-

Tuesday, January 31, 2012

Tragedi Mesuji: Ketidakadilan Penguasaan Tanah

TRAGEDI Mesuji menyeruak ke ruang publik di tengah hiruk pikuk persoalan belenggu korupsi yang belum tertuntaskan, semisal skandal century, cek pelawat, dan wisma atlet. Nurani kemanusian kita terhenyak menyusul laporan warga yang mendatangi Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bahwa kasus yang terjadi dua tempat bernama Mesuji, baik di area perkebunan kelapa sawit di Sumatra Selatan maupun Lampung telah menewaskan banyak orang yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Tragedi Mesuji yang kini menjadi sorotan publik, merupakan rangkaian dari sederet insiden.

Salah satunya adalah peristiwa pada April 2011 di Desa Sungai Sodong, Kecamatan Mesuji, Ogan Komering Ilir, Sumatra Selatan. Setidaknya tujuh orang tewas dalam bentrokan antara penduduk dan pasukan pengamanan swakarsa P.T. Sumber Wangi Alam, Sebuah perusahaan kelapa sawit. Insiden lainnya terjadi pada November 2011 di wilayah berbeda yang juga bernama Mesuji, yakni di Kecamatan Mesuji Timur, Kabupaten Mesuji, Lampung.

Diperkirakan, satu orang petani tewas dalam konflik dengan PT Silva Inhutani (Tempo, 21/12). Namun demikian kedua insiden itu, kini sedang diselidiki lebih mendalam oleh tim bentukan pemerintah ataupun tim independen yang melibatkan LSM.

Satu sisi persoalan yang terjadi di Mesuji sungguh jauh dari nilainilai kemanusian, namun terlalau sederhana bila kasus Mesuji hanya dilihat dari sekedar pelanggaran kemanusian akibat sengketa lahan yang kemudian meminggirkan harkat dan martabat umat manusia.

Bagi penulis tatkala ditelisik lebih dalam ada persoalan mendasar yang belum tertuntaskan dalam melihat persoalan ini yakni ketidakadilan penguasaan tanah dan gagalnya pelaksanaan reforma agraria yang dicita-citakan para pendiri bangsa sesuai dengan UUPA No. 5 tahun 1960. Tak terlaksananya pedoman pokok pelaksanaan reforma agraria dan keberpihakan negara yang semakin jauh dari konsepsi tersebut. Bagi penulis menjadi persoalan hulu yang kemudian melahirkan persoalan hilir yang sarat dengan kekerasaan akibat arogansi penguasa yang memiliki modal kuat, entah itu berbentuk swasta, atau korporasi asing. Kemudian "bersekongkol" dengan negara lewat aparaturnya demi melanggengkan kepentingan ekonomi dan menjadikan tanah tak lagi sebagai fungsi sosial, tetapi untuk kepentingan ekonomi kelompok tertentu saja.

Konflik seperti itu terjadi di mana- mana. Sawit Watch, lembaga nirlaba pemantau persoalan perkebunan sawit, mencatat setidaknya ada 3.000 kasus sengketa lahan di perkebunan sawit. Yang terbanyak terjadi di Sumatra, disusul di kalimantan dan Sulawesi. Data Sawit Watch menunjukkan, di Riau, seorang ibu tewas karena konflik seperti di Mesuji. Di Jambi, 7 orang diberondong peluru.

Terlalu berpihak ke korporasi Sementara itu Direktorat Konflik Pertanahan melaporkan konflik tanah yang melibatkan komunitas pada 2006 ada 322 kasus, pada 2007 ada 858 kasus, pada 2008 ada 520 kasus dan pada 2009 ada 194 kasus. Yang menjadi akar masalahnya pun hampir sama, pemerintah begitu mudah memberikan izin penggunaan lahan kepada pengusaha besar, akibatnya perusahaan yang diberikan izin cenderung tidak mau merangkul penduduk setempat, menganggap pihaknya lebih berhak secara hukum, dan dengan segala cara pengusaha mempertahankan tanahnya, termasuk meminta bantuan aparat negara dan membentuk pasukan pengamanan swakarsa.

Pemerintah kehilangan keberpihakannya, di satu sisi begitu mudah memberikan dan terkesan mengobral izin penggunaan lahan kepada pengusaha besar atau dalam kasus Mesuji justru korporasi asing yakni perusahaan sawit asal Malaysia tetapi sangat pelit membaginya kepada rakyat kecil yang di mana-mana rakyat tinggal berimpit-impitan, bahkan di antara mereka ada yang rela mati demi sejengkal tanah padahal itu diamatkan di UUPA No. 5 tahun 1960.

Lewat tragedi Mesuji sejatinya ada hal yang patut di tata ulang kembali ke depan terutama terkait persoalan agraria dan peninjauan kembali persoalan penanaman modal asing. Peninjauan dan evaluasi terkait UU Penanaman Modal asing kian penting satu sisi bercermin pada tragedi Mesuji yang kian menyiratkan ekspansi korporasi asing tak hanya lagi menjarah sektor minyak bumi, batu bara, dan kekayaan alam lainya, akan tetapi sektor perkebunan sawit mulai dirambah terutama beberapa tahun belakangan ini.

Jika korporasi asing mulai merambah sektor perkebunan sawit maka secara langsung akan berhadapan dengan persoalan tanah baik itu hak ulayat, tanah komunitas petani gurem. Persoalan ini semakin rumit ketika terjadi kolaborasi korporasi asing ataupun pengusaha dengan modal kuat dengan pemerintah terkait pemberian izin penggunaan lahan.

Oleh sebab itu, kita sebagai warga negara baik itu mahasiswa, kelas menengah, dan kelompok progresif yang sadar akan konsepsi dan jalannya pembangunan kita ke depan sesuai dengan rancangan para pendiri bangsa ini, patutlah waspada dan mengontrol kejaliman rezim. Tanah bukan semata persoalan ekonomi melainkan sosial dan kepemilikaanya haruslah diatur sesuai yang diamatkan UUPA No. 5 tahun 1960 agar terjadi keadilan dan alat-alat produksi tidak dikuasai oleh segelintir kelompok saja ataupun korporasi asing.

Ingatlah persoalan Mesuji, seharusnya mengingatkan kita akan bahaya penanaman modal asing tatkala berkloborasi dengan pemerintah. Persoalan Mesuji harusnya menyadarkan kita kepada konsepsi reforma agraria yang dicanangkan para pendiri bangsa sebagai tahapan menuju kemajuan bangsa sebagaimana diungkapkan Bung Karno dalam "Djalannya Revolusi Kita". Menurutnya, gembar-gembor tentang revolusi, masyarakat adil dan makmur, amanat penderitaan rakyat tanpa melaksanakan land reform adalah gembar gembornya tukang penjual obat di tanah abang atau pun pasar senen.
(Penulis, Mahasiswa Universitas Padjadjaran, Ketua Cabang GMNI Kab. Sumedang 2009-2011)**
Galamedia senin, 30 januari 2012
Oleh : ARDINANDA SINULINGGA

Artikel yang Berkaitan

0 komentar:

-

Post a Comment