-

Sunday, October 23, 2011

Mata-mata Kucing: Mata-mata Sebuah Pembelajaran

MEMBACA Mata-Mata Kucing sejak lembaran pertama sampai terakhir seolah menelusuri lorong aneka "kios" perilaku yang berhimpitan hingga ujungnya. Novel fabel dengan tokoh para kucing tersebut memang bercerita banyak tentang lika-liku kehidupan manusia yang diterapkan dalam kehidupan para tokoh kucing. Hasilnya sebuah novel yang unik dan serba "gado-gado". Mengapa demikian? Novel tersebut tidak ubahnya sebuah ensiklopedia ipoleksosbudhankam alias perkawinan berbagai bidang kehidupan. Pengetahuan tentang pola hidup dan anatomi para kucing, aspek perhitungan yang akurat dalam bidang ekonomi, perbincangan berbau politik, kesejahteraan sosial, mental, bahkan akidah!

Novel tersebut menuntut permainan tangkap makna yang cukup akurat dari pembacanya demi memahami hal-hal yang tersembunyi di balik tokoh para kucing atau cerita yang disampaikan penulis. Tokoh-tokoh kucing yang ditampilkan dalam novel tersebut adalah Kucing Anonim, Kucing Garong, Kucing Dapur, Kucing Persia, Kucing Angora, Kucing Kampung, Kucing Berlogat Arab dan kedua Ajudannya --ajudan kiri dan kanan, serta tiga anak kucing. Semua tokoh tersebut bukan hanya menunjukkan karakteristik kucing kebanyakan yang berlatar ras asal, melainkan pula menjadi titik refleksi tabiat manusia, baik modern atau kuno, kota atau kampung, moderat atau radikal.

Kucing Anonim, tokoh sentral yang digambarkan sebagai makhluk yang "murni besar dan tumbuh di jalanan". Kerjanya hanya mengais sampah dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Pengetahuannya hanya sebatas itu. Kemudian, garis hidupnya berubah 180 derajat ketika ia berjumpa dengan Kucing Dapur, seekor kucing rumahan, dan Kucing Garong. Bersama mereka, Kucing Anonim mampu membuka mata fisik dan mata batin, meluaskan wawasan keilmuan, dan perbaikan mental. Ditambah lagi dengan pertemuannya dengan tokoh kucing lainnya. Kemauan sang tokoh untuk belajar dan menelusuri hal-hal baru mampu mendongkrak kemampuan otaknya.

Novel ini berbicara tentang para kucing yang banyak menyerap ilmu kehidupan manusia. Akibatnya kerap terjadi hal-hal lucu atau menyebalkan. Namun, pada akhirnya, para kucing harus menerima bulat-bulat alias mutlak atas sebuah kata: takdir. Para kucing tidak berhak melakukan seutuhnya gaya hidup manusia sebagai makhluk sempurna. Mereka hanya dapat bermimpi setinggi mungkin hingga mata mereka terbuka kembali dan menghempaskan mereka ke alam nyata.

Selain takdir, novel tersebut laksana guru yang menyampaikan beberapa aspek pembelajaran tentang nilai-nilai kehidupan, di antaranya pencarian identitas, penamaan yang pada akhirnya mengusik identitas, kesadaran akan pentingnya lingkungan dan keturunan, pandangan stereotip masyarakat, kesetaraan gender, nasihat orang tua kepada kaum muda, serta refleksi sifat hewan dalam kehidupan manusia.

Tepatnya, novel tersebut mengajarkan kita untuk lebih menyelami dunia multikulturalisme melalui sebuah karya sastra. Multikulturalisme kini tengah digulirkan dengan giat ke tengah khalayak ramai sejak meletusnya kerusuhan Mei 1988 lalu. Beramai-ramai berbagai kalangan mengampanyekan hal itu dalam berbagai wujud dan media. Namun, apakah upaya itu berhasil? Di satu sisi, kita masih bergayut pada konsep semangat Bhinneka Tunggal Ika, sementara rentetan kerusuhan dan tawuran di seantero negeri ini meledak bergantian dan, mungkin, sedang menanti momen yang tepat untuk meledak lagi. Tidak mudah untuk mewujudkan multikulturalisme yang benar-benar ideal, sementara penduduk negeri ini masih bersandarkan pada individualisme dan stereotip negatif terhadap wadah perbedaan. Untuk itulah, penulis menampilkan salah satu model pembelajaran multikultural yang paling mudah, yaitu melalui sebuah karya sastra. Novel tersebut dapat kita jadikan sebagai sebuah sekolah multikulturalisme yang "murah-meriah", tetapi akurat. (Resti Nurfaidah, Staf Teknis Balai Bahasa Bandung, peminat buku)*

Artikel yang Berkaitan

0 komentar:

-

Post a Comment