-

Tuesday, August 21, 2012

Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia

Wajah (Intelektual) Islam Indonesia
DISADARI atau tidak wajah Islam Indonesia memang unik dan sangat diperanguhi khazanah budaya setempat. Ini yang diakui oleh Clifford Geertz yang membandingkan Islam di Indonesia dengan Maroko. Hasilnya membuktikan adanya pengaruh budaya dalam memahami Islam. Untuk Indonesia Islam menjelma menjadi suatu agama yang sinkretik dan Maroko Islam mempunyai sifat yang agresif dan penuh gairah. Tentunya, perbedaan penampilan agama ini menunjukkan betapa realitas keyakinan sangat erat kaitanya dengan budaya (lingkungan) lokal.

Dalam buku "Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia" keragaman wajah Islam Indonesia bisa dilihat sekaligus dibedakan antara masuk dan pengaruh Islam Indonesia. Pertama, teori Arab Islam dibawa dan disebarkan ke Nusantara langsung dari Arab pada abad ke 7/8 saat kerajaan Sriwijaya mengembangkan kekuasaannya. Tokoh-tokoh teori ini Crawfurd, Keijzer, Niemann, Dehollandrr, Hasim, Hamka, Al-Alatas, Jajadiningrat, Mukti Ali, J.C Panler, T.W Arnold (h. 4-6). Kedua, teori Cina, etnik Tionghoa muslim sangat berperan dalam proses penyebaran Islam nusantara. Ceng Ho kaisar Cina muslim dari dinas Timing yang melakukan ekspedisi maritim selama 48 tahun (h. 6-8). Ketiga, teori Persia menuju pada bukti-bukti sejarah adanya pengaruh Persia pada abad ke-11. Salah satu bukti pengaruh kitab Ajaib Al-Hin, yang ditulis oleh Buzurg Bin Sariar Al-Ramhurmuzi sekitar tahu 390/ 1000. (hal. 8-9). Keempat, teori India pada adab ke-13 yang berasal dari Guzarat, Cambay, Malabar, Koromandel, dan Bengal. Pendukungnya Piznapel, Snouck Hurgronj, Moqtte, Marrison, Fatimi, Kern, Winsted, Pelekke, Gonad, Halchrieke (hal. 9-10). Kelima, teori Turki islamisasi lain di ajukan oleh Martin Van Bruinesen yang di islamkan oleh orang-orang Kurdi. Kitab Tanwir Al-Kulub adalah karangan Muhammad Amin Al-Kurdi popular di kalangan Tarekat Naksabandiyah. Kedua tradisi barjanji popular di Indonesia dibacakan setiap Maulud Nabi (hal. 10-11).

Menariknya karakter dan presentasi Islam di Nusantara itu menunjukan bahwa tradisi keislaman itu tidaklah monolitik. Dunia Islam adalah sebuah konfigurasi berbagai kelompok etnis, tradisi, kebudayaan, struktur masyarakat, sistem politik, khazanah pemikiran dan seterusnya. Ketika masing-masing unsur dalam konfigurasi ini menampilkan mozaik budaya berbasis perjalanan sejarahnya sendiri-sendiri (historical track line) dalam sebuah (kawasan) bangsa Muslim, saat yang sama ia sedang mempresentasikan dirinya di atas panggung drama sejarah. Presentasi yang menampilkan unsur-unsur kekhasan sebuah (komunitas) bangsa harus difahami dengan baik. (hal.ix).

Ini yang disayangkan oleh Yudi Latif dalam Kata Pengantar buku ini. Masalahnya, presentasi sering ditampilkan tidak utuh atau tidak akurat karena dua hal: Pertama, keterbatasan bahasa mewakili semua denyut nafas kehidupan, kedua, presentasi diwakili oleh hanya satu atau beberapa orang pembicara. Mereka adalah kelompok elit intelektual yang menjadi juru bicara atau nara sumber yang menjelaskan masyarakatnya. Panggung kehidupan yang banyak nuansa dan berjuta warna sering terlalu luas dari apa yang mampu dijelaskan oleh sekelompok kecil elit intelektual. Dari sini, pertanyaan muncul dari laci ingatan, apakah penggambaran masyarakat oleh kaum intelektual seperti terekspresikan dalam wacana arus utama, polemik di media massa dan tumpukan rak-rak literatur benar-benar absah merepresentasikan realitas yang sesungguhnya? Sejauh mana kaum intelektual cukup objektif merepresentasikan masyarakatnya? Seperti diingatkan Wilfred Cantwell Smith, sejauh mana publik yang dijadikan objek wacana "mengaminkan" pandangan-pandangan kelompok elit yang menyuguhkan penggambaran tentang diri mereka? Jawaban pertanyaan ini berkaitan dengan "siapa mewakili siapa."

Sebagai zoon politicon yang dibesarkan dalam kultur, struktur sosial dan relasi-relasi kuasa yang tidak sama satu sama lain, kaum intelektual pada kenyataannya hidup dalam blok historisnya sendiri-sendiri. Parahnya, apabila presenter itu adalah kaum intelektual komprador yang mengusung ideologi partisan dan terjebak pada pengkhianatan fungsi dirinya. Tak mengherankan bila presentasi kaum intelektual sering hanya merupakan ekspresi kepentingan kelompok yang digelayuti nafsu vested-interest terutama ketika mereka berada dalam konflik atau polemik dengan lawan-lawannya. Presentasi kaum intelektual semakin tidak utuh dan tidak representatif menggambarkan masyarakatnya. Inilah yang sering menyebabkan deskripsi-deskripsi teoritis kaum intelektual atau cendekiawan sebuah masyarakat sering jauh berbeda dengan realitas dalam masyarakat. (hal. x).

Membaca buku ini akan menambah wawasan kita yang berusaha menjelaskan dan mendiskusikan tema-tema keislaman Indonesia dalam ragam persoalan (proses Islamisasi, peranan ulama dalam sejarah, kelas menengah Muslim, sekularisasi, pluralisme, terorisme, Islam liberal, pornografi) dan melihatnya dari berbagai sisi (sejarah, sosial, politik, psikologis dan budaya).

Pembahasannya tematis, variatif, deskriptif, informatif, orisinal dan berusaha mengkritisi persoalan-persoalan psikososial yang menjadi diskursus publik. Selamat membaca!
(Ibnu Ghifarie, mahasiswa Pascasarjana UIN SGD Bandung Program Religious Studies dan peneliti Academia for Religion and Social Studies (ARaSS) Bandung)**
Galamedia
kamis, 28 juni 2012 01:13 WIB

Artikel yang Berkaitan

0 komentar:

-

Post a Comment