-

Tuesday, July 31, 2012

Jembatan Selat Sunda

DARI sisi kelancaran transportasi dan percepatan pembangunan sarana fisik, proyek Jembatan Selat Sunda (JSS) yang akan menghubungkan pulau Jawa dan Sumatera, mungkin banyak manfaat dibanding madaratnya. Namun demikian, dampak yang ditimbulkan merembet pada aspek-aspek lainnya seperti masalah sosial budaya yang sulit diukur secara materi. Belum lagi kalau diperhitungkan nilai investasi yang dikeluarkan yang begitu besar, yang berasal dari sumber permbiayaan pihak ketiga dan dipastikan akan membebani Negara dan rakyat di masa depan. Karena itu, kalkulasinya tidak cukup dengan menggunakan pendekatan fisis determinisme, akan tetapi sebaiknya berangkat dari wilayah positivisme.

Fisis determinisme senantiasa mengesampingkan aspek manusia dengan segala karakteristiknya. Dia lebih mengutamakan pembangunan fisik dengan anggapan manusia di sekitarnya akan mengikuti dan menyesuaikan terhadap keadaan yang baru. Persoalan muncul, tatkala kemampuan manusia itu tidak cukup berpendidikan. Pada akhirnya, mereka akan tersisihkan oleh pendatang yang lebih kapabel. Dengan demikian akan muncul situasi yang menempatkan manusia tersebut sebagai tamu di "negerinya" sendiri. Mereka akan terasing dan termarjinalkan dalam berbagai aspek kehidupan.

Berbeda halnya kalau menggunakan pendekatan positivisme. Pembangunan sarana fisik adalah bagian dari kehidupan sosio-kultural masyarakat sekitarnya. Berbagai kemungkinan diperhitungkan, termasuk upaya-upaya mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh pembangunan sarana fisik tersebut. Karena itu, perencanaannya bersifat sistemik dan holistik. Manakala muncul persoalan baru, maka seluruh stakeholder terlibat dalam pemecahan dan solusinya. Hasilnya, tentu akan mampu menekan dampak negatif dan konflik ekonomi, sosial, budaya, maupun politik.

Kelemahan pendekatan positivisme seringkali dianggap lambat dan ruwet. Namun dia lebih aplikatif dan relasional. Sebaliknya, pendekatan fisis determinisme lebih cepat dan monumental, walaupun seringkali tidak mampu mewujudkan social cohesiveness (kesatuan sosial). Penentuan pendekatan yang dipakai sejatinya harus berdasarkan hakikat dasar pembangunan itu sendiri, yaitu pembangunan manusia Indonesia yang beradab. Bukan melahirkan bangsa sebagai the beggar nation (bangsa peminta-minta). Kita ingin masa depan masyarakat Indonesia berasaskan prinsip "dari, oleh, dan untuk masyarakata Indonesia". Artinya, kemajuan dan pemkembangan sarana fisik pembangunan berkorelasi positif dengan kemajuan manusianya.

Hal yang lebih mengerikan apabila pembangunan sarana fisik tersebut dipandang dari sudut project oriented, yang hanya menguntungkan segelintir masyarakat pribumi maupun non pribumi. Hal ini akan mewariskan sikap mental ketergantungan bangsa yang lebih besar di masa depan. Nilai-nilai kreatif dan mandiri akan semakin jauh dan langka, sehingga idealisme, patriotisme, dan nasionalisme semakin tergerus oleh roda liberalisme yang mengedepankan materi dan mengesampingkan humanisme.

Ke depan, kita harus mulai mengaplikasikan pembangunan berbasis budaya. Artinya, segala sesuatu yang dilakukan harus mempertimbangkan karakteristik dan potensi kultural yang dimiliki, sehingga akan mampu menghindarkan diri dari konflik internal maupun eksternal sebagai akibat proses pembangunan itu. Harapannya, optimalisasi hasil-hasil pembangunan akan terjadi dan merupakan bagian penting dari kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Bukan mengasingkan masyarakat sebagai pemilik negeri ini.

Kegagalan pendekatan fisis determinisme pernah dialami oleh Brazil tahun 70-an melalui pemeranan modal asing yang spektakuler untuk industrialisasi negerinya. Oleh karena aspek pembangunan manusianya terabaikan, mereka hanya menjadi buruh dan pekerja. Kemampun manajerial sama sekali tidak tersentuh. Akibatnya, tatkala dilakukan kebijakan nasionalisasi industri tersebut hanya kebangkrutan yang dialami. Masyarakat sudah terlanjur konsumtif dan materialis sehingga menimbulkan masalah sosial yang semakin kompleks.

Tanah air tercinta adalah negara besar yang kaya sumbedaya alam. Untuk memberdayakannya, harus diawali dengan pembangunan sumberdaya manusia yang berkualitas. Dengan begitu, kita akan memiliki kemampuan yang handal dalam berbagai aspek kehidupan termasuk melakukan konservasi dan promosi budaya yang dimiliki. Pada tataran yang lebih jauh, budaya itu dapat dijadikan sebagi media dilpomasi, penyusunan kebijakan dan pendidikan manusia Indonesia yang berkarakter.

Dalam konteks pembangunan jembatan Selat Sunda, mungkin perlu dilakukan langkah-langkah reinventarisasi, reinterpretasi, dan reformulasi budaya masyarakatnya. Dengan demikian, tatkala jembatan ini berfungsi tidak menimbulkan kesenjangan antara sarana fisik dan kondisi sosio-ekonomi-kultural di dalamnya. Wallohu a'lam.
Oleh : H.M. AHMAN SYA
(Penulis adalah geograf dan Rektor Universitas BSI Bandung)**
Galamedia
senin, 16 juli 2012 00:38 WIB

Artikel yang Berkaitan

0 komentar:

-

Post a Comment