-

Thursday, December 15, 2011

Negara dalam Puisi nyaliksik diri

Galamedia Sabtu, 10 Desember 2011
Oleh: ASEP SALAHUDIN
Cai asa tuak bari/Dileueut wayah janari/Geura mulih ka sasari/Nya ati di sanubari/

UNGKAPAN di atas adalah bagian dari teks korespondensi antara Kyai Kurdi Singaparna dengan pujangga terkemuka Sunda Haji Hasan Mustapa. Dialog antara dua manusia Sunda besar yang di kemudian hari dibukukan dalam Bale Bandung (1925) itu menarik untuk kita renungi di tengah suasana kebangsaan yang sarat dengan kompleksitas masalah malah ditenggarai sedang melaju ke arah "negara gagal".

Permasalahan itu seharusnya menginjeksikan kesadaran, seperti termaktub dalam teks di atas, untuk tak pernah lelah berziarah diri demi menemukan hakikat kehidupan, mewujudkan kemanusiaan yang memiliki ajen (harkat), membangun atmosfer kebangsaan yang sesuai dengan tujuan semula.

Kyai Kurdi dan Haji Hasan Mustapa sadar betul bahwa kehancuran seseorang, sasab-nya (tersesatnya) sebuah bangsa akarnya tidak lain adalah absennya kesadaran, mengalami kematian diri yang dungu (the death of the self). Jika orang sudah tercerabut dari kesadaran paling fundamental terhadap orientasi dan inti dirinya, maka perilaku selanjutnya menjadi lepas kontrol, tunggul dirarud catang dirumpak. Anggaran Negara dirampok, PNS golongan rendah rekeningnya milyaran, pajak dikemplang, proyek dilelang dengan tidak benar, TKW dibiarkan meregang nyawanya karena yang dibutuhakn Negara tak lebih adalah devisa. Korupsi belum diberantas sampai akarnya hakim tipikor malah dengan enteng membebaskan kepala daerah yang terindikasi korupsi seperti dalam laporan Indonesia Corruption Watch (ICW). Berdasarkan catatan ICW, 40 vonis bebas kepala daerah itu itu terdiri dari empat vonis bebas di Bandung, satu di Semarang, 14 di Samarinda, dan 21 di Surabaya.

Harus kita akui bahwa krisis yang menimpa bangsa hakikatnya berawal karena kita dilanda krisis moral yang bermula dari diri yang gelap dalam segala lini kehidupan dengan segala penyakit susulannya: hilangnya rasa malu, punahnya kesetiakawanan, keberagamaan yang penuh kepura-puraan, dipermainkannya hukum, gerombolan politisi yang semakin lebay, pilkada yang lambat namun pasti bermetamorfosa menjadi "pilkadal" malah disebut dalam penelitian mutakhir lebih dari 176 kepala daerah terjerat kasus korupsi, DPR yang kian narsis. Krisis yang bibit buitna karena absennya kesadaran diri. Pakar ekonomi pembangunan E.F. Schumacher dengan sangat bagus menggambarkan hal ini dalam "A Guide for Perplexed."

Karena bangsa kita dilanda tsunami lupa diri, menjadi sangat tidak aneh apabila banyak perbuatan aneh-aneh. Menjadi bangsa dengan para penyelenggara negara yang anonim. Kita lihat para wakil rakyat dan penyelenggara negara sepanjang tahun 2011 nyaris menjadi sekelompok yang mengalami --meminjam istilah Zohar dan Marshall-- kepribadian yang sudah asing dengan dirinya sendiri, dari orang lain di sekitarnya, bahkan boleh jadi terputus dari Tuhannya.

Jawaban Haji Hasan Mustapa terhadap Kiai Kurdi menyiratkan tekad untuk tegak lurus dengan substansi keberagaman dan moralitas publik agar kita tidak terjebak dalam kepalsuan. Tidak terkerangkeng pesona dunia seolah-olah, dalam tata kelola negara yang sarat kepura-puraan.

//Nyebut kalangkang ka raga/Nyebut raga ka rohani/Nu matak teu nelah-nelah/Nu matak teu ngarti-ngarti/

Eling ka wiwitan

Dalam kearifan budaya Sunda, kita menemukan diksi nyaliksik diri. Nyaliksik diri inilah yang sangat mendesak untuk kita warisi sebagai bagian utama pewarisan pendidikan karakter seperti sekarang ini sebagai pintu masuk bagi munculnya kesadaran diri di atas.

Nyaliksik diri tidak lain adalah upaya sepanjang waktu seorang manusia untuk senantiasa berintrospeksi. Sebelum menilai orang lain justru yang paling penting menilai diri.

Tentu saja proses nyaliksik diri adalah kearifan yang bersifat perenial. Dalam Tao Te Ching misalnya, "Siapa pun yang mengenal orang lain, dia adalah bijaksana; siapa pun yang mengenal dirinya sendiri, dia memperoleh terang."

Kata Imam al-Ghazali, "Jika kamu tidak mengenali dirimu sendiri, maka bagaimana kamu akan mengenal orang lain? Lebih-lebih mungkin kamu berpikir bahwa kamu mengenali dirimu sendiri dan ternyata salah, sebab pengenalan semacam ini bukan merupakan kunci menuju pengetahuan akan yang Nyata. Hewan-hewan mengenal sebanyak ini mengenai diri mereka sendiri, tentang dirimu sendiri kamu mengenalnya tidak lebih dari kepala, wajah, tangan, daging, kaki dan kulit luar. Mengenai dimensi batin, kamu tahu bahwa jika kamu lapar, kamu makan roti, dan jika kamu marah kamu menumpahkannya pada orang lain, dan jika nafsu menguasai dirimu kamu melangsungkan perkawinan. Semua hewan tahu semua itu!"

Di tangan Haji Hasan Mustapa, tokoh imajinatif Nyi Dewi Asri dalam cerita pantun Lutung Kasarung dijadikan simbol sebagai wanita yang menyesalkan sikap Mundinglaya di Kusumah yang lupa diri ketika dia kagembang (terpikat) wanita lain yang kemudian ia mengingatkannya agar segera eling ka wiwitan, awas ka wekasan. Kita simak selengkapnya teks "Nyeungceurikan Mundinglaya di Kusumah" itu:

Deudeuh Akang Mundinglaya di Kusumah/tiwas-tiwas ti peuting kaimpi sumping/ti beurang katenag datang/bisi ka silih ku junti/ulah kebeunangan bagja/sugan teh kukupu hideung/ singhoreng obat kabeuleum/ sugan teh mundinglaya kukuh katineung/singhoreng kebengbat deungeun/masing eling ka wiwitan/mangka awas ka wekasan...//

Nyaliksik diri juga menjadi siasat agar kita tidak getas harupateun di satu sisi, dan di sisi lain tidak membuat kita tuturut munding. Dengan nyaliksik diri maka bukan hanya nalar yang akan terbimbing, namun juga emosi dan ranah spiritual tercerahkan.

Dengan menyuntikkan sikap nyaliksik diri maka apa pun yang diperbuat akan menjadi panggilan dari suara hati paling dalam. Jabatan akan diposisikan sebagai amanah bukan ghonimah untuk memperkaya diri. Suara hati betul-betul menjadi haluan untuk melangkah. Jika tidak nyaliksik diri, maka negara gagal dan Indonesia yang karam itu tinggal persoalan menunggu waktu.

Akhirnya, ucang-ucang angge/ marilu jalan ka huma/kebon eurih reujeung jati/urang-urang hade/rek marilu oge cumah/ari teu terus jeung ati (HHM). (Penulis adalah, kandidat doktor Universitas Padjadjaran Bandung, dosen di IAILM Tasikmalaya)**

Artikel yang Berkaitan

0 komentar:

-

Post a Comment