-

Wednesday, December 14, 2011

Memuliakan Bahasa Nusantara

Kamis, 27 Oktober 2011
Oleh: DJASEPUDIN
PENCIUTAN peran dan makna bahasa-bahasa yang ada di Nusantara dilakukan secara masif dan makin mengkhawatirkan. Bahkan, penggunaan frasa bahasa daerah dalam undang-undang, peraturan daerah, atau bahasa media massa turut menyebabkan keragaman sekaligus keunikan bahasa-bahasa yang ada di Nusantara tersisih dan bertumbangan.

Jumlah penutur dan rasa bangga akan bahasa Sunda, Jawa, Sasak, Bugis, atau Papua kian memudar dan mengendur. Keberadaan bahasa Nusantara kalah pamor daripada bahasa Indonesia dan bahasa luar negeri.

Kondisi memperihatinkan ini makin mengenaskan ketika bahasa Nusantara oleh sejumlah sekolah hanya dijadikan muatan lokal pilihan. Padahal pengenalan, pemupukan, dan pengembangan bahasa Nusantara kepada anak-anak sangat mangkus dan sangkil jika dilakukan dengan penuh kesadaran dan keseriusan.

Sebab, peran penting bahasa Nusantara dalam perkembangan karakter anak dan penguatan jatidiri bangsa sudah diaku oleh warga dunia. Organisasi pendidikan, pengetahuan, dan kebudayaan dunia (UNESCO) sejak 17 November 1999 mencetuskan Hari Bahasa Ibu Internasional.

Modernisasi, globalisasi, tren anak muda biasa dijadikan kambing hitam terpinggirnya bahasa Nusantara. Padahal, semangat zaman dan minat generasi muda mah berkait erat dengan angkatan sebelumnya. Dengan kata lain barudak ngora (anak muda) tergantung keseriusan orang tuanya.

Ada banyak cara mengundang anak muda mencintai dan mengembangkan bahasa Nusantara. Pertama, jadikan bahasa Nusantara sejajar dengan bahasa-bahasa lainnya, terutama bahasa luar negeri. Sebab, di sebagian benak masyarakat bahasa Inggris, misalnya, derajatnya lebih mulia daripada bahasa Sunda atau Jawa.

Alasan pergaulan, pekerjaan, dan masa depan kerap jadi alasan. Padahal, kesuksesan suatu bangsa tidak berarti mesti menanggalkan bahasa dan budaya leluhurnya. Toh, keglobalan sekalipun membutuhkan kelokalan.

Agar derajat bahasa Nusantara bisa mulia kita mesti mengikuti saran dari UNESCO. Sejak 1951 UNESCO sudah merekomendasikan penggunaan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar pendidikan dengan alasan (1) secara psikologis, bahasa ibu sudah merupakan alat berpikir sejak anak lahir, (2) secara sosial, bahasa ibu dipakai dalam komunikasi sehari-hari dengan lingkungan terdekatnya, (3) secara edukasional, pembelajaran dengan media bahasa ibu mempermudah pemerolehan ilmu pengetahuan di sekolah dan proses pendidikan pada umumnya (Alwasilah, 2003:64). Orasi ilmiah dalam bahasa Sunda yang disampaikan Ajip Rosidi ketika menerima gelar doktor honoris causa di Universitas Padjadjaran Bandung sangat pantas untuk ditumbuhkembangkan.

Kedua, peningkatan peran media massa. Sebagai salah satu pilar demokrasi bangsa dan negara media massa punya posisi sangat strategis. Memang di beberapa daerah ada majalah Mangle, Galura, Cupumanik dalam bahasa Sunda atau media Joko Lodang dalam bahasa Jawa.

Namun, kampanye bahasa lewat media tersebut masih kurang karena jumlah pembaca dan penulis media Nusantara tidak sebanding dengan jumlah masyarakat. Sebagai bandingan, setiap pekan majalah Mangle dalam setiap terbitan mencetak 5.000-an eksemplar. Jumlah itu tidak sebanding dengan populasi penduduk Jawa Barat (umumnya Sunda) yang sudha lebih dari 40.000.000 orang.

Dalam tataran ini media nasional dan regional (bahasa Indonesia) dituntut perannya. Upaya yang bisa dilakukan di antaranya saban seminggu sekali atau dua minggu sekali media seperti Bandung Ekspres, Kompas, Media Indonesia, Pikiran Rakyat, atau Tempo menyisipkan rubrik khusus satu-dua halaman untuk artikel dalam bahasa Nusantara.

Saya yakin, kerinduan warga Jakarta atau kota-kota besar lainnya di Indonesia akan bahasa leluhurnya tetap ada. Kerinduan macam itu bisa tersalurkan dan dapat dirawat dengan baik nan menguntungkan jika kebutuhan warga tersebut disediakan.

Tentu saja, upaya seperti memasukan dan menggunakan istilah-istilah yang diambil dari kekakayaan bahasa Nusantara tetap diteruskan. Sebab, membanjirnya istilah-istilah asing dapat disikapi dengan mencari padanan yang tepat dan lebih ngindonesia.

Ketiga, pembuatan dan penerapan peraturan daerah. Sudah saatnya setiap bahasa Nusantara mempunyai peraturan daerah (Perda). Sebab, jika sudah ada Perda, maka upaya pelestarian bahasa Nusantara yang hendak dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah bisa lebih terarah.

Namun, Perda tidak semata gengsi gagah-gagahan. Perda yang sudah dibuat DPRD dan pejabat Pemda mesti ditegakkan dengan penuh keseriusan. Sebagai contoh, Pemda Jabar sudah memiliki Perda No. 5 tahun 2003 tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah. Namun penerapan yang terjadi di lapangan belum sesuai harapan.

Keempat, keterbukaan dalam menerima perubahan. Pelestarian bahasa Nusantara terkadang terbentur dari dalam. Sebab, di antara pecinta bahasa Nusantara masih ada yang bersikap kolot. Semangat purisme bahasa masih menggejala.

Padahal, budaya bahasa yang baik dan bisa tetap berkembang dengan cara menerima keterbukaan dari pengaruh luar. Hakul yakin, semangat pemurnian bahasa Nusantara adalah upaya yang sia-sia.

Upaya yang kelima adalah komitmen bersama. Bahasa Nusantara akan tetap hidup dan berkembang jika semua pihak sama-sama mencintai bahasa karuhunna (leluhurnya). Setiap individu dan kelompok bisa bekerjasama sesuai dengan peran dan kemampuan. Tanpa komitmen bersama, kepunahan bahasa Nusantara adalah keniscayaan yang tak terbantahkan.

Semoga bahasa Nusantara makin hidup, berkembang, dan terwariskan kepada generasi yang akan datang. Amin. (Penulis, pemerhati sastra dan budaya Sunda; bergiat di Institut Nalar Jatinangor; alumnus Program Studi Sastra Sunda Unpad)**

Artikel yang Berkaitan

0 komentar:

-

Post a Comment