-

Monday, October 10, 2011

Tidak Ada Rotan Akar pun Jadi

AKIHIRO Tokunaga lahir ketika Jepang menghadapi masa krisis, PD II dan jatuhnya bom di Hiroshima dan Nagasaki. Peristiwa tersebut menorehkan ekor yang panjang kepada Akihiro ketika ia dipaksa kehilangan ayah yang mati muda karena terkena efek radioaktif. Pascaperistiwa itu, ibunya terpaksa menopang hidup dengan cara membuka bar di sebuah perkampungan kumuh di Hiroshima. Merasa tidak tepat dengan lingkungan sosial dan lingkungan kerja sang ibu, Akihiro diungsikan ke Desa Saga. Di tempat itu, ia diasuh oleh neneknya dari pihak Ibu.

Desa Saga bukanlah sebuah tempat yang makmur melainkan kampung yang kondisi dan situasinya tidak lebih baik dari Hiroshima. Namun, setelah tinggal di tempat itu, Akihiro mendapatkan banyak pelajaran yang sangat berharga tentang arti hidup yang hakiki. Meskipun miskin, Nenek Akihiro tidak pernah menganggap hal itu sebagai siksaan. Kemiskinan itu dijadikan sang Nenek sebagai sarana untuk memeras otak agar tidak tampak sebagai seseorang yang "miskin muram". Nenek selalu meyakinkan Akihiro untuk bangga menjadi orang "miskin ceria". Artinya, di balik kemiskinan terselip ledakan kebahagiaan yang tiada terkira.

Pelajaran sang Nenek yang pertama adalah pengendalian api. Akihiro kecil dipaksa untuk mampu mengendalikan api pada tungku. Pompaan semangat sang Nenek yang sarat muatan optimistis membuat dirinya dalam waktu singkat mampu menyalakan, meniup, dan menjaga api selama menanak nasi. Kegagalan yang terjadi pada hasil tanakannya tidak lantas mengundang hujatan dari sang Nenek, tetapi justru mengundang deraan spirit luar biasa. Alhasil, Akihiro menjadi percaya diri dan mampu mengemban tugasnya.

Pelajaran kedua yang diperoleh Akihiro kecil adalah supermarket mini pribadi. Yang disebut supermarket pribadi adalah sebuah sungai yang mengalirkan rezeki kepada Nenek dan Akihiro. Aspek cinta lingkungan diterapkan dengan kuat oleh sang Nenek kepada Akihiro. Nenek memanfaatkan sebuah batang kayu yang dibentuk menjadi sebuah galah. Galah itu dipakai untuk menjaring benda-benda buangan, seperti sandal kayu, sayuran, buah-buahan, bahkan udang karang. Sang Nenek mengatakan bahwa supermarket mereka sangat unik karena tanpa harus mengantre di depan kasir, barang-barang yang dibutuhkan pun datang sendiri, bahkan, tanpa perlu menambahkan ongkos kirim.

Dengan peralatan yang sederhana tersebut, Nenek mengajarkan bahwa menjadi orang miskin yang ceria tidak perlu merasa rendah diri, tetapi percaya diri. Benda-benda buangan tidak selamanya busuk, tetapi senantiasa ada bagian-bagian yang dapat dipakai. Bahkan, sebuah sandal yang terhanyut pun, pada beberapa waktu kemudian pasti akan ada pasangannya yang menyusul. Nenek selalu memompa semangat kepada sang cucu bahwa sungai tersebut layak dijadikan sebagai supermarket pribadi karena benda-benda yang terhanyut ibarat kiriman yang langsung ditujukan kepada sang pemesan tanpa memeras tenaga dan ongkos kirim!

Etos kerja keras juga diterapkan sang nenek kepada Akihiro. Akihiro merasa beruntung mendapatkan pendidikan seperti itu. Ketika lidahnya tergoda display permen di sebuah toko, Akihiro mengajak teman-temannya untuk menabung dan mengikuti cara unik sang Nenek dalam menerapkan konsep daur ulang. Pinggang mereka diikat dengan sebuah tali. Ujung tali yang satu diikatkan dengan sebuah magnet. Dengan ekor itu mereka berjalan berkeliling sambil mengajak sisa-sisa logam menempel pada magnet. Benda itu dikumpulkan dan dijual kepada toko daur ulang. Hasil penjualan itulah yang dijadikan sebagai modal untuk membeli permen! Buku tersebut wajib dijadikan sebagai kitab pendidikan wajib budi pekerti dalam menghormati keluarga, lingkungan, dan kehidupan. (Resti Nurfaidah, Staf Teknis Balai Bahasa Bandung, peminat buku)**
http://www.klik-galamedia.com/indexnews.php?wartakode=20111006082049&idkolom=opinipendidikan

Artikel yang Berkaitan

0 komentar:

-

Post a Comment