-

Monday, October 17, 2011

Kisah-Kisah Sufisme Penyegar Jiwa

MELEPAS Dahaga dengan Cawan Tua : Hikmah-hikmah Islami Klasik untuk Generasi Modern hadir di tengah keringnya jiwa manusia postmodernisme. Postmodernisme yang kaya akan unsur materialisme, hedonisme, dan kapitalisme seakan tersegarkan oleh kumpulan prosa karya Topik Mulyana ini. Penulis menawarkan 10 prosa sufisme yang mencerahkan dan sarat akan nilai-nilai agama.

Dalam kisah "Tiga Pengendara Motor" kita diingatkan pada sebuah hadis Rasulullah. Pernah suatu masa ada 3 orang lelaki yang terperangkap dalam gua batu. Mereka berusaha mendorong batu penghadangnya namun tak mampu jua. Jalan terakhir, mereka memohon kepada Tuhan agar berkenan menyelamatkan. Mereka berupaya untuk "melobi" Tuhan dengan mengutarakan satu amalan pamungkas masing-masing. Antara lain bakti pada orang tua, tetap memberi di kala sempit, dan menghindari zina meski berkesempatan melakukannya.

Namun dalam kisah ini penulis mengadaptasi ke cerita modern. Setingnya berubah menjadi basement sebuah hotel yang diguncang gempa. Tiga orang pengendara motor terperangkap di antara reruntuhan bangunan. Dalam keadaan terdesak, akhirnya berniat "menego" Tuhan. Lelaki pertama mengaku taat menggunakan helm dan tak pernah melanggar rambu jalanan. Lelaki kedua yang meski dalam keadaan sibuk luar biasa ia tak pernah mengendarai motor di trotoar, dan lelaki terakhir sukses menahan amarah saat seorang menyerempetnya di jalan. Kisah ini mengajarkan kita hanya untuk pamrih pada Tuhan saja. Toh, tanpa kita minta pun Tuhan akan membalas kebaikan kita.

Kisah menarik lain digambarkan dalam "Guratan". Sudah menjadi hukum alam bahwa setiap amal kebaikan akan mendapatkan balasan yang baik pula. Dikisahkan seorang bernama Bun, seorang editor penerbitan buku islami tak sengaja membuat guratan pada mobil yang terparkir. Selidik punya selidik mobil tersebut ternyata milik seorang profesor. Karena saat itu Bun sedang dikejar waktu, maka ia menyelipkan nama dan nomor kontaknya pada wipper mobil. Tindakan tersebut ia lakukan sebagai tanggung jawab atas perbuatannya. Sesuatu yang mungkin jarang kita jumpai saat ini (Hal. 65).

Beberapa hari kemudian ia dihubungi sang pemilik mobil. Dengan niat purna ia bersedia bertanggung jawab atas kelalaiannya. Akhirnya Bun didapuk menjadi sopir pribadi sang profesor selama satu minggu. Berkelindanlah perjalanan Bun dan sang profesor dari mulai mengantarnya seminar hingga berkencan. Sempat professor itu menawarinya wanita sebagai "teman" untuk kesepiannya. Namun ia menolak (Hal. 76). Di akhir cerita, penulis memberi daya kejut yang indah untuk tokohnya itu.

Dalam "The Photograph", mengingatkan bahwa setiap gerik-gerak kita selalu ada yang mengawasi. Tokohnya pun mencitrakan hasrat manusia terhadap dunia tak kunjung surut dan selalu tak merasa cukup. Seorang bernama Amar gandrung dengan yang namanya fotografi. Mulai dari kamera hand phone hingga kamera digital dikoleksinya untuk memenuhi hasrat memotret yang kian menggelegak. Sampai pada akhirya ia berhasil menabung untuk membeli kamera DSLR yang lebih canggih. Melalui kenalan dan koneksinya, ia bergabung dengan grup mencinta potret memotret itu. Berkenalanlah ia dengan Adelita. (Hal.181)

Adelita seorang yang cantik dan menawan. Ia sudah mengenal fotografi dari sekolah dasar. Kekaguman Amar memuncak saat ia bertandang ke rumahnya. Aneka hasil jepretan menempel di ruangan dengan artistik yang luar biasa. Belum lagi koleksi kamera canggih dan alat cetak modern pun ia miliki. Amar semakin tercengang saat Adelita tak hanya memamerkan koleksinya. Lebih dari itu, Amar mulai tergoda. Kalau saja tak ada pesan singkat dari istrinya mungkin sudah terjadi hal yang nikmat namun maksiat. (Hal. 189)

"Kotak Infak" berkisah tentang dua buah rencana Tuhan yang saling menjalin. Sebuah mesjid di sebuah desa sedang mengadakan pembenahan. Rekonstruksi tersebut memakan biaya yang lumayan wah. Namun dengan kesadaran penuh para panitia tak mau menjadi peminta sumbangan di jalanan. Meski awalnya mereka sempat tergiur untuk melakukannya, namun sekuat tenaga mereka kembali meluruskan niat. Menurut mereka, niat yang baik seharusnya tak terkotori dengan proses yang kurang baik. (Hal. 101)

Di lain tempat, seorang bernama Gugun Gunira, seorang penulis autobiografi khusus pejabat daerah hendak menghibahkan motor barunya. Motor besar itu adalah pemberian seorang pejabat daerah yang telah ia buatkan buku autobiografi. Kabar terakhir menyebutkan bahwa sang pejabat terlilit kasus korupsi. Karena ia khawatir ada harta haram dalam motor tersebut, Gugun nekat menyedekahkan motornya saja (Hal.115). Di akhir cerita kedua rencana itu menjadi sinergi kebaikan yang menguatkan.

Tidak seperti cerita modern biasa yang hanya memberi arti di permukaan, "Melepas Dahaga dengan Cawan Tua" berhasil membuat jejak nan dalam bagi pembacanya. Membaca kumpulan cerita sufisme ini layak menjadi momen muhasabah diri di tengah geliat postmodernisme masa kini. (Ade Fariyani, aktivis Forum Lingkar Pena Bandung)**

Artikel yang Berkaitan

0 komentar:

-

Post a Comment