-

Wednesday, January 25, 2012

Lalab Khas Sunda, Nasibmu Kini dan di Masa Datang


Daratan Sunda adalah surga bagi para penggemar lalab. Lalab adalah daun-daun muda dan bagian tanaman lain seperti buah, biji ataupun bunga yang dimakan bersama dengan makananan utama (nasi). Kebiasaan memakan lalab bagi masyarakat Sunda sudah berlangsung turun - temurun dan masih berlangsung sampai saat ini. Bahkan ada pepatah yang mengatakan bahwa orang Sunda tidak akan pernah mati kelaparan jika dilepas di tengah hutan karena mereka bisa memakan semua daun yang ada. Pepatah yang kadang digunakan sebagai bahan “guyonan” orang Jawa tersebut sebenarnya mempunyai makna yang dalam. Mengapa demikian? Karena budaya makan lalab mucul sebagai suatu bentuk adaptasi masyarakat Sunda terhadap alamnya yang kaya akan keanekaragaman hayati. Kalau kita mengamati fenomena yang terjadi saat ini, budaya makan lalab tersebut telah mengalami perubahan. Keanekaragaman jenis lalab mulai berkurang. Menurut informasi yang dimuat dalam buku Indische Groenten tahun 1931 (Suriawirya, 1987) disebutkan bahwa yang namanya lalab adalah berupa tanaman liar atau tumbuh dengan sendirinya yang kemudian dipelihara. Suriawirya menambahkan bahwa tidak satupun lalab tempo doeloe yang termasuk sayuran seperti yang ada saat ini.

Kebenaran pernyataan Suriawirya tersebut dapat kita lihat di rumah - rumah makan khas Sunda sampai ke pedagang - pedagang kaki lima yang menjajakan makanan pada malam hari. Jenis lalab yang disajikan tidak beragam dan cenderung seragam. Daun slada dan kol (kubis) seakan menjadi lalaban utama. Petersely merupakan lalab mahal yang disajikan di restoran-restoran. Padahal ketiga jenis lalab tersebut adalah jenis tanaman introduksi (tanaman asing) dari negara lain.
Konsumsi lalab yang disajikan di rumah tangga khususnya bagi keluarga yang tinggal di perkotaan juga tidak jauh berbeda. Bahkan ada seorang ibu yang sudah cukup berumur yang tinggal di daerah Garut mengatakan bahwa dulu ia mengkonsumsi segala macam daun di sekitar rumahnya untuk lalab. Tumbuhan yang tumbuh liar di pinggir jalan pun ia jadikan lalab. Tetapi kebiasaan tersebut saat ini sudah jarang ia lakukan karena ia dengan mudah dapat memperolehnya di pasar dan lalab yang tersedia menurutnya seperti yang dimakan oleh orang kota.
Sekelumit pernyataan yang diutarakan oleh ibu tersebut mungkin juga terjadi pada masyarakat Sunda lainnya. Mereka tahu akan perubahan pola konsumsi makan dengan semakin berkurangnya dan berubahnya jenis - jenis lalab. Tetapi apakah mereka sadar akan arti perubahan itu bagi diri mereka dan keturunannya serta bagi keberlanjutan alam tempat mereka tinggal masih menjadi pertanyaan.
Membanjirnya berbagai jenis lalab dan sayuran asing yang telah berhasil mempengaruhi perubahan pola konsumsi makanan perlu kita sadari sebagai suatu fenomena yang penting untuk diperhatikan. Sebagaimana kita ketahui bahwa Indonesia adalah negara megabiodiversitas terbesar nomor dua di dunia. Perubahan pola konsumsi makanan dan budi daya pertanian yang beralih ke tanaman asing merupakan suatu hal yang aneh.
Apabila dilihat dari sudut pandang biologi, fenomena di atas akan berakibat buruk pada keberlanjutan keanekaragaman hayati kita. Erosi genetis terhadap tanaman - tanaman lokal akan terjadi secara signifikan. Tanaman - tanaman lokal akan punah karena tidak lagi dibudidayakan dan habitatnya digantikan oleh tanaman asing.
Tanaman asing yang merupakan tamu di suatu habitat yang bukan aslinya tentu saja memerlukan perlakuan - perlakuan yang membutuhkan energi tinggi. Bahkan seringkali diperlukan suatu kondisi ekstrem untuk mengadaptasikan tanaman asing tersebut ke habitat barunya. Hal ini dapat kita lihat pada budidaya sayuran atau padi. Pemupukan dan pemberantasan hama diperlukan supaya tanaman tersebut dapat hidup dan berproduksi dengan baik. Aktivitas tersebut saat ini telah terbukti berhasil merusak kemampuan tanah untuk membangun dirinya sendiri serta telah menimbulkan hama yang resisten yang justru sangat merugikan bagi petani dan terutama sangat mengganggu keseimbangan ekosistem lokal dan keberlanjutan makhluk hidup lokal lainnya.
Punahnya tanaman lokal juga dapat disebabkan oleh adanya invasi tanaman - tanaman asing. Salah satu contoh adalah invasi tanaman konyal (passiflora) di hutan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP). Tanaman merambat ini telah mematikan beberapa jenis tanaman asli di hutan tersebut. Jika invasi konyal ini tidak segera ditangani maka spesies - spesies tanaman yang ada di hutan tersebut lambat laun akan mati.
Dunia pertanian, perkebunan dan kehutanan hendaknya bersikap hati - hati terhadap adanya introduksi spesies asing ini. Perilaku suatu spesies tanaman di habitat aslinya dengan di habitat asing bisa sangat berbeda. Di habitat aslinya, suatu tanaman mungkin tidak berbahaya bagi tanaman lainnya. Tetapi di habitat asing ia bisa menjadi sangat invasif dan dapat mematikan berbagai jenis tanaman asli lainnya seperti kasus invasi tanaman konyal di TNGP.
Salah satu contoh kasus menarik lainnya adalah hasil penyelidikan oleh G.F. van der Meulen, seorang ahli pertanian tanaman tropika dari universitas Wageningen Belanda. Ia menemukan suatu jenis tanaman herba Eupatorium odoratum di daerah Jawa Barat pada tahun 1953. Jenis tanaman ini sangat ganas, ia mampu mengalahkan dan membunuh tanaman alang - alang yang juga merupakan salah satu rumput ganas di daerah terbuka.
Menurut Meulen, keberadaan Eupatorium beserta tanaman legume seperti Centrosema pubescen, Tephrosia candida dan Pueraria javanica mampu membangun unsur hara tanah. Tanaman-tanaman tersebut dapat menggantikan fungsi hutan asli dalam menciptakan unsur hara tanah.
Hasil penelitian Meulen ini perlu kita analisis secara cermat. Di satu sisi tanaman tersebut dapat membangun unsur hara tanah (soil builder), tetapi di sisi lain keganasan tanaman tersebut dapat mematikan jenis tanaman asli yang tumbuh rendah di daerah terbuka. Apabila tanaman tersebut berada di dekat daerah hutan, maka pembukaan hutan secara liar akan menjadi lahan empuk bagi invasi jenis asing tersebut. Barangkali tanaman pohpohan yang merupakan jenis asli yang hidup liar di hutan akan hilang dan kita tidak akan pernah dapat menikmatinya lagi. Nasibnya akan sama dengan lalab tempo doeloe seperti buni, koang, godobos dan lain-lain yang kini tinggal kenangan. Demikian juga dengan jenis - jenis lainnya, sementara itu kita belum sempat melakukan domestikasi dan melakukan budi daya terhadap jenis - jenis tanaman asli tersebut.
Apabila hal tersebut terjadi di seluruh wilayah Indonesia, kita dapat membayangkan betapa besar kerugian secara ekonomi oleh hilangnya jenis - jenis tanaman asli yang merupakan sumber gen di masa depan. Kemandirian untuk memenuhi kebutuhan pangan dengan tanaman kita sendiri tidak dapat dilakukan lagi. Kita akan semakin bergantung dengan tanaman asing yang kadangkala benihnya pun harus kita beli dari daerah asalnya.
Selain itu munculnya jenis - jenis tanaman asing yang sangat invasif akan mengacaubalaukan perkembangan keanekaragaman hayati asli kita. Kerawanan pangan dan kelaparan bukanlah hal yang mustahil di masa depan jika kondisi ini tidak cepat diantisipasi.
Prediksi akan kerawanan dan kelaparan tersebut bukanlah mengada - ada. Kita dapat melihat dan menyadarinya melalui fenomena - fenomena yang ada di lingkungan kita selama ini. Masyarakat Sunda barangkali tidak akan lagi menikmati lalab segar khas daerahnya. Mereka akan sangat familiar dengan jenis lalab dan sayur - mayur dari daerah lain sementara jenis lalab dan sayur aslinya sendiri yang jumlahnya jauh lebih beragam tidak lagi mereka kenal. Lalu siapakah yang seharusnya bertanggung jawab terhadap keadaan masyarakat dan alam di masa depan nanti ?” Seandainya keanekaragaman hayati asli benar - benar kacau dan rawan pangan benar - benar terjadi, siapakah yang harus disalahkan dan bertanggung jawab ? Apakah kita sebagai manusia, alamnya sendiri ataukah sistem yang kita bangun di alam ini ?
Saat ini pilihan ada di depan kita semua. Memilih tanaman asing atau tanaman lokal atau kedua–duanya. Satu hal yang perlu diingat adalah bahwa alam beserta keanekaragaman hayatinya bukanlah hak generasi saat ini saja. Keturunan kita juga berhak menikmati kondisi alam yang sehat. Oleh sebab itu penting bagi kita untuk berbuat dan memikirkan alam beserta keanekaragaman hayatinya guna kelangsungan hidup saat ini dan di masa depan. Dengan demikian masyarakat Sunda tetap dapat menikmati pucuk daun pohpohan sebagai lalab. Demikian pula dengan daerah – daerah lainnya di Indonesia. Di masa datang, mereka tetap dapat menikmati pangan hasil dari tanaman asli milik sendiri.
Oleh : Sri Indiyastuti
sumber http://www.terranet.or.id/tulisandetil.php?id=1366

Artikel yang Berkaitan

0 komentar:

-

Post a Comment