-

Sunday, September 30, 2012

Merindukan Pemimpin nan Adil

Alkisah yang terdapat dalam buku Dakwah yang ditulis Fethullah Gulen, Sa’ad Ibn Abi Waqqash RA —sahabat Nabi Muhammad SAW, yang termasuk salah seorang dari 10 sahabat nabi yang akan memperoleh surga— adalah seorang panglima perang tentara Islam yang sukses menaklukkan musuh-musuh Islam pada saat itu.

Ia juga termasuk menaklukkan Persia pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khathab RA. Atas kesuksesannya itu, Sa ad Ibn Abi Waqqash dipercaya Khalifah Umar untuk menjadi gubernur di beberapa daerah yang telah ditaklukkan.

Pada suatu waktu, seorang rakyat miskin yang tinggal di wilayah kekuasaan Sa’ad mengadukan sang gubernur kepada Khalifah Umar bin Khathab, karena perlakuan kesewenang- wenangan seorang gubernur yang dianggap menzalimi rumah pribadinya.

Padahal, kebijakan pemerintah Khalifah Umar, tidak dibenarkan seorang gubernur daerah berlaku sewenang-wenang terhadap rakyat yang berada di bawah kepemimpinan kekuasaannya.

Jika hal tersebut dilakukan, sama artinya dengan melakukan suatu tindakan kemunkaran. Kemudian Umar bertanya kepada yang mengadukan. “Apakah ada keluhan lain selain yang Anda rasakan itu dari gubernur.”

Penggugat menjawab, “Ada, sesungguhnya gubernur Sa’ad lalai dalam mendirikan shalat berjamaah.”

Umar menduga pengaduan yang diajukan itu, sepertinya mustahil dilakukan seorang sahabat terkemuka seperti Sa’ad Ibn Abi Waqqash yang tidak dapat menunaikan shalat berjamaah secara istiqamah.

Sikap Khalifah Umar bin Khathab sebagai pemimpin pemerintahan tertinggi, berani dan tegas mengambil tindakan hukum. Jika ada yang benar, akan dikatakan benar. Sebaliknya, jika terbukti bersalah kepada siapa pun, dia akan menegakkan aturan sesuai dengan hukum yang berlaku.

Umar akan bersikap adil, tidak diskriminatif dalam menyelesaikan masalah hukum, termasuk kepada Gubernur Sa’ad Ibn Abi Waqqash. Prinsip yang dipegang Umar adalah Alquran yang menjadi firman Allah SWT, “.... apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil ...” (QS An-Nisa [4]: 58).

Tampaknya, kondisi bangsa kita saat ini sedang diuji dengan berbagai tindakan kekerasan, teror antara satu kelompok terhadap kelompok lainnya. Akibatnya, menimbulkan korban jiwa meninggal dunia dan kerugian finansial yang cukup banyak, seperti terjadi di Sampang, Madura.

Akar masalahnya, antara lain, karena lemahnya penegakan hukum dengan adil, sikap diskriminatif dari penegak hukum sehingga menyentuh pe rasaan keadilan yang paling dalam dari suatu kelompok masyarakat.

Di samping itu, dampak dari lemahnya penegakan hukum itu juga mengakibatkan tidak adanya sikap jera dari orang-orang yang melanggar hukum. Sehingga, mereka selalu memiliki keinginan mengulangi perbuatan tersebut.

Sesungguhnya, peristiwa Sampang, Madura, harus menjadi pelajaran berharga bagi kita bersama. Kita berharap, kasus serupa tidak terulang lagi, dimana pun di bumi pertiwi yang kita cintai ini. Bangsa kita membutuhkan hadirnya seorang pemimpin yang berani menegakkan keadilan secara arif di tengah masyarakat Indonesia yang heterogen. Wallahu a’lam.
Oleh: Nanat Fatah Natsir

sumber : www.republika.co.id

Saturday, September 29, 2012

Bekal Hidup

HIDUP ini adalah sebuah perjalanan menuju keabadian. Keabadian yang sesungguhnya. Dalam perjalanan hidupnya, manusia mengalami beberapa fase. Salah satu alam yang dihuni manusia ialah alam dunia. Manusia dilahirkan ke alam dunia dalam keadaan suci tanpa dosa, seperti kertas putih. Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah dalam hadis yang artinya, "Tiap-tiap yang lahir, dilahirkan dalam keadaan suci. Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya beragama Yahudi, Nasrani atau Majusi" (H.R. Baihaqi)

Di alam dunia ini kita dihadapkan dengan berbagai macam cobaan dan ujian yang datang dari Allah swt. untuk mengukur sejauh mana keimanan dan ketakwaan yang dimiliki seseorang. Apakah ia benar-benar seorang yang beriman dan bertakwa?atau justru ia akan lari dan ingkar dari Allah.

Allah swt. berfirman, "Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan berkata, kami telah beriman, sedang mereka tidak diuji?" (Q.S. Al Ankabut: 2), juga dalam firman-Nya, "Dan sungguh Kami akan mencoba kamu dengan sesuatu dari ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan" (Q.S. Albaqarah: 155).

Sekarang pertanyaannya adalah apakah kita termasuk kategori orang yang beriman dan bertakwa atau justru sebaliknya. Tentu jawabannya ada pada diri kita masing-masing.

Selain itu, kita hidup di dunia ini tiada lain hanyalah diciptakan untuk beribadah kepada Allah swt. Baik ibadah yang berupa hablumminallah ataupun yang berupa hablumminannas. Ibadah bukan hanya saja yang sifatnya ritual. Namun jauh lebih dari itu, ibadah yang sifatnya sosial merupakan ibadah yang luar biasa di hadapan Allah swt.

Semua ibadah yang kita laksanakan hendaklah didasari ikhlas hanya semata karena Allah swt. Ikhlas inilah yang merupakan salah satu syarat ibadah kita diterima. Firman Allah, "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus" (Q.S. Albayyinah: 5).

Oleh karena itu, marilah kita isi hidup kita dengan selalu berusaha untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah. Jadikanlah takwa sebagai bahan bekal untuk hidup kita karena sebaik-baiknya bekal adalah takwa.

"Berbekalah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa" (Q.S. Albaqarah: 197). Kemudian perbanyaklah amal ibadah disertai dengan ikhlas, sebagai bekal kita untuk menuju alam akhirat. Karena dunia ini ibarat jembatan yang akan menghantar kita ke alam yang abadi, yakni alam akhirat. Tidak ada manusia yang hidup selamanya di dunia ini.

Allah berfirman, "Tiap-tiap yang bernyawa akan merasakan mati" (Q.S. Ali-Imran : 185). Di sanalah semua perbuatan kita akan dimintai pertangung jawabannya.
(Penulis adalah guru Al Biruni dan pengurus DKM Masjid Thariqul Huda Panyileukan Cibiru, Bandung)**
Galamedia
jumat, 21 september 2012 00:44 WIB
Oleh : Muhamad Nuzul Nurulhuda

Friday, September 28, 2012

Kisah Juru Damai

Dikisahkan bahwa orang-orang Yahudi yang menjadi musuh kaum Muslimin dan bangsa Arab sejak permulaan sejarah merasa terancam pasca bersatunya kaum Aus dan Khazraj di Madinah sejak kedatangan Rasulullah SAW.

Sebagian mereka bahkan menyatakan marabahaya telah dekat jika kedua kaum tersebut bersatu dalam kedamaian. Sebagian yang lain menyatakan tidak akan bisa hidup jika bangsa Arab bersatu.

Hal tersebut karena peperangan antara kaum Aus dan Khazraj telah berlangsung sekitar 120 tahun, hingga kemudian Allah melunakkan hati mereka dengan juru damai Islam, Rasulullah SAW.

Mereka berada di ujung api neraka disebabkan kemusyrikan dan kekufuran serta perselisihan di antara mereka, sampai kemudian Allah SWT menyelamatkan mereka dengan memberikan petunjuk keimanan.

Hingga suatu ketika, salah seorang Yahudi duduk dalam satu majelis yang di dalamnya terdapat kaum Aus dan Khazraj, seraya mengingatkan mereka pada peristiwa Bu’ats (hari terjadinya perang sengit antara Bani Aus dan Bani Khazraj pada masa jahiliyah). Yahudi tersebut melantunkan syair-syair dengan maksud membangkitkan kedengkian dan dendam di antara kedua kaum tersebut.

Dan tidak berselang lama, syair-syair tersebut telah berhasil memengaruhi jiwa kedua kaum, sehingga keduanya mulai saling melakukan provokasi. Kedua kaum di Majelis tersebut bahkan sempat mengundang anggotanya untuk bersiap-siap perang lengkap dengan senjatanya, sebagaimana yang terjadi pada masa jahiliyah.

Kemudian Rasulullah mendatangi mereka dan berkata, "Apakah kalian akan kembali ke zaman jahiliyah, sedangkan aku berada di antara kalian?" Rasulullah SAW mengingatkan mereka bahwa orang-orang Yahudi tidak senang melihat bangsa Arab bersatu.

Mereka menyebarkan fitnah agar bangsa Arab kembali kepada kekafiran dan berselisih sebagaimana yang terjadi pada masa jahiliyah, sehingga kemuliaan dan kekuasaan tetap berada di tangan bangsa Yahudi.

Apa yang disampaikan Rasulullah SAW membuat kaum Aus dan Khazraj sadar dan saling menyesali perbuatan mereka. Mereka meletakkan senjatanya sambil menangis dan berpelukan. Perdamaian antara kaum Aus dan Khazraj tercapai dan lalu turun ayat Al-Qur'an, "Dan berpeganglah kamu semuanya pada tali  (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai..." (QS. Ali Imran: 103).

Betapa miripnya tahun ini dengan seribu tahun lalu, dan betapa miripnya masa kini dengan masa lalu. Demikianlah bangsa Yahudi saat ini, tepatnya bangsa Israel atau kaum zionis di dunia,   mereka meyakini bahwa tidak ada kehidupan jika umat Islam dan bangsa Arab bersatu.

Persatuan kaum Muslimin membuat mereka tidak dapat tidur nyenyak, sehingga siang dan malam, sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, mereka berupaya untuk menjadikan kaum muslimin berselisih agar mereka mendapatkan keuntungan, kedudukan dan kekuasaan.

Maka lihatlah wahai kaum Muslimin dan bangsa Arab apa yang mereka lakukan dan mari merapatkan barisan untuk selalu bersama dalam kesatuan serta berdoa kepada Allah SWT agar menyatukan barisan kaum Muslimin. Maka setiap orang mukmin yang bertakwa, berpegang teguh pada agama Allah, melakukan perbuatan baik akan menuai kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.

Allah SWT berfirman, "Barang siapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik  dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (QS. An-Nahl: 97). Wallahu a'lam.
   
Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA
sumber : www.republika.co.id

Thursday, September 27, 2012

Membaca Hati

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia.” (QS [96]: 1-3).

Setiap saat kita membaca banyak hal. Yang tertulis maupun yang tersirat. Dari membaca berita sampai membaca apa yang terjadi pada lingkungan kita. Namun, sering kita lupa membaca dan menyimak apa-apa yang berlangsung di dalam diri kita.

Manusia diciptakan dari segumpal darah ('alaq) dan di dalam dadanya ada segumpal daging (mudghah). Kata Nabi SAW, bila segumpal daging itu baik maka baik diri keseluruhannya. Namun, bila segumpal daging itu buruk, buruk diri keseluruhannya. Itulah yang dinamakan hati.

Karenanya, bacalah setiap saat kondisi hati kita. Sedang was-waskah dia? Sedang gelisahkah dia? Sedang takutkah dia? Sedang dengkikah dia? Iqra, iqra, iqra! Seperti penggalan lagu religi bertajuk “Jagalah Hati”: jagalah hati jangan kau nodai, jagalah hati pelita hidup ini.

Kita tidak mungkin menjaga sesuatu yang tidak kita sadari keberadaannya. Karena itu, bacalah hati setiap saat, agar kita sadar akan keberadaan dan aktivitasnya. Karena kondisi hati yang baik membuat diri menjadi baik keseluruhannya.

Jika hati kita terasa bersih, bersyukurlah. Sebaliknya, jika hati sedang terasa buruk, akuilah sebagai amanah, akuilah sebagai ujian, akuilah bahwa perasaan negatif hanyalah ilusi. Semata-mata kita yang membuatnya. Karena tidak selayaknya makhluk Allah yang sempurna ini (“sempurna” dalam skala dunia) mempunyai jiwa yang tidak sempurna.

Allah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (QS [95]: 4), dan meniupkan ruh-Nya yang mulia kepada nenek moyang kita Adam, sehingga bersujudlah seluruh alam semesta kepada Adam. Jika bersih hati kita, itulah fitrah. Jika kotor hati kita berarti ada dusta sedang berlangsung.

Kita sedang tidak menjadi diri sejati kita. Dan, harus ada ikhtiar yang kita lakukan untuk mengembalikannya kepada fitrahnya. Dengan zikrullah, dengan berulang-ulang meyakinkan diri bahwa perasaan-perasaan kita-baik yang nyaman maupun tak nyaman, semuanya adalah amanah sekaligus ujian. Dan, bahwa kalau tak nyaman berarti kita sedang tak sesuai fitrah.

Maka, perlahan-lahan tapi pasti, kita sedang meninggikan ruh kita yang mulia di atas perasaan-perasaan kita. Dan, meninggikan kehendak Allah di atas keinginan-keinginan kita. Jika tidak, alih-alih menjadi ciptaan paling mulia, kita justru jatuh kepada derajat binatang ternak. (QS [25]: 43-44). “Sungguh berbahagia orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (QS [91]: 9-10).

Jika kita terus-menerus membaca hati kita dan membersihkannya, insya Allah kita akan sampai pada derajat jiwa yang muthmainnah dan kelak kembali menghadap Allah dalam keadaan puas dan diridai-Nya. “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diridai-Nya, maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS [89]: 27-30). Bacalah alam semesta, bacalah segala yang baik-baik. Agar mulia, jangan pernah lupa setiap waktu, bacalah hati!
Oleh: A Riawan Amin
sumber : www.republika.co.id

Wednesday, September 26, 2012

Plagiarisme dan Logika Kekuasaan

JIKA ada yang berujar pendidikan ibarat kompetisi. Itu mungkin benar adanya. Ungkapan tersebut berdasar pada pendidikan kekinian yang memacu segala keunggulan untuk mendapat hasil tinggi. Proses pendidikan pun seakan terbutakan oleh nafsu yang bergejolak.

Sejumlah catatan kecurangan dalam pendidikan, akhir-akhir ini berdengung dibicarakan di tengah kondisi rakyat yang terpuruk. Kecurangan tersebut sudah merasuk pada setiap lini pendidikan. Sampai intelek sekaliber dosen pun tersandung penjiplakan karya tulis ilmiah.

Kasus yang terakhir, jelas menyisakan luka berbekas dalam tubuh pendidikan Indonesia. Institusi perguruan tinggi sekalipun tidak menjamin dapat meredam praktik kecurangan. Sekadar gambaran, beberapa waktu lalu, media ramai mengabarkan tentang tiga dosen salah satu PT di Bandung yang diduga melakukan plagiarisme dalam karya tulisnya saat proses pengajuan menjadi guru besar. Sementara itu, berdasarkan data Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti), saat ini setidaknya terdapat 21 Perguruan Tinggi yang tersandung kasus plagiarisme.

Jelas, hal ini perlu disorot tajam. Jangan sampai orang menggeneralisisi bahwa pendidikan Indonesia adalah pendidikan penjiplak. Pendidikan di mana metode pembelajarannya adalah copy paste.

Logika kekuasaan

Sejarah pendidikan Indonesia adalah cerita perlawanan terhadap penindasan penjajah. Pendidikan yang kala itu kentara dengan berbagai diskriminasi, justru dijadikan peluang bagi pribumi untuk merebut kemerdekaan. Ilmu, bagi para tokoh intelek semisal Ki Hajar Dewantara, Soekarno, sampai Tan Malaka sekalipun menjadi tameng kokoh pengawal kehidupan rakyat.

Dalam konteks demikian, pendidikan benar-benar memenuhi upaya memanusiakan manusia. Setiap ilmu yang dihasilkan dari pendidikan, ialah sesuatu yang berguna bagi rakyat. Lain cerita di kala kini, pendidikan kerap dianggap keliru sebagai jalan untuk kaya dan berkuasa. Ilmu menjadi senjata jitu untuk menindas manusia.

Ketika ambisi mengikis nurani, seribu cara dilakukan demi sebuah kenikmatan nan semu. Sebagaimana pendapat Richard A. Green (1992) dalam bukunya Leader of Authority, di zaman kompetitif ini, seorang intelektual sekalipun, akan cenderung memaksakan segala cara ketika diberikan perintah meskipun keadaannya belum siap.

Menurutnya, orang-orang yang demikian, pada akhirnya akan menjadi "penjahat" baru dalam kehidupan rakyat. Plagiarisme menjadi bukti betapa orang meniscayakan segala cara demi meraih hasil semata. Sebuah praktik kotor yang lahir dari konstruksi logika kekuasaan seseorang.

Ilmu untuk rakyat

Begitu berhargakah arti sebuah nilai sampai melupakan betapa pentingnya usaha? Selayaknya kita harus kembali pada hakikat pendidikan yang berguna untuk semua orang. Sekecil apa pun hasil yang didapat, selama itu berguna untuk rakyat, maka itulah kemuliaan dari pendidikan sendiri.

Plagiarisme hanya menambah perih kesakitan rakyat yang tengah terpuruk. Perguruan tinggi sejatinya memberikan sanksi berat bagi para pelaku kejahatan akademik tersebut. Apalagi bila pelaku plagiat adalah pendidik yang pada dasarnya harus memberi contoh baik pada peserta didik. Tentunya akan berimplikasi negatif pada logika pikir generasi muda yang kelak mengenyam jenjang perkuliahan.

Pragmatisme ilmu akan semakin kentara dalam benak generasi muda jika plagiarisme tidak diberantas sampai ke ujung akarnya. Sebab, bagaimana pun kampus merupakan pemasok utama insan intelektual yang kelak terjun pada masyarakat.

Mungkin Tan Malaka tersenyum puas ketika melihat sarjana bahasa membebaskan rakyat Indonesia dari buta aksara. Mungkin pula Ki Hajar Dewantara akan mengacungkan jempol kala melihat sarjana pertanian membantu menyuburkan lahan petani. Sementara Soekarno, barangkali akan bertepuk tangan melihat sarjana hukum memperjuangkan tanah rakyat pada konflik agraria.

Gelar sarjana, doktor, sampai profesor sekalipun hanya menjadi percuma bila tidak didapat dengan usaha sendiri. Sejatinya gelar terhormat dalam pendidikan adalah ketika ilmu yang didapat, bermanfaat bagi rakyat. Bukan justru memalukan dan menambah beban rakyat. Percayalah!
(Penulis, Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia, Ketua Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan)**
Galamedia
senin, 17 september 2012 03:15 WIB
Oleh : RESTU NUR WAHYUDIN

Tuesday, September 25, 2012

Menjaga Persatuan

Allah SWT memerintahkan kaum Muslimin untuk bersatu menjadi umat yang kuat secara akidah dan berhubungan kemanusiaan atas dasar saling tolong menolong, bekerjasama dalam kebajikan dan menjauhkan diri dari meninggalkan agama Allah (QS. Ali Imran: 103).

Persatuan tersebut didasari oleh sikap persaudaraan dan saling mencintai sesama muslim. "Sungguh, orang-orang mukmin itu bersaudara." (QS. Al-Hujurat: 10).

Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda, "Kamu sekalian tidak akan masuk surga, sehingga (kamu) beriman, dan kamu sekalian tidak beriman hingga saling mencintai." (HR. Muslim).

Atas dasar pemikiran tersebut, Allah SWT menetapkan beberapa syariat yang menjadi wahana kaum Muslimin bersatu dan bekerjasama, semisal kewajiban shalat Jumat, ibadah haji, dua shalat sunah hari raya dan sunahnya shalat berjamaah.

Hal tersebut antara lain karena di dalam persatuan terdapat kekuatan dan kemuliaan. Sedangkan di dalam perpecahan dan persengketaan tersimpan kerapuhan dan kehinaan. Melalui kemuliaan, kebenaran akan menempati posisi tinggi di dunia dan melalui kekuatan, kebenaran akan terjaga dari ancaman para perusak dan tipu daya para penipu.

Allah SWT juga mencintai orang-orang beriman yang berjuang di jalan-Nya dalam satu kesatuan barisan, satu pemikiran dan ketetapan hati yang sama, di mana jiwa mereka tidak terkena perselisihan dan barisan mereka tidak tersentuh oleh benturan (QS. As-Shaff: 4).

Rasulullah SAW sendiri sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim bersabda, "Orang beriman, yang satu dengan lainnya seperti bangunan yang saling menguatkan satu sama lain."

Dalam riwayat lain, "Perumpamaan orang-orang yang beriman di dalam sikap saling mencintai, lemah lembut dan kasih sayangnya bagaikan satu anggota badan, apabila satu dari anggotanya menderita sakit, maka anggota yang lain merasakan (pula) sakit dan demam." (HR. Bukhari-Muslim)

Sedemikian pentingnya menjaga persatuan, Rasulullah SAW telah memperingatkan kaum Muslimin akan bahaya perpecahan dan perselisihan serta menjelaskan akibat dari keduanya, yang berupa kerusakan dan kehancuran. "Janganlah kalian berselisih, karena orang-orang yang berselisih sebelum kamu nyata-nyata telah mengalami kehancuran."

Di lain pihak, Alah SWT mewajibkan kaum Muslimin untuk segera mencari jalan keluar jika terdapat perselisihan di antara mereka agar keburukan yang terdapat di dalamnya tidak tersebar luas. Allah SWT berfirman, "Dan apabila dua golongan orang mukmin berperang, maka damaikanlah di antara keduanya." (QS. Al-Hujurat: 9).

Dalam konteks tersebut, Allah SWT mengisyaratkan agar kaum Muslimin menjadikan takwa sebagai pegangan utama, sehingga rahmat Allah sampai kepada mereka, karena mereka adalah orang-orang yang gemar berbuat kebajikan (QS. Al-Hujurat: 10).

Kaum Muslimin tidak boleh membiarkan saudaranya berada dalam perselisihan, karena sebagai orang yang beriman tidak akan sempurna keimanannya kecuali ia dapat mencintai saudara seimannya sebagaimana mencintai dirinya sendiri.

Membiarkan perselisihan tanpa upaya menyelesaikannya akan menghasilkan keburukan dan akibat yang fatal  bukan saja bagi mereka yang berselisih, melainkan juga bagi seluruh umat Islam.

Orang-orang beriman juga tidak boleh menyepelekan perkara yang tampak sederhana dan tidak penting dalam pandangan mereka, karena peperangan dimulai dengan kata-kata dan besarnya api bermula dari percikan kecil.

Demikianlah pentingnya memelihara persatuan dan kesatuan sehingga ia harus menjadi perhatian bersama kaum Muslimin sebab merupakan salah satu kewajiban di antara berbagai kewajiban lainnya. Wallahu a'lam.
    Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA
sumber : www.republika.co.id

Monday, September 24, 2012

Dihantui Bayang-Bayang

Siang itu, Wahsyi begitu bersemangat dan ceria. Senyum terus tersungging di bibirnya. Janji Hindun, istri Abu Sufyan, selalu terngiang di telinganya, “Wahsyi, jika kau berhasil membunuh Hamzah, kau akan menjadi orang merdeka, sama dengan kami.”

Wahsyi membayangkan, alangkah indah hidupnya menjadi orang merdeka. Dia dapat pergi, bekerja, istirahat semaunya. Tidak seperti sekarang, semua serba tidak bebas.

Sebagai budak, dia harus patuh, apa pun keinginan sang majikan. Senyum Wahsyi semakin melebar tatkala membayangkan dirinya suatu hari nanti duduk bersama di qahwaji dengan para bang sawan Quraisy seperti Abu Sufyan.

Hindun sangat dendam pada Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Nabi SAW. Ayah dan saudara laki-lakinya gugur di tangan Hamzah sewaktu Perang Badar pada tahun kedua Hijriah. Makkah sedang mempersiapkan pasukan tiga kali lebih besar daripada pasukan Perang Badar untuk menyerang Madinah.

Kekalahan dalam Perang Badar membuat kaum Quraisy terpukul. Lebih-lebih Hindun, dendamnya sangat membara. Dia berharap dendamnya dapat dibalaskan oleh Wahsyi.

Wahsyi maju ke medan Perang Uhud dengan konsentrasi penuh mencari Hamzah. Dia ikuti ke manapun Hamzah bergerak. Hamzah tidak menyadari hal itu. Hingga akhirnya, Wahsyi melemparkan tombaknya tepat mengenai Hamzah. Paman Nabi yang gagah perkasa itu pun tersungkur, gugur sebagai syahid. Wahsyi puas. Kemerdekaan sudah di depan mata.

Akan tetapi, begitu kembali ke Mak kah, dia kecewa. Memang tuannya menepati janji. Dia dibebaskan dari perbudakan. Tetapi, harapannya untuk duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan para bangsawan Quraisy tidak menjadi kenyataan. Pandangan terhadap dirinya tidak berubah, dia dianggap masih kelompok kelas dua.

Sementara itu, keadaan terus memburuk bagi pihak Quraisy. Serangan tentara sekutu dalam Perang Ahzab gagal total. Nabi Muhammad SAW dan kaum Muslim menguasai Makkah. Wahsyi ketakutan. Makkah sudah jatuh ke tangan kaum Muslim. Wahsyi khawatir Rasul SAW akan balas dendam. Oleh sebab itu, dia segera melarikan diri ke Thaif.

Di kota yang berhawa sejuk itu, Wahsyi tetap ketakutan. Dia ingin menyeberang ke Habasyah, melarikan diri jauh dari Muhammad. Seseorang teman menasihatinya, “Wahsyi, sebenarnya engkau hanya dikejar oleh dosamu sendiri. Ke manapun engkau lari, bayang-bayangmu akan selalu mengikutimu. Lebih baik engkau pergi menemui Muhammad, ucapkan dua kalimat syahadat dan minta maaf kepada beliau.”

Wahsyi segera menemui Nabi SAW dan menyatakan keislamannya seraya meminta maaf telah membunuh Hamzah. Nabi meminta Wahsyi menceritakan detail apa yang dilakukan terhadap pamannya. Nabi tidak dapat menyembunyikan kedukaannya.

Nabi tidak akan membalas dendam. Beliau hanya meminta Wahsyi tidak memperlihatkan wajahnya di hadapan Nabi. Wahsyi tetap merasa bersalah, sampai kemudian pada zaman kekhalifahan Abu Bakar, dia membunuh Musailamah Al-Kadzab, yang mengaku sebagai nabi dalam Perang Riddah. Setelah itu Wahsyi tenang, utangnya membunuh pahlawan Islam terbayar dengan membunuh nabi palsu itu.

Oleh: KH Yunahar Ilyas     

sumber : www.republika.co.id

Sunday, September 23, 2012

Memetik Pelajaran Masa Lalu

Allah SWT memerintahkan kita untuk memetik pelajaran dari peristiwa yang telah terjadi melalui firman-Nya, "Maka ambillah pelajaran wahai orang-orang yang memiliki pandangan." (QS. Al-Hasyr: 2).

Orang-orang yang belajar dari kesalahan masa lalu, akan mendapatkan pencerahan di masa mendatang. Prinsip ini terjadi dalam kehidupan para Rasul yang diutus Allah ke bumi. Semula, para utusan tersebut menggunakan doa pamungkasnya dalam menyelesaikan aneka krisis berat yang dihadapi.

Nabi Nuh AS misalnya, menggunakan doa pamungkasnya untuk menenggelamkan kaum yang menentangnya. Nabi Musa AS memanfaatkan doa pamungkasnya untuk menyelamatkan diri dari kejaran Firaun beserta bala tentaranya.

Namun memasuki era Ibrahim AS, doa pamungkas para Rasul tidak lagi dipergunakan untuk membinasakan para penentang, namun diserahkan urusannya kepada Allah SWT.

Perhatikanlah rintihan Ibrahim AS kepada Tuhannya pada saat ia mengalami kesulitan yang sangat berat, "Ya Tuhan, berhala-berhala itu telah banyak menyesatkan manusia. Barang siapa mengikutiku, maka orang itu termasuk golonganku, dan barang siapa mendurhakaiku, maka Engkau Mahapengampun, Mahapenyayang." (QS. Ibrahim: 36).

Perhatikan pula rintihan Nabi Isa AS dalam sebuah doanya, "Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka itu adalah hamba-hamba-Mu, dan jika Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya Engkaulah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana." (QS. Al-Ma'idah: 118).

Dua ayat terakhir memberikan kesan mendalam bagi Rasulullah SAW, sehingga pada saat membacanya beliau menangis tersedu seraya berkata, "Umatku! Umatku! Umatku".

Rasul SAW mengulang bacaan kedua ayat tersebut dan kembali air matanya mengucur, sehingga Allah SWT mengutus Jibril untuk menanyakan gerangan apa yang terjadi.

Setelah Jibril datang dan bertanya kepada Rasulullah SAW, beliau menjawab, "Umatku! Umatku! Umatku! Ibrahim AS mengharapkan kebaikan bagi umatnya dan berdoa melalui ayat tersebut. Demikian pula Nabi Isa AS. Bagaimanakah dengan umatku?" kata Rasulullah SAW sambil tetap menangis.

Jibril kemudian memberitahukan perihal tersebut kepada Allah SWT dan Allah memerintahkannya, "Wahai Jibril, pergilah lagi kepada Muhammad dan katakan kepadanya, ‘Sungguh kami akan memuaskan umatmu dan tidak akan menyakitinya untuk selamanya’.”

Demikianlah gambaran mengenai beban dan kesulitan yang dipikul Rasulullah SAW dalam upaya memelihara kepentingan umat. Sehingga di dalam menyelesaikannya beliau telah mengambil pelajaran dari para rasul pendahulunya dan berpikir demi dunia dan akhirat serta tidak ingin sekedar menyerahkan urusannya kepada Tuhan, melainkan berupaya mendapat jaminan-Nya bahwa umatnya tidak akan mengalami kehancuran yang besar dan dahsyat.

Oleh karenanya, ketika para sahabat di antaranya Umar bin Khatab bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai mengapa beliau tidak menggunakan doa pamungkasnya di dunia, beliau menjawab dengan jawaban yang impresif, "Aku menggunakan doaku (doa pamungkas) untuk kepentingan pemberian pertolongan (syafaat) bagi umatku, nanti pada hari kiamat.”

Masya Allah, betapa jauh cara berpikir Rasulullah SAW. Cara berpikir yang didasari cinta murni kepada umatnya. Cinta kemanusiaan sejati yang jauh dari kekerasan. Cinta kemanusiaan murni yang membentengi kepentingan manusia dan menyelamatkan jiwa.  Wallahu a'lam.
Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MAsumber : www.republika.co.id

Saturday, September 22, 2012

Nabi dan Syuhada pun Cemburu

Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya, di antara hamba-hamba Allah ada yang bukan nabi, tetapi para nabi dan syuhada cemburu terhadap mereka.”

Ada sahabat yang bertanya, “Siapakah mereka wahai Rasul? Semoga kami bisa turut mencintai mereka.”

Rasulullah pun menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena Allah tanpa ada hubungan keluarga dan nasab di antara mereka. Wajah-wajah mereka bagaikan cahaya di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Mereka tidak takut di saat manusia takut, dan mereka tidak sedih di saat manusia sedih.”

Kemudian Rasul pun membacakan ayat, ‘Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati’,” (QS. Yunus: 62).

Cinta dan benci adalah dua sifat fitrah yang senantiasa melekat dalam diri manusia, kapan pun dan di mana pun ia berada. Kedua sifat tersebut merupakan karunia Allah SWT sejak manusia diciptakan. Cinta tidak selalu bermuatan positif; demikian pula sebaliknya, benci tidak selalu bermuatan negatif, seperti yang dipahami dan dianggap sebagian besar orang.

Dalam Islam, kedua kata yang berlawanan arti ini bisa sama-sama positif apabila disalurkan sesuai dengan aturan Allah. Bahkan, cinta dan benci bisa menjadi ladang amal saleh kalau dikelola dengan baik dan sesuai dengan aturan Islam. Sebaliknya, keduanya pun bisa menjadi bumerang buat kita, saat kita menyalurkan kedua perasaan itu di luar syariat yang telah ditetapkan Allah.

Menurut Syekh Salim bin ‘Ied Al-Hilali, cinta ialah perasaan sayang yang disertai mahabbah. Sedangkan benci ialah kebalikannya. Seseorang bisa saja mencintai orang lain dengan perspektif abstrak; yaitu ‘cinta’ dengan tutur katanya yang sopan, budi pekertinya, tata krama, juga etika bersikap terhadap sesama.

Sebaliknya, banyak pula seseorang yang mencintai pasangannya atau saudaranya karena faktor duniawi semata, entah itu kecantikan, jabatan, kekayaan, materi yang melimpah, yang semuanya sungguh-sungguh bersifat tidak kekal alias fana. Jika demikian adanya, siapakah yang harus kita cintai?

Rasulullah SAW bersabda, “Ada tiga hal yang siapa saja memilikinya, maka akan merasakan lezatnya keimanan. Pertama, Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai daripada apapun. Kedua, mencintai karena Allah. Ketiga, enggannya untuk kembali bermaksiat, seperti tidak maunya ia dicampakkan ke dalam api neraka.” (HR Bukhari dan Muslim).

Dari hadis tersebut, sekiranya ada benang merah yang dapat kita ambil bahwa yang layak kita cintai ialah orang-orang yang jua mencintai Allah, yang melaksanakan syariat Allah, yang ikhlas beribadah di jalan Allah. Sedangkan orang yang patut kita benci ialah—orang yang kafir terhadap Allah.

Dari kesimpulan tersebut, maka akan lahirlah keikhlasan hati untuk mencintai dan membenci karena Allah serta keistiqamahan diri untuk tidak berbuat maksiat baik kepada Allah juga enggan menyakiti sesama. Pada akhirnya, mencintai karena Allah, akan menghasilkan sebuah doa yang tulus, agar orang-orang yang kita cintai karena Allah, senantiasa berada di jalan dan petunjuk Allah.

Sebab, jika kita mencintai seseorang karena perkara duniawi yang sifatnya sementara, maka Allah pun akan melepaskan ikatan tersebut. Dia balikkan hati-hati yang tadinya saling mencintai, jadi memusuhi—karena kekeliruannya sendiri.

Beda halnya dengan orang yang mencintai karena Allah, hatinya selalu tenang jika berada dengan orang yang ia cinta, sebab yang dicinta senantiasa melakukan ibadah mahdzah dan ghairu mahdzah—sehingga, apa pun yang terjadi—perpisahan maut sekalipun, ia akan tetap ikhlas dan yakin bahwa Allah akan mempertemukan dan mengumpulkannya bersama insan dan orang-orang yang ia cintai selama di dunia. Seperti sabda Rasulullah di atas, hingga para nabi dan syuhada pun cemburu. Wallahu a’lam.
Oleh: Ina Salma Febriani

sumber : www.republika.co.id

Friday, September 21, 2012

Indahnya Air Terjun Curug Cigentis


Jika berwisata di Karawang, Jawa Barat, jangan lupa singgah ke Curug Cigentis. Di tempat ini, Anda akan disuguhi jernihnya air terjun dengan panorama yang masih alami. Curug Cigentis ini merupakan salah satu wisata alam yang menarik di Karawang. Di tempat ini, para wisatawan dapat menikmati suasana alam yang rindang serta aliran air yang jernih.

Curug Cigentis berada di ketinggian kurang lebih 1000 m di atas permukaan laut (dpl) dan memiliki ketinggian sekitar 25 meter dengan debit air yang dipengaruhi curah hujan turun di atas kawasan tersebut, bila musim kemarau panjang maka airnya seperti air pancuran.

Curug Cigentis ini adalah salah satu dari ke-7 tingkatan curug yang ada di Gunung Loji, dibawah kaki Gunung Sanggabuana yang termasuk wilayah pengelolaan hutan RPH Cigunungsari BKPH Purwakarta. Adapun ke tujuh curug tersebut konon memiliki nilai sejarah berkumpulnya para wali pada jaman dahulu kala, namun yang boleh di kunjungi hanyalah satu curug, yaitu Curug Cigentis. Ke enam curug lainnya tidak diperkenankan di singgahi karena beberapa alasan kuat diantaranya faktor alam yang masih terlalu rimba dan hanya orang-orang tertentu / orang yg berhati bersih dengan niat ibadah dan kuat bertahan dalam alam yang bisa mencapai curug yang paling atas.



Beberapa curug lain dapat di temui di sekitar lokasi ini, yaitu :

Curug Cipanundaan

Curug Cipanundaan berada di kaki Gunung Sanggabuan dengan 3 (tiga) buah Curug jadi satu dalam satu areal seperti tangga. Masing-masing tingkatan ini memiliki kolam penampungan. Akses jalan ke curug ini masih perawan dengan jalan setapak berliku-liku, naik turun dan melewati sungai yang berbatu besar. Air terjun ini baru ditemukan oleh masyarakat setempat dan Team Expedisi Wisata Dinas Penerangan, Pariwisata dan Budaya Kabupaten Karawang. Wisata ke Curug Panundaan sangat berat dan menantang, namun panorama indah dan masih asli serta belum terjamah oleh tangan - tangan jahil, memberikan kesan yang tak akan terlupakan. Lokasi : Desa Kutamaneuh, Kecamatan Tegalwaru, Kabupaten Karawang dengan jarak sekitar 42 km dari pusat kota Karawang.

Curug Bandung

Curug Bandung merupakan salah satu rangkaian 7 (tujuh) air terjun dalam satu aliran sungai. Dimulai dari Curug Peuteuy, Curug Picung dan yang terbesar adalah Curug Bandung. Curug ini juga berada dibawah kaki Gunung Sanggabuana, perjalanan menuju curug ini cukup berat yaitu dengan berjalan kaki sejauh 3 km. Lokasi : Desa Mekarbuana, Kecamatan Tegalwaru, Kabupaten Karawang dengan jarak sekitar 42 km dari pusat kota Karawang.

Curug Cikarapyak


Curug Cikarapyak berada diatas Curug Cipanundaan. Perjalanan menuju curug ini sangat berat karena harus melalui jalan setapak menelusuri sungai berbatu, melipir tebing naik turun, menerabas semak belukar dan hutan belukar. Lokasi : Desa Kutamaneuh, Kecamatan Tegalwaru, Kabupaten Karawang dengan jarak sekitar 42 km dari pusat kota Karawang.

Curug Cikoleangkak


Curug Cikoleangkak adalah air terjun terakhir, curug ini berada diatas Curug Cikarapyak dan Curug Cipanundaan. Untuk mencapai air terjun ini perlu stamina fit dan keberanian untuk merambah hutan rimba. Hal ini karena perjalanan menuju curug ini akan melintasi hutan rimba yang belum banyak dijamah oleh manusia.
sumber http://www.kaskus.co.id/showthread.php?t=11186798

Thursday, September 20, 2012

Kisah Menakjubkan dari Buah Kesabaran

Sedikit sekali orang yang bersabar dalam menghadapi musibah dan memiliki keteguhan dalam menghadapi penderitaan.

Andaikata seseorang memiliki kesabaran dan keteguhan, maka dia akan cepat mendapatkan jalan keluar dari musibah tersebut dan akan dekat kepada kebahagiaan.

Seorang sekretaris Abu Ja’far Al Mansur pernah dipenjara selama 15 tahun.

Dia pernah berputus asa dalam mencari jalan keluarnya. Kemudian dia menulis surat kepada teman-temannya untuk mengadukan lamanya penahanan dan semakin berkurangnya kesabaran.

Ternyata ia memperoleh jawabannya sebagai berikut, “Wahai Abu Ayub bersabarlah engkau dengan kesabaran yang dapat menghilangkan penderitaan. Jika engkau lemah dalam menghadapi musibah tersebut, maka siapa yang dapat menghilangkannya? Sesungguhnya orang yang telah membuat pengikat, maka dia akan mengikatnya dengan ikatan kebencian, maka engkau dapat mensiasatinya. Bersabarlah engkau, karena kesabaran itu dapat memberikan ketenangan. Mudah-mudahan musibah tersebut segera berakhir.”

Selanjutnya Abu Ayub menjawab balasan suratnya itu, seraya dia berkata, “Engkau menyuruhku bersabar, padahal aku telah melakukannya, dan menasehatiku (dengan mengatakan) mudah-mudahan musibah tersebut segera berakhir, padahal aku tidak mengatakan mudah-mudahan. Dan dia menempatkan pemilik ikatan musibah (orang yang ditahan) pada tempat yang mulia, karena dia dapat mensiasatinya.”

Sebagian temannya berkata, “Setelah kejadian tersebut, Abu Ayub tinggal dalam penjara hanya satu hari, kemudian dia dibebaskan secara terhormat.”
Oleh Hannan Putra
sumber : www.republika.co.id

Wednesday, September 19, 2012

Bekal Berhaji

SALAH satu syarat berhaji adalah memiliki bekal. Baik bekal fisik berupa kemampuan dan kekuatan (istitha'a) maupun bekal materi untuk biaya perjalanan ke Tanah Suci. Selain bekal untuk keluarga yang ditinggalkan. Demikian pendapat Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin.

Tapi di atas semua itu, bekal yang paling baik adalah takwa. Sebagaimana firman Allah SWT (Q.S. Albaqarah: 197), "Berbekallah dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal."

Menurut rumusan termashur, takwa adalah melaksanakan segala perintah Allah, sekaligus meninggalkan larangan-Nya. Beberapa ulama menyebutkan, takwa terdiri dari tiga huruf Hijaiyah, "ta", "qaf", dan "wawu."

"Ta" mengandung arti tawakal. Orang yang tawakal kepada Allah SWT akan dicukupi segala kebutuhannya (Q.S. Aththalaq: 3). Tawakal mencakup dua unsur penting, sabar dan syukur. Sabar ketika mendapat musibah dan syukur ketika mendapat nikmat.

"Qaf" mengandung arti qanaah. Menerima apa adanya. Tidak rakus. Tidak mengharap lebih dari kemampuan yang dimiliki. Rela atas rezeki yang telah diberikan Allah SWT. Sehingga senantiasa merasa puas dan kaya raya (hadis riwayat Imam Turmudzi, dikutip oleh Muhammad Ali Ash Shabuni dalam kitab Min Kunuzis Sunnah). Orang yang bersifat qanaah sangat terpuji, sehingga dianggap aghnan nasi. Manusia kaya raya di dunia.

"Wawu" mengandung makna wara. Apik. Bersih. Mulai dari niat, ucapan, tindakan, makan, minum, dan perbuatan lain sehari-hari, senantiasa terjaga dari hal-hal tercela. Jauh dari segala sesuatu yang haram, yang terlarang. Karena itu, orang yang wara dikategorikan sebagai ahli ibadah yang sungguh-sungguh berkhidmat kepada Allah SWT dengan keimanan yang kuat dan kepada sesama manusia dengan amal saleh yang banyak.

Sabda Rasulullah dalam riwayat Imam Tirmidzi, "Jagalah dirimu dari perbuatan yang diharamkan agama maka engkau akan menjadi ahli ibadah nilai yang sesungguhnya."

Orang yang wara tidak mungkin memakai atau memakan barang-barang haram, baik haram dzatiyah yang dzatnya diharamkan Allah SWT dan Rasul-Nya. Seperti daging babi, darah, bangkai, sesajen untuk berhala, binatang yang disembelih bukan atas nama Allah, benda memabukkan, dll. Maupun haram af'aliyah. Haram cara memperolehnya. Seperti hasil korupsi, judi, zina, serta perbuatan maksiat lainnya.

Itulah bekal terbaik bagi para jemaah haji dalam upaya mencapai nilai mabrur. Ibadah haji yang diterima Allah SWT.
**
Galamedia
Oleh : H. Usep Romli H.M.
jumat, 14 september 2012 00:08 WIB

Tuesday, September 18, 2012

Target Wisatawan Meningkat dan Lebih Lama di Bandung

BANDUNG, (PRLM).- Jumlah wisatawan yang berkunjung ke Kota Bandung tahun 2012 ini ditargetkan bertambah menjadi 10 juta jiwa. Target ini jauh melampaui realisasi tahun lalu yang mencapai 6,7 juta wisatawan.

Wakil Wali Kota Bandung Ayi Vivananda mengatakan, selain kuantitas wisatawan, lamanya tinggal (living stay) bagi wisatawan juga diharapkan bisa bertambah. "Semakin mereka tinggal lebih lama, semakin bisa meningkatkan pendapatan bagi Kota Bandung," kata Ayi, ketika ditemui usai pelantikan Kelompok Penggerak Pariwisata (Kompepar) se-Kota Bandung di Plaza Balai Kota Bandung, Rabu (12/9/12).

Ayi mengaku optimistis dengan pencapaian target wisatawan tersebut, karena jumlah destinasi wisata di Kota Bandung yang semakin beragam. Meskipun ia mengakui, kondisi infrastruktur di Kota Bandung belum cukup menunjang hal tersebut.

"Untuk infrastruktur kami tingkatkan secara bertahap, karena kenyamanan berwisata juga tidak lepas dari kondisi infrastruktur yang ada di sebuah kota," ucap Ayi.

Dia mencontohkan, destinasi wisata yang bertambah tahun ini di Kota Bandung misalnya seperti kampung-kampung wisata di kawasan Cicadas dan Dago Pojok. "Selain wisata kuliner, belanja, juga banyak tujuan wisata perkotaan yang mungkin menarik minat wisatawan untuk datang," ucapnya.

Jumlah kunjungan wisata yang meningkat, dikatakan Ayi, akan turut mendongkrak tingkat hunian hotel. Saat ini di Kota Bandung terdapat 285 hotel dengan 12.962 kamar. Selain itu juga terdapat 451 restoran, 175 biro perjalanan, 367 unit hiburan lingkungan seni dan tur budaya, 25 unit galeri, dan 9 bioskop.
Pikiran rakyat
Rabu, 12/09/2012 - 18:58

Monday, September 17, 2012

Subhanallah, Inilah Keutamaan Basmalah

Dalam kitab an-Nawadir, karya Ahmad Syihabudin bin Salamah al-Qalyubiy dikisahkan, ada seorang Yahudi yang mencintai seorang wanita sampai tergila-gila. Akibatnya, ia merasa makan dan minum tak enak serta tidur tak nyeyak.

Akhirnya, ia menemui Atha' al-Akbar untuk menanyakan jalan keluar atas kesulitan yang dihadapinya itu. Atha' lantas menuliskan kalimat basmalah (Bismillahir-rahmanir-rahim) di sehelai kertas, lalu berkata kepadanya. “Bacalah ini, mudah-mudahan Allah SWT melalaikanmu dari mengingat wanita itu serta mengaruniakan wanita itu kepadamu.”

Setelah tulisan itu dibacanya, ia berkata, “Wahai Atha', aku telah merasakan manisnya iman dan telah bersinar cahaya di dalam kalbuku hingga sekarang aku telah melupakan wanita itu. Ajarkanlah Islam kepadaku.”

Maka, Atha' mengajarkan tentang Islam kepadanya. Sebab, keberkahan basmalah itu, ia pun masuk islam. Keislaman orang Yahudi itu terdengar oleh wanita yang dahulu disenanginya.

Lantas wanita itu datang menemui Atha' dan berkata kepadanya. “Ya imam al-Muslimin, saya adalah wanita yang disebutkan oleh lelaki Yahudi yang masuk Islam itu. Semalam saya bermimpi didatangi oleh seseorang dan orang itu berkata kepada saya. “Jika Anda ingin melihat tempat Anda di dalam surga maka menghadaplah kepada Atha', karena ia akan memperlihatkannya kepada Anda. Nah, sekarang aku telah berada di hadapan tuan, maka katakanlah kepadaku, di mana surga itu?”

Atha' menjawab, “Jika Anda menginginkan surga maka Anda harus membuka pintunya terlebih dahulu, baru memasukinya.” Wanita itu bertanya, “Bagaimana aku dapat membuka pintunya?” Jawab Atha', “Ucapkanlah Bismillahir-rahmanir-rahim.”

Setelah wanita itu membaca basmalah, lalu berkata, “Wahai Atha', kurasakan ada seberkas cahaya bersinar dalam kalbuku dan kerajaan Allah dapat kulihat. Ajarkanlah Islam kepadaku.”

Kemudian, Atha' mengajarkan Islam kepadanya. Berkat basmalah, wanita itu akhirnya masuk Islam. Lalu, ia pulang kembali ke rumahnya. Pada malam harinya ketika tidur, ia bermimpi seakan-akan masuk ke dalam surga, menyaksikan istana-istana dan kubah-kubah di dalamnya. Di antara salah satu kubah itu terdapat tulisan; Bismillahir-rahmanir-rahiim, La ilaha illallah, Muhammad Rasulullah.

Ketika wanita itu membaca tulisan tersebut, tiba-tiba terdengar suara mengatakan, “Wahai wanita, Allah telah memberikan semua apa yang kau baca.”

Dari kisah di atas, kita dapat mengambil kesimpuan bahwa basmalah merupakan salah satu dari inti kandungan ajaran Islam. Hal demikian juga diungkapkan sejumlah ulama akan keutamaan basmalah.

Dengan membaca basmalah berarti kita menyadari akan kekuatan dan pertolongan Allah dalam setiap aktivitas yang kita lakukan, juga menunjukkan akan kepasrahan dan ketidakberdayaan diri kita untuk melakukan suatu kebaikan apa pun, kecuali atas pertolongan-Nya. Dan tidak dapat menolak sekecil apa pun kemudaratan yang akan menimpa kita, kecuali atas pertolongan-Nya. Dan inilah inti dari ajaran Islam.

Karena kandungan maknanya seperti inilah yang menjadikan kalimat basmalah mengandung keberkahan. Untuk itu, hayatilah maknanya dan bacalah setiap kali kita hendak melakukan pekerjaan, agar kita mendapatkan keberkahan. Wallahu'alam.
Oleh Moch Hisyam
sumber : www.republika.co.id

Sunday, September 16, 2012

Spirit Haji untuk Membangun Masyarakat Berakhlakul Karimah

Labaik Allahumma Labaik. Panggilan haji kembali tiba. Mulai 21 September 2012, jamaah Haji Indonesia mulai diberangkatkan ke tanah suci Makkah dan Madinah.
Haji adalah momen yang mampu memberikan inspirasi bagi kemajuan kemanusiaan. Proses ini ditandai dengan jutaan manusia berbondong-bondong ke baitul Ka’bah, simbol pemersatu umat Islam.

Dalam ritual haji, manusia diperlakukan secara sama dan adil, tanpa melihat ras, suku dan latarbelakang dunia lainnya. Harkat dan martabat mereka sebagai manusia adalah sama. Hak dan kewajiban mereka sebagai hamba juga sama. Tujuan dan arah perjuangan hidup mereka hakikatnya juga sama, yaitu berusaha meraih kebahagiaan yang sejati abadi.

Itulah sesungguhnya yang menjadi hikmah dan tujuan utama di syariatkannya ibadah haji. Dalam bahasa Alquran, hikmah dan tujuan ibadah haji - yang merupakan puncak tertinggi ajaran rukun Islam – diungkapakan dengan istilah liyasyhaduu manaafi`a lahum, yaitu untuk “menyaksikan” kemanfaatan-kemanfaatan duniawi dan ukhrawi (kebahagiaan sejati) yang mahadasyat yang akan terus mengalir dan menjadi “milik” mereka yang berhasil menunaikan haji secara mabrur (QS. Al-Hajj 22:28)

Secara etimologis, sebagaimana dikemukan Ibn Mandzur dalam kitabnya, Lisaan al-Arab, kata hajj antara lain berarti “menuju pada target tertentu” (al-qashd). Lebih spesifik lagi, al-Ishfahani dalam kitabnya, Mufradaat Alfaadz al-Qur`aan, menjelaskan pengertian hajj sebagai “menuju kepada target tertentu untuk dikunjungi” (al-qashd li al-ziyarah).

Dari situlah muncul istilah haji dalam Islam yang asal-muasalnya diambil dari kalimat hajj al-bait atau “berkunjung ke baitullah”, yaitu kunjungan khusus ke Masjidil Haram dengan tujuan menunaikan manasik haji (QS. Ali `Imran 3:97).

Ditilik dari segi filosofis makna kata (fiqh qiyaas al-lughah), kata hajj yang dibentuk oleh rangkaian tiga huruf dasar haa`jiim, jiim pada hakikatnya menunjukan simpul makna dasar yang menggambarkan “keberadaan sesuatu yang bisa dijadikan landasan, sandaran, atau fokus perhatian” (ma u`tumida`alaihi) atau “berproses menuju landasan, sandaran, atau fokus  perhatian” (al-i`timaad).

Misalnya, kata hujjah yang memiliki arti dasar argumentasi (al-daliil) atau bukti kebenaran (al-burhaan). Begitu juga kata mahajjah  yang berarti jalan terbuka yang arah-arahnya (al-thariiq al-jaaddah). Disebut demikian karena jalan tersebut bisa dijadikan sandaran untuk sampai pada alamat yang dituju. Atau kata hajj (al-syijaaj) yang memiliki arti memeriksa luka di kepala secara teliti, terfokus, dan penuh perhatian untuk keperluan pengobatan serta penyembuhan.

Jadi, substansi haji adalah mencari dan mengukuhkan sandaran atau landasan yang hakiki bagi kehidupan menuju kebahagiaan sejati yang merupakan fokus perhatian dan target pencarian yang dituju oleh seluruh umat manusia.. Karena itu, banyak ulama menyebutkan, haji mabrur adalah yang disertai dengan tanda-tanda ke-mabrur-an setelah berhaji, diantaranya akhlak dan amal perbuatannya menjadi lebih baik daripada sebelumnya.

Nilai-nilai kemabruran haji  akan membawa virus positif kehidupan masyarakat yang lebih  humanis, lebih berakhlak dan lebih beriman. Kita berharap, haji yang dijalankan para jamaah bukan sekadar haji ritual, tetapi haji yang membawa perubahan. Hal itu pula dilakukan para jamaah haji di masa perjuangan kemerdekaan. Bahwa nilai-nilai haji dari tanah suci menjadi spirit perjuangan melawan penjajahan kafir (Belanda).

Kita menginginkan hal serupa, bahwa para jamaah nantinya bisa membawa nilai-nilai spirit keislaman untuk menjadikan masyarakat yang berperadaban akhlak mulya dan selalu  mendapat karunia dari Allah SWT.
, Oleh: Dr HM Harry Mulya Zein

sumber : www.republika.co.id

Saturday, September 15, 2012

Merenungkan Kembali Kebhinekaan Indonesia



Sejak Negara Republik Indonesia merdeka, para pendiri bangsa mencantumkan kalimat Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan pada lambang negara Garuda Pancasila. Kalimat itu sendiri diambil dari falsafah Nusantara yang sejak zaman Kerajaan Majapahit sudah dipakai sebagai moto pemersatu Nusantara.

Semboyan itu pulalah yang menjadikan bangsa Indonesia dikenal di dunia internasional sebagai bangsa yang majemuk, dalam membina dan membangun kehidupan nasional di berbagai bidang. Namun saat ini semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang diartikan "meskipun berbeda-beda tetapi tetap satu" ini tampaknya sudah mulai luntur bagi masyarakat Indonesia.

Kita melihat begitu banyak konflik bersifat anarkis yang terjadi ditengah-tengah masyarakat saat ini, semakin menegaskan bahwa semboyan tersebut hanya menjadi simbol belaka. Tidak tercermin dalam praktiknya. Masyarakat Indonesia seperti kehilangan karakter dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mengalami degradasi jati diri yang menyebabkan ketahanan dan keutuhan bangsa juga terancam. Jika dibiarkan terus, akan menciptakan penyakit sosial yang pada akhirnya merugikan seluruh masyarakat Indonesia.

Menurut Hertz dalam bukunya Nationality in History and Politics (1951), ada empat unsur nasionalisme. Yaitu, hasrat untuk mencapai kesatuan, hasrat untuk mencapai kemerdekaan, hasrat untuk mencapai keaslian, dan hasrat untuk mencapai kehormatan bangsa. Maka dapat kita simpulkan, makna nasionalisme bisa dianggap sebagai manifestasi kesadaran nasional yang mengandung cita-cita dan pendorong bagi suatu bangsa, baik untuk merebut kemerdekaan atau mengenyahkan penjajahan. Juga sebagai pendorong untuk membangun dirinya maupun lingkungan masyarakat, bangsa dan negaranya.

Saat ini perjuangan untuk merebut kemerdekaan atau mengenyahkan penjajahan secara harfiah memang sudah tidak tepat lagi. Karena sebagai sebuah negara yang berdaulat, sudah tentu kita telah merdeka dan bebas dari penjajahan negara mana pun. Namun, bila kita melihat lebih teliti apa yang terjadi di masyarakat akhir-akhir ini, seakan-akan kemerdekaan itu telah terusik. Sebagai contoh adalah kemerdekaan dalam kebebasan beragama dan kemerdekaan dalam mendapatkan penghidupan yang layak.

Padahal sejatinya, para pendiri bangsa membangun bangsa ini atas dasar prinsip ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan. Akan tetapi, apa yang telah mereka tanam sebagai fondasi telah memudar. Krisis karakter bangsa yang dialami saat ini disebabkan oleh kerusakan individu-individu masyarakat yang terjadi secara kolektif, sehingga terbentuk kebiasaan yang telah menginternalisasi sanubari masyarakat Indonesia.

Sangat disayangkan, bangsa yang seharusnya dapat menjadi sebuah bangsa yang besar dan disegani di dunia internasional, perlahan-lahan hancur karena ulah manusianya sendiri. Mereka lebih mementingkan kepentingan pribadi dan kelompoknya dengan menghalalkan segala cara. Padahal seharusnya didahululan kepentingan bangsa dan negara dengan tetap mengedepankan nasionalisme dan menjunjung serta mengamalkan konsep Bhinneka Tunggal Ika.

Kearifan Lokal

Kearifan lokal merupakan warisan nenek moyang kita dalam tata nilai kehidupan yang menyatu dalam bentuk religi, budaya dan adat istiadat. Dalam perkembangannya masyarakat melakukan adaptasi terhadap lingkungannya dengan mengembangkan suatu kearifan yang berwujud pengetahuan atau ide, peralatan, dipadu dengan norma adat, nilai budaya, aktivitas mengelola lingkungan guna mencukupi kebutuhan hidupnya.

Kearifan lokal itu tentu tidak muncul serta merta. Tetapi melalui proses panjang sehingga akhirnya terbukti, hal itu mengandung kebaikan bagi kehidupan mereka. Keterujiannya dalam sisi ini membuat kearifan lokal menjadi budaya yang mentradisi, melekat kuat pada kehidupan masyarakat. Dalam bingkai kearifan lokal ini, masyarakat bereksistensi, dan berkoeksistensi satu dengan yang lain.

Rekonstruksi kearifan lokal sangat perlu untuk dilakukan. Masyarakat Indonesia sudah sepatutnya kembali pada jati diri mereka melalui pemaknaan kembali dan rekonstruksi nilai-nilai luhur budaya mereka. Dalam kerangka itu, upaya yang perlu dilakukan adalah menguak makna substantif kearifan lokal. Misalnya, keterbukaan dikembangkan dan dikontekstualisasikan menjadi kejujuran.

Kemudian kehalusan diformulasikan sebagai keramahtamahan yang tulus. Harga diri diletakkan dalam upaya pengembangan prestasi dan demikian seterusnya. Pada saat yang sama, hasil rekonstruksi ini perlu disebarluaskan ke dalam seluruh masyarakat sehingga menjadi identitas kokoh bangsa, bukan sekadar menjadi identitas suku atau masyarakat tertentu.

Inilah yang dapat dijadikan sebagai modal untuk dapat menumbuhkan kembali kejayaan Indonesia. Diperlukan kerja sama antarseluruh elemen masyarakat, tanpa ada kerja sama dan keinginan yang kuat dari masyarakat itu sendiri, mustahil hal tersebut dapat terlaksana dengan baik. Garuda tidak akan pernah bisa terbang tinggi jika hanya menggunakan satu sayap.
(Penulis, mahasiswa hukum Universitas Padjadjaran)**
Oleh : MU'AMAR WICAKSONO
Galamedia
senin, 10 september 2012 00:46 WIB

Friday, September 14, 2012

Dikejar Bayang-Bayang

Siang itu, Wahsyi begitu bersemangat dan ceria. Senyum terus tersungging di bibirnya. Janji Hindun, istri Abu Sufyan, selalu terngiang di telinganya: “Wahsyi, jika kau berhasil membunuh Hamzah, kau akan menjadi orang merdeka, sama dengan kami.”

Wahsyi membayangkan, alangkah indah hidupnya menjadi orang merdeka. Dia dapat pergi semaunya, bekerja semaunya, istirahat semaunya. Tidak seperti sekarang, semua serba tidak bebas.

Sebagai budak, dia harus patuh, apa pun keinginan sang majikan. Senyum Wahsyi semakin melebar tatkala membayangkan dirinya suatu hari nanti duduk bersama di qahwaji dengan para bangsawan Quraisy seperti Abu Sufyan. Hindun sangat dendam pada Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Nabi SAW. Ayah dan saudara laki-lakinya gugur di tangan Hamzah sewaktu Perang Badar pada tahun kedua hijriah. Makkah sedang mempersiapkan pasukan tiga kali lebih besar daripada pasukan Perang Badar untuk menyerang Madinah.

Kekalahan dalam Perang Badar membuat kaum Quraisy terpukul. Lebih-lebih Hindun, dendamnya sangat membara. Dia berharap dendamnya dapat dibalaskan oleh Wahsyi.
Wahsyi maju ke medan Perang Uhud dengan konsentrasi penuh mencari Hamzah. Dia ikuti ke manapun Hamzah bergerak. Hamzah tidak menyadari hal itu. Hingga akhirnya, Wahsyi melemparkan tombaknya tepat mengenai Hamzah. Paman Nabi yang gagah perkasa itu pun tersungkur, gugur sebagai syahid. Wahsyi puas. Kemerdekaan sudah di depan mata.

Akan tetapi, begitu kembali ke Makkah, dia kecewa. Memang tuannya menepati janji. Dia dibebaskan dari perbudakan. Tetapi, harapannya untuk duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan para bangsawan Quraisy tidak menjadi kenyataan. Pandangan terhadap dirinya tidak berubah, dia dianggap masih kelompok kelas dua.

Sementara itu, keadaan terus memburuk bagi pihak Quraisy. Serangan tentara sekutu dalam Perang Ahzab gagal total. Nabi Muhammad SAW dan kaum Muslim berhasil menguasai Makkah. Wahsyi ketakutan. Makkah sudah jatuh ke tangan kaum Muslim. Wahsyi khawatir Rasul SAW akan balas dendam. Oleh sebab itu, dia segera melarikan diri ke Thaif.

Di kota yang berhawa sejuk itu, Wahsyi tetap ketakutan. Dia ingin menyeberang ke Habasyah, melarikan diri jauh dari Muhammad. Seseorang teman menasihatinya: “Wahsyi, sebenarnya engkau hanya dikejar oleh dosamu sendiri. Ke manapun engkau lari, bayang-bayangmu akan selalu mengikutimu. Lebih baik engkau pergi menemui Muhammad, ucapkan dua kalimat syahadat dan minta maaf kepada beliau.”

Wahsyi segera menemui Nabi SAW dan menyatakan keislamannya seraya meminta maaf telah membunuh Hamzah dalam Perang Uhud. Nabi meminta Wahsyi menceritakan secara detail apa yang dilakukannya terhadap pamannya. Nabi tidak dapat menyembunyikan kedukaannya.

Terbayang kembali bagaimana paman beliau itu gugur. Nabi tidak akan membalas dendam. Beliau hanya meminta Wahsyi tidak memperlihatkan wajahnya di hadapan Nabi. Wahsyi tetap merasa bersalah, pikirannya belum tenang, sampai kemudian pada zaman kekhalifahan Abu Bakar, dia berhasil membunuh Musailamah al-Kadzab, yang mengaku sebagai nabi dalam harbur riddah. Setelah itu Wahsyi tenang, utangnya membunuh seorang pahlawan Islam terbayar dengan membunuh nabi palsu itu.
Oleh Prof Yunahar Ilyas
sumber : www.republika.co.id

Thursday, September 13, 2012

Mengharap Berkah Allah

Berkah berarti selamat, tetap, langgeng baik, bertambah, tumbuh dan membahagiakan. Keberkahan datangnya dari Allah bukan dari manusia. Oleh karenanya, meminta keberkahan harus pula kepada-Nya, bukan kepada selain diri-Nya.

Di dalam Alquran, Allah SWT telah memberikan keberkahan pada bumi, seperti tersebut dalam firman-Nya, "Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya." (QS. Fushshsilat: 10).

Manusia pada umumnya hanya minta keberkahan kepada Allah SWT dalam masalah rezeki. “Ya Allah, berikan kepada kami keberkahan atas rezeki yang telah Engkau berikan kepada kami dan peliharalah kami dari siksa neraka.” (HR. Thabrani).

Padahal, keberkahan seharusnya diminta dalam segala hal, sebagaimana petunjuk Rasulullah SAW yang mendoakan keberkahan bagi banyak sahabat-nya.

Tiba di suatu tempat, rumah, kota atau negara hendaknya seseorang berdoa, "Ya Tuhanku, tempatkanlah aku di tempat yang diberkahi, dan Engkau adalah sebaik-baik Yang Memberi Tempat." (QS. Al Mukminun: 29).

Mendengar karib kerabat menikah, hendaknya kita memberikan ucapan selamat dengan mendoakan keberkahan, "Semoga keberkahan Allah untukmu dan atasmu serta semoga kalian berdua dikumpulkan dalam kebaikan." (HR. Abu Daud).

Bila Allah menganugerahkan keturunan kepada seseorang, hendaknya kita juga mengucapkan selamat dan doa keberkahan, "Engkau telah berterima kasih kepada Yang Mahapemberi, keberkahan bagimu pada pemberian ini, semoga anak itu mencapai dewasa dan kamu mendapatkan bakti darinya.” (Musnad Ibnu Al-Ja’d).

Singkat kata, keberkahan merupakan doa dan permintaan seorang Muslim kepada Allah SWT. Sebab, Rasulullah SAW senantiasa mendoakan orang yang dicintainya dengan keberkahan, baik dalam masalah umur, keturunan, rezeki, harta, tempat, pernikahan, kelahiran dan lain sebagainya.

Rasul SAW berdoa untuk Anas RA, “Ya Allah, berilah rezeki, harta dan keturunan dan berikan keberkahan kepadanya.” (HR. Bukhari). Doa Rasul dikabulkan, sehingga Anas  termasuk di antara kaum Anshar yang paling banyak harta dan keturunannya.

Setiap orang tidak akan terlepas dari keberkahan yang datangnya dari Allah SWT semiskin apa pun keadaannya, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda dalam mengisahkan cerita Nabi Ayyub AS, "Ya Tuhan, aku tidak akan terlepas dari keberkahan-Mu." (HR. Bukhari).

Di dalam keberkahan terdapat makna keimanan dan kesyukuran, sehingga jika keberkahan diberikan kepada seseorang maka rezekinya akan bertambah; keturunannya akan dijaga; fisiknya akan akan dilindungi dan disehatkan; umurnya menjadi lebih bermanfaat; istrinya akan menyenangkan dan taat; serta kehidupannya akan tenang, tentram dan bahagia. Maka di dalam setiap keberkahan senantiasa teriringi empat sifat: kebaikan, kebahagiaan, tumbuh dan berkembang. Wallahu a'lam.
Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA
sumber : www.republika.co.id

Wednesday, September 12, 2012

Bahasa Inggris dalam Kultur Pendidikan



DALAM era globalisasi sekarang, sekat-sekat antara satu bangsa dengan dunia luar semakin menipis. Setiap bangsa seolah berlomba memberikan pengaruh dalam menunjukan peradabannya. Terutama di jaman revolusi informasi sekarang ini, setiap informasi di suatu negara akan serta merta diketahui belahan dunia lain, termasuk dengan bahasa Inggris yang begitu dominan memengaruhi ranah kehidupan setiap bangsa. Peran media juga seolah terus mengampanyekan bahasa inggris. Misalnya ketika di depan kamera, "supaya terlihat keren dan berwawasan" istilah-istilah bahasa Inggris selalu dikutip oleh sebagian orang.

Akibatnya manusia Indonesia sekarang seolah dituntut untuk bisa berbahasa Inggris ketika berbicara. Namun, yang harus diperhatikan, bagaimana dampak ketika kita terus menerus berkiblat pada bahasa inggris? Saya kira di sinilah letak yang kurang arif itu. Di mana bahasa nasional dan bahasa daerah akan semakin terdegradasi keberadaannya, ketika bahasa Inggris terus dijadikan acuan pemakaiannya. Lambat laun bahasa Indonesia dan bahasa daerah akan semakin tidak menarik untuk dipakai. Dan semua orang akan berbondong-bondong berbahasa Inggris --sehingga lebih akrab di telinga kita ketimbang bahasa daerah dan bahasa nasional kita.

Meminjam istilah Nyoman Kutharatna (2010), hal ini tidak terlepas dari apa yang disebut dengan wacana globalisasi. Terma glokalisasi menuntun setiap budaya (bahasa) global untuk dilokalkan. Dalam konteks ini, tentu saja bahasa Inggris sebagai produk global akan dipaksakan menjadi produk lokal melalui intensitas pemakaiannya.

Begitu pun pada wajah dunia pendidikan Indonesia saat ini. Entah kenapa, bahasa Inggris selalu menjadi acuan bagi peradaban yang lebih baik. Memang benar, saya pun tak memungkiri peran vital bahasa Inggris dalam masa kekinian. Bahasa Inggris menjadi bahasa yang menjembatani perkembangan ilmu pengetahuan dengan dunia luar. Namun akan sangat ironis, jika kita condong pada bahasa Inggris tapi kurang pengetahuan tentang bahasa daerah dan nasional kita.

Kebijakan kurang bijak

Gejala ini banyak menuntut semua orang untuk bisa berbahasa Inggris dengan acuannya nilai besar TOEFL. Sebuah kebijakan pemerintah yang kurang tepat dalam konteks keindonesiaan, karena semua tuntutan untuk bisa dan mengerti bahasa Inggris diberlakukan, namun banyak orang yang masih lemah pengetahuan bahasa Indonesianya. Masih banyak kosakata bahasa lokal yang tak diketahui. Hal inilah yang mengindikasikan bahwa pendidikan bahasa lokal bisa dibilang gagal. Sikap latah bangsa kita yang selalu ingin meniru gaya luar yang berbahasa inggris dalam keseharianya, tak dibarengi dengan pengetahuan kebahasaan daerah dan nasional.

Dalam dunia pendidikan sekarang ini, kehadiran bahasa lokal (baca: daerah) seolah masih dipandang sebelah mata. Dalam kurikulum sekolah, bahasa daerah masih menjadi hal yang asing di rumahnya sendiri. Ini dampak dari sepinya penggunaan bahasa itu oleh para penuturnya --terutama kalangan muda-mudi. Mungkin karena dalam dunia pendidikan dan pembelajaran bahasa daerah belum terlalu intens. Akibatnya rasa kepemilikan (sense of belonging) siswa terhadap bahasa ibunya menjadi semakin berjarak. Sehingga bahasa daerah menjadi tidak enak digunakan oleh lidah penuturnya. Lambat laun jika hal ini terus terjadi, maka akan mengakibatkan bahasa daerah semakin terkikis ekistensinya.

Khususnya di sekolah RSBI, yang bahasa pengantarnya berbahasa Inggris, intensitas penggunaan bahasa lokal khususnya bahasa daerah akan semakin terkikis. Pola komunikasi yang terjalin antara guru dan murid, terus menerus dengan bahasa Inggris, sehingga kedekatan yang terjalin secara kultural kedaerahan itu tak nampak, yang ada hanya sebuah jarak.

Standardisasi RSBI

Dampak psikologis yang terjadi ialah ketika si murid yang secara kebahasaan kurang mampu berbahasa Inggris akan cenderung lebih pasif dan tertutup. Begitu pun ketika dalam kegiatan belajar mengajar. Aktivitas yang disokong dengan bahasa Inggris akan menimbulkan berbagai kemungkinan penafsiran. Karena saya yakin kemampuan berbahasa Inggris setiap murid tidak sama, maka kemungkinan untuk salah tafsir tentang apa yang dikatakan guru itu akan ada. Maka jika terjadi salah pemahaman, bukan kemajuan ilmu yang didapat, tapi hanya akan menjadi statis dan jalan di tempat karena kendala bahasa yang cenderung dipaksakan itu.

Seperti yang dikatakan oleh Djoko Subinarto, standardisasi sekolah internasional itu bukan ditentukan oleh bahasa pengantarnya, namun oleh kurikulum yang dipakai sebuah sekolah. Saya pikir pemaksaan dengan bahasa Inggris sebagai pengantar seolah membentuk sebuah ego citraan belaka. Karena dengan banyaknya para pengguna bahasa Inggris di sekolah bukan indikator penting kualitas kajian keilmuannya, namun sejauhmana keilmuan yang dipelajari, bisa dipahami dengan optimal dan tentunya diaplikasikan untuk kemajuan bangsa.

Menjadi hal yang penting untuk kita mempelajari bahasa Inggris. Namun harusnya hal itu dibarengi dengan kesadaran akan nilai lokalitas yang sudah tertanam dalam diri kita. Akan menjad bijak, jika kita mampu berbahasa Inggris dalam rangka menjembatani perkembangan ilmu pengetahuan dunia,lalu menerapkannya ke dalam kultur lokalitas kita, tanpa harus tercerabut dari identitas kebangsaan kita.
(Awan William, penulis lepas, aktivis Go Netika Studies Bandung)**
Galamedia
kamis, 06 september 2012 01:08 WIB
Oleh : AWAN WILLIAM

Tuesday, September 11, 2012

Menyegerakan Diri dalam Kebajikan

Dunia memiliki tiga waktu; kemarin, hari ini dan esok hari. Kemarin dan waktu lampau tidak akan pernah kembali lagi, sehingga kita tidak mungkin meraihnya.

Hari ini adalah hadiah Tuhan, sehingga mereka yang pandai memanfaatkannya dengan mempertebal keimanan dan menyegerakan amal saleh tidak mengalami "opportunity lost". Sedangkan esok hari adalah rahasia Tuhan yang tidak seorang pun mengetahuinya.

Sementara itu, umur manusia memiliki dua sifat: Pertama, ia tidak akan berjalan terus tanpa henti, baik manusia sedang mengalami kesedihan maupun kegembiraan, sedang sehat ataupun sakit.

Kedua, umur yang telah lalu tidak akan pernah kembali lagi, sehingga penyesalan terjadi ketika kesempatannya tidak terulang kembali.

Berdasarkan kenyataan tersebut, maka Allah SWT memberikan petunjuk-Nya agar manusia menyegerakan diri dalam kebajikan sebelum disibukkan dengan banyak urusan, memanfaatkan umur, masa sehat, masa jaya, masa muda, masa luang sebelum datang masa-masa kebalikannya.

Allah SWT berfirman, “Dan bersegeralah menuju kepada ampunan Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang diperuntukkan bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran: 133).

Dalam sebuah hadis dari Ibnu Abbas RA dikabarkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Manfaatkanlah lima perkara sebelum datangnya lima: hidupmu sebelum matimu, sehatmu sebelum sakitmu, luangmu sebelum sempitmu, mudamu sebelum tuamu, dan kayamu sebelum fakirmu.” (HR. Ahmad).

Sejarah mencatat bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq memiliki keutamaan di antara para sahabat lainnya disebabkan dua hal: Pertama, senantiasa membenarkan Rasul. Oleh sebab itu, Rasulullah SAW memberinya gelar Ash-Shiddiq (orang yang selalu membenarkan kata dan ucapan Rasul SAW).

Kedua, senantiasa menjadi penyegera atau orang pertama dalam banyak hal. Oleh sebab itu, ia masuk dalam kelompok perintis perjuangan pemula masa Rasulullah SAW yang dikenal dengan istilah As-Sabiqun Al-Awwalun yang dijanjikan Allah masuk surga. (QS. At-taubat: 100).

Keutamaan memang milik orang-orang yang membenarkan bukan pada penyegeraan. Namun, Abu Bakar memiliki keutamaan dan urgensitas karena membenarkan Rasul dan menyegarakan (menjadi yang pertama) dalam banyak hal.

Menyegerakan atau menjadi yang pertama banyak hal menjadi perkara yang urgen karena memenuhi kebutuhan, menentramkan dan memberikan kepastian. Sehingga membenarkan dan menyegerakan merupakan gabungan dari sifat kemuliaan yang jika keduanya bersatu pada diri seseorang akan melahirkan kesempurnaan.

Dalam hadis Ibnu Abbas, Rasulullah SAW menceritakan mengenai 70 ribu umatnya yang masuk surga tanpa hisab dan azab neraka. Salah seorang sahabat bernama Ukasah bin Mahshan berkata, "Doakanlah aku agar menjadi golongan mereka."

Rasulullah SAW menjawab, "Engkau bagian dari mereka."

Kemudian seorang sahabat lain berdiri dan berkata, "Doakan pula aku menjadi golongan mereka wahai Rasul!"

Rasulullah SAW menjawab, “Ukasah telah mendahuluimu." (HR. Bukhari-Muslim).

Jawaban Rasulullah ini mengisyaratkan bahwa para penyegera atau menjadi yang pertama memiliki maqam (tempat) yang berbeda dengan yang di belakangnya termasuk dalam masalah agama. Apalagi semua orang mengetahui bahwa para penyegera dan menjadi yang pertama jelas berbeda kualitasnya dengan yang bergerak lambat atau pemalas. Wallahu a'lam.

Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MAsumber : www.republika.co.id

Monday, September 10, 2012

Hari Aksara dan Budaya Membaca

UNESCO menetapkan 8 September sebagai Hari Aksara Internasional. Penetapan tersebut dilakukan untuk mengingatkan dunia akan pentingnya budaya literasi. Pada perayaan tahun ini bangsa Indonesia patut berbangga setelah mendapat penghargaan dari UNESCO karena berhasil dalam program pemberantasan buta aksara. Indonesia menerima satu dari dua penghargaan bergengsi UNESCO King Sejong Literacy Prizes atas keberhasilan program pendidikan keaksaraan yang diintegrasikan dengan pengenalan kewirausahaan dan pembinaan taman bacaan masyarakat di ruang publik, seperti tempat ibadah dan pasar.

Walaupun hingga kini penduduk Indonesia belum 100 % persen melek aksara, tetapi menurut penilaian UNESCO, secara umum program pemberantasan tunaaksara di Indonesia dapat dikatakan berhasil karena telah melampaui target dalam program penurunan 50 persen buta aksara pada tahun 2015 nanti. Menurut data Kemendikbud, jumlah penduduk Indonesia yang buta aksara pada tahun 2004 sebanyak 15,41 juta jiwa. Kemudian, pada akhir 2010 berkurang menjadi sekitar 7,54 juta jiwa dan akhir Desember 2011 jumlah tersebut kembali menurun menjadi 6,7 juta jiwa.

Pemerintah memang melakukan berbagai program dalam membina penduduk buta huruf untuk mewujudkan 100 % penduduk Indonesia melek aksara pada tahun 2015 agar mereka memiliki kemampuan dasar dalam membaca dan menulis. Hal ini tentu sangat penting karena keberaksaraan merupakan prasyarat untuk mendapatkan informasi dan ilmu pengetahuan sebagai upaya mengatasi berbagai keterbatasan seperti keterbelakangan dan kemiskinan. Keberaksaraan adalah alat yang sangat diperlukan untuk dapat berpartisipasi secara efektif dalam kehidupan sosial dan ekonomi yang akan mengarah kepada pembangunan sumber daya manusia yang unggul.

Budaya membaca

Sebenarnya program pemerintah tidak cukup sampai dengan pemberantasan buta aksara saja, akan tetapi perlu digalakkan sebuah program berkelanjutan setelah mereka melek aksara yaitu program budaya membaca. Di era perkembangan dan kemajuan teknologi yang begitu pesat saat ini, bangsa yang berpenduduk melek aksara tidaklah cukup, tetapi sebuah bangsa yang ingin maju harus memiliki masyarakat yang berbudaya membaca. Upaya menciptakan masyarakat gemar membaca merupakan salah satu upaya menciptakan masyarakat ilmiah yang berkarakter dan berperadaban sehingga dapat menciptakan masyarakat yang kritis terhadap segala informasi yang diterima sehingga tidak terus tertinggal dan tertindas oleh bangsa lain.

Dalam momentum Hari Aksara tahun 2012 yang bertema "Aksara Membangun Perdamaian dan Karakter Bangsa" ini, alangkah berharganya jika bangsa Indonesia mengapresiasikannya dengan mengukur kadar minat baca masyarakat dan mengaplikasikannya dengan melakukan gerakan budaya membaca sebagai kebutuhan primer yang harus dipenuhi oleh setiap masyarakat. Berdasarkan data yang dilansir Organisasi Pengembangan Kerja sama Ekonomi (OECD), hasil penelitian yang dilakukan pada tahun 2009 menunjukkan bahwa budaya baca masyarakat Indonesia menempati posisi terendah dari 52 negara di kawasan Asia Timur. Hasil penelitian tadi tentu sangat menyedihkan bagi salah satu negara yang berpenduduk terbesar di dunia dan sedang giat-giatnya mengupayakan kemajuan dalam bidang pendidikan bagi rakyatnya ini.

Upaya membudayakan membaca kepada masyarakat kita memang bukan pekerjaan mudah. Tradisi budaya lokal kita yang terbiasa dengan tradisi tutur lisan cukup mempengaruhi hal itu. Bangsa Indonesia terbiasa menyimpan informasi, gagasan, dan pengetahuan hanya di dalam ingatan sehingga sulit sekali ditemukan naskah tulis sebagai bahan bacaan. Hal ini tentu saja berimbas pada rendahnya budaya membaca masyarakat.

Selain faktor yang disebutkan tadi, tidak membudayanya kebiasaan membaca di kalangan masyarakat kita juga disebabkan oleh kecenderungan masyarakat kita yang memiliki sifat ingin mencari gampangnya saja atau kebiasaan "hemat energi". Salah satu contoh misalnya masyarakat kita pada umumnya lebih tertarik menonton berita di TV dibandingkan dengan membaca berita di koran. Mereka beralasan untuk "menghemat energi" karena informasi di TV tidak perlu dibaca, tetapi cukup didengarkan saja. Padahal jika menonton TV, penonton berlaku sebagai "pembaca pasif" yang hanya menangkap segala persepsi yang dikemukakan televisi. Hal itu tentu berbeda dengan proses membaca. Dalam proses membaca dibutuhkan keaktifan dan konsentrasi penuh pembaca dalam menelusuri teks yang tersaji di setiap halaman, merangkaikan makna antarteks, dan menerjemahkan rangkaian teks untuk mendapatkan sebuah persepsi tertentu.

Membaca sejak dini

Membudayakan membaca memang harus dimulai sejak dini. Tradisi mendongeng sebagai proses kreatif yang dilakukan orangtua kepada anaknya dapat dijadikan langkah awal untuk menumbuhkan minat baca anak. Setelah tertarik dengan berbagai dongeng yang diceritakan, anak-anak diharapkan memiliki ketertarikan pada buku. Berawal dari ketertarikan untuk membaca buku-buku dongeng yang kerap didengarnya, ketertarikan anak akan meluas pada buku-buku lain seperti buku religi, kesehatan, sains, teknologi, sejarah, dan buku-buku pelajaran di sekolah.

Jika berkaitan dengan kebiasaan membaca, penulis ingin mengungkapkan bahwa proses membaca juga sebenarnya memiliki banyak keuntungan. Manfred Gogol, seorang fisioterapi dari Germany's Society for Gerontology and Geriatrics, mengatakan bahwa membaca dapat merangsang pertumbuhan sinaps penghubung antarsaraf. Selain itu, membaca juga membuat daya imajinasi dan kreativitas seseorang terjaga. Gogol menyarankan agar seseorang dapat membaca setiap hari. Jika sebuah novel dirasa terlalu berat, pilih saja bacaan ringan seperti cerita dongeng, kumpulan cerpen, atau bahkan sebuah koran.

Kebiasaan membaca memang perlu segera dibudayakan di lingkungan masyarakat kita. Melihat masyarakat lebih asyik dengan halaman-halaman buku daripada duduk manis di depan TV merupakan harapan kita bersama. Selamat Hari Aksara dan mari kita budayakan membaca!
(Staf Teknis Balai Bahasa Bandung, Alumnus Universitas Padjadjaran)**
Galamedia
jumat, 07 september 2012 01:32 WIB
Oleh : DINDIN SAMSUDIN

Sunday, September 09, 2012

Warga Maribaya Gelar Acara Ruwatan Lembur

NGAMPRAH, (PRLM).- Untuk mengharapkan berkah, Warga Kampung Maribaya RW 5 Desa Langensari Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat menggelar Ruwatan Lembur. Selain itu, dalam ruwatan kali ini, warga Maribaya memanjatkan doa supaya tidak terjadi sesuatu terkait aktivitas vulkanik Gunung Tangkubanparahu.

"Kami setiap tahun menyelenggarakan acara itu. Namun, kali ini, kami memohon kepada Allah Swt agar musim kemarau segera berakhir serta menjauhkan warga KBB dari bencana. Meski, jauh dari lokasi gunung, kami ikut mengkhawatirkan status vulkanik Gunung Tangkubanparahu," ucap tokoh masyarakat Maribaya, Ato Mulyana (77) saat ditemui seusai acara ruwatan di Kp. Maribaya RW 5 Desa Langensari Lembang, Kab. Bandung Barat, Kamis (6/9/12).

Dia menjelaskan, sebelum memulai acara ruwatan, warga terlebih dahulu memanjatkan doa yang dipimpin dewan keluarga masjid setempat. Setelah ritual itu selesai, kata dia, seluruh warga RW 5 makan bersama di satu lokasi.

Ketika ditanyakan simbol dari ruwatan, dia menuturkan, warga menempelkan empat macam komoditas pertanian, seperti cabai merah, bawang merah, bawang putih dan daun salam di depan pintu rumah. Keempat komoditas itu, ucap dia, ditusuk oleh sirih.

"Masing-masing komoditas memunyai arti tersendiri. Seperti cabai merah yang melambangkan keberanian dalam hal kebaikan. Contoh lainnya, dalam salam sebagai lambang toleransi dan persaudaraan," katanya menjelaskan.

Kepala Desa Langensari Agus Karim mengatakan, masyarakat sekitar tidak dibebankan membantu pembiayaan acara. Menurutnya, anggaran pelaksanaan acara berasal dari donatur.

"Saya menyebut acara ini sebagai tasyakur nikmat dari warga. Tradisi seperti itu perlu dilestarikan, karena menjaga eksistensi kearifan lokal. Bukan hanya itu, acara tersebut menjadi ajang bagi warga dalam memanjatkan doa bersama," kata Agus.

Terkait isu letusan Gunung Tangkubanparahu beberapa waktu lalu, ucap dia, tidak berpengaruh bagi masyarakat Maribaya. Selain letak wilayah yang jauh dari Tangkubanparahu, warga pun tidak terpengaruh atas isu tersebut. Pasalnya, kata dia, warga hanya memercayai informasi dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) serta Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).
pikiran rakyat
Kamis, 06/09/2012 - 18:53
 

Saturday, September 08, 2012

Enam Keutamaan Silaturahim

 Silaturahim merupakan salah satu kewajiban bagi setiap pribadi Muslim. Dalam Alquran, Allah menegaskan, “Dan bertakwalah kepada Allah yang kalian saling meminta dengan nama-Nya dan sambunglah tali silaturahim.’ (QS. An-Nisa [4]:1).

“Sebarkanlah salam, sambunglah tali silaturahim, dan shalatlah ketika manusia tidur (tahajud) niscaya kalian akan masuk surga dengan selamat.” Dalam hadis lain, Rasulullah SAW bersabda, “Tidak akan masuk surga pemutus tali silaturahim.”

Dalil-dalil di atas menunjukkan arti penting akan kewajiban silaturahim. Sebab, di dalamnya terdapat banyak keutamaan dan keistimewaan. Di antaranya, pertama, dengan silaturahim, kita bisa saling mengenal antara yang satu dan yang lainnya (QS Al-Hujurat [49]: 13). Dengan silaturahim, kasih sayang dan kerja sama yang positif bisa diwujudkan.

Kedua, dengan silaturahim, persatuan dan kesatuan (ukhuwah Islamiah) akan dapat dibangun. Dengan silaturahim, akan timbul rasa saling membutuhkan, solidaritas, dialog, pengertian, dan menguatkan kerjasama dalam perjuangan yang kokoh.

Rasulullah SAW bersabda, “Tangan Allah berada di atas jamaah.” Dalam hadis lain dikatakan, “Persatuan (al-jamaah) itu rahmat dan perpecahan (al-firqah) adalah azab.”

Berdasarkan hadis di atas, Allah SWT senantiasa akan menolong hamba-hamba-Nya yang senantiasa bersatu dan menjauhkan diri dari perpecahan.

Hal ini terbukti dalam sejarah Islam ketika umat Islam bersatu, Allah menolong mereka hingga mampu menguasai sejumlah wilayah bahkan mampu menundukkan dua imperium besar, yakni Romawi dan Persia. Sebaliknya, pada saat umat Islam berpecah belah, terjadilah perang saudara dan saling membunuh hingga merusak kekuatan Islam.

Ketiga, dengan silaturahim, berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat akan mudah diatasi. Baik masalah ekonomi, pendidikan, kebudayaan, maupun lainnya. Keempat, silaturahim juga akan mampu menyelesaikan berbagai persoalan horizontal yang terjadi di masyarakat.

Sebab, dengan mengedepankan kasih sayang, sikap emosional dalam diri umat yang bisa memicu permusuhan dapat diatasi dengan baik. Dengan demikian, akar persoalan pun akan ditemukan dan bisa diselesaikan dengan damai.

Kelima, dengan silaturahim, berbagai ide-ide dan gagasan yang brilian, inovasi-inovasi, program-program, dan kegiatan-kegiatan yang positif juga bisa diwujudkan.

Ketika umat Islam berkumpul dalam kasih sayang dan semangat kebersamaan, akan muncul ide-ide kreatif dalam memacu umat untuk mencapai kemakmuran bersama. Kondisi ini jauh lebih bermanfaat di bandingkan sendirian. Dan sesungguhnya, kejayaan umat Islam di masa lalu berawal dari silaturahim.

Keenam, dengan silaturahim, akan banyak ilmu pengetahuan yang tersebar. Dengan demikian, akan banyak pula ilmu dan wawasan yang bisa diserap darinya. Dari sini diketahui bahwa silaturahim menjadi media menumbuhkan wawasan persatuan dan kesatuan.

Semoga kita semua diberikan kemudahan untuk senantiasa menyambung silaturahim demi memperkuat ukhuwah Islamiah (sesama umat Islam), ukhuwah basyariah (kemanusiaan), dan ukhuwah wathaniah (semangat cinta tanah air).
Oleh: Ruswanto
sumber : www.republika.co.id

Friday, September 07, 2012

Rezeki yang Tertahan

Allah SWT menciptakan semua makhluk telah sempurna dengan pembagian rezekinya. Tidak ada satu pun yang akan ditelantarkan-Nya, termasuk kita. Yang dibutuhkan adalah mau atau tidak kita mencarinya. Yang lebih tinggi lagi, benar atau tidak cara mendapatkannya.

Rezeki di sini tentu bukan sekadar uang. Ilmu, kesehatan, ketenteraman jiwa, pasangan hidup, keturunan, nama baik, persaudaraan, ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya termasuk pula rezeki, bahkan lebih tinggi nilainya dibanding uang dan lainnya.

Walau demikian, ada banyak orang yang dipusingkan oleh masalah pembagian rezeki ini. Dia merasa rezekinya sedang seret, padahal sudah berusaha maksimal mencarinya.

Ada banyak penyebab, mungkin cara mencarinya yang kurang profesional, kurang serius mengusahakannya, atau ada kondisi yang menyebabkan Allah Azza wa Jalla menahan rezeki yang bersangkutan. Setidaknya ada lima hal yang menghalangi aliran rezeki.

Pertama, lepasnya ketawakalan dari hati. Kita menggantungkan diri kepada selain Allah. Kita berusaha, namun usaha yang kita lakukan tidak dikaitkan dengan-Nya. Padahal, Allah itu sesuai prasangka hamba-Nya. “Barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya.” (QS. Ath-Thalaq [63]: 3).

Kedua, karena dosa. Dosa adalah penghalang datangnya rezeki. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya seseorang terjauh dari rezeki disebabkan oleh perbuatan dosanya.” (HR Ahmad).

Ketiga, bermaksiat saat mencari nafkah. Apakah pekerjaan kita dihalalkan agama? Kecurangan dalam mencari nafkah, entah itu korupsi, manipulasi, akan membuat rezeki kita tidak berkah.

Mungkin uang kita dapat, namun berkah dari uang tersebut telah hilang. Apa ciri rezeki yang tidak berkah? Mudah menguap untuk hal sia-sia dan tidak membawa ketenangan, sulit dipakai untuk taat kepada Allah serta membawa penyakit. Bila kita telanjur melakukannya, segera bertobat dan kembalikan harta tersebut kepada yang berhak menerimanya.

Keempat, pekerjaan yang melalaikan kita dari mengingat Allah. Banyak aktivitas kita yang membuat hubungan kita dengan Allah makin menjauh. Kita disibukkan oleh kerja, sehingga lupa shalat, lupa membaca Alquran, lupa mendidik keluarga, lupa menuntut ilmu agama, lupa menjalankan apa yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan. Akibatnya, pekerjaan kita tidak berkah.

Jika sudah demikian, jangan heran bila rezeki kita akan tersumbat. Idealnya, semua pekerjaan harus membuat kita semakin dekat pada Allah. Sibuk boleh, namun jangan sampai hak-hak Allah kita abaikan. Saudaraku, bencana sesungguhnya bukanlah bencana alam yang menimpa orang lain. Bencana sesungguhnya adalah saat kita semakin jauh dari Allah.

Kelima, enggan bersedekah. Siapa pun yang pelit, niscaya hidupnya akan sempit, rezekinya mampet. Sebaliknya, sedekah adalah penolak bala, penyubur kebaikan, serta pelipat ganda rezeki. Sedekah bagaikan sebutir benih menumbuhkan tujuh butir, yang pada tiap-tiap butir itu terurai seratus biji. Artinya, Allah yang Mahakaya akan membalasnya hingga tujuh ratus kali lipat. (QS al- Baqarah [2]: 261). Wallahu a’lam.
Oleh: Abu Albi Bambang Wijonarso
sumber : www.republika.co.id

Thursday, September 06, 2012

Imunisasi Agresif untuk Melawan Polio



Tiga negara di mana polio masih endemik – Nigeria, Pakistan dan Afghanistan – sedang melakukan kampanye imunisasi agresif untuk melakukan vaksinasi terhadap lebih banyak anak-anak untuk melawan penyakit tersebut.

Para ahli mengatakan bahwa karena India sekarang bebas polio dan jumlah kasus ada pada tingkat terendah, ini kesempatan untuk mengubah sejarah dan memberantas penyakit tersebut secara tuntas. Untuk memperkuat komitmen tersebut, sejumlah pemimpin dunia akan bertemu di New York bulan ini.

Vaksin polio oral telah mengurangi jumlah kasus polio di dunia sampai 99 persen sejak 1988. Namun dalam 10 tahun terakhir, pemberantasan sisanya merupakan tantangan.

Meski jumlah total kasus telah menurun, para ahli mengatakan bahwa setiap kali mereka memberantas habis virus tersebut di suatu negara, ia muncul di negara lain.

“Kita memiliki imunitas penduduk tertinggi di seluruh dunia saat ini, dan sekarang ini tinggal beberapa distrik dan beberapa negara dengan populasi yang terlewat dalam waktu yang cukup lama,” ujar Ellyn Ogden, koordinator pemberantasan polio dunia untuk Lembaga Pembangunan Internasional di Amerika Serika (USAID).

Dr. Liam Donaldson, kepala lembaga medis Inggris dan kepala dewan pengawas independen untuk pemberantasan polio di Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), mengatakan bahwa dewan tersebut terutama khawatir dengan Nigeria.

“Kabar baik yang kita miliki bercampur dengan kekhawatiran yang berlanjut. “\Jumlah kasus menurun, namun selama setahun terakhir ada peningkatan yang mengkhawatirkan di Nigeria. Polio di Nigeria bukan hanya masalah untuk penduduk negara tersebut. Banyak wabah yang terjadi di bagian lain di Afrika terjadi karena episentrumnya ada di Nigeria, jadi [pemberantasan polio] sangat penting tidak hanya untuk Nigeria tapi juga untuk daerah lain di Afrika,” ujar Donaldson.

Donaldson mengatakan bahwa program pemberantasan polio tidak berjalan semestinya untuk menghentikan penyebaran virus polio pada 2012. Meski pemberantasan polio merupakan hal yang mendesak, Ogden mengatakan bahwa tempat-tempat terakhir, seperti Nigeria dan Pakistan, mempersulit keberhasilan program tersebut.

“Mungkin hal ini tidak akan terjadi dalam kurun waktu yang kita pikirkan atau dalam anggaran yang kita pikirkan, mungkin akan terjadi lebih lama dan memerlukan biaya yang lebih. Namun saya kira usaha dan investasi tambahan dari donor dan mitra memperlihatkan bahwa terlalu dini untuk menyerah,” Ogden menambahkan.

Donaldson mengatakan bahwa dengan adanya 125 kasus yang dilaporkan tahun ini, satu dorongan terakhir dibutuhkan untuk membawa pemberantasan polio ke garis akhir.
pikiran rakyat
Rabu, 05/09/2012 - 12:45

Tuesday, September 04, 2012

Masyarakat Butuh Seni dan Budaya

BANDUNG, (PRLM).- Masyarakat sangat membutuhan kehadiran seni budaya, bahkan sudah menjadi bagian dari kehidupannya. Seni budaya hidup menjadi lebih indah dan seni merupakan bagian dari kehidupan, seni merupakan fardhu ain bagi kehidupan kita. Apalagi agama merupakan sumber seni.

“Agama tidak menentang seni, akan tetapi kita sebagai ummatnya harus mengoreksi seni agar jangan sampai bertentangan dengan agama. Islam meluruskan seni, bukan Islam bertentangan dengan seni," Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan pada acara halal bi halal yang diselenggarakan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat, bertempat di Museum Negeri Jawa Barat Sri Baduga, Jalan BKR, Kamis (30/8).

Sementara tentang keberadaan Museum Negeri Jawa Barat Sri Baduga, Heryawan mengatakan, Pemprov Jabar akan merenovasi museum pada tahun 2013. Bahkan, rancangannya sudah dilakukan sejak tahun 2012. Selain akan ada renovasi, gubernur pun berharap museum dipenuhi dengan berbagai kegiatan.

Hal itu dilakukan, agar masyarakat lebih tahu tentang museum.

"Saya ingin museum dipenuhi berbagai kegiatan setiap minggunya, salah satunya dengan pameran karya masyarakat. Saat ini tengah dipamerkan foto para mantan gubernur Jabar bersama asesorisnya Jabar Dalam Lintas Sejarah," ujar Heryawan.

Sementara Kadis Pariwisata Dan Kebudayaan Jabar, Nunung Sobari menyebutkan, rehab auditorium museum akan segera dilakukan karena DED sudah ada. "Rencananya akan dinaikkan atap auditorium sehingga bisa menjadi ciri dari museum, tinggal menunggu pemenang lelangnya," ujar Nunung.

Tokoh Sunda Tato Brajamanggala, mengatakan masyarakat Sunda sangat bangga menjadi keturunan Siliwangi, tapi kurang memberikan penghargaan kepada leluhurnya. "Salah satu bukti museum Sri Baduga sangat kumuh dan kurang terawat, padahal menggunakan nama Sri Baduga. Karena itu, Tato meminta gubernur memperhatikan museum sebagai etalasi budaya Jabar. "Tanpa dukungan pemerintah, semua ini tidak akan berdampak pada masyarakat. Pemerintah tetap menjadi harapan masyarakat," ujar Tato.

Apa acara yang juga dihadiri pejabat dan karyawan di jajaran Disparbud Jabar, sejumlah seniman dan budayawan juga turut menghadiri acara tersebut. Tampak hadir, Memet Hamdan, Indrawati Lukman, Yayat Hendayana, AS Hermawan, Abdullah Mustofa, Hilwan Saleh dan hadir pula seniman budayawan Acep Zam Zam, Imansolleh, Ety RS serta undangan lainnya, Ahmad Heryawan berkesempatan duet bersama istrinya, Netty Heryawan melantunkan tembang, “Lain Tibaheula” milik Hetty Koes Endang dan “Damai Bersamamu” milik Alm. Crisye. (A-87/A-26).***
Pikiran rakyat
Kamis, 30/08/2012 - 13:02

Monday, September 03, 2012

Cerdas Berjejaring Sosial

SEBENARNYA banyak manfaat yang bisa diperoleh dengan memanfaatkan media jejaring sosial (Facebook, Twitter, dan sebagainya). Media jejaring sosial itu bisa optimal bermanfaat jika proporsional menggunakannya. Seperti yang dilakukan Ditlantas Polda Jabar yang memaksimalkan dan memanfaatkan jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter untuk memudahkan informasi arus mudik dan balik. Melalui jejaring sosial ini informasi lalu lintas terus di-update. Selama 4 bulan diaktifkan, follower di Twiter sudah 3 ribuan. Sedangkan di Facebook, 5 ribu lebih.

Sekarang banyak layanan untuk berjejaring sosial. Kita mengenal Yahoo Masanger, Friendster, Twiter dan terakhir Facebook. Dengan layanan ini kita bisa membentuk jaringan dan mengundang banyak teman. Dengan fasilitas yang dimiliki Facebook kita bisa mengetahui aktivitas teman, mengikuti permainan, menambah teman sesuai dengan latar belakang yang kita inginkan.

Positif dan negatif

Dengan keunggulan yang dimiliki Facebook ini, banyak orang yang tertarik untuk menggunakannya. Mulai dari petani sampai politisi, menggunakan Facebook. Tak heran jika pengguna jejaring sosial ini sudah mencapai 300 juta orang, setara dengan jumlah penduduk Amerika Serikat.

Namun, di tengah eforia penggunan Facebook, kita harus bisa melihat sisi negatifnya jika digunakan secara tak proporsional. Kewaspadaan memang tak hanya harus dimiliki warga Missouri Amerika karena seluruh pelajarnya tidak boleh berkomunikasi dengan gurunya lewat Facebook atau pun Twitter, tapi masyarakat Indonesia pun harus juga waspada akan efek negatif facebook ini, terutama terhadap siswa. Memang kita akui ada sisi positif dengan adanya Facebook ini, namun kita jangan melupakan sisi negatifnya. Dengan mengetahui sisi negatifnya, kita bisa optimal dalam penggunaan salah satu layanan media internet ini.

Doktor Aric Sigman mencoba meneliti efek negatif Facebook dan menuliskannya dalam The Biologist, jurnal yang dirilis oleh The Institute of Biology. Menurutnya, seseorang yang teman-teman utamanya orang asing yang baru ditemui di Facebook atau Friendster akan menemui kesulitan dalam berkomunikasi secara tatap muka. Perilaku ini dapat meningkatkan risiko kesehatan yang serius, seperti kanker, stroke, penyakit jantung, dan dementia (kepikunan).

Masih menurut Dr. Aric Sigman, pertemuan secara tatap muka memiliki pengaruh pada tubuh yang tidak terlihat ketika mengirim e-mail. Level hormon seperti oxytocin yang mendorong orang untuk berpelukan atau saling berinteraksi, berubah, tergantung dekat atau tidaknya para pengguna. Beberapa gen, termasuk gen yang berhubungan dengan sistem kekebalan dan respons terhadap stres, beraksi secara berbeda, tergantung pada seberapa sering interaksi sosial yang dilakukan seseorang dengan yang lain.

Menurut pengamatan penulis, kurang lebih ada beberapa efek negatif dari penggunaan Facebook ini. Pertama, banyak waktu yang terbuang sia-sia dan tidak bermanfaat. Biasanya kalau sudah membuka Facebook tanpa terasa orang akan menghabiskan waktu berjam-jam. Facebook membuat kita lupa akan pekerjaan lain yang jauh lebih bermanfaat.

Kedua, menurunnya produktivitas dalam bekerja. Seorang guru akan menghabiskan waktu begitu banyak di depan komputer bukan untuk menulis artikel, buku ajar, atau persiapan mengajar, tapi membuka Facebook.

Ketiga, berkurangnya silaturahmi di dunia nyata. Akan banyak diam di rumah, di depan komputer. Kalau pun silaturahmi, cukup di depan komputer dan biasanya silaturahmi dengan teman dunia mayanya. Sudah nyaris lupa untuk silaturahmi dengan tetangga di sekitar rumahnya dan sanak saudaranya.

Keempat, memicu pergaulan bebas tanpa batas. Tak sedikit remaja putri yang masih mengenakan rok biru atau abu-abu, memanfaatkan Facebook untuk "menjual diri". Dan tak sedikit pula rumah tangga yang hancur berantakan karena istri atau suaminya kedapatan selingkuh (awalnya mereka berkenalan via Facebook).

Kelima, menurunnya kondisi kesehatan. Ini menjadi faktor resiko penyakit degeneratif, seperti jantung, kanker, stroke. Karena kurang geraknya anggota tubuh. Juga beresiko terjadinya beberapa penyakit fisik karena terlalu lama duduk dan memegang mouse, seperti sakit punggung dan nyeri sendi.

Keenam, berkurangnya waktu tidur. Sebagian waktu tidur dipakai untuk menjawab pesan yang masuk lewat Facebook. Ini bisa menimbulkan kurang konsentrasi dan berkurangnya kekebalan tubuh.

Sekali lagi, sebenarnya jika kita proporsional dalam menggunakan Facebook, efek negatif itu tak akan terjadi. Facebook hanya sebatas hiburan yang tak menyita waktu. Facebook juga bisa dioptimalkan untuk kegiatan positif. Seperti penggalangan dana untuk kegiatan sosial atau menyerap aspirasi konstituenya seperti yang dilakukan para politisi senayan dan kegiatan positif lainnya.
(Penulis, dosen LB Program Studi Manajemen STIE EKUITAS Bandung)**
Galamedia
selasa, 28 agustus 2012 01:51 WIB
Oleh : Suhendi