-

Saturday, January 28, 2012

Bangsa Pengejar Kuantitas

Hidup mengejar kuantitas yang diukur dengan angka atau jumlah bukanlah hal yang dilarang. Boleh saja setiap manusia mengejar statistika hidup dengan mengumpulkan dan menghitung aneka rupa harta milik yang serbawah. Seperti rumah besar, kendaraan mewah, kebun yang luas, pabrik besar (perusahaan), dan memiliki sejagat kuantum simbol seperti gelar dan pangkat. Namun, semua itu menjadi absurd bila yang bernama simbolitas angka itu tidak interaktif dengan nilai-nilai kehidupan umat. Agama mengajarkan perlunya umat manusia membangun hubungan dengan Allah dan menjaring kepedulian terhadap sesamanya.

Mengomentari (QS [3]: 112), Wahbah Zuhaili mengemukakan bahwa umat manusia akan terempas selamanya dalam penderitaan (kehinaan) manakala sisi kehidupannya lebih mengutamakan hubungan material simbolis (al-mu’amalah al-ramziyah). Sementara hubungan esensial (al-mu’amalah al-Madzmuniyyah) berupa komitmennya dengan perintah Allah terabaikan.

Kecendrungan hidup mengejar “material simbolis” (angka) ketimbang kualitas tampaknya telah merasuk ke sebagian elite bangsa. Demi gengsi mereka mengejar tren hidup modern berupa harta dengan mengukir gaya konsumtif. Dari sisi kuantum kemewahan, mereka memang bangsa yang tengah mencapai puncak sukses. Namun, dari sisi interaksi dan komitmennya menegakkan kondusivitas, kohesivitas, dan kualitas kehidupan sosial patut dipertanyakan.

Fenomenanya dapat kita rasakan bagaimana karut-marutnya bangsa yang berada di tepi keresahan sosial dalam menggenggam keadilan dan kesejahteraan hidup. Akibatnya, di berbagai tempat terjadi kemerosotan indek kepuasan masyarakat yang berujung pada konflik mengerikan, seperti di Mesuji dan Bima. Belum lagi kasus penegakan hukum yang hingga kini masih dirasakan menjepit rakyat kecil. Ini menunjukkan betapa rapuh dan limbungnya sebagian kualitas elite bangsa dalam mengatasi keresahan masyarakat.

Peristiwa ini amat menyakitkan rakyat karena ternyata para pengejar kuantitas dari kalangan elite bangsa itu tak bernyali (lumpuh) mengatasi penderitaan rakyat. Ke mana saja nyali kemewahan mereka itu bersembunyi. Justru mereka lebih mampu mengatasi dirinya sendiri lewat simbol dan angka-angka kuantitas kemewahan dan kekuasaan. Namun, dengan kemewahan itu sebenarnya mereka telah menanggung “dosa sosial” lantaran tega membiarkan rakyat dalam kondisi kehidupan menderita dan tertindas.

Bagi para pengejar kemewahan (kuantitas), sadarlah bahwa kemewahan yang telah Anda genggam bukan mutlak milik sendiri. Tetapi, Allah yang telah memberikan kemewahan itu melalui rakyat kecil (buruh) yang telah bersusah payah membantu jabatan dan perusahaan Anda. Oleh karena itu agar Anda selamat, keturunan Anda bahagia, dan kondisi bangsa keluar dari jeritan penderitaan perkuatlah hubungan Anda dengan Allah dan umat. Kejarlah harta itu dengan jalan yang benar dan halal lalu perdayakanlah harta tersebut untuk membangun umat menuju kualitas kemakmuran, kejayaan, dan kedamaian bangsa. Jangan sampai masa tua Anda bernasib amat mengenaskan. (QS [2]: 266).

REPUBLIKA.CO.ID,  Kamis, 19 Januari 2012 19:40 WIB
Oleh Prof Dr H Fauzul Iman MA

Artikel yang Berkaitan

0 komentar:

-

Post a Comment