-

Thursday, June 21, 2012

Mi'raj Kebudayaan (Sunda)

SALAH satu makna Rajab adalah kehormatan. Peristiwa surealis yang senantiasa diperingati: Isra Mikraj. Minimal dengan ritus peringatan ini, memori kolektif masyarakat diinsyafkan pada pentingnya mengelola hidup. Tidak sekadar berhenti sebatas pemenuhan hajat kebendaan namun ada hal penting yang harus diperhatikan: haluan kebutuhan batin.

Isra Mikraj pesan utamanya adalah menanamkan ingatan-ingatan ini. Mengapa diperingati? Jawabannya sangat sederhana karena manusia adalah pelupa. Manusia hanya selalu ingat kepada hasrat yang bersifat bendawi dan alpa terhadap visi batini. Menjadi relevan dalam konteks ini apa yang ditulis sastrawan Milan Kendera bahwa perjuangan yang paling besar adalah upaya terus menerus melawan lupa.

Secara semantik isra artinya adalah perjalanan geografis dari Masjidil Haram ke Masjidil Aksa di Palestina yang sekarang menjadi simpul dari pusaran konflik karena hasrat kuasa Yahudi yang kelewat batas. Perjalanan fisik-ragawi. Mikraj lebih bermuatan arti non fisik: naik ke Langit untuk kemudian mencapai puncak pencerahan yang disimbolisasikan dalam ungkapan sidratul muntaha. Sidrah artinya pohon lotus (simpul dari pencerahan) dan muntaha adalah puncak. Puncak pencerahan yang diwujudkan dalam bentuk kesediaan hidup berjangkar pada etika.

Perjalanan miraj hakikatnya bukanlah sesuatu yang gampang. Ada banyak hambatan sepanjang perjalanan yang harus dihadapi sang Nabi sebelum meraih kemenangan. Selepas hambatan itu ditaklukan, maka tentu apa yang dicita-citakan tinggal menunggu waktu.

Konteks budaya

Dalam konteks kebudayaan ternyata untuk menghadirkan ruang hidup yang berkeadaban, mensyaratkan miraj diposisikan sebagai kerja budaya aktif, bukan sebagai sesuatu yang pasif.

Mikraj sebagai kata kerja, bukan kata benda. Mikraj bukan pilihan tapi suatu keniscayaan. atmosfer kebudayaan yang santun musti diupayakan, negara kesejahteraan wajib diikhtiarkan, ruang publik yang toleran harus diusahakan, tidak menunggu dengan berdiam diri tak ubahnya manusia yang digambarkan sastrawan Kafka dalam The Trial-nya:

"Seseorang mendatangi pintu yang menuju surga dan minta izin untuk masuk kepada penjaga pintu. Penjaga pintu mengatakan bahwa dia tidak mengizinkan seseorang untuk masuk selama beberapa saat. Sementara pintu itu terbuka, lelaki itu memutuskan untuk menunggu sampai penjaga pintu mengizinkannya masuk. Dia duduk menunggu selama berhari-hari dan bertahun-tahun. Berkali-kali ia menanyakan apakah sudah diizinkan masuk, tetapi selalu dijawab bahwa dia belum bisa mengizinkannya. Selama bertahun laki-laki itu tak henti-hentinya memperhatikan penjaga pintu itu sambil melepaskan kutu-kutu yang menempel di kerah bajunya yang menjamur. Sampai-sampai dia tahu dan hampir mati. Untuk pertama kalinya ia menanyakan: "Bagaimana sampai terjadi bahwa sepanjang tahun ini tak ada seorang pun yang meminta izin untuk masuk kecuali saya?" Penjaga pintu menjawab, "Tak seorang pun kecuali anda yang bersikeras meminta izin memasuki pintu ini, sepertinya pintu ini dimaksudkan untukmu. Sekarang saya mau menutupnya!"

Mikraj kebudayaan adalah sesuatu yang mengandaikan kerja kreatif: merancang pendidikan yang berkualitas, ekonomi terencana, kepemimpinan yang visioner dan terbebas dari segala bentuk kepentingan dangkal, keberagamaan inklusif yang selalu terbuka untuk didialogan dengan zaman, penghargaan manusia kepada pikiran bukan terhadap tubuh dan pencitraan yang acapkali menyesatkan.

Haji Hasan Mustapa, seorang sufi dan filsuf terbesar sepanjang sejarah Sunda menggambarkannya dalam guguritan memukau: Mun teu macul moal nyatu /Teu ku cai moal mandi /Mun euweuh kejo teu mangan /Mun teu ngarah moal ngarih /Mun sangsara paeh bangka /Mun teu ngulik moal mukti (kalau tidak mencangkul tidak akan makan/ tidak ke air tidak akan mandi/tidak ada nasi/tak kan makan/tak berusaha tidak memetik hasil/kalau tidak kreatif mustahil kaya)

Setelah miraj kebudayaan seperti ini kita sahih "menunggu", menuai hasil dari apa yang kita usahakan, atau dalam renungan Haji Hasan Mustapa: Teu macul teu burung nyatu/Paeh titeuleum keur mandi /Teu mangan kamjrjkaan /Teu ngarah teu burung ngarih /Babatang menak Jatnika /Mucigcrig bawaning ngulik/Loba nu hirup teu nyatu /Nu ngali lain nu tani/Nu barakal katalayah/Anu caricing dipaling/Loba ubar nu kanceuhan/Loba wali lain santri (Tidak mencangkul, tidak bakal tidak makan/mati tenggelam sedang mandi/tidak makan sampai kenyang/tidak kerja tentu dapat/babatang menak jatnika/disebabkan ikhtiar/banyak yang hidup tidak makan/ yang menggali bukan bertani/yang berakal di mana-mana/yang diam diambil orang/banyak obat tidak pernah sembuh/banyak wali bukan santri).

Melampaui metafora

Ada banyak keburukan dan kebaikan yang digambarkan secara metaforis dalam peristiwa mikraj. Bahkan surga dan neraka ditampakan, cerita eskatologis tertib disusun, dan keindahan metafisis secara koheren dihamparkan: lagi-lagi agar tidak lupa terhadap kesadaran eskatologis. Kesadaran yang semestinya membuat bangsa dapat merayakan hidup dengan penuh tanggungjawab.

Metafora yang sebenarnya bersifat universal. Atau mungkin tradisi dan literasi estetis di kemudian hari banyak mendulang ilham dari Isra Mikraj. Literasi estetis memunculkan karya raksasa semacam Divine Commedia-nya Dante menggambarkan irisan gagasan yang mempertemukannya dengan Mikrajnya Nabi saw. Dalam kebudayaan Sunda, pantun Mundinglaya Dikusumah dibangun dengan alur yang tidak jauh berbeda dengan Mikraj itu.

Dalam Mundinglaya ada pertentangan antara yang memperalat kebudayaan untuk kepentingan kuasa dan kebendaan yang disimpulkan Sunten Jaya dengan Mundinglaya sendiri yang justru memposisikan kebudayaan sebagai pintu masuk untuk meraih keadaban hidup, untuk melakukan ekspektasi nalar dan kejernihan akal budi.

Di tangan Mundinglaya kebudayaan dirumuskan tidak sekadar sisi ragawi saja namun juga aspek spiritualitasnya dalam bentuk kesigapannya untuk menaklukan hasrat primitif yang disimbolisasikan Jonggrang Kalapetong.

Selepas hasrat primitif tertaklukan, diri (dan masyarakat) dapat terbang ke Buana Nyungcung dan Padjajarpun (bangsa) dapat menyambut terangnya peradaban, kebudayaan yang adi luhung. Sehabis perayaan itu, kita dapatkan kembali kehangatan keberagamaan dalam maknanya yang hakiki. Kita temukan lagi roh kehidupan dan kaaingan. Hirup panggih jeung huripna, kata Prabu Siliwangi. Hidup menemukan kesejatiannya.
(Penulis, pengamat kebudayaan Sunda, wakil rektor IAILM Suryalaya Tasikmalaya)**
Galamedia
kamis, 21 juni 2012 00:41 WIB
Oleh : Asep Salahudin

Artikel yang Berkaitan

0 komentar:

-

Post a Comment