-

Sunday, July 31, 2011

Angklung Semakin Mendunia

Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan memberikan
penghargaan kepada Daeng Udjo atas keberhasilannya
memecahkan rekor dunia di Washington DC untuk
pemain angklung terbanyak, di Gedung Sabuga Bandung,
Jumat (29/7). Acara ini sekaligus menyambut hari jadi
Provinsi Jawa Barat yang ke-6
SASANA Budaya Ganesha (Sabuga), Jumat (29/7) malam, menjadi saksi pergelaran menghargai bambu. Semalam, angklung benar-benar menjadi primadona dan mampu menghanyutkan perasaan mereka yang hadir, dalam acara "Angklung, Jawaban Untuk: BISA" di Sabuga, Jln. Tamansari Bandung. Tak terkecuali Gubernur Jabar Ahmad Heryawan dan istri, ikut terkagum-kagum saat menyaksikan penampilan musik angklung, yang dipimpin Daeng Udjo.

Baru-baru ini, alat musik tradisional asal Jabar yang terbuat dari bambu dan dikenal angklung ini, mencatatkan diri di Guinness Book of Records pada sebuah pergelaran angklung di Kota Washington DC, Amerika Serikat. Sebelumnya, pada tahun 2010 angklung pun sudah diakui UNESCO sebagai warisan budaya tak benda dunia asal Indonesia.

Kedua prestasi yang telah dicapai angklung ini, diperlihatkan Daeng Udjo dengan tim dalam memainkan lagu "Keong Racun". Namun sayang sound system yang kurang, membuat Daeng Udjo enggan memainkan lagu lainnya.

Sebagai gantinya, Daeng Udjo pun mengajak penonton di Sabuga termasuk gubernur dan istri untuk memainkan angklung bersama. Uniknya, setiap angklung diberi gambar pulau-pulau di Indonesia. Ini sebagai pengambaran bahwa angklung bisa bermain bersama atau secara kebersamaan. Seperti slogan Bhineka Tunggal Ika, "Berbeda-beda Tetap Satu Jua".

Lagu yang dimainkan dalam angklung interaktif "Ibu Pertiwi", "Halo-halo Bandung", dan diakhiri lagu "We Are The World". Melalui lagu inilah, angklung mencatatkan dirinya masuk Guinness Book of Records dan bergema di negeri Paman Sam.

Daeng Udjo pun mengajak dua cucu almarhum Udjo Ngalagena, untuk menjadi dirigen permainan angklung interaktif dengan lagu "Tanah Airku".

Acara semalam di Sabuga ini merupakan apresiasi dan penghargaan atas kedua capaian budaya itu. Pemprov Jabar melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jabar, menggelar "Angklung, Jawaban Untuk : BISA" di Sabuga. Acara yang sekaligus menyambut HUT ke-66 Provinsi Jabar, yang jatuh setiap tanggal 19 Agustus. Selain gubernur dan istri, acara tersebut dihadiri pula oleh para kepala OKPD se-Jabar, para bupati dan wali kota, serta undangan lainnya.

Pergelaran yang dikemas tanpa banyak bicara ini, dipadukan pula dengan permainan dalang wayang golek Apep Hudaya. Dalang muda ini mengawali dengan sebuah kalimat ”Awi teh aya nu nyebut asal wiwitan, pajarkeun mun hayang ngaleungitkeun kabudayaan di Jawa Barat leungitkeun we sakabeh tatangkalan awi na—- salain eta, manusa Jawa Barat ti mimiti gubrag ka alam dunya tug nepi ka maotna salilana dibarengan ku awi (Bambu itu ada yang mengatakan asal muasal leluhur, karena itu jika ingin menghilangkan kebudayaan di Jabar, semua pohon bambu dibinasakan —-manusia Jabar sejak lahir ke dunia sampai meninggal tidak pernah lepas dari bambu)”.

Apresiasi khusus

Pada kesempatan itu, Gubernur Jabar mengatakan, acara ini merupakan apresiasi dan penghargaan pada Daeng Udjo dan tim yang berhasil mengundang 5.182 orang, dan bermain angklung bersama-sama sehingga mendapat pengakuan dari Guinness Book of Records. Penghargaan ini pun diberikan kepada seni lainnya, terutama batik dan wayang yang lebih dahulu diakui oleh UNESCO.

"Momentum ini pun untuk menyambut HUT ke-66 Provinsi Jabar dan HUT Ke-66 Republik Indonesia. Dasar HUT jabar, tanggal 19 Agustus dilakukan sidang kedua PPKI dan menetapkan angklung bisa dimainkan dalam genre musik apa saja, sehingga filosofi angklung adalah kebersamaan. Sehingga, menghasilkan harmoni yang bisa dinikmati oleh semua orang, dan itu namanya keindahan," katanya.

Gubernur pun memberikan penghargaan dan kadeudeuh kepada Daeng Udjo dan tim sebesar Rp 100 juta. Penghargaan ini karena Daeng Udjo yang telah membawa nama Indonesia, khususnya Jabar.

Daeng Udjo mengatakan, angklung sangat luar biasa, ini terbukti saat bermain angklung di Washington DC yang dimainkan oleh 5.182 orang multikultur. "Sebelumnya saya pesimis hal ini bisa terwujud, karena audiens kurang dari yang diharapkan," ujarnya.

Pergelaran diawali permainan angklung buhun, yang dimainkan Dadak Sakala dari Ujungberung Bandung. Sebelumnya dua orang memainkan Cepot dan Denawa, di mana si Denawa mencoba merebut angklung namun dipertahankan si Cepot.

Si Denawa kedua berlaku seperti itu, karena angklung sudah mendunia dengan capaian prestasi diakui UNESCO dan masuk Guinness Book of Records. Cepot mempertahankannya demi harga diri, daripada angklung direbut negara lain, lebih baik mati berkalang tanah.

Medley angklung dimulai dengan diawali permainan angklung oleh anak-anak Taman Kanak-kanak (TK) Bianglala Bandung, yang memainkan dua buah lagu "Hiji Boneka" dan "Little Stars".

Disusul permainan angklung barudak lembur main oleh siswa Sekolah Dasar (SD) Isola Bandung, dengan membawakan lagu medley "Manuk Dadali-Cing Kacang Buncis-Oray-orayan-Tokecang", yang merupakan lagu permainan anak-anak zaman baheula.

Kemudian angklung SMP Lab School UPI membawakan lagu "Baby" dari Justein Bieber, lagu soundtrack Mission Impossible serta "Bruno Mars". Permainan selanjutnya, angklung SMA Negeri 3 Bandung dan dikenal Kelompok Pemain Angklung (KPA) 3.

Para siswa dengan pakaian serbamerah ini membawakan lagu-lagu jazz klasik, seperti "New York New York" milik Frank Sinatra, lagu kedua dikolaborasikan dengan rampak kendang dan jaipongan.

Disusul permainan angklung dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung atau Kabumi. Permainan angklung Kabumi ini mengiringi tiga penari jaipongan, dengan lagu "Goyang Karawang" berirama jaipong dangdut. Penyanyi world music, Rita Tilla menyanyikan "Mojang Priangan". Nita pun tampil duet bersama Ny. Netty Heryawan menyanyikan "Warung Pojok"

Gubernur Jabar melalui tayangan multimedia menerangkan, bagaimana angklung tercipta hingga diakui dunia. "Inilah angklung we are the world," katanya.

Tidak hanya itu, ditayangkan pula detik-detik angklung akan masuk dalam Guinness Book of Records di Washington DC, Amerika Serikat yang dimainkan sekitar 5.182 orang multikultur pada 9 Juli lalu. Lagu yang dimainkan kala itu "We Are The World". Selamat. (kiki kurnia/"Galamedia")**

Darso, 'Hese Tapi Ngeunaheun'

MESKI bermunculan penyanyi muda yang lebih fresh, popularitas Darso tak memudar. Penyanyi gaek bernama asli Hendarso ini tetap diminati oleh sejumlah penyelenggara hiburan. Terbukti, dalam sebulan ini, Darso tampil di tiga even bergengsi di Bandung. Begitupula dalam industri rekaman, pria kelahiran Bandung, 12 Agustus 1945 ini selalu menjadi incaran para produser karena dinilai lagu-lagunya bisa menjual.

Ya, selama lebih dari 48 tahun eksis, Darso setia membawakan lagu Sunda yang kemudian dipadukannya dengan dangdut dan pop. Lagu-lagu tersebut laris dipasaran. Tak heran jika sebagian orang menyebut dia sebagai Michael Darso Si Raja Pop Sunda, mengacu pada raja pop dunia Michael Jackson.

Atas dasar itupula, H. Dose Hudaya selaku produser sekaligus pencipta lagu kembali melibatkan Darso pada album kompilasi pop Sunda "Bentang-Benyang II". Penyanyi yang selalu bicara ceplas-ceplos ini membawakan dua lagu "Dulang Kuring II" dan "Sakur Ngimpi" yang berwarna dangdut mellow. Sebelumnya di album Bentang-Bentang perdana, Darso sukses juga dengan tembang "Dulang Kuring".

Dimintai komentar soal lagu sekarang dengan sebelumnya, menurut Darso, masih sama-sama enak untuk didengar. Hanya saja dari musikalitas, lagu "Dulang Kuring" kali ini lebih kental nuansa dangdut. "Sabenerna saura wae. Ngan ayeuna mah irama dangdutna leuwih kadenge," sebut Darso sebelum tampil dalam even musik Jabar Expo di Jln. Soerkarno-Hatta Bandung, belum lama ini.

Untuk menghafal lagu tersebut, Darso tak memerlukan waktu lama. Cukup beberapa jam didengar lalu mulai latihan. "Emang sih lagu-lagu kang Dose mah harese ngan tetep ngenaheun didengekeun," ujarnya polos.

Dalam album yang juga melibatkan biduan beken asal tanah Sunda seperti Wina d Hebring, Sule, Barakatak, Ayank Andriani, Salma serta Tika Zein ini, sang pencipta Dose Hudaya coba memberi kejutan bagi publik yakni penggarapan melibnatkan empat orang arranger Bandung.

Mereka adalah Ronny Load, Gan Gan (mantan gitaris Wong Band), Eddy Lamos, dan Eddy Milfaris (alm) yang pernah meraih penghargaan musik dari Malaysia.

"Almarhum Eddy Milfaris menggarap aransemen lagu 'Sakur Ngimpi'. Dan itu merupakan karya terakhirnya sebagai arranger. Almarhum pernah mengatakan, sangat gembira mendapat kepercayaan membuat aransemen untuk Kang Darso, karena baginya Kang Darso adalah seniman besar, dan membuat aransemen untuk Kang Darso merupakan obsesinya sejak lama. Lewat lagu Sakur Ngimpi, obsesi almarhum itu terwujud," ungkap Dose. (mza/”GM”)**

Saturday, July 30, 2011

Begini Kiat Mengoptimalkan Ramadhan

Begini Kiat Mengoptimalkan Ramadhan
Prof Dr KH Achmad Satori Ismail

Dalam pandangan umat Islam, Ramadhan adalah bulan istimewa. Tiada nama bulan yang disebutkan dalam Alquran kecuali Ramadhan. (QS al-Baqarah 2:184). Enam bulan sebelum Ramadhan, para sahabat sudah menanti dan mempersiapkan diri untuk menyongsong bulan suci ini. Rasulullah SAW sejak Rajab sering berdoa, "Ya Allah, berkati kami pada bulan Rajab dan bulan Sya'ban dan antarkan kami sampai bulan Ramadhan. (HR al-Bazzar, Ibnu Sunny, al-Baihaqi, dan lainnya.)

Kendati hadis ini lemah menurut sebagian ulama, jiwa dan maknanya seirama dengan apa yang ditunjukkan Rasulullah untuk mengagungkan bulan Ramadhan. Menjelang tibanya bulan suci, Rasulullah selalu mengingatkan dengan tausiyah sebagaimana diriwayatkan Abu Hurairah ra. "Telah datang kepada kamu sekalian bulan penuh keberkahan, Allah mewajibkan puasa di dalamnya, pintu-pintu surga dibuka lebar, pintu-pintu neraka ditutup rapat, dan para petinggi setan dibelenggu. Allah memiliki di dalam Ramadhan suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barang siapa yang tidak mendapatkan kebaikan malam itu, sungguh ia sangat merugi." (HR An-Nasa'i).

Ramadhan tiap tahunnya disambut bagaikan tamu agung yang dinanti karena merupakan keistimewaan anugerah Ilahi. Di antara keutamaan itu adalah pertama, setiap amal kebajikan umat Islam dilipatgandakan 10 kali lipat. Tapi, di bulan Ramadhan, amalan wajib dilipatgandakan 70 kali lipat dan yang sunah disetarakan dengan amalan wajib di luar Ramadhan.

Kedua, kita diwajibkan puasa karena puasa adalah ibadah istimewa. "Setiap amalan anak cucu Adam dilipatgandakan. Satu kebajikan dilipatgandakan 10 kali sampai 700 kali lipat, kecuali puasa. Puasa adalah milik-Ku dan Akulah yang akan langsung membalasnya. (HR Muslim).

Ketiga, pada bulan ini diturunkan Alquran, kita dianjurkan untuk membacanya dengan rajin. Imam az-Zuhri menyatakan, tiada amalan pada bulan Ramadhan yang lebih baik setelah amalan puasa dari tilawatul quran (membaca Alquran).Keempat, di dalam Ramadhan terdapat malam al-qadar. Beribadah di malam itu lebih baik dari berjuang di jalan Allah selama 1000 bulan. (QS al-Qadar:1-5).

Kelima, dosa-dosa kita yang terdahulu akan diampuni bila kita berpuasa dengan baik dan qiyam Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala Allah (HR Bukhari dan Muslim). Keenam, pada bulan puasa ini, doa-doa kita dikabulkan Allah, apalagi saat berbuka puasa (HR Ibnu Majah dan Baihaqi).

Masih banyak lagi keutamaan Ramadhan. Dengan enam keistimewaan saja, sudah seharusnya kita menyiapkan diri menghadapi Ramadhan dengan mengoptimalkan dan memperbanyak ibadah. Di antaranya adalah dengan berniat ikhlas beribadah, mencontoh Rasulullah SAW dalam mengerjakan amaliah Ramadhan, menyiapkan target dalam tilawah, sedekah, baca buku, memperkokoh shalat jamaah, dan hubungan keluarga.

Di antara amalan unggulan adalah puasa dengan berkualitas, tilawatul quran, qiyam Ramadhan, menanti lailatul qadar tiap malam, memperbanyak tobat dan doa, mengeluarkan zakat fitrah, meningkatkan sedekah, dan iktikaf 10 hari terakhir Ramadhan. Semoga kita dilepaskan dari siksa neraka. Amin.
Dimuat di Republika Cetak dengan judul Optimalisasi Ramadhan

16 Tahun Lalu PERSIB Mencatat Sejarah

16 Tahun Lalu PERSIB Mencatat Sejarah
Tepat pada 30 Juli 1995, PERSIB mencatat sejarah sebagai juara pembuka Liga Indonesia, kompetisi peleburan Perserikatan dan Galatama. PERSIB pantas mencatat sejarah karena saat itu, dengan materi kekuatan lokal, justru mereka bisa membawa tropi juara ke Bandung setelah mengalahkan Petrokimia Putra 1-0 melalui gol semata wayang Sutiono Lamso. PERSIB menjadi juara sejati karena “Maung Bandung” sebelumnya telah membawa Piala Presiden ke Bandung sebagai penutup Kompetisi Perserikatan 1993-1994.

16 tahun lalu itu adalah masa penuh kenangan dan kegembiraan bagi masyarakat Jawa Barat karena tim kebanggan mereka membuat kejutan tampil sebagai kampiun. Suasana saat itu, sampai sekarang ini belum pernah terulang kembali. Malahan, pada rentan waktu 16 tahun ini, perjalanan PERSIB ternyata penuh liku. Bukan prestasi yang didapat, tetapi nyaris masuk degradasi andai saja semua pihak tidak bahu membahu menyelamatkan PERSIB agar bisa tetap di level kompetisi Divisi Utama.
16 tahun bukan waktu yang sempit. Namun, selama itu pula impian untuk mencapai seperti yang terjadi pada 30 Juli 1995 sangat sulit. Beban target selalu terus didegungkan secara nyaring ketika kompetisi akan bergulir, tetapi kenyataan semua meleset dari target prestasi. Yang jelas ada sikap frustasi dari pengurus yang menjabat dalam rentan waktu tersebut. Dengan cara apapun, terkesan sangat sulit mengembalikan kejayaan PERSIB. Akhirnya, cara instan dilakukan dengan gonta-ganti pelatih dan pemain, karena tidak memiliki agenda pembinaan pemain muda secara jelas. Jangan heran, setiap musim kompetisi, selalu muncul wajah-wajah baru di tim “Pangeran Biru” ini sehingga untuk menyatukan satu hati pemain dalam setahun terasa sangat sulit.

Kini, harapan masyarakat (bobotoh) akan gelar juara bukan sebuah tuntutan yang memberatkan. PERSIB sudah pantas untuk kembali memperlihatkan prestasi meraih gelar juara. Pola pikir pembinaan harus sudah mulai bergeser. Tidak lagi mengkultuskan pemain bintang hadir dalam sebuah tim, bisa secara otomatis membawa juara.  Namun, PERSIB juga perlu mempersiapkan pemain binaan sendiri secara matang. Semoga pada musim 2011-2012, masyarakat bisa kembali merasak euforia 16 tahun lalu.
sumber : persib.co.id

Memaksimalkan Amalan Bulan Ramadhan

RAMADAN 1432 H telah tiba menghampiri kita kembali. Pertemuan dengan bulan Ramadan merupakan suatu kenikmatan dari Allah swt yang tiada tara. Ada beberapa sikap yang ditampilkan oleh manusia ketika menghadapi saum Ramadan. Sikap-sikap tersebut terkandung dalam QS. Al-Baqarah ; 183 :

"Wahai orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu saum sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa."

Ada beberapa sikap yang harus dilakukan dalam rangka menyambut bulan Ramadan. Di antara sikap-sikap tersebut antara lain :

1. Berdoa pada Allah agar bisa memasuki bulan Ramadan dengan kondisi yang baik. Hal ini dibuktikan oleh Rasul SAW dan para sahabatnya, mereka sudah memanjatkan doa sejak bulan Rajab. Dalam salah satu haditsnya, Rasul pernah berdoa "Ya Allah, berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya'ban serta sampaikanlah kami untuk masuk bulan Ramadan." (HR.Ahmad & Thabrani dari Anas bin Malik)

Selain itu ada juga doa yang biasa dipanjatkan oleh Rasul SAW ;

"Ya Allah selamatkanlah diriku untuk (mengisi) bulan Ramadan, dan selamatkanlah bulan Ramadan untukku, dan selamatkan pula segala ibadahku sebagai ibadah yang diterima." (HR.At-Tirmidzi).

2. Bersyukur atas nikmat Ramadan yang telah diberikan oleh Allah swt.

Makna syukur ini merupakan bentuk ekspresi kegembiraan manusia ketika diberi kesempatan kembali oleh Allah untuk memanfaatkan momentum ibadah saum Ramadan dengan semaksimal mungkin. Imam Nawari dalam kitabnya "al-Adzkaar" menyebutkan bahwa jika seseorang diberi kebahagiaan, maka dia wajib untuk mensyukurinya.

3. Bergembira dengan datangnya Ramadan. Sikap kegembiraan ini merupakan indikator keimanan seseorang. Sikap ini pula yang menunjukkan bahwa orang tersebut mengetahui dengan yakin segala yang terkandung dalam bulan Ramadan seperti halnya: penuh keberkahan, akan dibukakan pintu surga, ditutupnya pintu neraka, dan sebagainya.

4. Merancang agenda kegiatan Ramadan. Perencanaan yang matang menunjukkan perhatian yang penuh terhadap bulan Ramadan sekaligus berusaha mengefektifkan waktu yang hanya sebentar (1 bulan) sehingga kualitas amal merupakan fokus utama. Rancangan kegiatan ini bisa berlaku untuk individu, keluarga, lingkungan kerja, tempat tinggal, dan sebagainya.

5. Menyiapkan ilmu seputar amalan-amalan Ramadan serat mendakwahkannya. Setiap amalan tentu harus sesuai dengan landasan ilmunya. Kesesuaian hal tersebut akan menentukan diterimanya amal oleh yang menghendaki (Allah swt). QS. Al-Anbiya : 7 ; "Bertanyalah kalian kepada orang yang berilmu jika kalian tidak mengetahui."

6. Menyambut Ramadan dengan berusaha meninggalkan perbuatan dosa dan amal buruk lainnya. Memang bisa dirasakan bahwa peluang seseorang untuk berbuat dosa di bulan Ramadan itu kecil. Tapi jangan dilupakan juga untuk bisa meninggalkan segala hal yang kurang bermanfaat.

7. Menyambut Ramadan dengan semangat baru. Suasana baru akan dirasakan dan ditemukan pada bulan Ramadan bila dibandingkan dengan bulan-bulan yang lainnya. Karena itu dengan suasana Ramadan ini, sikap-sikap yang perlu ditingkatkan di antaranya: kepada Allah swt dengan bertaubat, kepada Rasul SAW dengan mengamalkan sunnahnya, kepada keluarga dengan banyak bershilaturahim, dan kepada ummat secara keseluruhan dengan memberikan kemanfaatan (khairunnas anfa'uhum linnaas..sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat di antara mereka).

Bulan Ramadan bagi ummat Islam bermakna sebagai bulan kemenangan. Kemenangan yang dimaksud tentu dalam arti hakiki. Di antara argumen bulan kemenangan tersebut antara lain :

Pertama, kemenangan atas nafsu manusia. saum memiliki arti al-Imsak / al-Habsu yang berarti menahan. Sebagai contoh adalah menahan dari makan/minum di siang hari, itu berarti seorang yang saum dia bisa memenangkan dirinya melawan nafsu. Makanan yang halal, istri/suami yang halal saja bisa ditahan, apalagi segala sesuatu yang sudah pasti ketidakhalalannya. Hanya permasalahannya, usaha menahan nafsu ini harus bersifat total.

Kedua, kemenangan atas syetan. Bulan Ramadan identik dengan peningkatan amal ibadah, hal ini menunjukkan grafik keimanan orang Islam pada bulan ini naik. Pengamalan ibadah yang intensif menunjukkan fenomena sebaliknya, dalam arti gangguan syetan bisa dikalahkan. Perbuatan maksiat bisa dihindari dan dijauhkan oleh orang yang saum. Apalagi kalau memperhatikan hadits di atas yang menyatakan bahwa pada saat bulan Ramadan syetan-syetan dibelenggu dan pintu neraka semuanya ditutup.

Ketiga, pahala akan dilipatgandakan. Ramadan juga dikenal dengan bulan penuh pelipatgandaan pahala dan berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Jika seseorang mengamalkan amalan sunnat, maka pahalanya akan disamakan dengan pahala wajib. Serta jika seseorang mengamalkan amalan wajib, maka pahalanya akan dilipatgandakan menjadi 10 kali bahkan 700 kali lipat.

Keempat, dosa-dosa akan diampuni. Sesuai dengan makna Ramadan (panas/terik/membakar), maka hakikatnya saum Ramadhan akan memberikan hikmah dibakarnya atau dihanguskannya dosa-dosa orang yang saum. Janji Rasul SAW dalam beberapa haditsnya disebutkan bahwa "Siapa pun yang saum di bulan Ramadan dengan iman dan mengharap rida Allah, maka ia akan diampuni segala dosa-dosanya yang telah lewat." (HR.Bukhari-Muslim). Dalam hadits lain yang serupa bentuk amalnya itu adalah melaksanakan qiyamu Ramadan, dan lain-lain.

Kelima, doa-doa orang yang saum akan dikabulkan. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Tirmidzi dari Sahabat Abu Hurairah ra, Rasul SAW pernah menyatakan bahwa ada tiga golongan orang yang doanya mustajab, yaitu: pemimpin yang adil, orang yang saum sampai berbuka, dan doanya orang yang dianiaya.

Keenam, adanya bonus Lailatul Qadr. Ibn Katsir berpendapat bahwa keutamaan Lailatul Qadr kalau dikonversikan ke dalam usia manusia sama dengan 83 tahun 3 bulan, artinya jika seseorang bisa beramal tepat pada malam tersebut, maka ia seolah telah beramal seukuran dengan amalan seseorang selama 1000 bulan. Subhanallah.

Ketujuh, mengejar level ketaqwaan. Tujuan dari saum hakikatnya adalah menggapai ketaqwaan. Uniknya, ketika Allah menyatakan bahwa ketaqwaan yang hendak dicapai oleh orang beriman dalam QS.Al-Baqarah : 183 menggunakan bentuk fi'il Mudhari yang bermakna lil istimraar (kontinuitas beramal). Pada akhirnya Allah menjajikan surga, keridaan, kemuliaan hanya bagi orang-orang yang bertaqwa.

Kita mengharapkan semoga Ramadan 1432 H ini merupakan Ramadan yang terindah & terbaik sepanjang hidup kita karena kita belum pasti akan bisa merasakan lagi Ramadan-Ramadan berikutnya. Tiga hal yang mesti diperhatikan adalah sebelum, sesudah, dan saat Ramadan. Amin. (Penulis adalah Penyuluh Agama Islam pada Kementerian Agama Kantor Kab. Bandung & Mahasiswa S3 UIN SGD Bandung)**

Oleh: Ihsan Faisal, M.Ag (Galamedia) 
Memaksimalkan Momentum Bulan Ramadhan. 

Peuting Nu Teu Manggih Tungtung (Dongeng Sunda)

PEUTING téh teuing ku panjang.
 Geus sababaraha   liliran.
 Geus sagala rupa kaimpikeun.
 Duhh. Peuting bet asa taya tungtungna…

LILIR kagebahkeun angin nu ngarayap mapay-mapay suku. Nyecep peuting. Najan teu ditangaraan ku posisi bulan, peuting karasana karék manjing janari leutik. Padahal asa geus lila reup, tapi bray beunta téh masih kénéh disimbutan mongkléng.

Asa hayang geura-geura caang.
Lain pédah kaeunteupan klaustrophobia mun hayang téréh nimu caang. Da teu meredong-meredong teuing. Masih kénéh katémbong curuk. Ngan cék rarasaan taya pisan kamajuan geusan meuntasan peuting. Hayang gancang meunang beurang.

Heuay mah merelek geus teu kaitung deui. Saban heuay, sok terus ngaguher. Ngimpi deui. Lilir deui. Heuay deui. Guher deui. Tapi saban ngoréjat masih kénéh dibaturan peuting.

Bener. Peuting téh bet asa teu manggih tungtung.*
REMEN hayang hudang téh ninggang di wanci. Isuk-isuk, nalika srangéngé medal ti wétan. Méh ngalaman moyan. Marengan meletékna panonpoé ti tempat anu sabenerna. Atuda salila ieu mah bray beunta téh sok manggihan panonpoé aya di kulon. Jadi siga nu kakara meleték, tapi ti tempat anu salah.

Lain, lain salah panonpoé. Nu puguh mah salah mata sorangan beuntana kamalinaan. Hudang jam saratus, cek Mang Opin mah. Sesebutan keur nu kebluk atawa ngajam rék hudang sadaékna.

Matakna, asa bungah basa panon bisa dipeureumkeun ti soré kénéh, soré keur uing mah ukuranana méméh sapat poé 24 jam ceuk itungan almenak panonpoé atawa syamsi, alias tengah peuting. Peureum mémang saenyana reup saré. Tibra da maké ngimpi sagala. Teu istiméwa ari ngimpina mah, jadi teu kudu dicaritakeun da teu penting.

Kaalaman sakali mah. Enya, barang bray mungkas impian téh nyampak panonpoé geus moncorong ti beulah wétan. Ti tempat asalna meleték unggal poé. Enya, mulang deui ka bihara-bihari bisa hudang dina waktu anu lumrah. Komo basa ditéma ku poé kadua jeung poé katilu bisa dalit jeung cahaya panonpoé isuk.

Asa balik deui jadi jelema. Bisa maca koran isuk-isuk. Bisa updaté status isuk-isuk. Bisa megat tukang jajamu isuk-isuk. Bisa sasarap bubur hayam Mang Ukon nu cenah matak muncrut tapi deudeuieun.

Pangpangna mah bisa moyan bari ngawawas manéh, nyangigirkeun citéh ngebul, gaganti cikopi nu geus lila ditinggalkeun.

Ayeuna bet teu bisa deui hudang isuk. Lain pédah labas nepika jam saratus. Sabalikna, hudang téh bet asa peuting deui peuting deui.

Enya. Peuting nu asa teu manggih tungtung.*
TUNGTUNGNA jadi guling-gasahan. Mun nurutkeun napsu mah hayang terus gegerungan. Nyambat beurang. Nyambat-nyambat hayang geura-geura papanggih jeung beurang.

Reup deui.
Lilir deui.
Teu kasiwer ngimpi heula da ngan salenyapan.
Teu waka beunta. Sakedapan ngajepat, ngararasakeun naha geus beurang atawa masih kénéh peuting. Tapi, najan bari peureum, karasa yén wanci masih kénéh peuting.

Antukna maksa beunta. Panon ngarérét kana témbok. Nyasar néangan jam dingding. Mapantes lebah-lebahna. Ku pikiran jeung panon haté mah jol kapanggih di mana naplokna jam dinding. Tapi ku panon nu molotot mah luput. Nu katangen ukur belegbegna peuting. Sanajan teu meredong-meredong teuing. Masih kénéh katémbong curuk. Jarum jam mah angger teu katémbong utek-utekna acan. Ukur kareungeu sora tik-tekna.

Geus beunta terus cengkat. Jung nangtung. Blak mukakeun jandéla, néangan sugan manggihan cahaya nu méré tanda-tanda beurang. Teu nanaon najan ukur balébat sakolébatan. Tibatan taya kamajuan teuing mah.

Tapi nu kasampak horéng sarua. Di jero di luar, poék anu éta kénéh.

Nyobaan nyeukeutan pangreungeu. Susuganan ngadéngé sora nu tahrim. Kajeun ukur hawar-hawar ogé. Mun teu kitu, atuh sora kongkorongok hayam. Teu nanaon ukur katéwak ngokna gé. Kahayang mah jol ngong sora adan. Keun baé najan sorana rébék teu ngeunah kadéngéna gé.

Kabéh lebeng.
Heueuh. Peuting kawas nu moal manggih tungtung.*
LENG mikir. Aya naon atuh ieu téh? Naha aya nu salah? Boa eusi sirah geus robah. Moal kitu owah mah aing téh... Huh!

Heuay deui. Mereketkeun manéh sangkan teu tuluy saré. Panon geus rék rapet gé ngahaja dibelél-belél supaya beunta. Moal, cék gerentes, moal rék disarékeun deui. Sieun hanjakal. Sieun lilir angger kieu-kieu kénéh.

Tungtungna cindukul. Ngadon ngajejentul dibaturan meredongna peuting. Ngaraga meneng nungguan tungtung peuting nu teu embol-embol.

Rék diabenan, kitu gerentes haté. Piraku moal manggih tungtung. Geuning saré gé aya lilirna. Digantian ku hudang. Peuting gé pasti aya sudana. Digantian ku beurang.

Hanjakal jauh ka listrik. Kuhanjakalna deui cempor geus béak minyakna. Teu mekel lilin deuih. Estuning hémpak keur nyandingkeun poék nu hideung.

Leng deui. Mikiran boa peuting mah lain ku panjang-panjang teuing. Komo jajauheun kana moal nungtung. Sigana pédah pikiran nu mémang sundek lantaran hayang geura-geura muru beurang. Pipikiran nu geus diiwat ku rasa beurang. Ku cahaya nu disebut beurang.

Geuning. Peuting can kénéh manggih tungtung.*
INGET deui, saméméh manggih pangalaman kawas ayeuna, biasana sok sabalikna, horéam manggih beurang téh. Sok hayang beurang teu datang. Peuting wé saterusna.

Enya, siga nu dihaleuangkeun ku Iwan Fals. Lain haleuang meureun, tapi gorowok. Cenah, “Jangan-jangan, pagi kaudatangkan biarkan malam terus berjalan. Jangan-jangan, mentari kauterbitkan!”

Tah, nepika kituna.

Éta mah romantisme mangsa lawas. Kabiasaan nu terus kababawa hirup. Hirup teu béda ti kalong. Peuting cénghar, ngulayaban néangan rupaning kahirupan, lain néangan nu amis-amis sarupaning bubuahan wungkul. Beurang ngampih, nganjang ka karajaan impian. Nyobat jeung bulan, nyatru panonpoé.

Siga vampir, ceuk Mas Jaka nu sok maturan nyaring peuting bari nembang Ilir-ilir. Asa tiis tingtrim dunya peuting. “Isuk-isuk paheula-heula jeung panonpoé, itu bijil urang mubus. Sieun kapanasan, mun keuna cahaya panonpoé bakal lééh siga vampir,” ceuk Mas Jaka nu embung ditelahkeun Jack sumawona Joko, sanajan ngomong Sunda logatna tetep medok jeung bebeledugan.

Para pemimpi, ceuk Daéng Madéong. Nu hirup méakeun peuting mah sarua jeung hidup di alam impian. “Aku adalah seorang pemimpi,” ceuk lalaki pituin Makasar nu leuwih paséhat nyarita maké basa Sunda batan basa indung sorangan. Siga nu keur mapandékeun diri sorangan.

Tah, éta omongan Madéong jauh saméméh Dhani Ahmad nyiptakeun lagu nu nyebutkeun, “Bukan rahasia, jika aku adalah seorang pemimpi…”

Jadi kapikiran deui.
Leres pisan. Peuting nu datang teu manggih tungtung.
***

NGAJEPAT. Rarasaan ngajepat. Hayang hudang, tapi teu bisa cengkat. Hayang cengkat, tapi teu uget-uget acan.

Hayang ngajorowok. Terus ngagorowok. Ménta tulung. Tulung-tulungan. Tapi taya nu némbalan, da taya sora anu kaluar.

Beuki dipaksa hayang usik, kalah beuki rosa ngabatu. Beuki dipaksa hayang nyoara, kalah mingkin pageuh ngabisu. Sanajan awak terus abrug-abrugan. Haté terus kokosodan.

Ukur rarasaan. Ngan dina pipikiran.
Nu puguh mah awak terus ngajepat teu usik teu malik. Rénghap gé asa seuseut. Sakabéh anggota badan siga nu leungit sénsor. Paréntah tina otak teu di-réspon ku awak. Syaraf méré sinyal ka otak supaya nyengkatkeun sirah. Sénsor otak méré instruksi kana sirah. Tapi sirah teu méré réspon, angger cicing. Ceuk syaraf hayang ngagoak. Kitu kénéh. Taya réspon tina pita sora. Tetep wé ngabigeu. Mun di-transfer éta alur instruksi, sinyal, sénsor, jeung réspon kana modél visual, sigana kawas lalajo carita pégo. Aya gambar, gerak, tapi euweuh sora.

Nu leuwih matak kasiksa, réspon kana ambekan. Kumaha hayang ngarénghap, tapi taya réspon. Sakali. Dua kali. Tilu kali. Nepika béak pisan nafas. Tapi dina pipikiran mah angger bisa ngarénghap. Bisa ngahégak ogé. Da leungeun jeung suku gé dina pipikiran mah bisa pakupis.

Ngan dina prak-prakanana nu henteu téh.

Lila-lila mah capé ogé maksa kahayang téh. Antukna cicing. Nuturkeun kahayang rasa jeung pikiran. Teu ménta. Tapi nurut.

Dituturkeun sakumaha kahayang rasa mah geuning bisa.

Mimiti panon bisa gerak. Galar-gilir ngarérét ka sisi ka gigir. Tuluy sirah mimiti bisa obah. Bisa luak-lieuk. Terus ramo-ramo leungeun. Terus ramo-ramo suku. Ngarénghap lancar deui. Sora ogé kaluar deui, sanajan karék wani ngaharéwos.

Sirah jeung awak gé bisa dicengkatkeun deui ayeuna mah.
Méméh obah leuwih jauh, bari ngararasakeun awak, terus ngajepat deui. Neuteup lalangit kamar nu bodas. Ngarérét ku juru panon ka sakuriling. Geuning loba nu datang.

Katangen nu nungkulan euweuh nu némbongkeun beungeut. Kabéh tungkul nyumputkeun paneuteup.
Matak asa laluasa basa awak lalaunan cengkat. Ah, teu sing hésé. Malah sakitu babarina. Teu ditanagaan gé awak saolah-olah ngangkat ku sorangan. Semu ngangkang. Terus ngambang.

Nu tungkul asa beuki ngareluk. Teu miroséa awak kuring nu terus ngambang beuki ngaluhuran. Luhureun pangsaréan.

Lalaunan awak ngambul ka luhur.
Héy, awas! Asa ngadéngé nu ngajorowok.

Tapi dirérét, taya saurang gé nu cengkat. Kabéh husu dina tungkul séwang-séwang. Bet tuluy hayang ngélég. Ramo-ramo nu tadi hésé digerak-gerak téh gugupay. Sok téwak! Héy, téwak uing tah!

Teu lucu, eung! Kadéngé deui aya nu ngagero.

Tapi ukur hiuk angin nubruk kaca jandéla.
Bebel, téh! cenah deui.
Kadieu siah, anjrit! Beuki tarik.
Tapi taya nu robah.
Sok atuh téwak ari wani mah! Cékéng rada ngancunan.

Awak asa beuki ngaluhuran. Geus rék nepi kana lalangit. Leungeun-leungeun nu keur tarungkul téh terus ranggah. Sapasang-sapasang ngacung ka luhur lir nunjuk langit. Tapi lain nunjuk ka kuring.

Hag, Si Mamah ambek geura! Héy, turun! Terus tingjorowok, tapi asa beuki ngaweuhan. Siga sora nu keur ngajauhan.

Hayoh ka dieu, balik deui! Ayeuna mah semu hawar-hawar.
Ka dieu, pleasé. Ceuk sora leuleuy.
Sora nu dituturkeun paneuteup jeung ramo-ramo ngagupay.
***
BRAY. Beunta deui. Lilir deui. Angger kénéh mongkléng alias poék. Auk, ah, gelap!
Geus ngimpi deui, gerentes téh.

Mun kieu terus, nya mémang geus kuduna. Meureun teu kudu mamaksa hayang geura beurang. Peuting jeung beurang gé sarua meureun. Ngan pédah aya caang jeung poék. Kalah aral maksa hayang geura panggih jeung caang gé, ari nu aya poék deui poék deui mah.

Ngan, rék naon lampah lamun peuting terus-terusan taya anggeusna. Piraku ngan saré jeung ngimpi onaman.

Aya sakotrét sinar dina jero sirah nu nyabit kajadian ieu aya kakaitan jeung datangna lebur kiamat.

Moal rék papanjangan nyaritakeun kolébat pikiran éta.

Moal diinget-inget.
Can waktuna!
Sanajan bisa jadi ieu salah sahiji tanda-tanda datangna Kiamat. Tapi ukur hiji tanda. Karék cenah éta ogé. Cenah, salah sahiji tanda datangna poé kiamat téh bakal ngalaman peuting terus-terusan lilana opat puluh poé opat puluh peuting.

Ceuk kuring, teu manjing logika. Sabab kiamat mah lain logika, tapi kayakinan. Sabab mun ngudag logika, kiamat geus datang ti béh ditu mula. Mun maké tanda-tanda tina laku lampah jalma nu tibalik siga lalaki boga kalakuan jeung pamaké nurutan awéwé atawa sabalikna awéwé nu siga lalaki, kapan ti abad ka-19 gé geus aya.

Susah muguhkeun watesanana ogé. Aya nu nyebutkeun lalaki niron-niron awéwé téh mun buukna panjang, gumeulis maké seuseungitan, jeung maké pakéan kawas awéwé. Kapan jaman Romawi mah lalaki kalolobaanana gondrong. Atuh wadya baladna ogé maké seragam nu mangrupa andérok.

Pon kitu deui awéwé nu pupurutulan niron-niron jalu, ti jaman Rénnaissancé gé geus nyampak. Modél-modél nu biasa jadi obyék lukisan. Malah kapan Cléopatra gé teu kacaritakeun maké rok panjang atawa longdress jeung kabaya, upamana.

Nu loba percaya kana datangna kiamat dumasar kana logika nyaéta tina pananggalan sélér Maya di Amérika Latin. Cenah, kiamat bakal datang taun 2012. Malah dipastikeun poéna ogé meneran tanggal 21 bulan 12 taun 2012. Anu saterusna digambarkeun dina film jieunan Roland Émmérich judulna 2012. Kiamat nu cenah nurutkeun kana pananggalan jeung tanda-tanda sélér Maya, tapi jolna bet kana carita lalampahan Bahtera Nabi Nuh.

Tapi kiamat lain ayeuna. Sanajan peuting nepi ka ayeuna can kénéh manggih tungtung. *
DINA mongkléngna peuting. Teuing impian nu kasabaraha, kuring kahudangkeun ku hawar-hawar asa ngadéngé sora nu nembang. Enya, mun ngaregepkeun galindengna mah puguh wanda tembang, lain aweuhan tahrim. Sidik. Aya guru laguna. Aya guru wilanganana. Semu murwakanti. Pupuh kinanti. Halon, teu dibedaskeun sorana. Tapi atra kecap-kecapna. Malah rénghap tiap ganti padalisan gé jéntré pisan.

Beuki lila beuki atra. Sora tembang beuki ngadeukeutan. Beuki deukeut beuki tambah jéntré, geuning lain hiji sora nu nembang téh. Tapi sora rampak nu gumulung jadi hiji sora. Gerendeng nu ngagalindeng.

Aya cahaya nu ngolébat tina jandéla. Lain cahaya bulan.
Nu ngolébat beuki nambahan.
Kuring nyérangkeun tina jandéla. Siga aya cicika gegeleberan. Cicika hiji gegeleberan meuntasan sela-sela daun. Nyaangan dahan-dahan. Aya hiji deui cicika. Nambah deui. Jadi sababaraha. Jadi loba.

Tapi, salian ti nambah loba, cicika téh jadi ngagedéan. Cahayana buleud siga lampion. Ngajajar. Patutur-tutur. Oyagna bareng. Majuna bareng.

Horéng cicika téh ngagantung dina tali. Tali nyangreud kana iteuk panjang. Iteuk dicekelan ku sapasang leungeun. Sapasang leungeun nu kaluar tina jubah panjang. Jubah hideung.

Geuning lain cicika. Sidik ayeuna mah nu caang téh lantéra nu digantungkeun dina iteuk. Hiji. Dua. Tilu. Tujuh. Sapuluh. Leuwih ti sapuluh lantéra. Tuh, nambahan deui. Jadi sabelas. Tujuh belas. Dua puluh. Tilu puluh. Euleuh, puluh-puluh jalma dijubah hideung ngaleut ngeungkeuy ngabandaleut mawa lantéra bari nembang.

Cepet muru ka wétan.
Rék kamarana kawétankeun?
Ka tempat bijilna srangéngé unggal isuk.

Boa, rék mapag panonpoé kitu? Néang matabeurang nu teu jol datang. Husu ngajingjing lantéra, siga keur nyaangan jalan tincakeun. Tapi siga nu ngahaja mekel cahaya keur nyeungeut panonpoé nu sigana pareum anu matak teu meleték nyaangan alam dunya ogé.

Boa kétah lantéra keur ngogan sangkan balébat datang. Siga Dayangsumbi nu ngondang balébat ku cara meberkeun boéh rarang di tebéh wétan.

Papada hayang mungkas peuting nu teu manggih tungtung.* 
ASA ngadéngé sora kongkorongok hayam. Hawar-hawar. Lain kadéngé ngokna wungkul. Jelas jeung kongkorona ogé. Kongkorongok, cenah.

Kongkorongok pondok. Henteu melung. Tapi keukeuh kongkorongok. Mun geus kongkorongok hayam mah pasti téréh beurang. Biasana, mun geus aya sakali kongkorongok sok ditéma kadua kali. Terus sok ditémbalan ku kongkorok séjén. Terus silih témbal. Patémbal-témbal. Jadi raong kongkorongok, biasana.

Tapi sora kongkorongok téh anggér hiji kénéh. Nu éta kénéh. Sorana kitu-kitu kénéh. Pasti hayamna gé éta-éta kénéh.

Lain kitu éta mah kongkorongok hayam nu ceuk kolot kila-kila aya nu reuneuh jadah? Aya nu hamil teu boga salaki. Ngakandung anak taya bapaan. Piring pisin diragaji, colénak dikalapaan téa, meureun.

Mungkin waé sora kongkorongok hayam katipu. Disangka balébat, padahal hayam lulungu ningali aleutan jalma nu mawa lantéra. Euh, boa enya éta mah hayam nu sérab ku cahaya lantéra. Hayam nu ngadago-dago datang balébat, tapi teu embol-embol. Ari torojol aleutan lantéra nu caangna ngembat siga gurat balébat. Atuh, der wé kongkorongok.

Halah, hayam teu gableg cedo.
Tapi angger masih kénéh peuting nu teu manggih tungtung.* 
MUN Dayangsumbi bisa nipu wanci, naha urang gé bisa? Sang Dayang nyambat balébat nu can waktuna datang. Mun balébat jeung kongkorongok hayam cukup jadi wates antara peuting jeung beurang, meureun ayeuna gé balébat bisa diogan sangkan datang megatkeun lampah peuting nu teu daék lekasan.

Kapan cukup ku mébérkeun boéh rarang, gawé sapeuting jeput Sang Kuriang tumpur. Balébat datang. Talaga teu anggeus. Parahu dibalangkeun sina nangkub.

Mun kitu, peuting nu panjang téh bisa dirékayasa sangkan tamat. The énd. Baganti jeung beurang. Peuting ganti ku beurang. Poék kasilih ku caang. Geus poék tuluy caang. Habis gelap terbitlah terang!

Cik, lamun ayeuna aya boéh rarang dibébérkeun di beulah wétan, naha kira-kirana balébat bakal datang? Kumaha lamun ku cahaya nu leuwih rongkah? Ku boéh rarang wae bisa, komo mun ku nu leuwih ti kitu. Ku nu leuwih bodas ti boéh rarang.

Bisa ku kembang api atawa merecon.
Bisa ku sinar laser. Cahaya halogén. Nuklir.
Sinar gamma!
Sugan bisa nganggeuskeun peuting nepika manggih tungtung.***
http://jabar.tribunnews.com/read/artikel/40551/Carita-Kuntung

Teu Bisa Mun Kudu Serius (Barakatak)

DI saat kelompok vokal pengusung lagu-lagu Sunda sudah vakum bahkan terang-terangan telah menyatakan bubar, grup Barakatak hingga kini masih eksis. Trio vokal yang beranggotakan Aam, Yayat dan Didi ini tergolong laris dalam urusan manggung.

Mengusung konsep musik bobodoran dengan lirik jenaka, Barakatak cukup diterima oleh publik musik Jawa Barat. Terbukti, tembang-tembangnya semacam "Musik Asik", "Bandung Bergoyang" hingga "Buta Hejo" sempat merajai industri musik. Begitu pula ketika dipinang DH Production untuk terlibat di album kompilasi pop Sunda "Bentang-Bentang, kehadiran Barakatak cukup mengkatrol angka penjualan CD album tersebut.

Lewat dua lagunya "Com Giriwil" dan "Pang Geulisna", Aam dan kawan-kawan mencuri perhatian masyarakat. Apalagi tingkah polah mereka di video klip album itu sanggup membuat penonton tertawa. Ya, itulah ciri khas Barakatak, loba hereuy tapi lagunya tetap enak didengar.

Seperti saat mereka kembali didaulat menghiasi album "Bentang-Bentang II" masih karya H. Dose Hudaya, grup Barakatak konsisten dengan bobodor ana ketika membawakan lagu "O.E.A.E.O" kolaborasi dengan penyanyi debutan Tika Zein. Baik syair lagu maupun video klip-nya, Barakatak menampilkan sikap jenaka penuh improvisasi.

Mun serius mah da teu bisa. Jadi kitu we loba heureuy. Ya sesuai namanya Barakatak nu artina seuseurian, kami ingin menunjukan jati diri sebagai seniman musik yang selalu bisa menghibur dengan musik dan canda," ujar Didi di kediaman Dose Hudaya, Jln. Cilengkrang Ujung Berung, Kamis (28/7).

Untuk album kali ini, Barakatak berubah format serta warna musiknya. Selain diselipi vokal Tika Zein, grup yang telah berkibar sejak tahun 1991 itu juga membawakan tembang bernada house musik. "Kalau yang sebelumnya murni berbahasa Sunda, sekarang mah dicampur bahasa Indonesia dengan kehadiran Tika Zein. Jenis musiknya juga mengalami perubahan jadi rada ngebeat," tutur Didi.

Dengan format seperti itulah, trio yang di masa lalu sukses menggedor blantika rekaman tersebut lebih bebas mengekspresikan kabisanya. "Keberadaan Tika lebih memberi warna terhadap penampilan Barakatak. Namun ciri khas kita tidak hilang, ngabodor baik dalam lirik maupun gaya," timpal Aam.(galamedia)

Friday, July 29, 2011

Vandalisme Rusak Citra Pariwisata

Sadar wisata di kalangan remaja belum tumbuh, ini terlihat masih adanya aksi vandalisme di tempat wisata alam maupun wisata buatan serta tempat lainnya. Penyebabnya, sosialisasi mengenai sadar wisata atau Sapta Pesona kepada kalangan remaja masih sangat kurang.

"Memang sosialisasi sadar wisata atau Sapta Pesona kepada kalangan remaja masih kurang, sehingga mereka sering berbuat semaunya saat berwisata," ungkap Kepala Balai Pengembangan Kemitraan dan Pelatihan Tenaga Kepariwisataan Dinas Pariwsata dan Kebudayaan Jabar, Muhammad Kahfi kepada wartawan di sela-sela pelatihan wisata remaja di Hotel Kedaton, Jln. Viaduct Bandung, Selasa (26/7/2011).

Oleh karena itu, pihaknya sengaja melatih 40 pelajar dan polisi pariwisata di Kota Bandung untuk mengikuti kegiatan wisata remaja yang dibuka langsung Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jabar, Herdiwan. Kahfi berharap, dari kegiatan ini para remaja bisa paham dan tahu tentang makna pariwisata, sehingga tidak lagi melakukan vandalisme.

"Memang yang melakukan vandalisme adalah remaja yang tergabung dalam organisasi tertentu, untuk menunjukan jati diri. Sedangkan vandalisme di tempat wisata, hanya ingin menunjukkan dirinya pernah datang ke tempat itu," tambahnya.

Mereka yang dilatih, diharapkan bisa memberikan pengertian maupun sosialisasi efek negatif dari vandalisme kepada kalangan remaja lainnya. Sebuah objek wisata yang sudah dikotori vandalisme akan turun citranya.

"Ujung-ujungnya, objek wisata sepi pengunjung karena mereka merasa tidak nyaman dan masyarakat sekitar merasa dirugikan," ujarnya.

Kahfi menilai, kalangan remaja masih hijau pengetahuannya di bidang pariwisata, sehingga cocok untuk diberi pengetahuan tentang pariwisata. Selain itu, vandalisme bisa dicegah apabila kalangan remaja sudah mengetahui Sapta Pesona.

Selain materi tentang pariwisata, para peserta pun dilatih mengenai kebersamaan melalui outbound di Imah Seniman Lembang. Selain itu, diberikan pula kerja praktik di lapangan serta tinjauan mengenai pariwisata ke lapangan.

Salah seorang anggota polisi pariwisata dari Polda Jabar, Rosalina M.M. mengaku masih menemukan aksi vandalisme di tempat-tempat wisata di Jabar. Namun pihaknya belum memergoki langsung pelaku vandalisme di tempat wisata.

"Biasanya kami hanya menerima laporan dan menerima langsung pelaku vandalisme dari para pengelola melalui penjaga keamanannya," ujarnya.

Rosalina menyebutkan, penertiban pelaku vandalisme banyak dilakukan pengelola objek wisata. "Polisi pariwisata hanya memberikan dukungan," tambahnya.

Mengenai pelatihan wisata remaja bagi kalangan pelajar, Rosalina mendukung upaya tersebut untuk membentuk figur wisata dari kalangan remaja. Menurutnya, kalangan remaja masih labil sehingga perlu diberi pelatihan positif, termasuk pengetahuan tentang pariwisata.

"Ke depan, kalangan remaja ini bukan hanya penikmat pariwisata saja, tetapi juga penjaga objek wisata," tambahnya. (http://www.klik-galamedia.com/)

Bandung Jadi Percontohan Jagabaya

Untuk menjaga diri dan lingkungan sekitar, Badan Musyawarah Masyarakat Sunda (Bammus) Jabar menjadikan Kota Bandung sebagai percontohan pelaksanaan jagabaya (puragabaya). Dengan demikian kegiatan keamanan masyarakat ke depan dapat lebih terkoordinasi lebih baik.

Hal itu diungkapkan Ketua Bammus Jabar, Memet H. Hamdan kepada wartawan, usai pertemuan komunitas organisasi kasundaan dan organisasi kemasyarakatan serta kepemudaan (ormas dan OKP) di Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan (YPK) Bandung, Jln. Naripan Bandung, Rabu (27/7). Hadir pada kesempatan itu sejumlah tokoh, seperti Tjetje Padmadinata, Endang Karman, Aom Kusman, Uu Rukmana serta sejumlah organisasi kasundaan, Ormas, dan OKP.

Disebutkan Memet, uji coba jagabaya ini merupakan hasil kesimpulan dari pertemuan komunitas kasundaan, ormas, OKP serta aparat kepolisian. Menurut Memet, diberlakukannya jagabaya sangat penting bagi masyarakat, minimal untuk menjaga diri sendiri serta lingkungannya masing-masing.

"Ini memang pola lama, namun kita ingin menghidupkan kembali di masyarakat dan Kota Bandung akan dijadikan kota uji coba jagabaya," ungkap Memet.

Selama uji coba di Kota Bandung, akan dilihat sejauh mana respons dari masyarakat Bandung maupun daerah lainnya. "Jika pelaksanaannya lumayan bagus, akan dilanjutkan dan disebar ke daerah lain. Namun jika kurang, program jagabaya ini akan dievaluasi," paparnya.

Memet menyebutkan, jagabaya merupakan program yang telah dilakukan masyarakat Sunda dalam menjaga dirinya, keluarga, lingkungan maupun negara. Namun dengan perkembangan zaman, Jagabaya pun diganti dengan sistem keamanan lingkungan (siskamling), pertahanan sipil (hansip). Bahkan seorang RT pun sekarang mau menyewa petugas satuan keamanan (satpam) untuk menjaga lingkungannya. "Ini berdampak pada masyarakat yang harus menyediakan sejumlah dana hanya untuk menjaga dirinya sendiri maupun lingkungannya masing-masing.  ( http://www.klik-galamedia.com )

Thursday, July 28, 2011

Jembatan Kujang Siliwangi Dijadikan Ikon Bandung

SETELAH melewati beberapa kali penilaian, akhirnya Jembatan Kujang Siliwangi karya arsitektur asal Makassar Akhmad Zaki Yamani, keluar sebagai juara dalam ajang Siliwangi Pedestrian Bridge Design Competition 2011.

Dengan mengangkat budaya tradisi senjata khas Jawa Barat, kujang sebagai penyangga jembatan, desain karya pria lulusan Institut Teknologi Surabaya (ITS) ini menyisihkan 55 desain jembatan lainnya.

Desain Zaki yang memilih kujang sebagai unsur budaya tradisional dalam sketsa jembatannya, dianggap para juri sangat mewakili Kota Bandung dengan konsep kujangnya.

Sesuai dengan syarat yang ditentukan panitia, juri yang diketuai Wakil Wali Kota Bandung Ayi Vivananda menganggap desain jembatan Siliwangi yang dibuat Zaki bisa direalisasikan. Sehingga nantinya jembatan kujang Siliwangi tersebut bisa terwujud, dengan tanpa mengubah konstruksi awal jembatan Siliwangi.

Ditemui pada acara penyerahan hadiah di Balai Kota Bandung, Rabu (27/7) malam, Zaki mengatakan, dirinya sempat kesulitan mencari cara bagaimana mencari desain yang bisa menyatukan kearifan lokal dengan desain modern, sehingga bisa menyatu menjadi sebuah satu kesatuan dan bisa menjadi ikon Bandung.

"Akhirnya saya pilih Kujang, karena masih ada benang merah dengan Siliwangi dalam hal ini Prabu Siliwangi, yang membawa kujang sebagai senjatanya," katanya.

Diakui Zaki, sebagai seorang arsitek ia sudah pernah beberapa kali meraih juara dalam lomba desain. Namun desain jembatan baru pertama kali baginya. Terkait gelar juara Siliwangi Pedestrian Bridge Design Competition Zaki mengaku bangga.

Pasalnya, desain jembatan karyanya nanti akan dijadikan ciri khas Kota Kembang Bandung. "Sebagai seorang perencana arsitektur, saya tentu saja merasa bangga. Sebab desain saya akan direalisasikan, dan nantinya bisa dilihat dan berguna bagi masyarakat," ungkapnya.

Wakil Wali Kota Bandung sekaligus ketua tim juri Ayi Vivananda mengatakan, keberadaan jembatan kujang Siliwangi nanti bisa manambah ikon Kota Bandung yang selalu identik dengan Gedung Sate.

"Selain sebagai ikon, saya harap keberadaan jembatan kujang Siliwangi bisa menjadi jembatan pedestrian. Sekaligus menjadi tempat wisata dan turut mendukung program Cikapundung Bersih. Implikasinya nanti untuk masyarakat juga," kata Ayi.

Sementara itu, Manager Marketing Services PT Djarum Bandung Herman Sutanto mengatakan, pihaknya akan terus membantu untuk bisa merealisasikan desain jembatan Siliwangi tersebut, sesuai desain jembatan kujang Siliwangi.

"Pasti terealisasi, walaupun nantinya akan dilakukan secara bertahap. Untuk realisasinya kami sudah menyiapkan bantuan dana sebesar Rp 4 miliar, dari yang tadinya hanya Rp 2 miliar. Target untuk jembatannya, Desember 2011 ini akan rampung," ungkap Herman. (Galamedia)

Menanamkan Ketidakjujuran Pada Proses Pendidikan

SEKOLAH mahal! Itulah yang dirasakan orangtua saat memasukkan anaknya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Teriakan tesebut banyak didengar dari orangtua yang memasukkan anaknya ke sekolah, darii SD ke SMP atau dari SMP ke SMA.

Melihat pada proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang dilakukan sekolah, ternyata kompetensi akademik siswa yang dapat dilihat dari hasil ujian tidak menjadi jaminan. Kemunculan passing grade, hanya terkesan sebagai formalitas saja untuk menaikkan daya tawar, hingga akhirnya orangtua tergiring pada cara "main belakang" untuk memulusan anaknya di sekolah favorit.

Kadang siswa yang memiliki kompetensi akademik juga tidak dapat bernafas lega untuk meneruskan sekolah, pada saat sejumlah biaya masuk dengan nilai jutaan rupiah disodorkan. Hingga akhirnya, dengan keterbatasan finansial tersebut terpaksa siswa yang orangtuanya tidak mampu mundur, melupakan haknya untuk mendapatkan pendidikan yang layak.

Kondisi dunia pendidikan saat ini memang sudah bertentangan dengan amanah UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas. Undang-undang tersebut menyatakan, negara menjamin warganya untuk mendapatkan pendidikan yang layak.

Ada semacam pemahaman yang harus digarisbawahi, fasilitas pendidikan lengkap yang dimiliki oleh sekolah favorit berarti tidak hanya dapat dinikmati oleh siswa dari keluarga beruang. Siswa yang orangtuanya tukang becak sekali pun mempunyai hak untuk sekolah yang memiliki fasilitas lengkap tersebut.

Kompetensi siswa adalah kunci bisa masuk tidaknya perserta didik. Bukan didasarkan pada kemampuan orangtua siswa untuk memenuhi permintaan kebutuhan sekolah. Meskipun pihak sekolah mengetahui adanya pelarangan mengutip uang dari proses PPDB, namun pada kenyataanya hampir di semua sekolah praktik itu dilakukan.

Secara tidak langsung, di dunia pendidikan telah ditanamkan nilai-nilai ketidakjujuran. Sekolah membuat sistem yang secara tidak langsung memaksa orangtua murid untuk menuruti keinginan sekolah. Pendaftaran lewat fasilitas jalur belakang atau kedekatan, tampaknya lebih memberikan jaminan dibandingkan dengan kopetensi akademik yang dapat dilihat dari hasil UN.

Mencoba kembali pada kejujuran, adalah nilai yang sangat mahal untuk mengawali proses pendidikan anak-anak yang akan menjadi generasi penerus bangsa. Jangan jadikan generasi muda, kita generasi yang permisif terhadap suap dan sogok.

Sekolah adalah tempat kawah candradimuka yang diharapkan dapat melahirkan putra bangsa yang memiliki kecerdasan dan keimanan. Sehingga dapat membangun bangsa dengan semangat kejujuran. Semuanya berawal dari pendidikan.
Oleh: DENI KUSMAWAN (Galamedia)

170 UU Menunggu PP tentang Informasi Geospasial

Bandung - Ketersediaan informasi geospasial di Indonesia semakin mendesak, karena ada 170 Undang-undang (UU) yang memerlukan ketersediaan sekitar 93 jenis informasi dan data spasial (peta) untuk penerapannya. Informasi geospasial ini dinilai penting untuk penyelenggaraan program-program pembangunan wilayah.

Peraturan Pemerintah (PP) pun didorong untuk segera diterbitkan sebagai tindak lanjut dari pengesahan Undang-Undang No 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial.

"UU Geospasial disusun agar sekitar 170 UU memiliki referensi yang sama atau mengacu pada Informasi Geospasial Dasar yang dibuat oleh Badan Informasi Geospasial. UU yang menunggu penerapan UU ini di antaranya tentang tata ruang wilayah negara, PPLH dan Sumberdaya Air," ujar Anggota Komisi VII DPR RI Daryatmo Mardiyanto, saat ditemui usai mengikuti Semiloka Revitalisasi Tata Kelola Informasi Geospasial sesuai Amanat UU Nomor 4 Tahun 2011 , di Aula Timur Kampus ITB, Jalan Ganesa, Kamis (28/7/2011).

Dengan adanya UU dan PP nantinya, maka batas-batas wilayah nasional akan memiliki kepastian, apalagi saat ini telah banyak terjadi pemekaran daerah. "Batas-batas wilayah ini menyangkut sumber daya alam," katanya.

Sistem Informasi Geospasial disebutkan Daryatmo akan diselenggarakan oleh Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional sebagai Badan Informasi Geospasial (BIG). Ia menuturkan, dengan adanya kepastian batas-batas wilayah, maka diharapkan konflik yang terjadi akibat ketidakjelasan batas, akan terminimalisir.

"Tidak adanya batas yang jelas dan pasti selama ini berpotensi mengakibatkan konflik, karena perebutan sumber daya alam misalnya," tutur Daryatmo.

Pembuatan PP atas UU No 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial diberi waktu selama 2 tahun

(tya/ern)


sumber : bandung.detik.com

Cukuplah Hanya Musailamah yang Permalukan Diri Sendiri di Muka Publik

Cukuplah Hanya Musailamah yang Permalukan Diri Sendiri di Muka Publik

Oleh: Jalaluddin

Musailamah termasuk salah seorang yang mendakwakan dirinya 'nabi', setelah wafatnya Rasululah SAW. Berbagai upaya ia lakukan guna menarik perhatian dalam menggalang dukungan dari masyarakat. Laki- laki yang 'kebelinger' ini tampaknya memang telah mempersiapkan diri secara matang. Karya sastra yang disusun Musailamah diketengahkannya sebagai tandingan ayat-ayat Alquran. Maksudnya, agar orang percaya, kalau dia pun mendapat wahyu, sebagaimana halnya Rasulullah SAW.

Sayang, syair-syair kreasinya dinilai jauh di bawah standar sastra Arab. Sama sekali tak ada nilainya dibandingkan dengan keindahan sastra ayat Alquran. Apalagi kalau disimak materinya yang menyangkut reproduksi dan kehidupan katak. Dinilai terlalu mengada-ada, hingga jadi tertawaan dan ejekan masyarakat. Meskipun demikian, Musailamah tidak patah arang. Lelaki yang ambisius ini begitu percaya diri.

Gagal memperoleh pengakuan, membuat Musailamah semakin penasaran. Dengan arogan, ia mengemukakan tantangan terhadap kehebatan Muhammad SAW, sebagai Rasul Allah. Dikatakan kepadanya, bahwa dengan izin Allah, Rasulullah SAW pernah menyembuhkan penderita yang matanya buta sebelah. Alih-alih menyerah, Musailamah malah minta didatangkan penderita dengan kasus yang sama.

Dengan disaksikan orang banyak, Musailamah mulai mendemonstrasikan metode pengobatannya. Mulutnya komat-kamit layaknya orang sedang berdoa. Tak ada yang tahu, mantera apa yang dilafazkannya. Sejenak kemudian, Musailamah mengusapkan telapak tangannya ke mata si penderita. Apa yang terjadi? Ternyata, olesan telapak tangan Musailamah menyebabkan si penderita mengalami buta total. Sebelum berobat salah satu matanya masih berfungsi secara normal. Di tangan Musailamah, kedua mata pasien itu serentak buta.

Lagi-lagi Musailamah mengalami kegagalan. Namun, kali ini kegagalan terjadi di depan khalayak. Ia dipermalukan secara terbuka. Dalam terminologi agama, apa yang dialami Musailamah tersebut, dikenal dengan khizlanah. Kebohongan publik ini kemudian mengantarkan Musailamah ke "penobatan" dirinya sebagai al-Kazzab (si Pembohong). Musailamah al-Kazzab gelar dilekatkan pada diri sosok nabi palsu ini sepanjang sejarah.

Karena itu, orang yang membuat dirinya dipermalukan di depan khalayak akibat perbuatannya sendiri, itulah yang disebut dengan khizlanah. Di negara kita, banyak orang yang bisa disebut dengan khizlanah. Seperti, mereka yang melakukan korupsi lalu fotonya dipajang di mana-mana di media massa. Kemudian, ada orang yang terhormat berselingkuh atau terlibat aksi pornografi. Artis ataupun aktor yang melakukan hal serupa sehingga namanya semakin terkenal karena perbuatan buruknya. Pejabat yang hanya obral janji, juga bisa disebut dengan khizlanah.

Allah SWT mewanti- wanti kita selaku hamba-Nya, agar tidak alpa menyebut asma-Nya di setiap aktivitas dalam kehidupan. Baik sebagai individu, anggota masyarakat, maupun sebagai warga negara. "Dan, jangan sekali- kali kamu menyatakan terhadap sesuatu,  'Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi, kecuali (dengan menyebut) insya Allah'." (QS [18]: 23-24). Wallahu a'lam.

Diterbitkan di Republika Cetak dengan judul Khizlanah


sumber : www.republika.co.id

Eka Berharap Timnas Atasi Turkmenistan

Eka Berharap Timnas Atasi Turkmenistan

Kapten tim PERSIB Eka Ramdani berharap tim "Merah-Putih" bisa menang melawan Turkmenistan. Pertandingan kedua Pra Piala Dunia 2014 yang akan digelar Kamis, 28 Juli di Stadion Gelora Bung Karno Senayan Jakarta pukul 19.00 WIB ini menjadi sebuah keuntungan karena bermain dengan dukungan suporter. Eka Ramdani yang saat ini sudah berlaga tiga kali dalam ajang Piala Dunia masih memiliki keinginan Indonesia bisa melangkah lebih maju dari prestasi sekarang ini.

Di bawah pelatih baru, Wim Rijsbergen, harapan seluruh pecinta sepakbola Indonesia menginginkan "Merah Putih" bisa memenangkan pertandingan dan lolos ke babak tiga. "Siapapun yang bermain, saya berharap timnas bisa meraih hasil yang maksimal," ujar pemain yang akrab disapa Ebol ini. Berbicara peluang, saat bertandang ke Turkmenistan di putaran pertama 23 Juli lalu, Indonesia teringgal terlebih dahulu 1-0 oleh Vyacheslav Krendelev pada menit 13. Namun, Indonesia mampu mengejar ketertingalan angka menjadi skor 1-1 pada menit 22 oleh M Ilham. Turkmenistan adalah tim yang sebelumnya mengganjal langkah Indonesia di Pra Olimpiade 2012. Dengan mencetak gol di kandang lawan, Indonesia hanya membutuhkan hasil seri 0-0 ***




sumber : persib.co.id

Ma Ijah Newak Cahaya

Sasimpé-simpéna di statsion karéta api, kitu wé teu weléh gugurudugan ku karéta api nu ngaliwat. Ka peutingnakeun mah nu mindeng ngaliwat téh karéta api ngakut barang. Karéta api barang mah arang eureun di statsion. Keur Eulis jeung Ma Ijah mah teu jadi gangguan, tibra wé saré, ngaguher dina sisi rél karéta. Tempat saréna maké hahalang kardus urut, méh rapet kana témbok wates statsion. Angin peuting neumbagan kardus hahalang, tina sela-sela liang angin ngahiliwir, tiis kana bitis. Ma Ijah beuki morongkol, beuki pageuh ngeukeupan Eulis.

Mangsa janari, karéta api barang ngaliwat, Eulis lilir. Panon rucang riceng, rada cengkat, panon neuteup ka luar tina sela-sela kardus. Kaciri aya cahaya tingarajleng, siga nu kagebah ku ngadiusna karéta api, lir kabawa angin, tinggorolong.
Eulis beuki nyidik-nyidik, leungeunna pageuh nyekel kana simbut Ma Ijah.
"Ma..Ma." Eulis ngaguyah-guyah Ma Ijah.

Ma Ijah lilir. "Aya naon..?" Dina haté Ma Ijah geus teg wé pasti aya nu ngabuburak, biasana nu sok ngabuburak téh jagabaya nu tugas di statsion karéta api, tapi ma enya wayah kieu, da can kadéngé adan subuh. Keur Ma Ijah mah dibuburak téh geus biasa, tinggal cengkat najan keur genah saré kapaksa kudu nurut kana paréntah. Saré di statsion téh lain kahayangna, da mun boga tempat saré nu merenah mah moal teuing nyiruruk di tempat nu walurat.
"Itu Ma."cék Eulis bari nunjuk kaluar.

Ma Ijah panasaran, terus nyingkabkeun kardus hahalang tempat saréna. Ti kajauhan kaciri jagabaya ngabedega nyekel tumbak, baju singset maké iket, disapatu lurik bodas hideung, baju bulao kolot rarawis emas. Euh geuning lain nu ngabuburak. Ma Ijah nyidik-nyidik panuduh Eulis, sakedapan mah olohok ningali cahaya ting arumbluk lolobana dina handapeun korsi ruang tunggu. Cahayana ting karetip lir béntang nu baranang di langit, enyay-enyayan, aya nu ngénclong héjo aya nu semu gading, aya nu konéng emas, aya nu bodas pérak.

Ma Ijah sabil, antara hayang teges jeung sieun, dina haténa norowéco boa-boa emas inten berlian nu murag ti panumpang karéta api tadi soré. Ma Ijah istigfar sababaraha kali, bari neger-negerkeun manéh. Nangtung ngajarigjeug, lulungu.

"Hayu Eulis urang tingali.."
Eulis muntang kana leungeun Ma Ijah, pageuh tipepereket.
Handapeun korsi tunggu Ma Ijah nyidik-nyidik cahaya.
"Cika-cika Ma? " cék Eulis.
"Lain" témbal Ma Ijah
"Lumar Ma?
"Lain"
"Emas Ma?"
"Teuing"
"Inten Ma?
"Teuing".

Ma Ijah niat nyokot hiji, tapi barang rék gep kacekel, cahaya siga nu ngabalicet, lir néwak laleur, lindeuk japati, cahaya oyag lalaunan, siga cahaya lampu katiup angin lalaunan, pindah tempat tuluy ngagateng deui.
Ma Ijah ngahuleng, lain milik diri bagja awak meureun, mana embung ditéwak gé, sagala rupa gé rijki mah tara pahiri-hiri.
"Ma ieu beunang..Ma.." cék Eulis semu hariweusweus.
"Wadahan kana kantong kérésék"
Ma Ijah nutur-nutur bujur Eulis nu paciweuh néwakan cahaya. Eulis resep kabina-bina asa mulungan inten berlian. Ma Ijah ngeukeuweuk kantong kérésék urut wadah kurupuk, Ma Ijah ngeukeuweuk kantong kérésék embung leupas, Ma Ijah ngeukeuweuk kantong kérésék sieun leupas.

Eulis néwakan cahaya nepi ka jalan Kebon Kawung. Ma Ijah olohok, sapanjang jalan Kebon Kawung marakbak ku cahaya ting karetip, ka wétankeun beuki loba, beuki napuk, beuki ngagonyok.
Eulis leungeunna ranggém ku cahaya, ngadeukeutan Ma Ijah, cahaya dina leungeunna hayang buru-buru diwadahan kana kantong kérésék nu dibawa ku Ma Ijah.
"Ma kadieukeun kantongna."
"Ké, gémbol wé heula ku erok"

Ma Ijah leumpang gagancangan ka wétankeun, hayang ngarawu, sugan di nu loba mah aya hiji atawa dua nu katéwak. Ma Ijah pakepuk lir néwakan siraru, teu nolih titincakan.

Leungeun ngarawél néwak cahaya, gerewel beunang hiji, jedak tarangna tidagor kana témbok pager. Ma Ijah tanggah bari ngusap tarang nu tidagor, kaciri junggiringna témbok pager. Témbok ngeplak bodas, beusi seukeut rancung di béh luhur, unggal tilu metér belenong lampu listrik nu hurung kénéh. Dina pager témbok napuk cahaya, siga mangjuta-juta cika-cika. Hayang nyiuk ku ayakan, hayang nyiuk ku lambit, hayang nyiuk ku undem. Pager témbok nu ngembat panjang, beuki ka wétan palebah gapura, cahaya beuki loba, ngagonyok awor jeung cahaya panonpoé nu rék meleték. Ma Ijah gogodeg, istigfar geus teu kaitung.

Eulis datang, ngarawél kantong kérésék nu dicekel ku Ma Ijah, gebru cahaya nu digembol ku erokna, diburusutkeun kana kantong kérésék
"Ma itu di ditu loba pisan" Eulis nunjuk. Ma Ijah unggeuk.

Ma Ijah leumpang lalaunan ka gapura bari leungeun ngayap kana témbok pager. Eulis nyirintil miheulaan. Geblus asup ka buruan gedong sigrong ngaliwatan gapura. Jagabaya keur nundutan dina gardu, maké baju pulas bulao kolot rarawis emas, iket jeung tumbak pasoléngkrah, dina iket aya tulisan PKD, pasukan keamanan dalam, seuseukeut tumbak ngacung ka luhur. Ma Ijah neuteup, ngeteyep, lalaunan ngaliwat.
Di hareupeunana gedong digrong, tihang ngajunggiring sagedé-gedé tangkal kalapa, tihang ngajunggiring sagedé-gedé cangkéng jalma budayut, tihang ngajunggiring sagedé-gedé beuteung munding. Di tepas gedong sigrong, lampu nu digantung ngagebyar hurung, ubin hérang ngagenclang, unggal panto cacangklékna warna emas.

"Ma ieu téh gedong naon?"
"Teuing"
Eulis lumpat muru ka taman hareupeun gedong sigrong, kekembangan nu dipelak rapih, kembangna keur mangkak hadé omé, Eulis asa jadi putri geulis keur ulin di taman raja. Kekembangan jeung cahaya silih kiceupan, cahaya ku Eulis ditepakan, mumbul ngapung ka luhur, kembang ku Eulis diciuman.
Ma Ijah neuteup Eulis "Deudeuh teuing anaking" gerentes haténa, ras inget ka indung bapana Eulis nu ayeuna boa dimana ayana.

Tayohna jagabaya kagareuwahkeun ku Eulis nu keur ulin di taman nu keur ocon jeung kembang, nu keur ocon jeung cahaya. Jagabaya nguniang hudang, lilir gular giler, rap iket kerewek tumbak.
"Saha éta?" sorana gelap ngampar semu peura campur jeung aday.
Jempling sakedapan, Eulis cicing, Ma Ijah cicing. Ma Ijah awakna ngeleper ngarasa katohyan asup rerencepan ka buruan gedong sigrong.
Kedepruk sora sapatu coréléng bodas hideung, awak badag jangkung harelung, gegendir diulinkeun. Ma Ijah ngayekyek, Eulis ngahéphép.

Ma Ijah jeung Eulis diiringkeun ka pos jaga, lir munding dicocok irung. Ditanya, diperekpek, saha ngaran, asal timana, umur sabaraha, pagawéan, padumukan, KTP nepi ka status randa., naha wani-wani asup ka jero taman.

Ma Ijah ngajawab satarabasna, ngaran Ijah asal ti lembur Selaawi, umur genep puluh taun, pagawéan teu gaduh, padumukan dina kardus sisi erél di statsion karéta api, randa, teu sakola kungsi masantrén, KTP teu aya. Ieu incu ngaranna Eulis, umur salapan taun, teu sakola, kungsi sakola nepi ka kelas tilu sakola dasar, teu aya biaya, indung bapana digawé ka Arab Saudi, keur ongkos ka Arab Saudi ngajual imah jeung ngajual  sawah sacangkéwok, geus dua taun ngilu jeung Ma Ijah saditinggalna ku indung bapana Duit kiriman ti Arab Saudi teu jol baé. Mun teu jajaluk di dayeuh rék dahar naon, jeung moal boga duit keur meuli béas, da harga béas beuki mahal. Pangna asup ka jero taman pédah néwak cahaya nu napuk. Hapunten ka Adén Jagabaya, mugi ageung cukup lumur ngahapunten samudaya kalepatan.

"Nini, ulah kamana-mana, cicing dijero pos, mun kabur bisi diperkarakeun, kuring rék aras urus heula, mangkaning poé ieu bakal loba tamu, aya acara ngopi pagi jeung raja," cék jagabaya.
Terus jagabaya téh paparéntah ka baturna, cék nu séjén saur manuk "Siap komandan"

Ma Ijah jeung Eulis nyempod di jero pos, teu wani loba omong, kantong kérésék wadah cahaya ditangkeup, sieun leupas, ongkoh deuih cék jagabaya ulah dikamamanakeun keur barang bukti.
Teu lila gulusur aya mobil datang, asup ti gapura. Mobil alus plat beureum, hérang ngagenclang. Eulis noong tina jandéla pos, buru-buru ngelok deui terus ngaharéwos ka Ma Ijah "Ma..itu cahaya napuk dina gilinding mobil".

Ma Ijah nempo tina jandéla, enya wé dina gilinding mobil napuk cahaya. Nu numpak mobil turun, tina baju jeung awakna murudul cahaya, kagibrigkeun. Sarérétan kaciri di tepas gedong sigrong aya nu sasapu, keur nyapuan cahaya. Ma Ijah hémeng, naha cahaya sakitu ngagebur mancurna nepi ka dimomorékeun, siga nu dipiceunan nepi ka disapukeun, nepi ka digéléng ku gilinding mobil, nepi ka digibrigkeun tina awak tina baju. Ma Ijah balem, leungeunna ngusapan sirah Eulis.
Beuki beurang beuki loba mobil nu datang, beuki beurang cahaya nu napuk dina gilinding mobil beuki teu kaciri kaéléhkeun ku cahaya matapoé.. 

Geus rada beurang, sanggeus tatamu pada mulang, jol jagabaya nu tadi isuk-isuk tatanya.
"Nini, mana kantong kérésék téh?"

"Ieu nun," cék Ma Ijah bari ngasongkeun kantong kérésék nu majarkeun pinuh ku cahaya.
Kantong kérésék dibuka, dialak-ilik "Lah nini mah sok ngabohong, geuning euweuh nanaonan, ngan ukur sosoéhan koran, leuheung mun gedé mah bisa dipaké mungkus tarasi, ari ieu ngan ukur sagedé-gedé cinggir budak" kitu ngomongna téh bari mikeun deui kantong kérésék.

Ma Ijah reuwas sieun disangka akon-akon, tuluy kantong kérésék dibuka, enya wé nu diwadahan téh ukur sesebitan koran, sagedé-gedé cinggir budak. Ma Ijah hémeng, Ma Ijah ngaheruk, aya bagja teu daulat, sugan téh nu jadi cahaya tina emas inten berlian atawa naon wé nu aya hargaan keur ngabanjel-banjel hirup sapopoé. Naha bet jadi sosoéhan koran?.

"Adén,.leres tadi subuh mah ieu téh dianggo ngawadahan cahaya, cahaya téh mani ngagebur napuk tuh di taman, tuh ti jalan kénéh, atuh di tepas itu, malih tadi gé dina gilinding mobil tatamu cahaya téh napuk" cék Ma Ijah ngayakinkeun, kituna téh bari nyomot sosoéhan koran di asongkeun ka jagabaya.

Sosoéhan koran diilikan ku jagabaya, kabaca saliwatan aya kecap jujur, adil, amanah,  wijaksana, sumpah, jangji. Jagabaya ngahuleng, teu lila pok ngomong "Nini, keun sual cahaya mah kumaha nini wé, nu penting mah ulah deui-deui wani asup ka ieu gedong najan ukur di gapura, bisi diperkarakeun"

"Nampi dawuh Adén, moal deui-deui kumawantun ngulampreng ka ieu patempatan, mung ieu téh gedong naon nun?" tembal Ma Ijah.

"Ieu téh Gedong Pakuan, tempatna raja bumén-bumén, nu tadi tatamu gé éta téh ménak wungkul ti kantor kadinesan nu ngageugeuh ieu dayeuh, tadi téh ngadon ngopi pagi jeung raja bari nyawalakeun nasib rahayat. Nini bawa kantong kérésékna, didieu mah jadi runtah."*
Karya : Mamat Sasmita (jabar.tribunnews.com)

Persija Disarankan Ikuti Jejak PERSIB

Persija Disarankan Ikuti Jejak PERSIB

Persija Jakarta disarankan untuk mengikuti langkah PERSIB Bandung dalam hal pendanaan agar dapat menjalani kompetisi Liga Super Indonesia pada musim berikutnya tanpa harus bergantung kepada dana APBD. Hal tersebut diutarakan Ketua PS Gumarang, Zulfikar Utama. Menurut dia, sebaiknya Persija menghimpun konsorsium dengan bantuan Gubernur DKI Jakarta seperti yang sudah dilakukan PERSIB dengan menggaet beberapa pemodal ke dalam sebuah konsorsium. PS Gumarang adalah klub amatir anggota Persija.

"Untuk mengantisipasi penghapuskan dana bantuan APBD, ada baiknya Persija meniru PERSIB dengan menghimpun pemodal ke dalam konsorsium," ujar Zulfikar seperti dikutip dari Harian Umum Berita Kota (Jakarta), Senin (25/7). Berita Kota mengutip berita ini dari laman goal.com.

Zulfikar mengatakan, PERSIB sangat sukses dalam melakukan sistem menghimpun pendanaan sehingga dia berharap pengelola Persija secepatnya melakukan hal yang sama. "Kita sebaiknya melaksanakan apa yang diperintahkan PT Liga Indonesia, yakni klub-klub secepatnya mencari pemilik, sponsorship, dan partnership. Inilah yang akan menopang kelangsungan klub ke depannya jika dana APBD dihapuskan," ujarnya. ***




sumber : persib.co.id

Wednesday, July 27, 2011

PKS Minta Pemkot Wujudkan Bandung Agamis di Bulan Ramadan

Bandung - Jelang bulan suci ramadan, DPD PKS Kota Bandung keluarkan 8 seruan sikap. Saat ramadan, PKS menilai sangat tepat jika Pemkot Bandung mewujudkan Bandung Agamis. Tidak hanya dengan ucapan, tapi disertai pelaksanaan di lapangan.

"Ramadan menawarkan optimisme bagi perbaikan terhadap berbagai kebobrokan moral dan mental yang melanda umat saat ini," kata Ketua DPD PKS Kota Bandung Oded Muhammad Danial melalui rilis yang diterima detikbandung, Kamis (28/7/2011).

Delapan seruan itu di antaranya mengimbau umat islam agar memasuki ramadan dengan penuh keimanan, ketakwaan, dan mengembangkan sikap toleransi. Kedua, semua pihak diharap menjaga kekhidmatan sealama ramadan dengan tidak memancing hal yang dapat menimbulkan gejolak dan reaksi negatif di masyarakat.

"Kami mengajak semua umat islam, organisasi maupun lembaga islam untuk mengisi ramadan dengan menyelenggarakan berbagai program keumatan seperti tadarus Al Quran dan pesantren kilat," ujarnya.

PKS juga meminta Pemkot Bandung menutup semua tempat hiburan, menegakkan perda larangan miras, serta menertibkan tempat makan yang berjualan siang hari.

Oded mengatakan, PKS akan menggelar berbagai kegiatan untuk menyambut bulan ramadan.

"Untuk mendorong himbauan itu, kami telah dan akan menyemarakkan ramadan dengan berbagai kegiatan sebagai peran serta mewujudkan Bandung Agamis," pungkas Oded.
sumber : bandung.detik.com

Satpol PP Tak Janji PKL di 7 Titik Bersih Saat Ramadan

Bandung - Wakil Wali Kota menyatakan PKL boleh berjualan selama ramadan. Syaratnya, PKL tidak boleh mangkal di 7 titik kawasan khusus di Kota Bandung. Namun, Satpol PP ogah menjanjikan PKL di 7 titik akan bersih saat ramadan.

"Saya tidak bisa pastikan. Yang jelas kita akan terus berupaya ke arah sana," kata Kasatpol PP Kota Bandung Ferdy Ligaswara saat ditemui di Pendopo Kota Bandung, Jalan Dalem Kaum, Rabu (27/7/2011).

Keterbatasan personel jadi hal utama kenapa Satpol PP ogah menjanjikan PKL di 7 titik bersih. Personel Satpol PP sendiri ada 148 yang bergerak di lapangan. Sementara total, ada sekitar 300 personel Satpol PP baik di lapangan maupun di kantor.

"Bukan masalah klise sih sebenarnya keterbatasan personel. Tapi dengan keterbatasan personel kita akan terus berupaya berikan pelayanan bagi masyarakat," ungkapnya.

Ferdy mengatakan, tidak hanya saat ramadan PKL boleh jualan. Sebab di bulan biasa PKL juga diperbolehkan berjualan asal tidak di 7 titik. "Tapi kan ada catatannya, ada aturannya. Bukan berarti pada ramadan semuanya bisa dengan mudah melanggar peraturan yang ada," jelasnya.

Untuk PKL di 7 titik, Ferdy mengaku akan terus melakukan penertiban. "Untuk pengawasannya kita akan lakukan secara preventif dan represif. Kita juga akan awasi penjual makanan, tempat hiburan juga kita awasi. Kalau melanggar, akan kita tindak," tegas Ferdy.

(ors/tya)


sumber : bandung.detik.com

Antara Gunung Tua Jeung Cimalaka

Keur meujeuhna sono bogoh hirup rumah tangga téh.  Ninggang kana paribasa runtut- raut sauyunan, ka cai jadi saleuwi ka darat jadi salogak, sareundeuk saigel, sabobot sapihanéan. Barudak keur meujeuhna lalucu, kitu deui usaha nu jadi salaki, keur aya dina kamajuan. Rumah makan beunang itikurih duaan, ahirna kajojo ka mana-mana. Padamuru pada ngajarugjugan.

Tapi geuning milik mah teu pahiri-hiri, bagja teu paala-ala. Hirup jeung huripna manusa mungguh geus aya nu ngatur. Kitu ogé garis nasib nu tumiba ka diri kuring. Kersaning Gusti,  alatan kasakitna, Kang Yudi tilar dunya, mulih ka jati mulang ka alam kalanggengan, dipundut ku nu kagunganana.  Harita, nu karasa téh bumi alam asa tungkeb, banget ku  baluweng pipikiran, kumaha nya geusan pilampaheun.  Hantem midangdam nyeungceurikan peurihna papastén Hyang Widi, hantem midangdam nyeungceurikan panutan haté nu miheulaan ninggalkeun. Ninggalkeun kuring jeung barudak.

Rék teu kitu kumaha. Keur kuring mah Kang  Yudi téh salaki idéal. Kasabaranana, tanggung jawabna  ngipayahan anak pamajikan, kasaksian ku  diri sorangan.  Ti enol pisan kuring jeung manéhna ngamimitian muka usaha nepi ka  saditinggalkeunana, kuring henteu kudu hirup ripuh. Mantak keur naon rumah tangga deui ogé. Mending hirup nyorangan, nuluykeun ngokolakeun pausahaan titinggal almarhum kalayan soson-soson.

                " Tiasa nyuhunkeun daftar ménu Néng?", sorana  agem ngagareuwahkeun lamunan. Lalaki tengah tuwuh, dangdananana nécis, rapih tur dandy ngajanteng hareupeun. Sikepna, rengkuhna jadi pertanda. Ajegna adeg-adeg kasopanan nyekrup kana  tagog jeung  penampilanana nu perlénté.

                "Oh..mangga Bapa. Haturan, wilujeng sumping", ceuk kuring bari mérékeun daftar ménu nu dipéntana. Torojol Rina, pramusaji  nyampeurkeun, mawa catetan keur nyatetkeun  naon baé nu dipesen.

"Badé di palih  mana, Pa?", Rina nanya. Kuring jongjon tungkul mariksaan bon  nu pabalatak  dina méja. Karérét ku juru panon,  manéhna nyampeurkeun deui.

                "Tiasa  di méja  palih lebet?"  Jempolna nuduhkeun ka méja  anu ngajéjér di rohangan béh jero.

                "Yaktos Bapa. Mangga...tiasa milih tempat nu  cocog sareng  kapalay", kuring imut ngahempékeun.

Koloyong man?hna ka jero, muru ka  m?ja nu kaopat. Pangjuruna. Eta  rohangan ngahaja ku kuring dirancang pikabetaheun. Kentel  nuansa romantisna,  ngahaja keur nu mikabutuh kana éta hal. Teu loba méja  anu aya di éta rohangan téh, ukur opat méja. Korsi anu disayagikeun gé ukur opat-opat. Sangeus pesenan sayaga, ku Wawan ditanggeuy, dianteurkeun ka méjana. Ti kajauhan ku kuring katénjo, Wawan milu diuk heula, ngobrol sawatara waktu. Teu lila jol  Wawan ka deukeut méja, nyimpen baki urut nanggeuy dahareun téa.  Ceuk Wawan, éta tamu téh Kepala Unit hiji bank, anu kantorna teu pati jauh ti réstoran kuring. Kabeneran deuih, mun seug éta  bank keur  katatamuan,  atawa  ngayakeun  acara, sarta  dina kagiatan kantor sapopoéna, parakaryawanna kabéh sok dalahar di  dieu, di réstoran kuring. Dina jero haté tuluy ngomong  sorangan, paingan dangdanan tur sikepna  meni hadé kitu, horéng lain jalma joré-joré.

"Meni saé nami réstoran téh  Néng. Anteb pihartoseunana gé. "Hégar Sari". Leres-leres janten tempat anu hégar sareng nyari kanggo niis, pasti  parapelanggan téh ngaraos  baretaheun pami sarumping ka ieu tempat".

"Amin, hatur nuhun Pa!"

                "Mangga diétang, sabarahaeun?", ceuk manéhna bari ngaluarkeun dompét. Sabada diitung, duit téh aya pamulangan kénéh.  Song dibérékeun ka  Wawan anu kabeneran ngaliwat ka hareupeunanana.

                "Hatur nuhun kana kasumpinganana Bapa!", ceuk kuring .

Léos éta  jalma téh ngaléos. Beuheung eueuleugeugan, basa ningal mobil anu dipakéna kaluar ninggalkeun palataran parkir.  Euleuh.......Hardtop heubeul kaluaran taun `83 pulasna kopi tutung, meni gugurilapan, cicirén  hadé ropéa. Body mobil geus meunang ngamodif. Bener-bener gaya tur gagah katingalna. Eta deuih, ku anéh, plat nomer mobilna, D 3103 HS,  bet sarua jeung tanggal lahir tur inisial singgetan ngaran kuring!

*******

                Poé ieu mah, réstoran téh pinuh pisan. Dalapan beus wisata nu rék ngajugjug ka Ciater ngaradon reureuh. Atuh  paciweuh pisan harita téh. Torojol Pa Yusuf  datang bareng jeung dua  baturna. Cenah mah Penilik ti Kantor  Cabang anu deuk ngaroris  ka Kantor Unit  Gunung Tua. Ku lantaran  parapramusaji téh kabéhanana nyanghareupan cekelan  séwang-séwangan, kapaksa  kuring gé singkil, turun tahta, mantuan milu jadi pramusaji. Pa Yusuf sabatur-batur nu disanghareupan téh.

Pesenan geus  ngabarak dina méja. Angger milih tempat nu biasa, méja nomer opat  di  rohangan  béh jero.

                "Mangga  Pa, wilujeng  tuang!", ceuk kuring bari merenahkeun gelas ci entéh haneut keur nginumna.

                "Hatur nuhun, sareng  atuh sakantenan!" .

                "Mangga Bapa, hatur nuhun. Permios!" .

                "Sakedap  Néng. Hapunten kumawantun. Tos  sering abdi neda di dieu, asa teu acan tepang sareng  tuang raka. Nuju kamana?" Pa Yusuf nanya.

Bek! Asa aya anu nonjok kana hulu angen.  Keuna  kana mamaras rasa. Pertanyaan saperti kitu nu pangdipikasieunna lamun kuring panggih jeung jalma anyar.  Jalma anu kakara  wawuh sarta  tangtu baé teu apaleun kana kasang tukang kahirupan pribadi kuring.

 "Pun lanceuk mah parantos ngantunkeun!".

 Aya nu nyurungkuy tina jero panon.  Sakuat tanaga ditahan. Jeletit kana haté asa  aya nu nyiwit. Kanyeri jeung kapeurih ditinggalkeun ku nu jadi salaki kahudang  deui. Sajongjongan nu tiluan jempé. Kuring ngarahuh, narik napas panjang.

"Hapunten!" ceuk Pa Yusuf.  Kuring ngaléos  bari manggut. Karérét nu saurang mah paneutepna asa rada béda. Eta meureun pédah apal ayeuna mah yén kuring téh randa. Rey jadi cua.

                Ti saprak  éta kajadian, pasemon kuring rada robah mun manéhna  datang téh. Kuraweud  haseum. Ceuk pamikir téh, baé kaleungitan  pelanggan hiji mah.  Ké ogé bakal loba deui anu datang. Tapi jeung pundung mah kalah  nerus nyambung. Komo ayeuna mah, manéhna bet jadi deukeut  jeung barudak kuring. Antukna, ulat judes ka manéhna gé lila-lila mah  barobah.  Kasabaranana  bet asa  sarua  jeung almarhum. Sabar nalika nyanghareupan barudak,  ogé dina nyanghareupan sipat  jeung adat-pangadatan kuring.

***

                Geus dua poé teu bisa  nungguan réstoran téh, sabab Maira, Si Bungsu gering. Sapeupeuting awakna nyebrét, panasna teu turun-turun. Ceuk dokter nu mariksana , budak téh kudu diopnameu.

                Basa keur diuk dina risbang gigireun Maira suster norojol nyampeurkeun.

                "Jadwal dinés bu!"

                "Sabaraha kali deui Néng?"

                "Sakali deui ayeuna, margi katingalna mah eungapna tos  sakinten".

                Budak téh ngalewé. Leungeunna diusapan. Keueung meureun, ningali pabaliutna selang anu rék ditapelkeun kana awak  manéhna.Torojol aya nu asup ka rohangan, dirérét, horéng Pa Yusuf.

                "Papih.....!"

                Maira ngagero halon. Leungeunna ranggah ménta  dipangku. Kuring ngagebeg. Maira bet nyebut papih. Ti iraha? Hayang sapok-pokeun ngahuit, nyarék Maira. Tapi biwir  bet asa rapet pisan, hésé diengabkeun. Pa Yusuf nyampeurkeun. Budak téh dipangku. Selang infusna dibebener. Pok manéhna ngomong.

                "Teu kedah sieun Mai, pan aya  Papih. Kersa nya dilandongan, supados énggal damang!".  Kituna téh bari ngusapan sirahna. Pipina diusapan deuih. Budak téh jempé.  Suster masangkeun alat nébulizer. Maira siga tingtrimeun naker aya dina lahunan Pa Yusuf.          

******

Sabada Maira mulang ti rumah sakit, kuring jeung barudak diajak jalan-jalan. Kaka jeung Maira anteng dina rupa-rupa kaulinan. Ku duaan dipelong ti kajauhan.

                "Lia, ngahaja Akang ngajak Lia jeung barudak ka ieu tempat. Akang téh hoyong ngobrol kalayan tumaninah. Wios nya, da barudak mah nuju anteng!"

                "Perkawis naon téa?" kuring tanggah, ngawanikeun manéh neuteup beungeutna, bari imut pok manéhna ngajawab.

                "Urang duaan!  Tangtos salira gé surti kana sikep Akang salami ieu. Akang téh aya maksad badé mikanyaah ka salira!"

                Sajongjongan kuring ngaheneng. Salila ieu gé kuring téh surti. Tapi sok ngahaja disieuhkeun tina pikiran. Di sina ingkah ka tempat anu jauh, ka Sabrang ka Palémbang, ka nagara  nu pangjauhna.

                "Akang nyaah ka salira, kitu deui ka barudak!"

                "Kang Yus, hatur nuhun! Abdi ngartos kana pamaksadan Akang. Tapi teu gampil kanggo urang  duaan mah. Naon margina? Akang aya nu kagungan!" bari tungkul nyarita téh, bari ngucel-ngucel tungtung cindung. Cindung warna kulawu, ciga kulawuna rasa nu kiwari keur samagaha,    dalit  marengan.

                "Kapan pameget mah wenang badé dua, tilu, atanapi opat ogé  sanés? Asal tiasa lumaku kalayan adil. Rarasaan mah,  Akang bakal mampuh. Boh ku sikep boh ku materi."

                "Yaktos, kitu pisan  nu kauninga ku urang sadayana.  Tapi tetep kapan kedah aya widi ti geureuha  salira!"

                "Penting éta hal kanggo salira?" leungeunna pageuh nyekelan leungeun kuring. Paneuteupna  asa nembus kana jajantung. Duh...éta soca! Aya ku liuh. Paneuteupna nu sok ningtrimkeun marojéngjana pipikiran téh. Luk deui tungkul, tungtung cindung milu pasrah basa ramo mimiti nyagap jeung ngucel-ngucel deui tungtungna.

                "Kalintang pentingna. Kanggo abdi, pernikahan téh sanés wungkul nikahkeun urang duaan.  Akang sareng abdi sipatna. Langkungna ti kitu, pernikahan téh kedah tiasa ngahijikeun dua kulawarga janten hiji beungkeutan, ngiatkeun ukhuwah, ngaraketkeun tur  ngamumulé silaturahmi. Kantenan kanggo urang mah, sanés mung ukur dua kulawarga nu badé dihijikeun téh panginten. Tapi opat kulawarga. Kulawarga abdi, kulawarga  almarhum, kulawarga  Akang, sareng kulawarga Ceuceu."

                "Nu penting mah kapan niat Akang, Nung! Teu saheureuyeun badé migarwa salira. Akang bakal tanggung jawab nganapakahan salira jeung barudak. Lahir-batin, dunya-ahérat!"

                "Akang, abdi yakin pisan kana éta hal. Karaos pisan kanyaah Akang ka abdi ogé ka barudak salami ieu. Tapi,  kanggo katingtriman urang sadayana, saéna nyuhunkeun heula widi ka Ceuceu. Pami Ceuceu ngawidian, ka abdina gé bakal ngaraos langkung tingtrim. Dokumén pernikahan ti  nagara gé bakal gampil diuruskeunana deuih pami aya widi ti istri nu kahiji mah.  Eta bakal janten payung hukum kanggo nangtayungan abdi, nangtayungan pernikahan urang,  ogé nangtayungan barudak. Saterasna, tangtos abdi bakal sah janten istri Akang. Sah numutkeun aturan agama, sah ogé numutkeun aturan nagara. Akang ngartos kana naon anu nembé ku abdi disanggemkeun sanés?"

                Manéhna  rumahuh, narik napas panjang. Keur kitu barudak singtorojol nyampeurkeun.

"Pap, hoyong uih!" Maira sumolondo kana lahunanana.

"Hayu!"

Maira dipangku, tuluy manéhna nungtun leungeun kuring. Kaka mah hideng, miheulaan lumpat ngadeukeutan mobil nu diparkir teu pati jauh ti lebah dinya. Bring opatan mulang, muru ka imah.  Dina mobil, barudak mah talibra, tayohna carapéeun urut lulumpatan ka ditu-ka dieu, kari kuring duaan!  Anteng jeung pikiran  séwang-séwangan. Anteng jeung lamunan séwang-séwangan.

Teu lila ti harita, Kang Yusuf ngajak badami pikeun ngungurus dokumén pernikahan. Aya kabungah pacampur reujeung kasedih nu ngagalura jeroeun dada. Bungahna, dina waktu anu moal lila deui, kuring moal hirup nyorangan. Aya batur geusan pakumaha dina nyanghareupan kahirupan. Ngadahup ka Kang Yusuf  anu pasipatanana teu béda jeung  almarhum.  Sedihna, kuring dicandung! Haté teu weléh galécok,  paguneman jeung diri sorangan. Naha paniatan kuring nu daék dicandung téh bener kitu?  Naha bener pamajikan Kang Yusuf bakal méré idin? Naha engkéna Kang Yusuf bakal bisa lumaku kalayan adil? Naha enya ieu paniatan téh pikeun milari karidoan Gusti? Kapan cenah dicandung téh mangrupakeun sunnah Rosul, jadi marga lantaran asupna kaum Hawa ka sawarga! Duh, sabilna rasa jeung pipikiran awor jeung ratugna keteg jajantung. Dulugdugdag, keukeuh paudag-udag! Antara enya reujeung kumaha!

                Dina waktu keur uras-urus susuratan téa, kuring kadatangan sémah. Ibu-ibu. Turun tina sédan Vios  pulas héjo kolot. Dangdanana ménor pisan. Papakéanana sarwa hadé. Umurna anu geus teu ngora deui, henteu mantak  ngurangan kana kageulisanana.


                "Badé ka saha  Ibu téh?"  kuring mapag bari imut.

                "Sareng Herlia Sriwianti?"

                "Muhun!" ceuk kuring.

                 Song manéhna ngasongkeun leungeun.

                "Endah Wijiati, istrina Yusuf Himawan!"

                Gebeg haté ngagebeg. Enyaan,  Kang Yusuf geus  bébéja ka pamajikanana. Ayeuna  datang manggihan,  ayeuna aya hareupeun.

                "Oh..........muhun, nepangkeun, abdi Lia. Bingah pisan tiasa  tepang sareng ibu!"

                "Aya picarioseun abdi téh."  Teugeug pisan.

                "Mangga, saé urang ngalih ka  palih ditu!" ceuk kuring nuduhkeun tempat  di béh jero. Kabeneran harita keur rada tiiseun. Kuring leumpang ti heula bari nanggeuy baki, eusina cai entéh dua gelas. Manéhna hideng nuturkeun.

                "Lia, urang téh papada awéwé. Sapamadegan cigana. Tangtu urang bakal ngarasa bungah kacida lamun urang  dipikanyaah ku  hiji lalaki. Ciga Lia  ayeuna.  Meni sakitu gedéna geuning kanyaah Kang Yusuf ka Lia téh, nepi ka Kang Yusuf waléh méménta idin hayang ngawin Lia.  Dikumahakeun nepi ka bisa kitu,  diparabunan?" rada muncereng dibarung ku  hégak napasna anu ngerepan. Beungeutna bareubeu beureum.
"Punten Ibu, nyarios naon téa nembé téh?"
                "Lah, tong sok api-api. Lain geus loba beubeunangan tina hasil morotan Kang Yusuf  téh! Naon waé?  Emas, berlian, duit tabungan, mobil atawa naon deui?"
                "Ibu, istigfar! Abdi henteu ciga kitu!"
                "Teu kudu ngangles. Kitu kapan pagawéan randa mah. Morotan salaki batur. Mun teu  diparabunan, maenya Kang Yusuf  nepi ka kieu, pok deui-pok deui,   méménta idin hayang baé kawin jeung Lia!"
                "Ibu, ngaleueut heula. Supados tenang!" kuring neureuy ciduh. Tikoro karasa nyeri. Piceurikeun nyelek, minuhan tikoro.
"Peryogi kauninga ku Ibu.  Pami tuang raka  pupulih, hoyong migarwa abdi, muhun, leres pisan. Tapi, abdi nu miwarang  supados anjeunna mundut heula widi ka Ibu. Muhun, rumaos abdi parantos ngiring mikanyaah tuang raka, tapi nyaah nu saéstu. Teu aya niat sakedik ogé kanggo gaduh niat awon.  Nu kaémut téh mung  hoyong  ibadah, niat meungkeut tatali silaturahmi".

Haté mah hayang ceurik jejeritan. Asa peurih kacida  disebut awéwé pamorotan téh. Kieu geuning ari nasib jadi randa.  Ti peuting rungsing kumareumbing ku kasimpé haté, ti beurang ngacacang kumalayang ka alam panglamunan. Katambah-tambah bet dicacampah, disangka tukang morotan lalaki. Sing demi, hayang ceurik jejeritan!
                Lila-lila, kahartieun meureun omongan kuring téh.   Tuluy Bu Endah amitan. Leuleuyna sikep kuring meruhkeun amarahna. Peureus ogé kekecapanana. Boa  pasipatanana nu saperti kitu nu ngabalukarkeun Kang Yusuf mindahkeun haténa ka kuring.
                Isukna, pasosoré Kang Yusup aya nepungan.  Béda ti sasari. Imutna ciga nu dipaksakeun. Panonna nu liuh, neuteup anteb. Pok manéhna nyarita, sorana méh teu kadengé, ngageter bangun keur nahan hiji rasa, rasa nu pinuh ku karumasaan.
                "Lia, hampura  Akang. Mimiti poé isuk, Akang pindah gawé ka Unit Cimalaka. Ngadadak puguh gé. Jeung deui Akang téh kakara mulang ti rumah sakit. Endah  ayeuna  aya di rumah sakit!"
                "Ceuceu! Ku naon?"
                "Ngeureut  pigeulang leungeunna sorangan.  Kakara dipindahkeun ti ICU ka rohangan perawatan. Sakali deui, hampura Akang. Kanyaah Akang ka Lia jeung barudak  moal laas kapisah ku mangsa, nepi ka iraha baé ogé."
                 Aya nu ngeclak maseuhan kana tonggong leungeun. Ku tungtung cindung lalaunan cimatana disusutan.*

Karya Hena Sumarni (jabar.tribunnews.com)