-

Tuesday, July 17, 2012

Menyoal Lahan Pertanian Abadi

ISTILAH "sawah abadi" atau "lahan abadi", sebetulnya sempat mengemuka pada saat naskah akademik UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan didiskusikan. Dalam proses penyusunan naskah akademik, memang terjadi perbedaan tafsir terkait judul yang perlu di suratkan dalam RUU. Setelah melalui pencarian judul yang cukup panjang, akhirnya lahir usulan agar judul nya RUU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Pilihan judul ini dinilai tepat dan normatif. Tidak dipilihnya kata-kata "lahan abadi", karena setelah berkonsultasi dengan para pakar, rupanya istilah "abadi" itu hanya Tuhan yang memilikinya. Kita sebagai manusia, rasanya agak kurang pas membahas soal "keabadian".

Lahan pertanian produktif, wajib hukum nya untuk dilindungi. Jika tidak, maka kita akan dihadapkan pada pesoalan yang lebih kompleks. Pernyataan ini penting kita hayati, karena kalau saja lahan-lahan pertanian pangan kita dialihfungsikan secara tidak terkendali, maka dari mana kita akan memperoleh bahan pangan sebagai kebutuhan pokok sehari-hari? Jika yang menyarankan pencetakan sawah baru, seberapa luas akan dicetak dan dari mana anggarannya?

Sampai kini, sudah lebih 2 tahun UU No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan diberlakukan. Beberapa daerah juga telah membuat perdanya. Sangat disayangkan, ternyata perdanya sendiri terkesan sulit untuk diterapkan. Baru satu atau dua PP saja yang diterbitkan, seperti PP No. 12/ 2012 tentang Insentif dan Disintensif Lahan. Beberapa kalangan mempersoalkan ada apa di balik semuanya ini? Apa yang menyebabkan pemerintah seperti galau untuk menetapkan PP-nya? Apakah nasibnya akan seperti UU No. 12/1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman, yang salah satu PP-nya baru dilahirkan setelah 18 tahun kemudian?

Salah satu semangat diluncurkannya UU No. 41/2009 adalah melindungi lahan pertanian pangan produktif, khusus nya sawah agar tidak dialihfungsikan dengan cara yang semena-mena. Sekalipun kemauan politik semacam ini ini mestinya diputuskan sekitar 20 tahun lalu, namun kita tidak boleh menyatakan kata "terlambat". Cuma, apalah arti nya sebuah UU jika suasana yang terjadi di masyarakat memang sudah berubah, atau bahkan menjadi bertolak belakang dengan kehadiran UU tersebut.

Sebab itu, UU ini pasti akan efektif dan memberi banyak keberkahan bagi kehidupan, jika ditetapkan tahun 1980-an. Sebab, bukan saja kita bakal mampu "mengerem" sikap orang-orang yang hanya berpikiran jangka pendek, seperti melahirkan kebijakan kawasan industri yang harus mengorbankan puluhan ribu hektare lahan sawah produktif di sentra-sentra produksi padi, namun kita pun pasti akan dapat melindungi lahan pertanian produktif mana saja yang keberadaan nya mesti dilestarikan. Hasrat ini, rupanya tidak mungkin akan terwujud, karena kita tidak mungkin bakal dapat memutar mundur jarum jam.

Alhasil, ketika UU ini ditetapkan di tahun 2009, maka proses alih fungsi lahan telah berlangsung, dan juga diikuti dengan alih kepemilikan lahan pertaniannya itu sendiri. Buktinya, bila kita sempat jalan-jalan ke Bekasi, Karawang, Subang, Indramayu dan lain sebagai nya, lalu bertanya kepada warga pedesaan tentang siapa pemilik lahan sawah ini, maka secara kompak mereka akan menjawab dengan lantang: 80% pemiliknya adalah orang Jakarta atau Bandung.

Stop alih fungsi

Dari hasil dengar pendapat antara Komisi IV DPR dengan para kepala daerah yang dikenal sebagai "sentra produksi" pangan beberapa waktu lalu, terekam adanya kekecewaan para gubernur atas ketidaktegasan pemerintah dalam mengatur alih fungsi lahan, khusus nya dari lahan pertanian produktif ke lahan-lahan non-pertanian. Aspirasi para gubernur ini, menarik untuk dicermati. Pasalnya, tentu bukan hanya sekadar mereka bersemangat melestarikan daerahnya sebagai lumbung pangan, namun secara tidak langsung menggambarkan keberpihakan mereka terhadap nasib para petani.

Secara lebih gamblang, para kepala daerah tersebut mempertanyakan komitmen negara dalam pengelolaan pangan. Para gubernur juga menengarai banyak kebijakan yang digelindingkan tidak mendorong peningkatan kesejahteraan petani selaku produsen. Sampai sekarang lahan baku sawah setiap hari hilang karena alih fungsi yang membabi buta. Jika kita ingin mewujudkan harapan Presiden SBY agar dalam tahun 2014 bangsa ini mampu surplus beras sebesar 10 juta ton, maka aspirasi para gubernur itu mesti direnungkan dalam-dalam.

Dari segudang masalah yang di duga bakal menghambat pencapaian surplus beras 10 juta ton pada tahun 2014, tampak nya yang disebut dengan alih fungsi lahan adalah persoalan yang membutuhkan keseriusan dalam penanganan dan pengaturannya. Walau kita sudah punya UU No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, dalam praktek nya belum dapat diterapkan secara optimal, karena PP-nya belum secara utuh ditetapkan pemerintah.

Dalam suatu proses "transformasi struktural" dari sektor agraris ke industri, atau dari sektor tradisional ke modern, atau dari sektor perdesaan ke perkotaan, alih fungsi lahan tak mungkin dihindari. Untuk itu, agar proses diatas berlangsung sesuai keinginan, maka sedari awal harus disiapkan rambu-rambunya agar dampak buruknya dapat dieleminir. Kita optimis, bila proses ini berlangsung dalam track yang benar, maka alih fungsi lahan tidak akan jadi masalah merisaukan. Sebab, tata kelola alih fungsi lahan tersebut, selalu diarahkan untuk membuahkan keberkahan bagi kehidupan dan tidak untuk melahirkan tragedi kemanusiaan yang menyedihkan.

Ketegasan sikap dalam mengatur alih fugsi lahan, benar-benar sangat dibutuhkan. Alih fungsi lahan dari pertanian ke non pertanian, tentu harus dikendalikan lewat sebuah regulasi. Alih fungsi lahan juga tidak boleh dibiarkan terjadi tanpa kendali. Tugas kita bersama untuk mengingatkan dan mengawasi nya. Tegas bukan hanya dalam tataran regulasi atau kebijakan, namun yang lebih penting lagi adalah tegas pula dalam tataran pelaksanaan nya. Apa yang disampaikan para gubernur, pada dasarnya memberi gambaran kepada kita bahwa antara kebijakan pemerintah dan kenyataan yang ada di lapangan, masih terkesan bertolak belakang.

"Ewuh pakewuh" antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam era otonomi daerah, bukan rahasia lagi. Apa yang menjadi keinginan pusat, belum tentu senafas dengan apa yang diharapkan daerah. Gubernur sendiri memang memiliki "dua peran" yang melekat dalam jabatannya. Di satu sisi kepala daerah merupakan "wakil" pusat, sehingga diri nya harus mampu mengamankan program-program yang diinisiasi pusat. Tapi di sisi yang lain, harus mampu menjalankan roda kepemimpinan di daerahnya sendiri. Dia mesti mampu menangkap aspirasi masyarakat untuk bahan masukan ke pusat.

Mudah-mudahan apa yang disuarakan para gubernur ini, akan dapat memberi "darah baru" bagi para anggota DPR, yang saat ini sedang getol membahas RUU Pangan. Paling tidak, para wakil rakyat di DPR tetap akan memberi slot kepada publik bahwa melahirkan sebuah UU tidaklah segampang membolak-balikan telapak tangan. Namun betul-betul membutuhkan masukan dan aspirasi dari seluruh komponen bangsa.
(Penulis adalah Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat)**
Galamedia
senin, 09 juli 2012 01:21 WIB
Oleh : Entang Sastraatmadja

Artikel yang Berkaitan

0 komentar:

-

Post a Comment