-

Tuesday, December 06, 2011

Hukum dan Manusia (1)


Oleh: DR. JOGI NAINGGOLAN, S.H. M.H. Perwira Polda Jabar
UBI societes ibi ius, di mana ada manusia di situ ada hukum. Ungkapan yang sudah disepakati di kalangan ahli hukum itu memiliki pengertian yang sangat mendalam, baik dilihat dari sisi filosofis, sosiologis, maupun antropologis, karena sejak lahir manusia sudah membawa hukum di dalam kehidupannya. Kemudian hukum yang ada dalam diri manusia tersebut berkembang sesuai dengan tingkatan kehidupannya dan membawa konsekuensi yang logis, etis, historis dan bahkan empiris. Ini menandakan bahwa hukum itu merupakan suatu kebutuhan hidup manusia yang membawa prilaku manusia kearah yang benar dan dapat menuntun hidup manusia ke arah yang lebih baik.

Soediman Kartohadiprojo malah memberikan pengertian bahwa hukum itu adalah manusia. Dasar filosofinya, kata Soediman, adalah kondisi masyarakat Indonesia yang masih terintimidasi oleh pemikiran Belanda di dalam sistem hukumnya. Masih ada penjajahan hukum. Padahal Pancasila sebagai falsafah negara Indonesia dengan Bhineka Tunggal Ikanya, mewariskan kesetaraan hak dan kewajiban serta kebersamaan di dalam menciptakan kerukunan antarmasyarakat. Dengan demikian, menurut Soediman, manusia sama dengan hukum.

Bertitik tolak dari pemikiran Soediman Kartohadiprojo tersebut di atas, seharusnya kita merenungkan posisi manusia yang selalu diberi hak sekalipun sedang memiliki problem hukum atau katakanlah sedang tersangkut perkara pidana dengan posisi sebagai tersangka/terdakwa. Hak mereka tidak memudar karena di sejajarkan dengan hukum. Hukum adalah manusia dan di dalam hukum ada cita hukum.

Jika akhir-akhir ini atau beberapa bulan yang lalu, banyak munculkasus yang menjadi pemberitaan hangat di berbagai media massa elektronik dan menjadi perbincangan hangat juga di kalangan masyarakat demikian juga di acara Jakarta Lawyer Club, mempertanyakan posisi hukum Indonesia yang semakin terpuruk karena hukum telah dikambinghitamkan oleh mereka yang memiliki kekuasaan yang dapat mengatur proyek-proyek besar dengan sumber dana dari Negara. Kita sebut saja pembangunan wisma atlit Jakabaring Palembang, mega proyek Hambalang Bogor, dan pembangunan wilayah tertinggal di Indonesia Timur.

Proyek tersebut telah melibatkan banyak pihak, baik partai politik, lembaga terhormat DPR, maupun beberapa Kementerian. Itu menandakan bahwa prilaku manusia di dalam hukum telah bertabrakan dengan etika, karena akal budinya tidak berpihak kepada kebaikan dan kesederhanaan melainkan keserakahan yang dibungkus dengan jabatan.

Keterlibatan para pihak di dalam proses pembangunan tersebut di atas yang tendernya diatur secara sistematis, seolah-olah telah mengikuti proses rasional --akan tetapi hasilnya melahirkan sesuatu yang melanggar hukum atau ada kepastian yang palsu di dalamnya-- membuktikan bahwa hukum belum dihormati, dihargai dan belum dijadikan sebagai alat untuk menempatkan kebenaran. Hukum hanya dijadikan sebagai alat untuk melegitimasi suatu keadaan yang tidak pasti dan yang tidak benar, yang bertentangan dengan cita hukum sebagai amanat dari pada hukum.

Seharusnya hukum harus berdiri tegak dan tidak memihak karena kekuasaan yang dimiliki seseorang, karena hukum selalu menempatkan diri di dalam keseimbangan hak dan kewajiban, terlepas kepentingan apa pun yang mempengaruhinya, dan kondisi apa pun, sekalipun hari esok dunia akan runtuh, hukum harus berdiri tegak sebagai filar kebenaran karena cita hukumnya.

Keburukan prilaku manusia ternyata dapat terjadi karena pengaruh uang, tanpa memikirkan akibat yang akan timbul di kemudian hari. Jika uang telah dijadikan dewa kebenaran, melindas kebenaran dengan kekuatan uang (money is power), maka tatanan atau sendi-sendi hukum akan semakin rusak. Karena, sendi-sendi tersebut tidak lagi dijadikan sebagai basis mengatur prilaku manusia ke arah yang etis, akibat moralnya sudah disamakan dengan uang (money for nothing).

Jika hukum adalah manusia, maka tentunya manusia harus dapat mengendalikan seluruh aturan yang ada di hadapannya untuk dipatuhi. Daya kontrol yang lemah di dalam lembaga birokrat seharusnya tidak digunakan sebagai kesempatan melakukan perbuatan yang menyimpang yang berpotensi melanggar hukum dan merugikan keuangan negara.

Hukum tidak menjelmakan manusia untuk selalu benar, akan tetapi hukum menggiring manusia untuk memberikan cita hukum karena cita hukum itu milik semua manusia tanpa memandang status sosialnya.

Jika keburukan moral dipertontonkan oleh manusia dengan melakukan tindakan-tindakan melanggar hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain, maka hal itu menunjukkan bahwa manusia telah kehilangan moralitas. Ia telah menghancurkan nilai kebaikan yang didapatkannya ketika dididik oleh orangtuanya, lingkungannya, dan dunia pendidikannya.

Hukum memang terkesan milik yang berkuasa, karena kekuasaan telah melemahkan hukum untuk bekerja secara baik. Jika hukum telah terkuasai oleh kekuasaan maka apa yang dikatakan oleh B. Arif Sidartha, tentang prikadimenta hukum Indonesia (nasib hukum Indonesia) ada benarnya, karena hukum di Indonesia telah dirusak oleh kekuasaan.

Akhir-akhir ini masyarakat dihadapkan pada ketakutan karena banyaknya kejadian yang menguncang batin dan nurani seperti ledakan bom dan temuan bahan peledak di berbagai tempat berikut penangkapan para pelakunya yang secara umum dinamakan teroris. Betulkah mereka-mereka yang dinamakan teroris sebagai hukum yang memiliki jati diri sebagai subjek hukum, berakhlak dan berakal budi? Secara umum, sudut pandang penilaian terhadap mereka yang dikategorikan sebagai teroris adalah manusia sebagai hukum dan subjek hukum, akan tetapi tidak berakhlak dan tidak berakal budi.

Dalam kontek tulisan ini penilaian terhadap mereka apakah memiliki akhlak yang baik dan akal budi yang baik? Dari sisi penilaian yang pragmatik ada benarnya, karena ideologi yang mereka tampilkan adalah permusuhan terhadap pemerintah dan negara. Terlepas dari sudut pandang mereka bahwa pemikiran tersebut benar ukurannya, dari sisi kemanusiaan dalam kontek kenegaraan bahwa yang mereka lakukan adalah hal yang tidak benar. Oleh karena itu dibutuhkan pendekatan dari sisi sejarah, dari sisi filosofinya, kultural, kerohanian, dan kemanusiaan bahwa kerukunan hidup adalah bagian dari kebersamaan hidup, karena dalam kehidupan harus selalu diciptakan kerukunan dan kebersamaan. Hal-hal yang bersifat egoisme akibat jabatan dan kedudukanyang tinggi yang tampil sebagai pembenar memunculkan erosi kepercayaan dalam tata nilai pergaulan. Erosi tersebut menjadi mengkristal sebagai permusuhan diantara sesama manusia di dalam negara. (bersambung)** sumber Galamedia Kamis, 01 Desember 2011

Artikel yang Berkaitan

0 komentar:

-

Post a Comment