-

Wednesday, February 29, 2012

Adab Menasihati Orang Lain

Nasihat memiliki tempat yang penting dalam agama Islam. Memberi nasihat dapat memantapkan persaudaraan di antara umat Islam. Terlebih, bila nasihat yang disampaikan seorang Muslim semata-mata hanya karena Allah dan muncul sebagai wujud kasih sayang terhadap saudaranya.

Tak heran jika Nabi Muhammad SAW menjadikan nasihat sebagai tiang agama sekaligus barometer dalam melaksanakan agama. Tamim ad-Dari RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, ''Agama itu nasihat.'' (HR Bukhari dan Muslim).

Rasulullah SAW senantiasa memberikan nasihat dan wasiat kepada para sahabat dan umatnya.  Syekh Mahmud al-Mishri  dalam Ensiklopedi Akhlak Muhammad SAW, mengungkapkan, secara bahasa nasihat diambil dari kata an-nashihah. Ibnu Manzur menjelaskan, nashahasy-syai berarti ''sesuatu itu murni''.

An-Nashih artinya sesuatu yang murni dari amal dan lainnya. Sedangkan an-Nush artinya ikhlas dan jujur di dalam musyawarah dan amal. Menurut Ibnu Atsir, nasihat adalah kata yang dioergunakan untuk mengungkapkan keinginan yang baik bagi orang yang dinasihati.

''Nasihat adalah mengajak orang lain untuk melaksanakan sesuatu yang mengandung kemaslahatan dan melarang mengerjakan sesuatu yang mengandung kerusakan,'' papar ahli bahasa dari abad ke-11 M, Abu Bakr Abd ul Qahir ibnu Abdur-Rahman al-Jurjan. Nasihat itu tentunya mencakup Allah SWT,  rasul-Nya, Kitab-Nya, para pemimpin umat dan kaum Muslimin secara umum.

Sebuah nasihat haruslah disampaikan sebagai bentuk rasa cinta yang murni kepada orang lain, tentunya lewat pesan-pesan yang mengantarkan orang lain menuju kepada kemaslahatan. Menurut Dr Muhammad al-Hasyimi, sekecil apapun nasihat yang disampikan  bernilai mulia di hadapan Allah.

Dalam sebuah hadis Nabi SAW bersabda, ''Agama adalah ketulusan (nashihah).'' Kami bertanya, ''Kepada siapa?'' Beliau bersabda, ''Kepada Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin Muslim dan masyarakat umum.'' (HR Muslim).  Menurut Syekh al-Mishri, memberi nasihat termasuk sifat para nabi. Sebab, para nabi tak pernah bosan untuk memberi nasihat kepada kaumnya untuk beriman.

Agar saat menyampaikan nasihat menuju kebenaran dapat tersampaikan dengan baik, seorang Muslim perlu memperhatikan etika memberi nasihat kepada orang di sekeliling kita. Lantas apa saja adab memberi nasihat itu? Syekh al-Mishri mengungkapkan ada beberapa etika dalam memberi nasihat kepada orang lain:

Pertama, niat tulus hanya karena Allah SWT.  Pemberi nasihat hanya mengharapkan ridha Allah dan balasan di akhirat. Ia menyampaikan nasihat bukan karena ingin mendapatkan keuntungan duniawi, riya (ingin dipuji orang lain) dan sum'ah (menceritakan kebaikannya kepada orang lain).

Kedua, berdasarkan ilmu. Memberi nasihat dengan ilmu merupakan sebuah keharusan dalam arti menguasai materi yang akan dinasihatkan. Tanpa didasari ilmu, bisa jadi seseorang akan menasihati dengan hal-hal yang munkar dan justru melarang yang makruf (baik). 

Ketiga, berhias diri dengan akhlak lemah lembut. Pemberi nasihat wajib memiliki akhlak yang lemah lembut dan santun dalam menyampaikan nasihat. Hal ini diperintahkan Allah SWT kepada Nabi Musa AS dan Harun AS saat berdakwah kepada Firaun. ''Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Firaun) dengan kata-kata yang lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.'' (QS Thaha:44).

Keempat, memilih cara yang tepat. Cara memberi nasihat berbeda-beda sesuai dengan situasi, kondisi dan kepribadian seseorang. Dalam banyak keadaan, manusia justru membutuhkan nasihat melalui keteladanandari seorang figur. Menasihati anak-anak berbeda dengan menasihati orang dewasa.

Kelima, tidak bertujuan mencela atau menyebarkan keburukan. Keenam, nasihat meliputi urusan agama dan dunia. Ketujuh, menasihati secara rahasia. Kedelapan, si pemberi nasihat wajib bersabar bila orang itu tidak bersedia menerima nasihatnya.

Syekh al-Mishiri, mengingatkan bahwa nasihat yang paling utama adalah nasihat untuk diri sendiri.  ''Dia harus menasihati diri sendiri sebelum menasihati orang lain,'' tuturnya.  Mereka yang menipu dirinya sendiri, tidak bisa diharapkan dapat menasihati orang lain. Allah SWT mencela orang-orang yang memerintahkan kebaikan kepada orang lain, namun dia sendiri tidak melaksanakannya.

''Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.'' (QS ash Shaff: 2-3).

Nasihat yang disampaikan dengan tulus, papar Syekh al-Mishri, dapat berpengaruh besar terhadap diri seseorang dan mendorongnya untuk melaksanakan nasihat yang diterimanya. Pada akhirnya, nasihat atau wasiat akan menjadi bagian takwa, mengingat kebenaran dan berpikir.
Oleh: Yusuf Assidiq
sumber : www.republika.co.id

Tuesday, February 28, 2012

Utamakan Kelembutan

,  Oleh Ali Trigiyatno

Maraknya aksi kekerasan belakangan ini mengundang keprihatinan kita bersama. Hampir tiap hari kita disuguhi berbagai kabar tindak kekerasan, baik itu berbentuk penyerangan, pengeroyokan, tawuran, maupun tindakan anarkistis lainnya.

Pelakunya pun cukup beragam dilihat dari usia dan jabatannya. Publik bertanya, ada apa dengan karakter masyarakat kita ini. Bukankah dulu kita berbangga karena dikenal bangsa lain sebagai bangsa yang santun, lembut, dan ramah? Lantas, ke mana semua sifat mulia itu sekarang ini?

Alquran sebagai pedoman hidup kita mengajarkan bagaimana menghadapi persoalan. “Maka, disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” [QS Ali Imran: 159].

Lewat ayat ini Allah mengingatkan kita agar mengedepankan sikap lemah lembut dan menjauhi kekasaran atau kekerasan seperti tecermin dari sikap yang dimiliki Rasulullah SAW. Kita juga diajarkan untuk suka memaafkan kesalahan orang lain sekaligus memintakan ampun atas dosa dan kesalahannya.

Dan, jangan lupa untuk mengedepankan sikap musyawarah, diskusi, dan dialog dengan santun menghadapi berbagai persoalan, bukan demonstrasi anarkistis, teror, dan menebar ancaman. Selanjutnya, kita diminta bertawakal setelah membulatkan tekad karena Allah menyukai orang-orang yang bertawakal.

Kita juga perlu meneladani bagaimana Nabi kita membalas perlakuan tidak menyenangkan dari orang lain. “Dari 'Urwah bin Zubair bahwa Aisyah ra istri Nabi SAW berkata, ‘Sekelompok orang Yahudi datang menemui Rasulullah, mereka lalu berkata, ‘Assaamualaikum (semoga kecelakaan atasmu)’. Aisyah berkata, ‘Saya memahaminya, maka saya menjawab, 'Waalaikum as saam wal laknat (semoga kecelakaan dan laknat tertimpa atas kalian).’”

"Aisyah berkata, ‘Lalu Rasulullah SAW bersabda, ‘Tenanglah wahai Aisyah, sesungguhnya Allah mencintai sikap lemah lembut pada setiap perkara.’ "Saya berkata, ‘Wahai Rasulullah! Apakah engkau tidak mendengar apa yang telah mereka katakan?’” "Rasulullah SAW menjawab, ‘Saya telah menjawab, 'Waalaikum (dan semoga atas kalian juga).’" [HR Imam Bukhari]

Perhatikanlah, bagaimana Nabi kita walau didoakan dengan kejelekan dan istrinya Aisyah tidak terima perlakuan itu, beliau tetap menasihati istrinya agar tetap menjaga kelembutan hati, tidak terpancing emosi, serta menghindari kekasaran dan pembalasan yang berlebihan.

Nabi kita juga mengajarkan bagaimana menghadapi kejahilan yang dilakukan seorang Badui yang mengencingi Masjid Nabi, seperti termaktub dalam sahih Bukhari, dari Anas bin Malik bahwa seorang Arab Badui kencing di masjid, lalu orang-orang mendatanginya, maka Rasulullah bersabda, "Biarkanlah." Kemudian, beliau meminta diambilkan air, lalu beliau menyiramnya.

Mari kedepankan sikap lemah lembut, ramah, santun, dan sabar dalam menyelesaikan setiap permasalahan, bukan dengan kekerasan dan pemaksaan.


sumber : www.republika.co.id

Sikap Pelit

Sudah tiga kali putaran, ibu muda itu mengelilingi pasar desa tersebut, namun belum kelihatan jinjingan barang belanjaannya. Bukan tidak ada barang yang dicarinya, tapi beberapa kali ia menawar baju yang diminatinya, si pedagang tidak melepasnya. Penawaran wanita itu mentok pada harga Rp 100 ribu, sedangkan toko-toko yang didatanginya menjualnya  seharga Rp 110-130 ribu. Rupanya harga untuk baju itu sudah standar di pasar tersebut. Tapi, wanita itu penasaran sehingga ia datangi hampir semua toko baju yang ada di sana.

Karena tidak ada yang menjual pada harga Rp 100 ribu maka dengan terpaksa ia pun membelinya seharga Rp 110 ribu, lantaran ia sudah kadung kesengsem betul dengan baju yang tengah tren itu. Demi mendapatkan selisih Rp 10 ribu, dia rela menyambangi hampir semua toko baju di pasar itu. Dan, setelah hampir dua jam mengelilingi pasar yang padat pengunjung itu, lapar dan haus tidak bisa ditolaknya. Akhirnya kedua kakinya pun melangkah ke warung bakso dan es campur. Ternyata, jajanan yang dilahapnya tersebut menghabiskan kocek Rp 15 ribu.

Perilaku yang ditampilkan oleh wanita tadi sesungguhnya lahir dari kebakhilan atau kekikiran yang bercokol di dalam hatinya. Karena, kalau hendak komparasi harga, mungkin bisa dua atau tiga toko saja dan tidak semua toko dihampirinya. Uang jajan sebesar Rp 15 ribu juga tidak perlu keluar dari dompetnya, kalau ia segera membayar baju tersebut, dan ia pun bisa cepat pulang sehingga bisa bercengkerama dengan keluarganya.

Minimal ada dua ‘kerugian’ yang menimpa wanita tersebut: tambahan pengeluaran sebesar lima ribu rupiah dan terbuangnya waktu dengan sia-sia. Dan, ini merupakan sebagian saja dari akibat buruk yang dialami oleh orang-orang yang bakhil atau pelit.

Di samping tidak pernah mencecap kelapangan hati, miskinnya pertemanan, dan kecilnya peluang untuk meraih pahala kebajikan, banyak umat dulu kala juga tewas bergelimpangan karena sifat bakhil ini. Qarun ditelan bumi bersama harta kekayaannya lantaran kebakhilannya untuk membayar zakat.

“Takutlah kalian terhadap perilaku zalim, karena sesungguhnya perilaku zalim itu merupakan kegelapan di Hari Kiamat, dan takutlah kalian terhadap sikap kikir, karena sesungguhnya kikir itu telah membinasakan orang-orang sebelum kalian, dan mendorong mereka untuk menumpahkan darah mereka sendiri serta menghalalkan kehormatan mereka.” (HR Muslim).

Sering juga terjadi, karena kikirnya seseorang atau pengusaha dalam memberikan uang tips tertentu kepada orang-orang kecil, semisal kuli atau tukang bongkar-muat barang, ia akan selalu diingat-ingat oleh mereka menyangkut sifat buruknya tersebut. Dan, ketika ia membutuhkan jasa kuli-kuli tersebut, mereka pun menjadi malas dan ogah-ogahan. Akibatnya, justru menghambat urusan pengusaha tersebut. Maka, berbahagialah orang yang terbebas dari sifat bakhil, kikir alias pelit. (al-Hasyr [59]: 9).
Oleh Ustaz Makmun Nawawi
sumber : www.republika.co.id

Monday, February 27, 2012

Ibu Pionir Perubahan

Di balik pria yang agung, ada wanita agung di belakangnya. Demikian orang bijak mengatakan. Jika ada lelaki yang menjadi cendekia, tokoh ternama, pemimpin yang disegani, atau mujahid kesatria maka lihat dulu siapa ibunya. Karena, ibu memiliki peran besar dalam membentuk watak, karakter, dan pengetahuan seseorang. Ibu adalah ustazah pertama sebelum si anak berguru kepada orang lainnya, kapan pun dan di manapun.

Ibu adalah orang pertama yang memberikan nutrisi kehidupan berupa air susu dan kasih sayang sebelum mereka bergelut dengan dinamika kehidupan. Maka, kecerdasan, keuletan, dan budi pekerti sang ibu adalah faktor dominan bagi masa depan anak-anaknya.

Seorang ibu memiliki peran penting dalam mendidik anaknya. Jika ia memainkan peran tersebut dengan baik, kelak ia –bahkan masyarakat-- akan memetik buah manisnya dari sang anak berupa ketaatan dan kesuksesan. Namun, bila ia menyia-nyiakan perannya, kelak ia akan menuai kedurhakaan, sikap kurang ajar, rasa malu, dan penyesalan.

Peran paling mendasar yang dimainkan oleh seorang ibu, di antaranya, adalah, menanamkan nilai-nilai luhur dan budi pekerti mulia dalam dirinya sendiri terlebih dahulu karena orang yang tidak punya sesuatu tidak mungkin memberi kepada orang lain.

Allah SWT telah menentukan karakter seorang ibu yang baik dan salehah dalam surat an-Nisa. “Maka, wanita yang salehah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak  ada. Maka dari itu, Allah telah memelihara mereka.” (QS an-Nisa [4]: 34). Karenanya, seorang istri salehah lebih cocok untuk diajak membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah dan melahirkan keturunan yang saleh lagi salehah.

Utsman bin Affan pernah berpesan kepada anak-anaknya, “Wahai anak-anakku, sesungguhnya orang yang hendak menikah itu ibarat orang yang hendak menyemai benih. Maka, hendaknya ia memperhatikan di mana ia akan menyemainya. Dan, ingatlah bahwa wanita yang berasal dari keturunan yang jelek jarang sekali melahirkan keturunan yang baik maka pilih-pilahlah terlebih dahulu meskipun sejenak.”

Dengan ini sangat gamblang bahwa peran ibu sangat urgen dalam dunia pendidikan. Ia adalah pemeran utama dan salah satu faktor terpenting yang melatarbelakangi keberhasilan proses pendidikan itu sendiri. Dengan kesalehannya, masyarakat akan menjadi saleh. Dan, sebab kebrobokan akhlaknya, masyarakat akan menjadi amburadul. Ibu adalah pionir perubahan dan pencetak generasi brilian. Tanpa ibu yang salehah, kita hanya akan menuai duri dan buah yang pahit di tengah masyarakat.
Oleh: Muhtadi Kadi
sumber : www.republika.co.id

Sunday, February 26, 2012

Pendidikan Kejujuran

Ketidakjujuran tampaknya sudah mewabah pada hampir semua aspek kehidupan bangsa. Di mana-mana, kita menyaksikan orang berbohong di DPR, pengadilan, pasar, kantor, kampus, bahkan di tempat ibadah pun ada yang berani berdusta untuk menutupi perilaku amoralnya. Kebohongan menjadi benteng pembelaan diri. Bohong menjadi “barang dagangan yang diobral”. Padahal, tali kebohongan itu pendek. Sebuah ungkapan bijak menyatakan bahwa semua tali itu panjang, kecuali tali kebohongan. Satu kebohongan akan dibarengi dengan aneka kebohongan lainnya.

Karena itu, ketika didatangi seseorang yang meminta nasihat, Rasulullah SAW berkata singkat kepadanya, “Jangan berbohong” (HR Muslim). Kalimat singkat, tetapi bernas ini mengandung nilai edukasi yang tinggi, yaitu pendidikan kejujuran. Mendidik manusia supaya berperilaku jujur merupakan esensi pendidikan, sedangkan esensi pendidikan kejujuran adalah keteladanan yang baik dan benar.

Orang yang berbohong itu sejatinya merugi. Jika kebohongannya tidak diketahui, dia akan mendapatkan dosa. Dan, jika kebohongannya diketahui orang lain, dia tidak akan dipercaya lagi. Implikasinya, hubungan dirinya dengan sesama menjadi kurang baik karena sudah dicap sebagai pembohong atau munafik. Orang lain tidak akan bersimpati dan menjauhi, bahkan memusuhinya.

Orang yang jujur, secara psikologis hatinya akan selalu merasa tenteram, damai, dan bahagia. Sebaliknya, orang yang biasa berdusta, hidupnya menjadi tidak tenang, dikejar-kejar oleh “pemberontakan” hati kecilnya yang selalu menyuarakan kebenaran. Dia selalu merasa khawatir kebohongannya itu terbongkar.

Kebiasaan tidak jujur itu sangat berbahaya, tidak hanya bagi orang lain, tetapi juga bagi dirinya sendiri. Kepercayaan dan kewibawaannya akan hilang. “Dalam hati mereka (orang-orang munafik) itu ada penyakit, lalu ditambah oleh Allah penyakitnya, dan bagi mereka siksa yang pedih disebabkan mereka berdusta.” (QS al-Baqarah [2]:10).

Pendidikan kejujuran harus dimulai dengan jujur kepada diri sendiri dengan senantiasa meminta “fatwa kebenaran” yang bersumber dari hati nurani. “Istafti qalbaka” (minta fatwalah kepada hatimu). Setelah itu, hendaklah kamu selalu benar. Sesungguhnya kebenaran membawa kepada kebajikan dan kebajikan membawa ke surga.” (HR Bukhari).

Pendidikan kejujuran dapat terwujud manakala ia selalu belajar menjalani kehidupan ini dengan lima hal, yaitu iman, ikhlas, ihsan, ilmu, dan istiqamah. Dengan iman, ia yakin Allah pasti mengawasi dan mencatat seluruh amal perbuatannya. Dengan ikhlas, ia dididik untuk melakukan sesuatu dengan mengharapkan rida Allah. Dengan ihsan, ia akan berbuat yang terbaik untuk orang lain. Dengan ilmu, ia tahu perbuatan halal dan haram. Dan, dengan istiqamah, ia belajar mengawal kebaikan dan kebenaran yang sudah dibiasakannya menjadi lebih baik dan lebih diridai Allah SWT.

“Tiga golongan manusia yang pada hari kiamat kelak tidak akan dipandang oleh Allah dengan rahmat-Nya, bahkan mereka itu akan memperoleh siksaan yang menyakitkan, yaitu orang tua yang berbuat zina, penguasa yang berdusta, dan orang melarat yang sombong.” (HR Muslim).
Oleh Muhbih Abdul Wahab
sumber : www.republika.co.id

Saturday, February 25, 2012

Dukungan Perjuangan

Dikisahkan, Rasulullah SAW menemui banyak kesulitan sewaktu mempersiapkan Perang Tabuk. Beberapa orang sahabat tidak bisa diikutsertakan karena keterbatasan perbekalan dan persenjataan. Mereka sangat sedih. Kaum Muslim dilanda krisis ekonomi yang hebat pada masa itu. Lalu, Nabi naik ke atas mimbar, meminta dan menyeru kaum Muslim agar memberi dukungan untuk perjuangan ini.

Utsman bin Affan lantas mengangkat tangan dan menyatakan siap memberikan 100 ekor unta lengkap dengan persenjataannya. Nabi turun satu tangga (dari mimbar) dan kembali menyeru kaum Muslim agar memberikan dukungan untuk perjuangan ini. Utsman kembali mengangkat tangan dan menyatakan siap menambah 100 unta lagi. Nabi SAW pun semringah. Beliau turun satu tangga lagi dan kembali mengimbau kaum Muslim agar memberikan dukungan untuk perjuangan ini.

Utsman pun bergegas ke rumahnya dan datang lagi membawa nampan berisi emas. Lalu, Nabi SAW menerimanya sambil berdoa, “Semoga Allah mengampuni dosa-dosamu, hai Utsman, dosa yang kamu rahasiakan maupun yang kamu nyatakan.” (HR Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf).

Utsman sungguh mulia. Utsman salah seorang sahabat Nabi yang dermawan. Ia bergelar “dzun al-nurain” karena menikahi dua putri Rasul, dan “shahib al-hijratain” karena ikut dua kali hijrah, ke Ethiopia dan Madinah.

Dukungan Utsman dalam kasus ini menunjukkan beberapa nilai. Pertama, komitmen perjuangan yang lahir karena keimanan dan kepatuhan yang tinggi kepada Allah dan Rasul. Kedua, Utsman dapat memberikan benda (harta) paling berharga yang dimilikinya, seperti yang diminta Allah SWT. (QS Ali Imran [3]: 92).

Ketiga, harta dan kekayaan bukanlah sesuatu yang buruk pada dirinya sendiri. Seperti disebutkan dalam Alquran, harta justru merupakan kebaikan/khair (QS al-`Adiyat [100]: 8) dan keutamaan/fadhl (QS al-Jum`ah [62]: 10). Harta yang baik (halal) di tangan orang yang baik (saleh), seperti sahabat Utsman, akan membawa kebaikan dan kemaslahatan yang besar bagi kemajuan agama dan kemanusiaan.

Perjuangan umat untuk mengatasi kemiskinan dan keterbelakangan sekarang ini memerlukan dukungan perjuangan seperti yang ditunjukkan sahabat Utsman. Kaum Muslim secara umum sekarang ini, menurut ulama besar dunia Yusuf al-Qardhawi, tidaklah miskin. Bahkan, beberapa negeri Islam tergolong kaya raya. Namun, dengan kekayaan ini, kaum Muslim secara internasional belum mampu menjadi komunitas yang unggul seperti diharapkan. (QS Ali Imran [3]: 110).

Menurut Qaradhawi, ada dua penyebabnya. Pertama, pelit dan kikir. Kedua, boros (israf), yaitu membelanjakan harta tidak pada tempatnya alias menghambur- hamburkan harta secara tidak proporsional. Inilah, antara lain, dua faktor yang menghambat dukungan untuk perjuangan dan kemajuan umat. Karenanya, teladan sahabat Utsman menjadi penting bagi kita semua. Wallah a`lam.
Oleh Dr A Ilyas Ismail
sumber : www.republika.co.id

Friday, February 24, 2012

Sabar dalam Kebinekaan

Beragama Islam secara utuh (kafah) itu butuh kesabaran (QS 103: 3). Termasuk sabar dalam menyikapi keberadaan orang-orang yang tidak beragama Islam. Untuk memelihara salah satu misi ajaran Islam tentang perdamaian, diperlukan kesabaran dalam menyikapi perbedaan. Perbedaan harus dihormati, terutama untuk menghindari munculnya beragam bentuk ketegangan sosial yang kerap amat memprihatinkan.

Bukankah perbedaan itu merupakan wujud kebinekaan yang sejak awal merupakan keniscayaan yang diakui Alquran, khususnya bagi bangsa Indonesia? Lalu, mengapa fakta kebinekaan masyarakat kita ini masih saja muncul dalam nuansa yang tidak bersahabat? Tidak jarang fenomena itu hadir dalam wujud kekerasan yang amat merugikan. Kebinekaan dalam berkeyakinan kerap berubah menjadi konflik yang sangat memprihatinkan. Watak ramah masyarakat pun tidak lagi menjadi pemandangan persahabatan yang menyejukkan.

Sistem nilai yang terbuat dalam kebinekaan adalah aturan Tuhan (sunatullah) yang tidak mungkin berubah, diubah, dilawan, dan diingkari. Barang siapa yang mencoba mengingkari hukum kemajemukan budaya maka akan menimbulkan fenomena pergolakan yang tiada berkesudahan. Bahkan, Alquran mengakui keberadaan agama lain yang memiliki kitab suci, kecuali agama yang berdasarkan paganisme dan syirik, dan menyerukan umat Islam untuk hidup berdampingan dengan mereka.

Sejarah kejayaan Islam yang berlangsung dalam harmoni kebinekaan memang telah berlalu, namun spirit keragaman seperti tertuang dalam Alquran tetap menyala hingga kini. Sehingga, perlu direalisasikan dalam kehidupan nyata. Ini bukan merupakan kemustahilan karena ada kesejajaran antara kebinekaan Islam dan kemajemukan modernisme. Akan tetapi, kebinekaan atau yang kini sering muncul dalam terminologi pluralitas kadang-kadang masih ditandai berbagai penyimpangan dalam praktik politiknya.

Hal ini merupakan bentuk kegagalan dakwah karena berbagai interest politik yang picik masih belum mampu diredusir, baik oleh sebagian umat Islam secara khusus maupun umat manusia pada umumnya.

Langkah bijaksana bagi setiap umat adalah bersabar dan sanggup mengendalikan diri untuk tetap menghormati perbedaan. Selain itu, diperlukan pula kesabaran dalam mewujudkan suasana sosial yang kondusif untuk menciptakan toleransi. Sebab, dalam batas-batas sosiologis, toleransi tidak bisa terwujud dengan sendirinya, tapi membutuhkan proses rekayasa kultural sehingga masyarakat dapat terkondisikan secara produktif. Toleransi bukan saja menjadi ajaran yang hanya hadir dalam wacana, tapi sejatinya menjadi perilaku yang membudaya dalam kehidupan secara lebih terbuka.

Lihatlah pemandangan sosial masyarakat yang dibangun Nabi dengan para sahabatnya. Jika dalam terminologi ajaran Islam dikenal istilah harbi dan dzimni untuk menunjuk masyarakat yang berbeda agama, hal itu menggambarkan adanya pemberian tempat khusus secara damai bagi mereka yang berbeda agama selama tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat melanggar kerukunan.
Oleh: Prof Dr Asep S Muhtadi
sumber : www.republika.co.id

Thursday, February 23, 2012

Jatiluhur Oke Banget

TERLETAK sekitar 9 km dari Kota Purwakarta, objek wisata Jatiluhur yang terkenal dengan nama Bendungan Ir. H. Juanda, memiliki panorama danau dengan luas 8.300 ha. Bendungan ini mulai dibangun tahun 1957 dan mampu menampung tidak kurang dari 3 miliar kubik air Sungai Citarum. Waduk Jatiluhur juga merupakan waduk serbaguna pertama di Indonesia.

Di Bendungan Ir. H. Juanda, terpasang 6 unit turbin dengan daya 187 mw dan produksi tenaga listrik rata-rata 1.000 juta kwh setiap tahun. Selain itu, Jatiluhur juga memiliki fungsi penyediaan air irigasi untuk 242.000 ha sawah (dua kali tanam setahun), air baku air minum, budi daya perikanan, dan pengendali banjir.

Selain berfungsi sebagai PLTA dengan sistem limpasan terbesar di dunia, kawasan Jatiluhur memiliki banyak fasilitas rekreasi yang memadai. Sebut saja hotel dan bungalow, bar dan restoran, lapangan tenis, biliar, perkemahan, kolam renang, ruang pertemuan, sarana rekreasi dan olahraga air, playground dan fasilitas lainnya. Sarana olahraga dan rekreasi air misalnya mendayung, selancar angin, kapal pesiar, ski air, boating dan lainnya.

Di perairan Danau Jatiluhur ini, juga terdapat budi daya ikan keramba jaring apung, sehingga menjadi daya tarik tersendiri. Di waktu siang atau dalam keheningan malam, pengunjung dapat memancing dengan penuh ketenangan sambil menikmati ikan bakar.

Di kawasan ini terdapat pula Stasiun Satelit Bumi, yang dikelola PT Indosat, sebagai alat komunikasi internasional. Jenis layanan yang disediakan antara lain international toll free service (ITFS), Indosat Calling Card (ICC), international direct, dan lainnya.

Bagi wisatawan remaja, tersedia pondok remaja serta lahan yang cukup luas untuk kegiatan outbond dan perkemahan di perbukitan dengan banyak pohon peneduh. Khusus untuk educational tourism, yang ingin mengetahui seluk beluk waduk ini, Perum Jasa Tirta II menyediakan tenaga ahlinya.

Sejak dulu Jatiluhur sudah dikenal sebagai salah satu tempat wisata memancing. Begitu pula dengan mereka yang ingin menikmati kolam renang untuk bersantai ria bersama keluarga, di kawasan ini tersedia kolam renang tapi tentunya dengan membeli karcis terlebih dulu.

Objek wisata ini banyak dikunjungi bukan hanya wisatawan dari Purwakarta, melainkan pula dari luar kota bahkan luar provinsi. Sebab itu bagi yang belum pernah ke sini, tak tak ada salahnya untuk mencobanya, dijamin pasti akan puas.

Bagi wisatawan yang ingin mengelilingi bendungan, sudah tersedia jasa pengantar memakai perahu mesin. Mengenai harga, bervariasi jadi sangat tergantung negosiasi dengan pemilik perahu. Menarik bukan.

Apalagi jarak tempuhnya terhitung cukup singkat. Yaitu hanya 6 km dari pintu gerbang Tol Jatiluhur/Ciganea atau jarak tempuh sekitar 40 menit dari Bandung, dan 1,5 jam dari pintu Tol Pondok Gede Jakarta. Akses ke kawasan wisata Jatiluhur sangat mudah dikunjungi, dan yang paling penting adalah bebas dari kemacetan. So, kapan ke Jatiluhur?
sabtu, 18 februari 2012 Galamedia (efrie ch./"GM")**

Wednesday, February 22, 2012

Kekuatan dan Sistem Pemerintahan Indonesia

KISAH mengenai kehidupan hedonis yang dilakukan oleh para elite politik dan pejabat negeri ini, sudah bukan barang baru lagi. Hal ini sudah terjadi sejak zaman orde lama hingga era reformasi saat ini. Barang-barang mentereng, jalan-jalan ke luar negeri, rumah dan mobil mewah yang mereka gunakan dan seolah-olah dengan entengnya membuang uang rakyat untuk hal yang tidak penting, belum lagi adanya korupsi yang merajalela di kalangan elit politik. Kisah tersebut bagaikan cerita lama yang dikemas dengan bungkus baru.

Permasalahannya ialah apakah sikap hedonis para elite politik dan pejabat tersebut dilakukan dengan menggunakan uang rakyat atau berasal dari kantong pribadi. Jika mereka mendapatkannya berasal dari hasil jerih payahnya merupakan suatu hal yang wajar. Namun, apabila dalam memenuhi kebutuhannya menggunakan uang rakyat yang seharusnya digunakan untuk kemakmuran rakyat, itulah yang menyalahi aturan.

Kekuasaan dan Moralitas Menurut Edward Gibbon (1737-1794), sejarawan Inggris, dalam bukunya "The History of the Decline and Fall of the Roman Empire", terdapat dua hal utama yang menyebabkan kemerosotan Imperium Romawi. Pertama, korupsi dan kebiasaan hedonis.

Kedua, eksklusivitas dan fanatisme Kristen. Oleh sebab itu, perlu diingat bahwa meski Romawi bukan negara modern layaknya negeri ini, namun dalam menganalisis pola pikir berpolitik dan perilaku politisi dan pejabat, tentu tidak jauh beda dengan zaman sekarang di negeri ini.

Kekuasaan selalu berwajah dua: sekaligus memesona dan menakutkan. Dengan kekuasaan kita mendapatkan kedududukan yang terhormat namun dengan kekuasaan pula kita dapat menjadi seorang penjahat paling kejam. Ada sebuah adagium yang perlu diingat, yaitu power tend to corrupt, kekuasan yang dimiliki akan mengakibatkan kesewenangwenangan.

Apalagi kekuasaan itu telah berlangsung lama dan sangat nyaman, sehingga telah mengaburkan mana yang benar dan yang salah demi melanggengkan kekuasaan, dan kekuasaan yang sangat besar tersebut sering ditandai dengan gaya hidup yang mewah untuk menunjukkan bahwa dirinya sedang berkuasa.

Tanggung jawab moral merupakan suatu bagian hakiki dari setiap praktik kekuasaan ketika kebaikan dan kesejahteraan masyarakat menjadi taruhannya. Tetapi tampaknya keyakinan ini berubah menjadi semacam pesimisme ketika para pemegang kekuasaan mempraktikkan kekuasaan tanpa tanggung jawab, seperti ketidakpekaan pada kepentingan publik, pemerkayaan diri, atau upaya pelanggengan kekuasaan, dan semacamnya. Dalam kondisi demikian, pandangan klasik bahwa konsumerisme telah mengambil alih wilayah kekuasaan dari moral dan mengaburkan kemampuan membedakan moralitas humanisme dan moralitas binatang yang mengutamakan kenikmatan dapat diterima. Akibatnya, para penguasa menghapus tanggung jawab moral dari kamus kekuasaan mereka dengan berpura-pura untuk mengutamakan kepentingan rakyatnya.

Jalan Keluar
Berbagai diskusi telah dilakukan untuk mencari solusi permasalahan tersebut. Namun sampai saat ini, belum terlihat adanya titik terang penyelesaiannya. Ada beberapa faktor yang dapat digunakan untuk mencegah tejadinya penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan para pejabat di Indonesia.

Pertama, adanya sistem perekrutan yang baik. Sistem perekrutan tersebut harus bersih dari benih-benih Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN). Kedua ialah etos kerja. Pegawai yang nantinya akan menjadi pejabat harus mempunyai etos kerja yang baik, disiplin, dan selalu mendahulukan kepentingan orang banyak daripada kepentingan pribadi.

Ketiga, lingkungan kerja yang kondusif. Banyak dari masalah KKN ini diakibatan karena KKN merupakan hal yang lumrah dilakukan dan telah mendarah daging.

Adanya kesenjangan kesejahteraan antara pejabat tinggi dan pegawai rendahan juga menjadi faktor pendorong adanya KKN tersebut.

Keempat, penanaman jiwa sederhana sejak usia dini. Inilah merupakan hal yang sangat penting, dimana mentalitas para pegawai atau cikal bakal pemimpin negeri ini harus dipupuk sejak usia dini. Budaya curang harus dibuang jauh dari mentalitas calon pejabat.

Kelima, penerapan hukum yang baik. Hukum inilah yang sering disalahgunakan, Disinilah kita perlukan hukum untuk mengaturnya dengan mengutip pendapat dari Prof. Mochtar Kusumaatmadja, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, menyatakan bahwa hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan sedangkan kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman. Diperlukanlah kesinambungan antara hukum dan kekuasan, jangan sampai hukum tersebut disalahgunakan demi melanggengkan kekuasaan.

Dengan demikian, marilah kita merapatkan barisan baik itu pemerintah dan masyarakat untuk mencegah hal buruk tersebut terus berlangsung.

Kita memerlukan para penguasa negeri ini pemimpin sederhana yang bisa menempatkan dirinya dengan sepatutnya dan mempunyai cita-cita untuk memakmurkan bangsa bukan memakmurkan pribadi beserta golongannya.
Galamedia kamis, 16 februari 2012
Oleh : Muammar Wicaksono
(Penulis, Mahasiswa Fakultas Hukum Unpad)**

opini lainnya
17/02 Bela Negara vs Bela Rakyat16/02 Kekuatan dan Sistem Pemerintahan In...13/02 Wartawan Tanpa Jurnalisme10/02 Islam dan Kesadaran Sosial Berbangs...09/02 Jurnalisme Sperma Airmata06/02 Budaya (Tidak) Baca04/02 Pesona Rawayan Maulid Nabi03/02 Urgensi Kecerdasan Alternatif dalam...02/02 Ironisme Nasihat Instan30/01 Tragedi Mesuji: Ketidakadilan Pengu...28/01 Apriani : Anak Panah yang Menghujam...27/01 Soal Penyelamatan Aset, DPRD Jabar ...27/01 Islam dari Cina Menyebar ke Indones...26/01 Fenomena Fiksimini Sunda

Tuesday, February 21, 2012

Bela Negara vs Bela Rakyat

"Agar negara kuat rakyat harus dilumpuhkan" (Nicolo Machiavelli)
PASTI para pemimpin negara ini tidak setuju dengan filsafat Machiavelli itu. Namun ketidaksetujuan mereka tak nampak dalam dalam praktik manajemen pemerintahan dan kepemimpinan mereka. Faktanya, rakyat selalu mengalami marginalisasi dalam segala hal: hukum, pendidikan, kesehatan, keamanan, dan sebagainya.

Dalam bidang hukum misalnya, kepentingan penguasa yang selalu terlindungi. Kemudian atas dasar menggaet investasi pemerintah sering mengabaikan kepentingan rakyat yang lebih besar. PT Freeport sampai sekarang selalu dibela mati-matian oleh pemerintah pusat. Papua yang kaya dengan sumber daya alam hidup dalam kemiskinan. Kemudian ketika muncul gerakan perlawanan kepada pemerintah dengan basis organisasi OPM (Organisasi Papua Merdeka) pemerintah langsung mengklaim ini gerakan separatisme.

OPM adalah akumulasi kekecewaan kepada pemerintah yang berkuasa atas kegagalan pembangunan Papua. Dalam bidang ekonomi, hukum, politik, sosial budaya mereka tertinggal. Inilah bentuk kegagalan bela rakyat oleh negara, sementara pemerintah selalu mensosialisasikan bela negara melalui pendidikan, layanan iklan, dan bentuk himbauan resmi. Sementara konsep bela rakyat tidak pernah disosialisasikan, ataupun dalam tindakan.

Baru-baru ini muncul tragedi yang sangat memilukan wajah republik ini. Kasus tragedi atau pelanggaran HAM di Mesuji Lampung merupakan bentuk absteinisme negara. Rakyat di Mesuji sudah ratusan tahun dan bahkan itu merupakan tanah leluhur mereka dipinggirkan oleh investor yang di back up habis oleh negara. Mengapa negara justru hadir membela pengusaha? Kalau sejak awal pemerintah tegas mengatakan kepada pengusaha bahwa rakyat sekitar harus diperhatikan dan jangan melakukan tindakan semena-mena maka tragedi Mesuji mungkin tidak akan pernah terjadi. Belum lagi tragedi Bima yang membuat rakyat menagis.

Bagaimana seharusnya negara dalam artian yang dikendalikan oleh pemerintah yang berkuasa sekarang dalam melihat dan memahami rakyatnya? Sementara di negara kita yang namanya abai terhadap kepentingan rakyat sudah sangat sering terjadi. Bahkan tokoh-tokoh agama sudah pernah menyerukan bahwa negara kita ini adalah negara gagal dengan berbagai indikator. Negara gagal yang gagal memahami perasaan rakyatnya ketika rakyat menghadapi kesusahan hidup.

Mengubah Paradigma

Ketidakberpihakan DPR kepada rakyat merupakan bentuk kegagalan negara secara institusional. Padahal DPR adalah wakil rakyat yang seharusnya menampung aspirasi masyarakat agar bisa diperjuangkan secara politik kelembagaan. Partai politik yang seharusnya memberikan pendidikan politik kepada rakyat justru memberikan pembodohan politik massal. Parpol selalu berjanji menjaring kepala daerah yang mengerti kebutuhan rakyat. Hasilnya bukan kepala daerah yang mengerti kebutuhan rakyat, justru membuat peraturan yang memihak kroninya dan koleganya.

Sudah waktunya paradigma bela negara diganti dengan penekanan bela rakyat. Ada beberapa indikator keberhasilan bela rakyat atau jika pemerintah ingin membangun paradigma pemerintahan yang bela rakyat, pertama, masyarakat miskin harus punya akses kepada kesehatan dan pendidikan yang bermutu.

Bukan pemandangan asing lagi di negara kita kualitas pendidikan dan kualitas kesehatan kepada rakyat sangat rendah. Rakyat miskin sangat kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik di rumah sakit. Banyak keluhan yang dialami oleh masyarakat miskin. Mereka tidak diperhatikan karena menggunakan Jamkesmas. Sementara pasien dengan kategori VIP selalu didahulukan.

Anak-anak miskin banyak bersekolah di sekolah pemerintah yang sangat darurat. Lucu rasanya di negara kita sekolah swasta mutunya lebih bagus dari sekolah negeri. Padahal di sekolah negeri gaji guru dibayar oleh negara melalui pajak dari masyarakat. Akses masyarakat ke pendidikan tinggi pun sangat rendah karena ketidakmampuan rakyat membayar uang kuliah. Untuk itu kualitas pendidikan yang baik dan kualitas kesehatan yang baik harus bisa diakses oleh masyarakat miskin sebagai indikator keberhasilan pemerintah berparadigma rakyat.

Kedua, pemerataan pembangunan yang adil. Selama ini yang menikmati pembangunan hanya segelintir orang saja. Banyak ketimpangan pembangunan yang terjadi. Baik pembangunan desa dan kota. Keberhasilan pemerintahan yang berparadigma bela rakyat ditunjukkan dengan pembangunan yang merata di segala bidang. Selama ini konsentrasi pembangunan hanya di Pulau Jawa. Luar pulau Jawa kurang diperhatikan oleh pemerintah. Padahal luar Jawa memberikan sumbangan dan kontribusi yang sangat besar.

Ketiga, supremasi hukum yang tegak dan sama bagi semua warga negara. Hukum yang progresif adalah hukum yang berlaku sama bagi semua warga. Hukum tidak bisa pandang bulu. Bulu pejabat, bulu tukang bakso, bulu nelayan sama semua dihadapan rakyat. Hukum yang tidak tegak telah melahirkan korupsi yang sangat ganas di negara ini. Banyak pejabat merasa tidak tersentuh hukum jika melakukan korupsi. Ini menjadi preseden buruk kedepan dalam penegakan hukum. Pemerintah atau negara berparadigma bela rakyat tentu tidak melihat membedakan warga negara.

Kalau pemerintahan membela rakyat maka dengan sendirinya negara akan kuat. Siapa yang meninggalkan rakyatnya maka negara itu akan masuk dalam perangkap kehancuran. Kasus negara Tunisia, Lybia, Mesir atau fenomena "Arab Springs" menjadi bukti kuat bahwa negara yang meninggalkan rakyat penguasanya akan jatuh. Tragedi Mesuji, Papua, Bima dan banyak kasus lain yang merupakan bukti kegagalan negara membela rakyat harus menjadi pengalaman bagi pengelola bangsa ini. Saatnya negara tampil terdepan dalam membela rakyatnya.
Galamedia jumat, 17 februari 2012
Oleh : Acep Hermawan
(Penulis, kandidat doktor Pendidikan UIN SGD Bandung)**

Monday, February 20, 2012

Islam dan Kesadaran Sosial Berbangsa

SECARA normatif dan teoritik, agama Islam mempunyai obsesi untuk bisa hadir di tengah-tengah manusia, sebagai fasilitator dalam pemecahan problem-problemnya 'liyukhrijahum min al dzulumati ila al nur' (agama itu datang untuk membebaskan manusia dari kegelapan). Asghar Ali Engineer (1999) menyebut, Islam hadir untuk menyelamatkan, membela dan menghidupkan keadilan dalam bentuknya yang paling kongkrit. Kenyataan demikian dapat dilihat dari banyaknya ayat al-Qur'an yang memerintahkan manusia untuk berbuat adil, menentang kedzaliman dan mengentaskan kemiskinan.

Namun sayang sekali, wajah Islam sebagai penyelamat, pembela dan penghidup keadilan itu, seringkali justru berbenturan dengan kenyataan empirik yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Kehadiran Islam bukannya memecahkan berbagai problem, tetapi justru menjadi problem itu sendiri. Dalam banyak kesempatan, agama bahkan hanya dipahami dalam bentuknya yang paling luar, sebagai ritual rutin yang jangkauannya hanya terbatas pada wilayah-wilayah privat dan spiritual belaka.

Praktek keagamaan seperti inilah yang sesungguhnya telah menyebabkan Islam dalam berabad-abad lamanya kehilangan spirit religiusnya yang murni, yakni spirit keadilan yang menghubungkan antara keluhuran ajaran dengan kemuliaan praktik-praktik kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari. Hilangnya spirit keadilan ini juga menyebabkan umat Islam seringkali kesulitan menerapkan Islam secara kaffah (menyeluruh), karena yang sering terjadi justru praktik-praktik kehidupan beragama yang parsial dan terkotak-kotak.

Seperti dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, umat Islam seringkali kehilangan daya kritisnya terhadap praktik-praktik ketidakadilan yang dilakukan oleh negara. Energi agama sebagai pembebas, nyaris tidak berfungsi. Rekonstruksi tatanan masyarakat yang berkeadilan kurang menuai hasil yang memuaskan karena agama hanya dipergunakan sebagai 'alat' untuk menumbangkan sebuah kekuatan politik atau rezim, bukan untuk mewujudkan keadilan secara menyeluruh. Ini bisa kita lihat di berbagai darah rawan konflik di Indonesia, sebut saja Aceh dan Ambon dan daerah rawan konflik lainnya.

Para sejarawan menulis, kedatangan Islam khususnya di Indonesia dan umumnya di seluruh belahan dunia adalah untuk merubah kemapanan serta mengentaskan kelompok yang tertindas dan tereksploitasi (masyarakat lemah). Mereka bahkan menyebut, masyarakat yang sebagian anggotanya mengeksploitasi sebagaian anggota lainnya, yang lemah dan tertindas, tidak dapat disebut sebagai masyarakat Islam (Islamic society), meskipun mereka menjalankan ritual Islam setiap hari.

Pernyataan ini didukung oleh ajaran yang di emban Nabi Muhammad sebagai bentuk pengejawantahan dalam konteks realita sehari-hari menyebutkan bahwa keadilan merupakan ukuran tertinggi suatu masyarakat. Secara tegas al-Qur'an juga menyebutkan bahwa persoalan keadilan tidak bisa dilepaskan dengan persoalan taqwa. Oleh karena itu, arti taqwa dalam Islam bukan hanya semata-mata menjalankan ibadah ritual saja. Tanpa keadilan sosial, tidak akan ada ketaqwaan.

Sayangnya, ajaran Islam yang bersifat revolusioner ini segera menjadi agama yang kental dengan kemapanan, begitu Nabi Muhammad meninggal dunia, selama berabad-abad, Islam sarat dengan praktek feodalistik. Dan anehnya, praktek demikian (entah secara sengaja atau tidak) ternyata disokong oleh para ulama. Mereka lebih banyak menulis buku tentang ibadah-ibadah ritual dan menghabiskan waktunya untuk mengupas masalah-masalah furu'iyah dalam syari'at, dan sama sekali mengecilkan arti vital Islam dalam menciptakan keadilan sosial dan kepedulian Islam yang aktif terhadap kelompok yang lemah dan tertindas.

Memang, secara komprehensip Islam tidak menyediakan teori-teori ilmiah dan managemen yang detail mengenai penyelesaian problem manusia. Tetapi secara genuine, Islam sangat concern dengan persoalan-persoalan tersebut. Dan disinilah peran manusia untuk menerjemahkan pesan-pesan agama akan menemukan jalan keluar yang sesungguhnya.

Pesan kemanusiaan agama tersebut tidak akan pernah terwujud dalam dunia nyata, jika sang manusia itu sendiri tidak mampu menerjemahkannya dalam kehidupan sehari-hari. Mengapa? karena agama sesungguhnya hanyalah salah satu diantara uluran tangan Tuhan dalam kerja besar manusia memecahkan problem-problem kehidupannya.

Ungkapan Marx bahwa agama itu candu bagi masyarakat misalnya, harus dipahami bukan semata-mata untuk menyalahkan agama, seperti yang disangka banyak orang, tetapi harus dipahami dalam pengertian bahwa selain tidak membawa perubahan bagi masyarakat, agama dalam konteks tertentu justru sering digunakan untuk melanggengkan kemapanan.

Untuk itu, jika agama ingin dijadikan sebagai alat perubahan, maka manusia harus mampu menerjemahkan agama sebagai 'senjata pamungkas' bagi kelompok masyarakat yang tertindas dan tereksploitasi. Agama harus diformulasikan dalam teologi pembebasan yang dapat memainkan peran sentral sebagai praksis revolusioner. Agama tidak boleh hanya berhenti pada upacara-upacara ritual belaka, tetapi juga harus menyelusup masuk untuk membela problem riil yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Agama bukan hanya berbicara tentang teks, tetapi juga berinteraksi dengan konteks masyarakatnya.

Sisi lain keberadaan Pesantren tidak bisa dilepaskan dari pengembangan tradisi memperdalam ilmu keislaman di Nusantara saja, sosok Kiai yang jadi panutan para santrinya selalu menjadi magnet bagi zamannya. Posisi Kiai dari sejak zaman penjajahan sampai sekarang masih harus tetap berada di tengah-tengah umat untuk mengawal peradaban.

Setidaknya dalam analisis saya ada beberapa harapan masyarakat Indonesia dari banyaknya tuntutan yang mereka lakukan terrhadap keberadaan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin. Pertama, normalisasi proses demokrasi. Kedua, peningkatan kesejahtraan ekonomi rakyat secara keseluruhan. Ketiga, pengembangan dan pemberdayaan kaum intelektualitas dan profesional di segala bidang. Keempat melakukan hubungan internasional yang lebih progres untuk kemajuan negara. Kelima sosialisasi pendidikan ketatanegaraan. Semua aspek tersebut apabila mampu dilaksanakan oleh pengemban amanah kepemimpinan, tentunya harapan untuk membangun keadaban demokratis dapat segera terwujud.
Galamedia jumat, 10 februari 2012
Oleh : Wahyu Iryana
(Penulis, Staf Pengajar Fakultas Adhum dan Saintek UIN Bandung)**

Sunday, February 19, 2012

Membangun Kecerdasan Qurani

Alquran adalah petunjuk hidup atau hudan yang diturunkan Allah untuk manusia. Sebagai petunjuk kehidupan, Allah tidak membatasi Alquran sebagai petunjuk peribadatan saja. Juga Alquran tidak hanya mengandung ayat-ayat hukum tentang halal, haram, makruh, atau mubah.

Ketika pertama kali diturunkan, yakni surah al-Alaq (1-5), Alquran justru meletakkan sebuah dasar yang amat penting bagi kehidupan manusia, yaitu ilmu pengetahuan. Membaca adalah langkah menuju ditemukannya ilmu pengetahuan, dan itulah perintah yang diturunkan Tuhan melalui wahyu yang pertama turun.

Dalam ayat pertama itu sekaligus terkandung petunjuk bagaimana manusia harus membaca, yakni iqra' bismi rabbika alladziy khalaq, bacalah denga nama Tuhanmu yang mencipta. Maknanya, dalam membaca objek bacaan apa saja, hendaknya berpijak pada tuntunan Allah SWT, bukan berdasarkan pikiran manusia belaka.

Masih dalam wahyu pertama turun itu, Alquran telah memberi isyarat objek bacaan yang amat penting, yaitu penciptaan manusia, khalaqa al min 'alaq, Dia mencipta manusia dari segumpal darah. Bagaimana kejelasannya lebih lanjut, maka manusia dipersilakan oleh Tuhan untuk membacanya (menelitinya) lebih jauh sehingga manusia menemukan ilmu pengetahuan tentang embriologi. Demikian sekadar sebuah contoh untuk menunjukkan bahwa Alquran petunjuk kehidupan manusia yang perlu terus digali kandungan maknanya.

Jika Alquran terus digali kandungan maknanya dan tidak hanya dibatasi atau berhenti pada masalah-masalah diniah (keagamaan) atau ubudiah (peribadatan) saja, maka Alquran potensial membuat umat Islam menjadi cerdas dalam memahami dan menyikapi persoalan apa saja dalam kehidupan ini. Jika kemampuan itu dimiliki, itulah yang dinamakan sebagai kecerdasan Qurani atau Quranic quotient.

Jadi, kecerdasan Qurani atau Quranic Quotient adalah kemampuan untuk memahami dan menyikapi sesuatu hal (keadaan, masalah) dengan perspektif Alquran.

Umat Islam akan bisa hidup benar-benar sesuai dengan tuntunan Alquran dalam menghadapi kemajuan zaman seperti apa pun bila memiliki dan menggunakan kecerdasan Qurani ini. Hanya saja, kenyataan menunjukkan bahwa dewasa ini umat Islam sendiri masih sangat awam dan kebanyakan jauh dari Alquran.

Dengan kenyataan tersebut, umat Islam harus digalakkan terus untuk dekat dengan Alquran dan dibimbing untuk bisa membacanya dengan baik dan memahami kandungan isinya. Sebab, itulah dasar bagi dibangunnya kecerdasan Qurani itu.

Konklusi yang kita ambil dari pemikiran ini ialah pentingnya dibangun dan ditumbuhkan kecerdasan Qurani itu. Kecerdasan Qurani harus dimulai sejak dini, yakni sejak anak-anak hingga terus berkelanjutan tanpa henti.

Seharusnyalah, kita umat Islam, tersentak dengan pertanyaan Allah SWT melalui surah Muhammad ayat 24 ini. “Apakah mereka tidak mentadabur Alquran, ataukah hati mereka telah tertutup?” Jangan sampai kita menjadi orang yang tertutup hatinya sehingga tidak mau mentadabur Alquran. Padahal, tanpa tadabur Alquran kita tidak mungkin memahami Alquran dan tidak memiliki kecerdasan Qurani.
Oleh: Dr Ir Fuad Rumi MSsumber : www.republika.co.id

Saturday, February 18, 2012

Melarat karena Judi

Sebagai seorang pedagang grosir yang bisnisnya sukses, pada saat orang masih jarang memiliki sepeda motor, dia sudah memiliki mobil sedan yang pada masanya terkenal, yaitu Impala. Jika mobilnya masuk jalan kampung, tidak hanya anak-anak, orang dewasa pun berebut untuk melihatnya. Lima orang putra-putrinya masing-masing dibelikan sebuah sepeda motor bebek. Rumahnya ada dua, satu di kampung dan satu lagi di kota tempat dia berdagang. Kedua-duanya rumah baru yang baru dibangun dengan arsitektur modern. Semua kekayaan materi itu adalah bukti bahwa bisnisnya sukses.

Tempat dia berdagang berupa sebuah ruko di tengah kota di pusat keramaian. Namanya juga di pasar, tentu pergaulannya sesama pedagang, terutama dengan pedagang kiri-kanan tokonya. Sayang sekali, dalam pergaulan itulah dia berkenalan dengan judi. Mula-mula cuma iseng main kartu pakai taruhan. Lama kelamaan menjadi serius. Kalau menang, dia senang. Kalau kalah, main lagi, dengan harapan nanti akan menang. Begitulah seterusnya hingga akhirnya bisnisnya terganggu. Hasil penjualan barang dagangan bukannya dibelikan lagi barang baru, melainkan dipakai untuk berjudi.

“Pak, sadar Pak,” kata istrinya mengingatkan untuk yang kesekian kalinya. “Bapak kan tahu, judi itu dilarang agama. Allah mengatakan bahwa judi itu najis, perbuatan setan, sama dengan minuman keras.” Untuk meyakinkan suaminya, sang istri membuka Alquran dan menunjukkan pada suaminya surah al-Maidah ayat 90 yang menjelaskan tentang haramnya judi.

Diingatkan begitu, Pak Judi—sebut saja demikian namanya—diam seribu bahasa. Istrinya berkata lagi: “Kalaupun Bapak menang, hasilnya tidak halal. Apalagi jika kalah, bisnis Bapak bangkrut.” Pak Judi tetap diam. Istrinya mendesak lagi: “Janji Pak, tidak akan judi lagi!” Didesak begitu, baru dia mengangguk: “Ya, saya janji tidak akan judi lagi.” Tetapi, apabila teman judinya mengajak kembali main, Pak Judi tidak kuasa menolaknya. Begitulah, dia terus berjudi, dan kalah lagi untuk yang kesekian kalinya.

Tatkala modalnya habis, dia menjual mobil. Dari hasil penjualan mobil, toko bisa diisi kembali. Tetapi, lama-lama isi toko habis kembali dipakai untuk berjudi. Akhirnya, satu per satu kekayaannya dijual. Setelah mobil, kemudian sepeda motor anak-anak satu per satu dilego. Dalihnya selalu sama, dijual dulu untuk tambahan modal. Anak-anak tidak dapat menolak. Mula-mula dia membujuk: “Nanti kalau bisnis bapak sudah kembali bangkit, bapak akan belikan kembali kalian sepeda motor yang lebih bagus.” Setelah dibujuk, anak-anak tetap menolak. Pak Judi marah sejadi-jadinya sampai mengamuk. Akhirnya, anak-anaknya menyerah.

Tatkala rumah pun akan dijual, istrinya memberontak, mempertahankan rumah itu sekuat tenaga. Perhiasan istrinya juga habis dijual. Nasihat siapa pun tidak pernah didengarnya. Setan perjudian benar-benar telah merasukinya. Akhirnya, dia kena stroke, lumpuh seluruh tubuhnya, tidak bisa lagi bicara. Setelah dirawat beberapa bulan, Pak Judi meninggal dunia. Tak ada yang tahu, apakah sebelum mengembuskan napas yang terakhir dia sempat bertobat atau tidak. Judi telah menghabiskan segalanya.
Oleh Prof Dr Yunahar Ilyassumber : www.republika.co.id

Friday, February 17, 2012

Belajar dari Kisah Juraij

Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, "Tiada bayi yang dapat berbicara saat bayi kecuali Nabi Isa as dan seorang bayi yang hidup pada zamannya."

Kala itu, ada seorang laki-laki bernama Juraij. Juraij adalah remaja yang taat beribadah. Saat ia ingin melakukan shalat sunah, ibunya memanggilnya. Kala itu, Juraij bimbang—dahulukan shalat, atau memenuhi panggilan Ibunya? Maka, Juraij pun memilih shalat dan mengabaikan panggilan ibunya yang sudah berkali-kali menggema di telinganya.

Sang ibu pun kecewa, dalam hati ia berdoa, “Ya Allah, janganlah Engkau mematikan anakku sebelum ia mendapat fitnah dari wanita pelacur.”

Selang beberapa hari kemudian, seperti biasa, Juraij beribadah di tempat biasanya. Kemudian, datanglah seorang wanita pelacur yang merayu Juraij untuk berbuat mesum. Juraij pun berusaha menolak.

Karena penolakan tersebut, pelacur itu berhasil memfitnah Juraij dengan keterangan bahwa Juraij telah menodainya hingga hamil—kendati si pelacur tersebut memang dalam kondisi hamil namun bukan dengan Juraij.

Beberapa bulan kemudian, saat si bayi lahir, pelacur itu kembali datang pada Juraij dan memberikan keterangan pada seluruh warga bahwa bayi tersebut adalah hasil zina dengan Juraij.

Juraij tak sanggup menceritakan yang sebenarnya sebab warga telah berhasil memukulinya hingga terluka lalu membakar habis tempat ibadah Juraij. Di saat yang sama, dengan kekuatan yang masih tersisa, Juraij merebut bayi dari tangan si pelacur dan berkata pada sang bayi,

“Siapakah ayahmu?”

Si bayi menjawab, “Ayahku seorang penggembala,”

Seketika warga pun berhasil dibuat panik oleh bayi yang dapat memberikan keterangan benar atas izin Allah SWT. Warga pun memohon maaf pada Juraij dan berjanji akan membangun kembali tempat ibadah Juraij.

Belajar dari kisah Juraij ini, dapat kita petik beberapa hikmah. Di antaranya adalah tanggung jawab seorang anak pada orang tua.
Allah Swt berfirman, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia serta hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isra: 23).

Poin utama dalam firman Allah SWT ini adalah nilai-nilai pengabdian. Pengabdian pertama pada Tuhan Pencipta kita, Allah SWT. Kedua, pengabdian pada ibu-bapak, yang dalam hal ini adalah peringatan untuk kita semua agar senantiasa menjaga sikap di hadapan keduanya, khususnya ibu. Kedua pengabdian tersebut semestinya diseimbangkan.

Namun, dalam kisah ini, keseimbangan antara hablum minallah dengan hablum minannas belum tercipta. Juraij sudah mantap dalam pengabdiannya pada Allah. Namun pengabdiannya pada orang tua, khususnya ibu, masih belum sempurna. Ia mengabaikan apa yang diperintahkan ibunda terlepas dari penting atau tidaknya seruan sang ibu.

Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah, seorang datang kepada Nabi dan berkata, “Ya Rasulullah, siapakah yang berhak aku layani? Jawab Nabi SAW, “Ibumu.” Kemudian siapa?" Jawab Nabi Saw, “Ibumu.” Kemudian siapa?" Jawab Nabi Saw “Ibumu.” Lalu siapakah?" Jawab Nabi SAW, "Ayahmu.” (HR. Bukhari Muslim).
Oleh: Ina Salma Febriany
sumber : www.republika.co.id

Thursday, February 16, 2012

Rasul Pun Menangis

Tangisan bagi seorang Muslim adalah rasa harap dan cemas sebagaimana diekspresikannya ketika dia berdoa dan berzikir memohon perlindungan Allah SWT. Kita saksikan tetesan air mata orang-orang saleh pada waktu shalat. Kita saksikan air mata yang membasahi muka para jamaah haji di Padang Arafah. Dan, memang menangis adalah bagian dari akhlak yang baik. Dalam Alquran Allah berfirman, “Dan mereka tundukkan dagu dan mukanya seraya menangis dan mereka bertambah khusyuk.” (QS [17]: 109, [19]: 58).

Ubaid bin Umar dan ‘Atha’ bertanya kepada Siti Aisyah radhiyallahu anha (RA). ”Ceritakanlah kepada kami hal yang paling menakjubkanmu yang engkau lihat dari Rasulullah SAW.” Kemudian, sambil terisak Siti Aisyah menjawab, “Kana kullu amrihi ‘ajaba, Sungguh semua ikhwal Rasululullah SAW sangat menakjubkan.” Siti Aisyah melanjutkan, “Pada suatu malam beliau datang kepadaku sehingga kulit kami saling bersentuhan. Beliau berbisik, “Ya Khumaira (panggilan Rasulullah kepada Aisyah, wahai yang bewarna kemerah-merahan), izinkanlah aku beribadah kepada Tuhanku.”

Maka, beliau meninggalkanku dan mengambil gharibah air untuk berwudhu. Tidak lama setelah beliau takbir, aku dengar beliau terisak-isak. Dadanya bagaikan terguncang. Rasulullah terus-menerus menangis, sehingga air matanya membasahi janggut dan bertetesan ke tanah. Rasulullah larut dalam tangisan sampai dikumandangkan azan Subuh. Dan, Bilal memberi tahu waktu shalat Subuh telah masuk. Bilal menyaksikan keadaan Nabi yang masih terisak dan dia berkata, “Ya Rasulullah, mengapa engkau menangis? Padahal, dosa-dosamu telah diampuni Allah. Engkau adalah kekasih Allah yang paling utama?” kata Bilal. Maka,  Rasul menjawab, “Sungguh besar kasih sayang-Nya, tetapi betapa aku belum menjadi hamba yang bersyukur.”

Abdullah bin as-Syikhir berkata, “Saya datang kepada Rasulullah SAW, sedangkan beliau sedang shalat maka terdengarlah isak tangis beliau yang bergemuruh di dalam dadanya, bagaikan suara air mendidih dalam bejana.” (Diriwayatkan oleh Dawud dan Turmudzi).

Dari hadis ini dapat kita ambil hikmah, betapa Nabiyullah Muhammad SAW masih menangis dan merasakan belum menjadi hamba yang bersyukur. Padahal, beliau adalah hamba yang ma’shum, yakni bersih dari dosa. Selain itu, Allah SWT juga memuliakannya melebihi siapa pun makhluk ciptaan-Nya. Rasulullah adalah al-Musthafa (manusia pilihan) yang pertama kali memasuki surga sebelum yang lain memasukinya.

Bagaimana dengan kita? Apakah kita telah dijamin masuk surga? Apakah keislaman kita diterima oleh Allah SWT? Adakah kita masih tetap tertawa dan tidak menangis menghadapi akhirat yang setia menunggu untuk kita datangi?Ataukah, kita tetap tertawa menikmati dunia yang tidak pernah setia menemani ketika kita pergi? Apakah kita masih tetap tertawa dan lalai pada perjalanan akhir, sedangkan dunia itu bakal lenyap dan tenggelam ditelan waktu.

Kenikmatan di dunia ini hanya sesaat dan pasti akan sirna. Mengapa air mata kita enggan menetes? Apakah hati kita telah beku sehingga mata enggan mengeluarkan air mata ketika menyaksikan orang-orang kecil sedang kelaparan? Ke manakah nurani kita? Apakah kita sudah bersyukur dengan yang telah kita raih atau sebaliknya kita makin kufur?
Oleh: Ustaz Toto Tasmara
sumber : www.republika.co.id

Wednesday, February 15, 2012

Pemimpin yang Bijaksana

Suatu ketika, Rasulullah SAW dengan para sahabatnya hendak memasak kambing. Sebagai komando, beliau dengan cekatan melimpahkan pembagian tugas kerja. Sebagian sahabat menawarkan diri untuk mengerjakan tugas-tugas itu.

Ada yang menawarkan diri untuk menjadi penyembelih kambing dan yang lain siap menguliti. Ada juga yang bersedia memasaknya, sedangkan lainnya lagi siap mengambil air, menyiapkan tungku, dan sebagainya. “Saya sendiri akan mencari dan mengumpulkan kayu bakarnya,” ujar beliau.

Mendengar pernyataan ini, sontak saja para sahabatnya protes terkejut. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah SAW, tidakkah engkau lebih baik duduk-duduk saja dan kami yang mencari kayu bakarnya?” sergah sahabat.

Para sahabat ingin tugas-tugas lapangan biarlah dikerjakan oleh mereka dan Muhammad SAW sebagai pemimpin tak perlu repot-repot turut melakukannya. Barang kali dalam bayangan mereka, komando tidak seharusnya terlibat kerja lapangan. Namun, tampaknya hal ini tidak berlaku bagi Muhammad SAW. “Saya tahu kalian bisa menyelesaikan pekerjaan ini, tapi saya tidak suka diistimewakan. Sesungguhnya Allah SWT tidak suka melihat salah seorang hamba-Nya diistimewakan dari kawan-kawannya,” kata Rasul SAW.

Kisah ini dituliskan oleh Abdul Mun’im al-Hasyimi dalam Akhlak Rasul Menurut Bukhari Muslim, (hal 24-25). Inilah kunci kepemimpinan Rasulullah yang tidak ingin ada pengistimewaan. Sebab, beliau ingin melakukan segala sesuatunya selama perbuatan itu bisa dikerjakan sendiri, termasuk mencari kayu bakar.

Beliau ingin ikut kotor tangannya ketika sahabat yang lain juga kotor tangannya. Beliau ingin berkeringat ketika sahabat yang lain juga berkeringat. Beliau tidak ingin hanya duduk-duduk manis, ongkang-ongkang kaki, tunjuk sana tunjuk sini, perintah sana perintah sini, tanpa ikut terlibat di dalamnya.

Inilah keteladanan agung Nabi Muhammad SAW yang kepemimpinnya tidak dibangun di atas telunjuk dan sabdanya, melainkan dengan keringat dan kebersamaan. Inilah sang teladan sejati, pemimpin yang keringatnya terus mengucur karena tak pernah berhenti melayani umatnya.

Bagi seorang teladan sejati, kepemimpinan tidak melulu urusan dunia. Lebih penting lagi, kepemimpinan menyangkut pertanggungjawaban dengan Allah SWT di akhirat kelak. Karena itu, dalam menentukan kebijakan apa pun, pertimbangan pemimpin tidak seharusnya
duniawi atau politis. Tujuannya, supaya pemimpin benar-benar mampu menegakkan kemaslahatan bagi rakyat, karena semua tindak-tanduknya akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT (LPJ yang tentu saja paling berat dan mustahil dimanipulasi).

Itu sebabnya, Nabi Muhammad SAW sedari awal mewanti-wanti melalui sabdanya; “Tiap-tiap kalian adalah pemimpin dan tiap-tiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR Bukhari).

Pertanyaannya, masih adakah di negeri ini, pemimpin yang keringatnya terus mengucur memikirkan nasib rakyatnya, karena adanya kesadaran bahwa kelak kepemimpinannya akan diaudit oleh Allah SWT? Kita memang butuh pemimpin yang berkeringat untuk memperbaiki negeri ini.
Oleh: Nurul H Maarif MA
sumber : www.republika.co.id

Tuesday, February 14, 2012

Beribadah Itu Mudah

Ada seorang pemuda yang dirundung kemasygulan dan kegundahan. Pasalnya, setelah ia tekun melakukan tafakur (perenungan diri), diam-diam suatu kesadaran menyelinap ke relung kalbunya. Ia merasa bahwa sepanjang hidupnya sering sekali menggunakan sesuatu yang bukan haknya. Ia teringat pada kelakuannya sendiri yang kerap melirik jam tangan yang melingkar di lengan orang lain, karena ia ingin mengetahui waktu. Tanpa permisi lagi, ia telah mengambil suatu kemanfaatan tertentu dari barang yang dimiliki orang lain. Kemasygulan yang sama juga muncul manakala memorinya teringat pada kebiasaannya menggunakan penerangan listrik seseorang— untuk membaca suatu catatan, misalnya, tanpa ia meminta izin dulu.

Kegelisahan anak muda itu pun menjadi-jadi: ikhlaskah orang-orang yang barangnya pernah diambil manfaaatnya itu? Namun, di tengah kegundahannya itu, suatu kearifan baru menghiburnya. Ia harus berbaik sangka (husnuzhan) kepada para pemilik barang-barang itu. Karena, mereka bukan hanya ikhlas, tapi juga senang jika ada orang lain yang memanfaatkan barang miliknya, lantaran mereka sudah meniatkannya untuk dimanfaatkan oleh umum.

Selain berkisah tentang muraqabah —suatu kesadaran seseorang yang merasa bahwa Allah selalu mengawasi dan memantau dirinya-- narasi di atas juga memberikan pelajaran bahwa ternyata ibadah itu amat mudah dan bisa dilakukan sambil lalu. Bahkan, tak hanya banyak ragamnya, tapi juga nyaris tak perlu pengorbanan apa pun dari pelakunya dengan penuh keyakinan untuk ibadah sehingga tercatat sebagai amal kebajikan. (QS az-Zalzalah: 7-8).

Niat ibadah itu bisa dilakukan, misalnya, oleh seseorang yang atap rumahnya digunakan untuk berteduh para pejalan atau pengendara sepeda motor saat hujan atau panas yang terik. Bisa pula seorang pengendara motor atau mobil pribadi yang joknya masih kosong lalu memberikan tumpangan. Bukankah bisa dijadikan wahana untuk melakukan amal baik, yaitu dengan mempersilakan naik orang yang sedang berjejalan antre di halte, yang tujuannya kebetulan searah dengannya? Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang mempunyai kelebihan tempat pada kendaraannya, hendaklah dia memberikannya kepada orang yang tidak punya tempat. Dan, barang siapa yang mempunyai kelebihan perbekalan hendaklah dia memberikannya kepada orang yang tidak mempunyai perbekalan.” (HR Muslim dan Abu Daud).

Kemudahan memang merupakan karakter agama Islam. “Sesungguhnya agama itu mudah.” (HR Bukhari). Islam disebut mudah karena ia berbeda dengan agama-agama sebelumnya, di mana Allah telah melenyapkan beragam kesulitan yang dibebankan kepada umat sebelumnya.

Dari sisi akidah, pokoknya adalah tauhid, yaitu suatu keyakinan yang sejalan dengan fitrah insani, menenteramkan hati, dan memuaskan akal. Dalam hal ibadah, shalat hanya dilakukan lima kali sehari semalam, tak seperti umat sebelumnya yang sampai puluhan kali dalam sehari dan dalam jangka yang lama pula. Puasa juga mudah. Ia hanya dari fajar hingga matahari terbenam, juga hanya sebulan dalam setahun. Zakat dan haji juga demikian, di mana dua kewajiban ini hanya ditunaikan oleh yang mampu.
Oleh Ustaz Makmun Nawawi
sumber : www.republika.co.id

Monday, February 13, 2012

Jangan Seperti Firaun

Umumnya manusia di manapun dan kapan pun selalu melihat harta dunia sebagai sumber kebahagiaan. Hal itu mungkin wajar mengingat manusia tidak bisa menafikan materi dalam kehidupannya. Namun demikian, tidak sedikit manusia yang terseret dan terjerembab pada aspek materi, sehingga dengan sengaja melawan aturan Allah SWT. Manusia seperti itu akan semakin jauh meninggalkan eksistensi dirinya.

Ia akan terus terobsesi mengumpulkan harta yang banyak setiap harinya. Akibatnya, agama, norma, dan aturan menjadi tak berguna. Sejauh keinginannya bisa dicapai, apa pun cara harus dilakukan. Inilah manusia yang telah mati hatinya, yang tak akan pernah sadar akan kekeliruannya hingga ajal tiba.

Kondisi ini bisa menimpa siapa saja, baik penguasa, pegawai, pengusaha, cendekiawan, termasuk juga ulama. Itulah mengapa dalam sebuah hadis Rasulullah SAW mengingatkan kita untuk berhati-hati pada ulama, khususnya ulama suu’ (ulama yang tidak mengamalkan ilmunya sesuai syariah Allah SWT).

Akan tetapi, sejarah mencatat bahwa ambisi materi pada pemimpin jauh lebih berdampak serius dan masif dibanding yang lain. Alquran memberi bukti akan hal tersebut. Lihatlah kisah Firaun, seorang raja diktator yang dengan kekuasaannya menghalang-halangi manusia dari jalan Allah dan secara terbuka menyatakan perang terhadap Nabi Musa AS.

Harta benda dan kekuasaan yang dimiliki Firaun semakin membuatnya gelap mata, hingga harta benda yang mestinya berguna untuk kehidupan justru menjadi pelicin menuju kebinasaan. Semua itu karena Firaun lupa bahwa apa yang dimiliknya itu tak lebih dari titipan Allah SWT kepadanya.

Nabi Musa yang mendapat mandat dari Allah agar memberikan peringatan kepada Firaun pun tak lagi mampu berbuat banyak. "Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah memberi kepada Firaun dan pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam kehidupan dunia, ya Tuhan Kami,  akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan Engkau. Ya Tuhan kami, binasakanlah harta benda mereka dan kunci matilah hati mereka maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih." (QS Yunus : 88).

Seperti kita saksikan saat ini, kasus korupsi hampir terjadi setiap hari. Ada dugaan dilakukan secara kolektif. Kemudian, para penguasa tidak begitu peduli dengan kasus tersebut. Akibatnya, praktik korupsi itu hampir terjadi di mana-mana di seluruh penjuru Tanah Air.

Saudaraku, tahanlah dirimu dari berbuat curang, jahat, ataupun kriminal. Jangan sampai kita termasuk orang yang dibutakan mata hati kita oleh gemerlap harta benda. Kemudian, sengsara untuk selama-lamanya di akhirat.

Kita jangan sampai menjadi manusia berwatak Firaun, yang pikiran dan seluruh perilakunya justru mengundang kemurkaan Allah SWT. Ingat saudaraku, Firaun bukannya bahagia, ia bahkan sengsara dan mati dalam keadaan yang sangat nista.

Kembalilah kepada ajaran Allah dan Rasul-Nya. Pelajarilah Alquran dengan baik dan amalkan, jika kita benar-benar mendambakan kebahagiaan hakiki. Jangan seperti Firaun yang gagal menjadikan harta dan takhtanya untuk mengabdi kepada Allah SWT. Wallahu a’lam.
Oleh Ustaz Dr Abdul Mannan
sumber : www.republika.co.id

Sunday, February 12, 2012

Ummu Umarah: Kisah Prajurit Muslimah yang Gagah Berani

Bukit Uhud, 7 Syawal 3 H/ 22 Maret 625 M.  Sekitar 700 pasukan tentara Muslim yang dipimpin Rasulullah SAW bertempur melawan 3.000 tentara kafir di bawah komando Abu Sufyan. Kemenangan yang hampir diraih umat Islam, berubah menjadi kekalahan, setelah pasukan Muslim mengabaikan perintah Rasulullah SAW.

Pasukan kafir pun memukul balik serangan tentara Muslim.  Mereka berniat untuk membunuh Rasulullah SAW. Melihat pasukan Muslim yang terjepit, seorang prajurit Muslimah bernama Ummu Umarah atau Nasibah binti Ka'ab al-Anshariyah justru tampil mengangkat pedang. Dengan penuh keberanian, Ummu Umarah menghadang laju tentara kafir yang berniat membunuh Nabi Muhammad SAW.

''Siang itu, sambil membawa sekendi air, saya keluar menuju Uhud untuk menyaksikan pertempuran kaum Muslimin.  Awalnya, tentara Muslim memenangkan pertempuran.  Namun, ketika pasukan Islam mulai kalah, saya langsung terjun ke medan laga. Saya halau segala serangan yang datang ke arah Rasulullah dengan pedang saya,'' kisah Ummu Umarah seperti dituturkan Ibnu Sa'ad dalam Thabaqat.

Ummu Umarah adalah sosok Muslimah yang ikut berjihad dan pemberani, dan tidak takut mati di jalan Allah. Keberanian wanita dari Bani Mazim An-Najar itu membuat Rasulullah SAW bangga. ''Siapakah yang sanggup melakukan seperti yang engkau lakukan, wahai Ummu Umarah?” ujar Rasulullah memuji.

Ia salah satu dari wanita Madinah yang bersegera masuk Islam. Mujahidah yang satu ini juga tercatat sebagai satu dari dua Muslimah yang pergi bersama generasi Anshar ke Makkah untuk berbai’at kepada Rasulullah. Keluarga Ummu Umarah dikenal sangat pemberani.

Ketika Rasulullah SAW memimpin pasukannya menuju bukit Uhud, ia bersama suaminya, Ghaziyah bin Amr serta dua buah hatinya, Abdullah dan Hubaib tutur bergabung. Awalnya, Ummu Umarah bertugas sebagai perawat tentara yang terluka serta menyediakan minuman.

Ummu Umarah tak gentar saat menghadapi  Ibnu Qumai'ah yang penuh amarah hendak membunuh Rasulullah. Serangan demi serangan, ia halau dengan pedangnya. Hingga, ia mengalami luka pada bagian pundaknya.  Ummu Umarah mengisahkan peristiwa heroik yang dialaminya pada Perang Uhud dengan penuh semangat.

“Aku melihat banyak di antara kaum Muslimin yang lari kocar-kacir dan menginggalkan Rasulullah. Hingga tinggal tersissa beberapa orang yang melindungi beliau termasuk aku, kedua anakku, sedangkan suamiku berada di depan beliau untuk melindunginya. Dan Rasulullah melihat aku tidak bersenjata,'' ungkap Ummu Umarah.

Saat  melihat seorang tentara Muslim yang mundur, Rasulullah pun berkata,''Berikan senjatamu kepada orang yang sedang berperang.”  Ummu Umarah pun lalu mengambil pedang yang dilembaprkan tentara yang lari tersebut dan segera melindungi Nabi SAW dari gempuran musuh.

Ummu Umarah adalah teladan bagi para Muslimah. Ia telah mengorbankan dirinya  di jalan  jihad membela agama Islam. Ia telah menunaikan kewajibannya sesuai dengan kemampuannya, baik di waktu perperang maupun di waktu aman. Ia telah turut serta bersama Rasulullah SAW  dalam Bai’atur Ridwan di Hudaibiyah, yaitu bai’at perjanjian untuk membela agama Allah.

Tak hanya berjuang di Perang Uhud, Ummu Umarah pun tampil mengangkat panji-panji pasukan Muslim Perang Hunain. Tak lama setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW,  sebagian kabilah yang dipimpin Usailamah al-Kadzab murtad. Bahkan, Usailamah mengaku sebagai nabi. Khalifah pertama Abu Bakar ash-Shidiq pun memutuskan untuk memerangi nabi palsu itu.

Mendengar kabar itu, Ummu Umarah pun segera  mendatangi Abu Bakar Ash-Shidiq. Ia mohon izin untuk turut berjuang ke medan perang bersama pasukan Muslim yang akan memerangi orang-orang murtad dari Islam. Mendenfar permohonan itu, Abu Bakar pun berkata, ''Sungguh kami telah menyaksikan pengorbananmu di medan jihad, maka keluarlah (untuk berperang) dengan menyebut nama Allah.”

Secara khusus, Rasulullah SAW pun mendoakan Ummu Umarah. Ketika sang mujahidah terluka,  Rasulullah SAW berkata kepada putra Ummu Umarah, ''Ibumu! Ibumu! Balutlah lukanya.  Ya Allah, jadikanlah mereka teman-temanku di surga.''

Ummu Umarah adalah seorang sahabat Rasul yang senantiasa mengaplikasikan keislamannya dalam amal nyata.  Keberaniannya dalam setiap situasi menjadikannya sosok pahlawan sejati.  Obsesi hidupnya begitu mulia, yakni mencari kemuliaan dunia dan kebahagiaan akhirat.

sumber : www.republika.co.id

Saturday, February 11, 2012

Bersahabat Karakter Utama Muslim Sejati

Manusia adalah mahluk sosial. Di manapun berada, seorang manusia akan membutuhkan kehadiran dan bantuan orang lain. Di antara bentuk hubungan itu adalah terciptanya persahabatan. Ajaran Islam sangat menekankan keutamaan menjalin serta membina persahabatan.

Orang yang memupuk persahabatan dalam ajaran Islam menjadi salah satu ciri orang beriman. Ia bergaul dengan orang lain dan orang lain merasakan tenang bersamanya. Rasulullah SAW, mengungkapkan,  salah satu ciri orang yang memahami ajaran agama adalah mereka yang lembut, penuh persahabatan, serta menyenangkan.

Banyak hadis yang memuji orang yang gemar menjalin persahabatan. Dalam sebuah hadis Nabi SAW bersabda, ''Maukah aku katakan kepadamu siapa di antara kamu yang sangat aku cintai dan menjadi orang terdekat denganku pada hari kebangkitan?'' Beliau mengulanginya dua atau tiga kali dan mereka berkata, ''Ya, wahai Rasulullah.''

Rasulullah bersabda, ''Mereka yang di antara kamu memiliki sikap dan karakter terbaik.'' Beberapa riwayat menambahkan, ''Orang-orang yang menundukkan kepala di bumi dan rendah hati, yang bersama dengan orang lain dan yang dengannya orang lain merasa senang.''

Dalam menafsir hadis  tersebut,  Dr Muhammad al-Hasyimi, mengutarakan, bahwa seseorang seperti itu, merupakan salah satu dari orang-orang terpilih dan dicintai Rasulullah. Ia menyukai orang lain dan mereka menyukainya.

Menurut penulis buku Hidup Saleh dengan Nilai-nilai Spiritual Islam itu,  hendaknya dalam menjalani kehidupan, umat Muslim bisa saling bergaul dan bersahabat. Sesama umat Muslim harus senantiasa menjaga hubungan sekaligus mendapatkan kepercayaan.  Sebab, itulah salah satu ciri karakter utama Muslim sejati.

''Persahabatan akan menjadi sarana efektif dalam menyebarkan pesan-pesan kebenaran kepada mereka, dan menunjukkan pada mereka nilai-nilai moralnya,'' papar al-Hasyimi. Menurut dia,  manusia biasanya hanya mau mendengar ucapan orang-orang yang mereka suka dan percaya.

Oleh karenanya, apabila tidak saling bersahabat, sudah pasti ia tidak akan mampu menyampaikan pesan dan mencapai sesuatu yang penting. Padahal menyampaikan kebaikan adalah kewajiban seorang Muslim.

Rasulullah SAW bersabda, ''Orang beriman (bergaul) bersama dengan manusia dan mereka merasa tenang bersamanya. Tidak ada suatu kebaikan pada orang yang tidak (bergaul) bersama manusia dan dengannya mereka tidak merasa tenang.''

Dalam menjalin pergaulan, umat hendaknya mencontoh apa-apa yang dilakukan Nabi SAW dengan berperilaku yang baik kepada sesama. Nabi amat ahli melembutkan hati mereka dan mengajak mereka mengikuti dakwahnya  dalam kata maupun perbuatan.

Ada beberapa hal yang patut menjadi teladan, antara lain bersikap ramah, memudahkan persoalan, memperlakukan tiap orang dengan sama, rendah hati dan sebagainya. Dr Muhammad menambahkan ada empat sikap yang tidak pernah dilakukan  Rasulullah SAW dalam berhubungan dengan orang lain.

Keempat karakter itu antara lain: tidak suka berdebat, tidak suka bicara terlalu banyak serta tidak suka turut campur persoalan yang bukan urusannya. ''Rasulullah juga tidak pernah mencela seseorang,'' ujar al-Hasyimi menegaskan.

Menurut al-Hasyimi, satu hal lagi yang  perlu diperhatikan dalam pergaulan atau menjalin persahabatan adalah mengedepankan saling tolong menolong. Nabi menganjurkan agar seorang Muslim tidak segan membantu sahabatnya yang membutuhkan bantuan. Muslim sejati, lanjut Dr Muhammad, akan mengikuti tuntunan Nabi dalam menjalin hubungan antarsesama, apakah mereka baik atau jahat, sehingga ia bisa diterima semua orang.

Persahabatan yang akan saling menyebarkan rasa kasih sayang juga ditekankan dalam Alquran. Seperti tertera dalam surah Ali Imran ayat 103, ''Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai''.

Teman sejati bukan terbina atas dasar kepentingan semu, melainkan yang bisa saling memahami. Ia ada dalam suka dan duka. Pepatah menyatakan, lebih mudah mencari musuh ketimbang sahabat sejati.
Oleh: Yusuf Assidiqsumber : www.republika.co.id

Friday, February 10, 2012

Menjaga "Tawanan" Bernama Rahasia

Saat Rasulullah SAW terbaring sakit, para istri beliau berkumpul. Tak satupun dari mereka yang meninggalkan tempatnya. Hingga Fatimah, putri Rasulullah datang menjenguk dengan berjalan kaki. Kedatangannya pun disambut oleh Aisyah, kemudian diterima dengan hangat oleh Ayahnya. Putri yang berjuluk Az Zahra, itupun duduk di dekat Rasulullah.

Tak berselang lama, Rasulullah membisikkan sesuatu kepada Fatimah, kemudian ia menangis sekeras-kerasnya. Melihat kecemasan muncul dari wajah putrinya itu, Beliau lantas kembali menyampaikan sesuatu kepadanya. Seketika itu pula, tangisnya berganti riang senyum dan tawa. Pemandangan itu terlihat jelas di mata Aisyah.

Perempuan bergelar Ummul Mu’minin (Ibu Kaum Mukmin) itu pun penasaran dan bergegas bertanya ke Fatimah,  apa gerangan yang dibisikkan oleh Rasulullah kepada putrinya tersebut. Namun, permintaan itu ditolak oleh Fatimah. “Aku tidak akan membuka rahasia Rasulullah,” katanya menampik. Rahasia itu akhirnya dibeberkan sepeninggal Rasulullah. Isinya meliputi dua hal yaitu ajal Rasulullah yang kian dekat dan apresiasi beliau kepada anaknya itu berupa gelar pemimpin perempuan mukiman atau pemimpin perempuan umat.

Kisah lainnya juga pernah dinukil. Ketika tengah bermain bersama anak-anak, Anas bin Malik RA pernah didatangi oleh Rasululllah SAW. Setelah mengucapkan salam, beliau, mengutusku untuk suatu keperluan sehingga ia terlambat pulang untuk menemui ibunya, Ummu Salim. Setibanya di rumah, sahabat yang mendapat julukan Khadim ar Rasul (Pelayan Rasulullah), langsung mendapat pertanyaan dari ibunya  perihal sebab keterlambatannya itu. ”Apakah yang menahanmu hingga terlambat pulang?,” Tanya Sang Ibu.

Sahabat yang berasal dari suku Khazraj itu pun enggan menjawab. Cukup mengatakan bahwa ia terlambat sebab keperluan yang disuruh Rasulullah. Keperluan apa yang dimaksud? “Itu rahasia,”katanya mengelak. Ummu Salim, memahami dan meminta agar ia tetap menjaga rahasia itu. “Janganlah kamu sekali-kali membuka rahasia Rasulullah SAW kepada siapapun,” pintanya.

Rahasia, dalam bahasa Arab disebut sirr. Informasi apapun yang diperoleh seseorang dari koleganya ataupun institusi tempat ia bekerja, contohnya, adalah benda berharga yang harus tetap disimpan. Islam mengajarkan agar tidak membuka dan mengumbar-umbar rahasia. Anjuran ini berlaku untuk semua dan dimanapun ia memegang fungsi. Seorang suami contohnya, berkewajiban menyimpan rahasia istri, anak, dan keluarganya. Demikian sebaliknya. Pada intinya, tiap anggota keluarga memiliki kewajiban sama yaitu menutup rapat rahasia.

Tiap karyawan, bertanggung jawab mengamankan rahasia perusahaan tempat ia mencari nafkah. Perkara yang dianggap rahasia dan tidak boleh terbongkar oleh pihak lain, wajib dijaga. Hal ini mengingat, persaingan di dunia bisnis, terkadang menafikan batas etika. Bisa jadi, di dunia industri misalnya, perusahaan tertentu mencoba mencuri formula dan temuan teranyar dari sebuah pabrik

Mahmud Al Mishri, dalam bukunya Mausu’ah in Akhlaq Ar Rasul, mengatakan menjaga rahasia yang sifatnya terpuji merupakan salah satu bentuk amanah, salah satu jenis memenuhi janji, dan tanda perilaku yang tenang. Menjaga rahasia yang terpuji adalah menyembunyikan rahasia atau aib orang lain yang dipercayakan kepada seseorang untuk menyimpannya.

Karena itu, menurutnya, pemilik rahasa semestinya berhati-hati menempatkan rahasia pribadinya. Pasalnya, orang-orang yang meminta amanat atau kepercayaan biasanya akan berlaku khianat. Rahasia yang kurang terjaga dengan baik, akan mudah tersebar. Ada beberapa faktor penyebanya antara lain banyaknya orang yang mengetahui rahasia tersebut. Sekali saja rahasia itu disebarkan pada lebih dari satu hingga tiga orang, maka tak lagi dianggap rahasia.  Ali bin Abi Thalib berkata, “Rahasiamu adalah tawananmu. Jika kamu telah membicarakannya kepada orang lain, berarti kamu telah melepaskannya.”

Mahmud menambahkan dampak yang bisa muncul akibat rahasia tersebar luas sangat luarbiasa, diantaranya menyebarkan rahasia berarti menghinati amanah dan merusak perjanjian, membuka rahasia dapat menghapus muruah, merusak persaudaraan, dan memicu pertikaian. Sebaliknya, dengan mengunci erat rahasia, akan menempatkannya dalam derajat manusia yang sempurna. Termasuk memberikan banyak faedah dunia ataupun di akhirat kelak.

Boleh dibuka, asal?
Ibnu Baththal mengatakan mayoritas ulama berpendapat bahwa apabila si pemilik rahasia sudah meninggal, tidak ada keharusan menyembunyikan rahasianya. Kecuali rahasia tersebut adalah cacat atau aibnya. Ibnu Hajar menyebut tiga klasifikasi hukum menyebarluaskan rahasia yaitu haram jika rahasia itu tak kalin ialah aib, makruh secara mutlak, boleh, dan dianjurkan. Untuk kategori yang terakhir ini misalnya membuka rahasia meskipun pemilik rahasia kurang senang, seperti mengungkap kebersihan hati atau perilaku baik yang ia miliki.   

Selain itu, menurut Imam Ghazali, hukum membuka rahasia haram dan sangat dilarang. Hikmah di balik pelarangan itu yaitu, terdapat unsur menyakiti dan meremehkan hak-hak teman apalagi hingga dapat membayakan pemilik rahasia. Bila tidak terdapat unsur membahayakan, maka termasuk kategori tercela.

Dalam pandangan Pakar Ushul Fikih dari kalangan salaf, Izz bin Abd As Salam, secara garis besar menutup aib manusia adalah tabiat manusia yang menjadi kekasih Allah. Namun, dalam beberapa kondisi, adakalanya rahasia ataupun aib itu boleh dibeberkan. Terutama jika ada maslahat atau menghilangkan bahaya. Argumentasi dalilnya merujuk pada kisah Nabi Yusuf, saat menceritakan ajakan istri Aziz untuk berbuat mesum dan melanggar larangan-Nya.
Oleh Nashih Nashrullah    
sumber : www.republika.co.id

Thursday, February 09, 2012

Rumah, Madrasah Rohaniah

Bukalah jendela hatimu, biarkan cahaya Ilahi menerpa seluruh sudut kehidupanmu. Engkau bersuka cita di bawah semburat cahaya mentari. Rumahmu, tempat engkau tinggal, bukanlah kuburan kelompok tertentu. Indah bangunannya, mahal harganya, luas tempatnya, tetapi hanya sekadar membungkus seonggok daging dan tulang, baunya busuk, keabadiannya sirna, peti yang kukuh semakin rapuh, dan kemudian berdebu, lalu tubuhmu sirna.

Rumahmu yang sebenarnya bukanlah wujud keindahan yang hanya bisa dipandang dengan mata telanjang. Rumahmu adalah jiwamu yang wibawanya kau pantulkan dari cara memandang dengan mata hatimu yang memancarkan rasa iba kepada saudara-saudaramu.
Sukma tak akan pernah sirna, tetapi menjulang ke langit, karena di sanalah ia berawal. Sedangkan raga yang kosong dari cinta dan diliputi keserakahan akan tenggelam memasuki tanah-tanah busuk yang hitam berlumpur, bergabung dengan rayap yang bersembunyi dalam kegelapan.

Sebab itu, hiasilah rumahmu dengan roh yang memancarkan kemuliaan akhlak. Poleskan cahaya persaudaraan penuh cinta. Karena kelak, para penduduk di rumahmu akan bergabung di surga Aden. Mereka saling bertegur sapa dalam damai. Duduk bertelekan bangku-bangku panjang, dibalur wewangian bunga-bunga teratai yang tak pernah layu, wanginya membuat seluruh anggota keluargamu terbang menari dengan sayap-sayap para malaikat. Zikir dan rintihan harapan yang kau gemakan selama hidupmu akan berubah menjadi musik surgawi yang memeluk kemesraan. Itulah hari yang dijanjikan, suatu perhelatan reuni abadi yang diperuntukkan bagi mereka yang hatinya dipenuhi tamu-tamu cinta. (QS [13]: 23).

Akhlak para penghuni rumah yang senantiasa membuka mata hati melebarkan jiwa kedermawanan, akan menjadi gelas-gelas berisi penuh air mahabbah (cinta). Rumahmu adalah miniatur dari rumah keabadian. Rumah yang para penghuninya merasa damai sejahtera berlimpah cinta, itulah surga. Baiti jannati-(rumahku surgaku).
Rumah bukan hanya sekadar berteduh. Ia adalah pelabuhan hati, di mana para pengembara akan berangkat dan berlabuh melepas desah lelah perantauannya. Ia adalah saksi bisu yang merekam keluh kesah para penghuninya. Jadikanlah shalat adalah tiangnya, zikir sebagai fondasinya, dan bacaan Alquran adalah cahaya yang akan menerangi setiap pori-pori para penghuninya.
Inilah cara dan ciri orang-orang mukmin menjawab seruan Ilahi. "Quu anfusakum wa ahlikum naran.” Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS at-Tahrim [66]: 6).

Dalam badai kehidupan yang bertuhankan materi, masyarakat dajjalis yang kehilangan hidayah Ilahi. Masyarakat yang dilanda oleh defisit kejujuran dan inflasi kebohongan. Benteng terakhir yang tidak boleh runtuh adalah rumah.

Maka, jadikanlah rumahmu sebagai madrasah rohaniah yang akan melahirkan generasi baru pewaris cita-cita risalah. Generasi Rabbaniyah, generasi yang menjunjung akhlakul karimah. Bertindak cerdas penuh integritas dan tangkas menundukkan dunianya. Generasi yang mampu menancapkan panji-panji keteladanan. Menyuntikkan serum kejujuran dan menggapai bintang-bintang prestasi. Ini semua diawali dari rumah. Wallahu a’lam
Oleh: Ustaz Toto Tasmara
sumber : www.republika.co.id

Wednesday, February 08, 2012

Ashabul Qaryah

Alquran sebagai kitab petunjuk dari Allah SWT, salah satu pelajarannya disampaikan melalui kisah. Ada banyak kisah yang dimuat Alquran, seperti kisah para nabi, kaum ‘Ad, Tsamud, dan Ashabul Kahfi, yang salah satu tujuannya sebagai i’tibar. (QS Yusuf [12]: 111).

Ada kisah dalam Alquran yang kurang mendapatkan perhatian masyarakat, tetapi ayatnya menjadi bacaan favorit bagi hampir seluruh masyarakat Islam. Kisah tersebut termuat dalam surah Yasin [36]: 13-32. Intinya ialah, Nabi (Isa) mengirim dua orang utusan kepada kaum (Antioch), tapi kedua orang tersebut gagal dalam mengemban tugas dan justru disiksa dan dimasukkan penjara. (Zamakhsyari: Tafsir al-Kasysyaf).

Setelah itu, diutus orang ketiga untuk menyelamatkan kedua utusan yang telah dipenjara dan sekaligus menyampaikan agama yang benar. Utusan yang ketiga berhasil mendekat ke penguasa serta membebaskan keduanya dari penjara. Akan tetapi, karena sikap egoisme dari raja dan kaumnya, ketiga utusan tersebut dianggap salah dan akhirnya di hukum sampai mati.

Pada saat itulah, datang seseorang (Habib al-Najar) yang mengatakan bahwa utusan tersebut benar dan harus diikuti. Alasannya, para utusan tidak meminta upah dalam menyebarkan agamanya. Namun, Habib al-Najar juga menemui nasib yang sama seperti ketiga utusan yang ia bela. Karena pembelaan tersebut, Allah SWT memasukkannya ke dalam surga. Kaum Antioch ini akhirnya dimusnahkan oleh Allah SWT.

Dari kisah ini, ada beberapa pelajaran yang bisa diambil hikmahnya. Pertama, setiap pendakwah agama hendaknya mencari strategi yang tepat sehingga dakwahnya dapat diterima. Jangan seperti dua utusan yang bersifat gegabah, tetapi seperti yang ketiga yang bersifat bijak dan bersahabat dengan masyarakat dan penguasa. Dua utusan tersebut pernah langsung berteriak Allah akbar ketika sang raja keluar, sehingga raja menjadi tersinggung, dan menghukum keduanya. Berbeda dengan utusan ketiga yang datang menghadap raja dengan cara menyamar, sehingga dapat menyelamatkan kedua temannya. (Tafsir Khazin).

Kedua, setiap menjalankan dakwah hendaknya disertai dengan keikhlasan dan tidak meminta imbalan sehingga dapat dipercaya oleh masyarakat. (QS Yasin [36]:21). Ketiga, ketika masyarakat tidak mau diajak pada kebaikan maka sikap pendakwah adalah mendoakannya agar diberi hidayah. Sikap ini seperti yang dilakukan oleh Habib al-Najar, padahal ia sedang dihukum oleh kaumnya, “Ya Allah berilah petunjuk kaumku,” dan sikap Nabi Muhammad SAW yang mendoakan kaumnya kendati beliau dilempari batu oleh kaum Quraisy. (Hamami Zadah: Tafsir Yasin). Sedangkan sikap putus asa merupakan sikapnya orang kafir. (QS Yusuf [12]:87).

Keempat, jika menyampaikan kebenaran kepada seorang penguasa maka sikap yang diambil adalah damai, bukan menentang secara frontal, sehingga mereka juga dapat memahami isi ajaran dengan hati nurani. Kelima, kebenaran hendaknya disampaikan dengan pelan dan penuh strategi.

Hikmah bagi masyarakat adalah semua kejadian yang tidak baik bagi masyarakat bukan karena kesalahan para utusan yang mengajak kebaikan, tapi semata-mata kesalahan masyarakat tersebut.
Oleh Dr Samsul Ma'arif MA
sumber : www.republika.co.id

Tuesday, February 07, 2012

Keutamaan Memuliakan Ulama

Ulama adalah pewaris para Nabi. Para ulama memiliki peran penting sebagai pemimpin umat untuk melanjutkan dan memelihara syiar dan kemuliaan Islam. Rasulullah SAW memerintahkan umatnya untuk menghormati  dan memuliakan para ulama. Bahkan, satu dari tiga hal yang dikhawatirkan  Nabi Muhammad SAW adalah umat Islam akan menelantarkan dan tak mempedulikan alim ulama.

Kekhawatiran Rasulullah SAW itu tampaknya sudah mulai terjadi. Tak sedikit umat yang mulai mengabaikan, melecehkan, menghina dan menentang alim ulama. Betapa tidak.  Tak sedikit orang yang memperolok-olok dan mentertawakan fatwa-fatwa para ulama. Padahal, sesungguhnya, fatwa itu ditetapkan untuk melindungi kehidupan umat.

''Menurut ajaran Islam, perbuatan seperti itu sangat berbahaya,'' papar Maulana Muhammad Zakariya al-Kandahlawi dalam kitabnya Himpunan Fadilah Amal. Diakuinya, dalam setiap kalangan selalu ada yang baik dan buruk. Begitu pula di kalangan ulama. Syekh al-Kandahlawi menegaskan, ulama yang baik lebih banyak dibandingkan ulama yang buruk.

Lalu bagaimana membedakan ulama suu'(buruk) dengan ulama rasyad (diberi petunjuk)? Menurut  Syekh al-Kandahlawi, tak  ada batasan tertentu dalam hal ini. Untuk itu, ada dua hal  yang perlu diperhatikan umat terkait masalah ini. Pertama,  jika seorang ulama belum dipastikan sebagai ulama suu', jangan sekali-kali kita membuat  keputusan apapun terhadapnya.

Kedua, jika hanya karena berprasangka  buruk bahwa si pembicara adalah ulama suu', janganlah sekali-kali membantah ucapannya begitu saja tanpa diselidiki terlebih dahulu, karena sikap seperti itu merupakan kezaliman.

Allah SWT berfirman dalam Alquran surat al-Israa ayat 36: ''Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak ada pengetahuan tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan serta hati, semuanya akan ditanya.''

Menurut Syekh al-Kandahlawi, Rasulullah SAW mengajarkan agar umatnya bersikap hati-hati, yakni tak menolak atau membenarkan sesuatu begitu saja, sebelum kita mengetahuinya dengan pasti. ''Namun, yang terjadi sekarang adalah sebaliknya. Apabila ada orang yang mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan pendapat kita, bukan saja menolaknya, bahkan menentangnya,'' ungkap dia.

Syekh al-Kandahlawi mengingatkan, ulama Haqqani, ulama Rusydi (yang benar) dan ulama Khairi yang baik adalah manusia juga. ''Yang ma'sum hanyalah para Nabi. Oleh sebab itu, jika ada kesalahan, kelemehan dan kekurangan pada diri mereka, tanggung jawabnya kembali kepada diri mereka sendiri,'' papar Syekh al-Kandahlawi.
Menurut dia, hanya Allah SWT yang berhak menentukan apakah azab atau ampunan bagi mereka.  Syekh al-Kandandahlawi mengungkapkan, orang-orang yang  mengajak untuk berburuk sangka, membenci dan berusaha menjauhkan alim ulama dari umat termasuk penyebab kerusakan agama.  Orang yang seperti itu, kata Syekh al-Kandahlawi, akan mendapat siksa yang keras.

Rasulullah SAW bersabda, ''Sesungguhnya sebagian dari mengagungkan Allah adalah; memuliakan orang tua Muslim, memuliakan hafiz Alquran yang tak melewati batas dan memuliakan pemimpin yang adil.'' (HR Abu Dawud). Bahkan, Rasulullah SAW menyatakan, mereka yang tak memuliakan alim ulama bukanlah bagian dari umatnya.

''Bukan termasuk umatku orang yang tak menghormati orang tua, tidak menyayangi anak-anak dan tidak memuliakan alim ulama.'' (HR Ahmad, Thabrani, Hakim).  Dalam hadis lainnya, Rasulullah SAW sempat mengkhawatirkan tiga hal yang akan terjadi pada umatnya.  ''Aku tidak mengkhawatirkan umatku kecuali tiga hal,'' sabda Rasulullah.

''Pertama, keduniaan berlimpah, sehingga manusia saling mendengki. Kedua, orang-orang jahil yang berusaha menafsirkan Alquran dan mencari-cari ta'wilnya, padahal tak ada yang mengetahui ta'wilnya kecuali Allah. Ketiga, alim ulama ditelantarkan dan tidak akan dipedulikan oleh umatku.'' (HR Thabrani).

''Dewasa ini, berbagai ucapan buruk telah dilontarkan kepada alim ulama,'' papar Syekh al-Kandahlawi.  Untuk itu, papar dia, umat perlu berhati-hati dalam membicarakan ulama. ''Jika di dunia ini tidak ada alim ulama yang benar dan jujur dan yang ada hanyalah orang-orang jahil dan ulama suu', kita tetap tak boleh menuduh seorang ulama itu suu'hanya berdasarkan ucapan orang.''

Menurutnya, seluruh Muslim  di dunia wajib mewujudkan masyarakat Islam yang dapat melahirkan alim ulama yang hakiki. Sebab, keberadaan ulama di tengah-tengah umat merupakan fardu kifayah. ''Apabila suatu jamaah sudah mewujudkannya, maka tuntutan hukum darfu gugur dari semuanya. Jika kita lalaikan usaha mewujudkan ulama yang hakiki, maka kita semua berdosa,'' papar al-Kandahlawi


sumber : www.republika.co.id

Monday, February 06, 2012

Rahasia Kotak Infak

Sudah menjadi tradisi di Tanah Air kita, umumnya masjid-masjid dan mushala menyediakan kotak infak. Sebuah kotak infak berukuran besar di letakkan secara permanen di bagian yang dianggap strategis, bisa di teras sebelum pintu masuk, atau di bagian dalam langsung setelah pintu masuk.
Jika ada pengajian, kotak infak diedarkan keliling. Begitu juga waktu penyelenggaraan shalat Jumat, tidak lupa beberapa kotak infak diedarkan dari shaf depan hingga paling belakang. Biasanya jumlah infak pada hari Jumat lebih banyak dibanding dengan infak waktu pengajian.

Begitu jugalah yang terjadi pada sebuah masjid di salah satu kota/kabupaten di Jawa Tengah. Setiap selesai rangkaian ibadah Jumat, beberapa orang takmir, kadang-kadang dibantu oleh jamaah mulai membuka kotak infak dan menghitungnya. Isi kotak infak didominasi uang recehan Rp 500, Rp 1.000, dan Rp 2.000. Sesekali terdapat uang Rp 50 ribu, Rp 20 ribu, dan Rp 10 ribu.

Tetapi yang menarik perhatian, pada setiap Jumat selalu ada satu lembar uang Rp 50 ribu. Lembaran uang tersebut selalu tampil sendirian, kesepian, tidak ada temannya. Berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun selalu ada uang lembaran Rp 50 ribu sendirian. Siapa dermawan itu, tak seorang pun tahu.

Sang dermawan tidak pernah sekalipun memperlihatkan uang Rp 50 ribuan tersebut, baik sengaja ataupun tidak kepada jamaah di sampingnya. Barangkali uang itu memang sudah disiapkannya sedemikian rupa dari rumah, dilipat kecil-kecil, di letakkan di kantong baju, sehingga tidak terlihat orang lain. Begitu kotak infak lewat di depannya, maka tangan kanannya langsung memasukkan uang tersebut ke dalam kotak sambil ditutup dengan tangan kirinya.
Bukan berarti menutupi tangan itu karena yang disumbangkan lebih kecil, lebih besar atau malu karena terlihat orang di sampingnya. Ia berinfak ikhlas karena Allah. Orang yang berinfak dan tidak diketahui oleh yang lain, maka dia akan mendapatkan perlindungan Allah di hari kiamat nanti. (Shahih Muslim No 1712).

Alhasil, selama bertahun-tahun tidak ada seorang pun yang tahu siapa dermawan itu.  Pada suatu Jumat, tiba-tiba petugas infak tak menemukan lagi uang Rp 50 ribu itu. Para penghitung saling berpandangan dan bertanya-tanya. Pada Jumat berikutnya mereka tak menemukan uang serupa. Begitu seterusnya. Para penghitung, termasuk takmir masjid jadi penasaran. Mulailah pengurus serius menyelidikinya. Akhirnya pertanyaan itu terjawab.

Pada suatu hari sehabis mengisi pengajian di masjid tersebut, saya diajak oleh pengurus masjid makan di sebuah rumah makan tidak jauh dari masjid. Sewaktu makan-makan itulah seorang pengurus menceritakan kisah uang tersebut. “Ustaz tahu, siapa dermawan itu?” tanya seorang pengurus dengan serius. Dengan antusias saya menunggu jawabannya. Pengurus itu meneruskan ucapannya: “Dermawan itu adalah Pak Haji pemilik rumah makan ini.” Saya menyelidik, “Dari mana Anda tahu?”

“Sebab, uang Rp 50 ribu itu menghilang persis dua hari setelah Pak Haji pemilik rumah makan ini meninggal dunia. Sejak itulah, uang tersebut tak pernah lagi ditemukan.” Semoga Allah SWT memberi ganjaran berlipat ganda akan kedermawanan dan keikhlasan Pak Haji tersebut.
Oleh Prof Dr Yunahar Ilyas
sumber : www.republika.co.id

Gunung Selok Jadi Objek Wisata Spiritual

CILACAP, (PRLM). Hutan Gunung Selok terletak di Desa Karangbenda Kecamatan Adipala Kabupaten Cilacap Jawa Tengah. Hutan itu berada pada ketinggian 300 meter di atas pemukaan laut (dpl), sekitar 20 km sebelah tenggara Kota Cilacap.

Di sana ada Gunung Selok yang kental dengan kharisma mistiknya. Gunung kecil sekitar 10 km dari Kecamatan Adipala yang berhadapan langsung dengan Pantai Selatan Jawa, kini menjadi wisata spiritual yang dikelola Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Banyumas Timur.

Dari atas Gunung Selok, juga dapat melihat keindahan Samudera Hindia yang membentang di sebelah selatan. Kawasan itu sudah puluhan tahun menjadi pusat spiritual kejawen sekaligus beberapa kepercayaan. Tidak hanya itu saja, di sana juga ada petilasan seorang Syeh untuk penganut Islam-Kejawen, agama Hindu, dan Budha. Meski beragam kepercayaan dan idiologi, para jemaatnya bisa hidup berdampingan secara damai.

Begitu memasuki pintu gerbang arah Gunung Selok, dijumpai sebuah bangunan Pura “Mandala Giri” untuk tempat persembahyangan penganut Hindu. Kemudian menyusur jalan beraspal menembus hutan, dengan kemiringan yang cukup tajam. Sampai pada tanah datar terdapat lima pohon pinang (jambe). Di sebelahnya pohon jambe ada bangunan, dikenal sebagai Pedepokan Jambe Lima atau Cemara Seta.

Dlam bangunan padepokan, ada dua makam, yang sangat dirawat, lengkap dengan kelambu, karpet merah untuk duduk orang-orang yang akan ngalap berkah. Di belakang makam terdapat lukisan cukup lebar, gambar, seorang wanita cantik mengenakan kemben pakaian adat Jawa berselendang dengan rambut terurai. Wanita tersebut konon adalah Nyi Roro Kidul sedang berdiri di atas Laut Jawa. Dupa yang masih mengepul makin menguatkan nuansa mistis dan angker.

Pengunjung yang datang bukan hanya masyarakat Cilacap, tapi juga dari sejumlah wilayah di Jateng, Kebumen, Semarang hingga warga Tasikmalaya, dan Ciamis Jawa Barat.

Salah seorang pengunjung Darsep (52) warga Ciamis mengaku, datang ke Jambe Lima karena ada keinginan."Minta penglaris, biar daganganannya laku," katanya malu-malu.

Pedagang barang barang rumah tangga kelilingan hampir setiap tahun datang ke Gunung Selok. Maklum persaingan pedagang serupa sekarang samakin ketat sehingga harus punya 'pegangan'.

Di depan petilasan Jambe Lima terdapat bangunan komplek persembahyangan atau Vihara untuk penganut Budha. Dikenal sebagai Vihara Agung Shang Yang Jati, yang dipimpin seorang biksu Banthe Dharma Teja asal Cilacap.

Pedepokan Agung tersebut berupa komplek bangunan yang didirikan di atas ketinggian 200 mdpl. Ada lima bangunan untuk persembahyangan, sebagai simbol rumah dewa. Seperti rumah Dewa Brahma Ci Men Fu lengkap dengan patungnya. Dewa
Bumi, Dewi Kwan Im dan Dewa Kwan Kong.

Menurut pelayan Bante, Tikun (43), pada Jumat atau Selasa Kliwon pejiarah dari berbagai kota datang ke Vihara, termasuk para Biksu. Bahkan Biksu dari Thailand pernah mengenjungi Bante. "Pada Jumat Kliwon yang datang hingga 20 - 100 orang untuk bersembahyang di sini (Vihara)," kata Tikun

Di komplek tersebut ada tempat ziarah makam Kiai Mahfud Abdurachman (Kiai Somalangu). Untuk ngalap berkah penganut Islam Kejawen Gunung Selok juga ada padepokan yang sengat terkenal, yakni padepokan Jambe Pitu atau pertapaan Ampel Gading, berada di atas petilasan Jambe Lima, menempati puncak paling tinggi di Gunung Selok.

Kendaraan roda empat sulit menembus jalan ke sana, jalannya berkelok-kelok dan naik tajam, di samping itu jalannya rusak. Setelah turun dari kendaraan perjalanan dilajutkan dengan jalan kaki, karena melewati jalan setapak, berupa undak-undakan cukup tinggi.

Meski disebut jambe pitu namun di sana tidak ada pinang berjumlah pitu (tujuh). Tempat tersebut salah satu tempat yang digunakan melestarikan aliran kejawen.

Menurut cucu juru kunci padepokan, Mbah Tomo Wiharjo di komplek Jambe Pitu ada tiga petilasan yang dianggap keramat, yang dikunjungi ribuan peziarah. Petilasan menjadi keramat ada pusakanya seperti Petilasan Sang Hyang Wisnu Murti dengan dua pusakanya yaitu Kembang Wijayakusuma atau Eyang Lengkung Kusuma serta Cakra Baskara atau Eyang Lengkung Cuwiri.(A-99/A-147)***
Pikiran Rakyat Kamis, 19/01/2012 - 15:19