menebar dan menjawab salam di jalan, selain sebagai bentuk doa, juga menjadi media untuk saling mengenal sehingga akan tercipta keamanan dan ketertiban.

Keempat, al-amru bil ma’ruf, mengajak pada kebaikan. Meski berada di jalan, hendaknya tetap melakukan kebaikan. Kebaikan tidak harus dalam bentuk besar, tapi juga bisa dengan cara yang kecil dan mudah. Misalnya menunjukkan arah (lokasi) yang benar bagi pejalan kaki atau orang-orang yang membutuhkan informasi penting.

Adapun hak jalan kelima yang wajib dipenuhi adalah an-nahyu ‘anil munkar, mencegah kemunkaran. Pada dasarnya setiap pribadi manusia adalah khalifah di muka bumi. Ia memiliki tugas menebar kebaikan dan mencegah kemungkaran sesuai kemampuannya. Caranya bisa dengan tindakan, ucapan, maupun sekadar ketukan dalam hati. Sesungguhnya Allah SWT tidak membebani manusia melebihi batas kemampuannya. (QS Al-Baqarah [2]: 286.

Sungguh indahnya saat pengguna jalan, mulai dari pejalan kaki hingga mereka yang duduk-duduk di sekitar jalan untuk saling menghargai dan menunaikan haknya. Suasana tenang pasti akan terasa. Keamanan akan tercipta dan kesemrawutan jalan akan sirna karena setiap pribadi tak lagi mementingkan dirinya sendiri.

Oleh: M Sinwani
sumber : www.republika.co.id