-

Sunday, July 01, 2012

Ekskavasi Gunung Padang

REAKSI sebagian budayawan terhadap aktivitas penelitian di Gunung Padang Kabupaten Cianjur beberapa waktu yang lalu, dapat dimaklumi. Persoalannya bukan saja menyangkut koordinasi antar berbagai unsur yang terabaikan saat itu, namun juga aspek etika kultural yang mungkin terlupakan.

Masyarakat di sekitar itu memiliki kepercayaan dan keyakinan tertentu yang harus dihormati dan dihargai. Karenanya, diperlukan kesepakatan bersama agar kegiatan riset dapat dilakukan dengan baik dan kondusif.

Ekskavasi kini telah dimulai. Hasil sementara menunjukkan betapa tingginya budaya masyarakat yang membangun situs Gunung Padang di masa lampau. Diperkirakan, kebudayaan itu telah berlangsung sejak 2500 SM atau bersamaan dengan keberadaan Nabi Musa a.s. Kalau secara ilmiah nantinya dapat dibuktikan, betapa tingginya kemampuan masyarakat Sunda saat itu.

Artinya, kita harus bangga dengan warisan masa lampau dengan segala keunggulannya. Dalam konteks ini, para budayawan pasti memberikan dukungan. Mereka memiliki kepedulian terhadap berbagai peninggalan sejarah yang mengandung nilai dan makna yang luhur bagi kesejahteraan manusia. Akan tetapi, tatakrama dan prosedurnya harus tetap mengindahkan tradisi dan adat istiadat yang berlaku disana.

Jangan sampai karena kepentingan kelompok tertentu, warisan dan kekayaan historis menjadi terusik dan bahkan tanpa makna. Akibatnya, generasi penerus menjadi miskin solidaritas kelompok (group solidarity) dan hampa kepedulian sosial (social responsibility).

Terkait dengan pembangunan bidang kebudayaan, konservasi memiliki peran yang sangat penting. Artinya perlindungan, pemeliharaan, dan pemaknaannya harus menjadi sebuah referensi bagi pembentukan manusia yang humanis. Dengan demikian, segala macam bentuk eksploitasi yang tidak relevan harus dihindarkan. Karena itu, pembagian tugas antara rama, resi, dan prabu sebagaimana tercantum dalam Amanat Galunggung perlu disosialisasikan.

Budayawan pada dasarnya adalah resi yang memiliki peran dalam kesejahteraan rakyat. Sementara itu, pemerintah dimaknai sebagai prabu yang mempunyai hubungan langsung dengan rama dalam konteks kemakmuran masyarakat. Apabila peran tiga unsur ini tidak konsisten, maka akan terjadi tumpang tindih dan kekacauan dalam kehidupan. Untuk itu, langkah penggalian sejarah terkait Gunung Padang bukan berarti tabu. Kita harus melihatnya secara holistik agar terjadi homeostasis atau keseimbangan.

Di pihak lain, kekayaan budaya memang perlu terpromosikan melalui banyak cara. Kemampuan masyarakat masa lampau pada saat membangun situs Gunung Padang misalnya, bukan mustahil merupakan representasi puncak kebudayaan saat itu. Maknanya, keunggulan yang dimiliki bukan saja dari sudut pandang sistem kepercayaan, akan tetapi juga keunggulan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni pada jamannya. Hal ini perlu diketahui oleh generasi penerus supaya akar budayanya tidak putus. Di samping itu, memperkenalkan keluhurannya dapat menjadi landasan dalam proses edukasi atau transformasinya.

Kebudayaan juga dapat dijadikan sebagai media diplomasi melalui berbagai kebijakan yang strategis. Untuk itu, diperlukan pengertian dan pemahaman semua pihak tentang eksistensinya dalam pembangunan manusia seutuhnya. Dengan demikian, akan dilahirkan manusia-manusia yang kukuh pengkuh tur teu mengpar tina pitutur sepuh (konsisten dan tidak keluar dari amanat leluhur). Individu seperti itu akan memiliki karakter yang kokoh dan memiliki posisi tawar yang tinggi.

Menghadapi prubahan jaman yang semakin cepat, diperlukan gerakan peduli budaya yang dinamis. Paling tidak, diawali dengan pemetaan budaya (cultural mapping) sebagai titik pangkal pembangunan kebudayaan selanjutnya. Berbagai potensi, jenis, penyebaran, dan ciri khasnya diinventarisasi sehingga jelas mana yang harus diproteksi, dimodifikasi, dan diinovasi.

Pro dan kontra yang terjadi tentang Gunung Padang, pada akhirnya diharapkan menjadi inspirasi penting bagi masyarakat yang berbudaya untuk tetap bisa ngajaga (menjaga), ngajega (menunjukkan), dan ngajiga (mencitrakan) kulturnya. Dengan demikian, kita moal unggut kalinduan, moal gedag kaanginan tetep dina adeg-adeg budaya (tetap eksis berlandaskan budayanya). Walaupun untuk mencapainya, diperlukan kesungguhan dan kerja keras supaya berjaya di dunia dan pergaulan antar bangsa sebagaimana diamanatkan oleh Parbu Raja Wastu (1375) dalam prasasti Kawali, pakena gawe rahayu pakeun heubeul jaya di buana (bekerja keras lah agar berjaya di dunia). Wallohu'alam.
(Rektor Universitas BSI Bandung)**
Galamedia
jumat, 29 juni 2012 01:25 WIB
Oleh : Prof. Dr. H.M. Ahman Sya

Artikel yang Berkaitan

0 komentar:

-

Post a Comment