-

Sunday, July 29, 2012

RSBI/SBI dan Problematika Kebahasaan



SEKOLAH Bertaraf Internasional (SBI) dan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) cenderung menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam proses belajar mengajarnya. Dewasa ini, banyak diributkan oleh sebagian pihak agar sekolah tersebut dibubarkan. Hal itu bukan saja berkaitan dengan biayanya yang mahal, namun berkaitan dengan bahasa pengantar yang digunakannya, yaitu bahasa asing.

Berkaitan dengan bahasa asing yang cenderung digunakan di dunia pendidikan, sebenarnya bukan hal yang baru. Semenjak negeri ini mengenal pendidikan formal, Ratu Wilhelmina di Belanda tahun 1901 mengeluarkan instruksi agar di Indonesia diselenggarakan pendidikan sebagai upaya balas budi atau politik etis, notabene bahasa pengantar dalam kegiatan belajarnya menggunakan bahasa Belanda.

Sementara itu, di sekolah-sekolah yang berlabelkan Islam, seperti Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur yang didirikan tanggal 20 September 1926, menggunakan bahasa Arab dan Inggris sebagai bahasa pengantar pendidikannya. Diikuti oleh sekolah-sekolah yang berada dalam naungan pesantren-pesantren modern ala Gontor di seluruh Indonesia, termasuk di Jawa Barat. Di antaranya Pondok Modern Al-Basyariah (Cigondewah dan Arjasari, Kab. Bandung), Pondok Pesantren Moderen Al-Ihsan (Baleendah, Kab. Bandung), Pondok Pesantren Baitul Arqom (Ciparay, Kabupaten Bandung), dan Pondok Pesantren Putra/Putri Sumur Bandung (Cililin, Kabupaten Bandung Barat).

Meski menggunakan bahasa asing, namun pesantren-pesantren modern tersebut tetap mengusung multilingual, terlebih bahasa nasional dan bahasa daerah. Hal itu terungkap dalam dalam novel Negeri Lima Menara karangan Ahmad Puadi yang menggambarkan proses kehidupan di Pondok Modern Gontor yang disamarkan menjadi Pondok Madani.

Ketika berkaca kepada para pendahulu kita pun, termasuk para pahlawan bangsa, tidak sedikit di antara mereka yang mengusai banyak bahasa, yaitu bahasa daerah, nasional, dan beberapa bahasa asing. Di antaranya K.H. Agus Salim, Oto Iskandar Di Nata, dan Ir. H. Djuanda. Namun, rasa nasionalisme dan jiwa patriot mereka tetap berkobar tanpa melupakan kedaerahan mereka sebagaimana semboyan negara kita Bhineka Tunggal Ika.

Namun, disayangkan bahasa yag digunakan di SBI dan RSBI cenderung tidak mengusung semboyan Bhineka Tunggal Ika. Bahasa Inggris yang lebih ditonjolkan daripada bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, terlebih lagi bahasa daerah.

Dengan demikian, sebenarnya untuk menjawab kegalauan sebagian masyarakat tentang SBI dan RSBI, bagi Kemendikbud ada dua kunci utama. Pertama, biaya sekolah yang tidak mahal sehingga masyarakat berekonomi rendah pun dapat bersekolah di situ. Kedua, penggunaan bahasa yang tidak membunuh bahasa nasional, bahasa daerah, dan kebudayaan lokal.

Problematika

Tentang penggunaan bahasa di luar sekolah maupun di lingkungan sekolah, sampai saat ini wacana yang mengemuka adalah bahasa daerah merasa terlindas oleh bahasa Indonesia yang berkedudukan sebagai bahasa nasional, bahasa negara, dan bahasa persatuan. Bahasa Indonesia merasa terlindas oleh bahasa asing yang dianggap oleh sebagian orang lebih keren dan sebagai penunjuk status sosial. Bagi mereka tidak afdal kalau berbicara dengan menggunakan bahasa Indonesia tanpa diselingi bahasa atau istilah asing, bahkan merasa bagaikan khotbah tanpa dalil naklinya.

Di sisi lain, arah politik Indonesia yang berkiblat ke barat dan dengan sistem ekonomi kavitalisme mendorong masyarakat untuk lebih memacu diri dalam meningkatkan kemampuan berbahasa asing. Pengkerucutan citra yang muncul adalah dengan mampu berbahasa asing, maka akan mudah meraih lapangan pekerjaan. Selain itu, mempunyai perasaan bahwa telah menempatkan dirinya sebagai individu, komunitas atau lembaga yang telah maju.

Klimaks ketegangan antarbahasa, tampak ketika para tokoh bahasawan mendorong pemerintah untuk melegitimasi pengukuhan keberadaan bahasa lokal dan nasional. Bahasa nasional sebagai bahasa persatuan yang telah lama memancuh di negeri ini dalam ikrar sumpah pemuda pada butir ketiga dan sebagai pengikat NKRI melalui bahasa (bahasa persatuan). Keberadaannya lebih dikukuhkan lagi dengan UU RI Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.

Sementara bahasa daerah sebagai ruh kebudayaan daerah dan penyangga bahasa nasional dikukuhkan keberadaannya melalui perda. Di Bandung dengan adanya perda dari pemprov. Jabar No. 5/2003 tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah dan Perda Pemkot Bandung tentang penggunaan, pemeliharaan, dan pengembangan bahasa, sastra, dan aksara Sunda yang ditetapkan melalui sidang paripurna di gedung DPRD Kota Bandung, Senin, 28 Mei 2012.

Bahasa daerah di antaranya berfungsi sebagai pemelihara kebudayaan daerah, alat komunikasi satu etnis, dan pemasok khazanah bahasa nasional. Adapun bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa resmi negara, dan bahasa persatuan yang digunakan antaretnis, digunakan pula dalam proses belajar mengajar dan rapat dinas. Adapun bahasa asing berfungsi sebagai bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi dengan warga bangsa lain dan alat pengkajian keilmuan yang berasal dari luar negeri.

Hanya saja timbulnya kekhawatiran terlindasnya bahasa daerah oleh bahasa nasional dan bahasa nasional oleh bahasa asing, karena bahasa-bahasa tersebut tidak ditempatkan sesuai fungsinya masing-masing. Untuk itu perlu kesadaran berbagai pihak, baik secara individu atau pun lembaga dalam menggunakan ketiga jenis bahasa tersebut sesuai dengan fungsinya masing-masing.

Di sekolah, misalnya. Di luar jam mengajar dan dalam proses belajar mengajar pelajaran bahasa daerah, maka dapat menggunakan bahasa daerah. Sedangkan dalam proses belajar mengajar secara umum, menggunakan bahasa nasional. Bahasa asing dapat digunakan ketika pelajaran bahasa asing tersebut serta waktu tertentu untuk melancarkan bahasa asing dan berkomunikasi ketika ada kunjungan orang asing apabila dipandang perlu menggunakannya.

Berdasarkan hal di atas. Sekolah sebagai lembaga pendidikan yang sudah teruji kemampuannya dalam mentransfer ilmu dan mencetak prilaku siswa ke arah yang lebih baik, dapat memulai pengklasifikasian penggunaan ketiga bahasa tersebut. Hal itu karena ketiga bahasa itu bukan saja berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai khazanah peradaban manusia yang perlu dijaga keberadaan dan perkembangannya. RSBI/SBI seharusnya dapat menjadi percontohan tentang penggunaan ketiga jenis bahasa tersebut. Pada akhirnya, RSBI/SBI secara lokal berakar dan secara internasional berpucuk, bahkan sampai berbuah yang lezat untuk dinikmat seluruh kalangan.
(Penulis Staf Teknis Balai Bahasa Provinsi Jawa Barat)**
Galamedia
jumat, 13 juli 2012 01:46 WIB
Oleh : ASEP JUANDA

Artikel yang Berkaitan

0 komentar:

-

Post a Comment