-

Wednesday, October 12, 2011

Imtihan, Kearifan dari Kawalu

Oleh: DJASEPUDIN
NILAI-NILAI yang terkandung dalam semangat kelokalan masyarakat terkadang tidak diketahui dan dirasakan dengan penuh kesadaran. Kita sering abai, malah mencibir berbagai kegiatan yang telah lama dilaksanakan.

Apalagi jika melihat dari sudut pandang materi. Misal, segala sesuatu yang terjadi dalam dunia sehari-hari masyarakat pedesaan hanya dibaca dari perspektif ekonomi. Yakin pisan, simpulan yang akan muncul sekadar deretan data statistik angka-angka untung dan rugi.

Oleh karena itu, ketika banyak media mengabarkan tradisi imtihan dan samenan di Kecamatan Kawalu, Kota Tasikmalaya, bukan hal yang mengejutkan apabila informasi yang menonjol muncul adalah kerugian yang diderita pihak perusahaan.

Menurut HU Galamedia, kerugian yang diderita pengusaha bordir dalam sehari bisa mencapai Rp 10-15 miliar. Hal itu karena sebagian besar pekerja mengajukan cuti untuk menyaksikan tradisi imtihan dan samenan. Dengan demikian produksi dan transaksi yang terjadi mengalami penurunan cukup berarti.

Imtihan dan samenan adalah kegiatan di madrasah dan sekolah yang dilakukan pada akhir tahun pelajaran atau ketika kenaikan kelas dan kelulusan murid. Kegiatan ini salah satu di antaranya diisi oleh para murid dengan menampilkan berbagai pentas seni serta pengumuman pihak sekolah bagi pelajar yang memiliki berbagai prestasi.

Jika dilihat sebagai pertunjukkan murni seni, maka Anda akan kecewa menyaksikan pentas kesenian yang galib ditampilkan di panggung terbuka berselimut terpal butut dengan dekorasi sederhana. Sebab pemain yang midang di panggung adalah para murid sekolah yang terpilih karena bakat dan keinginan. Malah, aksi yang dilakukan "seniman jadi-jadian" di hadapan masyarakat umum pun tidak lebih dari sekali dalam setahun.

Nah, karena sekali dalam setahun atau sekali selama mengenyam pendidikan, momen itu sangat dimanfaatkan betul oleh para murid. Agar pentas terbilang sukses mereka rela berlatih siang dan malam serta belajar di sekolah dan rumah. Bahkan, pentas seni sukarela alias tanpa bayaran itu mereka mengorbankan pikiran, dana, dan waktu bermain.

Beruntung, para murid sekolah dan madrasah seperti yang terjadi di Kawalu, Tasikmalaya, memiliki keluarga yang sangat tangguh. Mereka mendukung penuh kesuksesan imtihan dan samenan. Malah, masyarakat di sekitar murid dan sekolah juga melakukan hal yang nyaris sama.

Segala daya dan upaya dikerahkan. Sebab, jika kebetulan sekolah terkait minim dana, misalnya, maka masyarakat sekitar bahu-membahu memberikan dukungan. Ada yang membantu tenaga dengan mendirikan panggung, ada yang mengucurkan dana, ada yang memberikan konsumsi selama pendirian panggung dan jalannya samenan, serta berbagai jenis dukungan lain tanpa embel-embel imbalan atau pujian.

Sebab samenan untuk semua, kesuksesan acara samenan atau imtihan adalah kesuksesan bersama. Tiada yang besar kepala. Semua bekerja dengan lapang dada dan satu tujuan: membuat murid bangga, terkesan, dan memiliki kenangan indah sebagai pelajaran di masa yang akan datang.

Sebab samenan dan imtihan adalah acara sekali dalam setahun, kegiatan ini sangat dirindukan masyarakat sekitar sekolah. Terlebih bagi yang memiliki putra-putri di sekolah terkait dan kebetulan putra-putrinya akan mentas. Tidak terkecuali dengan keluarga yang bekerja di perusahaan bordir, misalnya.

Untuk menyaksikan keterampilan putra-putrinya mereka cuti sehari-dua hari dari perusahaan tempat bekerja sehari-hari. Tentu saja, karena putra-putri pekerja bordir mengenyam pendidikan di sekolah dan madrasah yang sama, tak terhindari cuti masal terjadi. Dengan begitu kerugian saban tahun yang diderita para pengusaha mencapai miliaran rupiah.

Tapi, yaitu tadi, rasanya tidak bijak bila melihat hal itu melulu dari sudut pandang untung-rugi. Semangat macam itu hanya membuat pening berkepanjangan.

Tradisi samenan sejatinya menunjukkan semangat silaturahim di antara keluarga dan antarwarga masih sangat kuat. Orangtua sangat bangga melihat aksi yang dipertunjukkan anaknya yang telah mengenyam pendidikan. Saking bangga dan penasaran, mereka memaksa untuk mengambil cuti dari perusahaan. Dengan begitu, otomatis para orangtua itu kehilangan pendapatan. Malah mungkin karena perusahaan merugi, orangtua yang mengambil cuti masal mendapat pemotongan gaji.

Tapi mereka ikhlas. Mereka menganggap uang bukan segala-galanya. Simbol-simbol ekonomi tergantikan dengan kebanggaan dan keharuan mereka saat menyaksikan anak-anaknya mementaskan ibing merak atau menyanyikan lagu "Manuk Dadali", misalnya.

Dalam samenan pula nilai gotong royong di antara murid, sekolah, orangtua, dan masyarakat sekitar sekolah makin terlihat jelas dan tegas. Tanpa semangat gotong royong hajat samenan mustahil bisa terlaksana.

Selain itu, dalam hajat samenan nilai yang kental terasa adalah kerukunan dan salingmenghargai. Sehebat dan setajam apa pun kritik seni yang sering ditulis para kritikus kampus atau esais lepas di media, nyaris tidak berharga apa-apa jika Anda melihat mata berkaca-kaca dengan mimik penuh bangga dan haru kala melihat para orangtua murid memberi apresiasi anak-anaknya. Sebentuk apresiasi tanpa rekayasa yang datang dari kebeningan hati.

Sebab, pentas seni yang ditampilkan anak-anak adalah menampilkan pentas kejujuran. Meski secara teknis, mungkin berantakan, tapi jika ditampilkan dengan semangat kejujuran dan keluguan, hal-hal tekhnis terhapus sudah.

Jadi, semangat silaturahim, keikhlasan, gotong royong, saling menghargai, kerukunan, dan kejujuran akan kita dapatkan dari gelaran imtihan dan samenan. Kearifan seperti itu yang selama ini didawamkan masyarakat Kawalu. (Giat di Institut Nalar Jatinangor; alumnus Prodi Sastra Sunda Unpad)**

Artikel yang Berkaitan

0 komentar:

-

Post a Comment