-

Tuesday, September 20, 2011

Posyandu dan Pendidikan Gender

Oleh: SRI HANDAYANINGSIH
SUATU waktu suami saya datang ke Posyandu di kompleks perumahan mengganti tugas karena kebetulan dia libur dan saya masih di tempat kerja. Ia menggendong anak yang belum genap setahun umurnya. Acaranya penambahan nutrisi dan gizi bagi anak-anak.

Seusai Posyandu, suami curhat. Dia bilang anak kami hanya ditimbang lalu diberi makanan tambahan (nutrisi dan gizi?) berupa jajanan anak-anak yang banyak dijual di warung-warung. Tapi yang membuatnya jengkel dan risi adalah pertanyaan orang-orang yang datang di sana yang semuanya ibu-ibu. Setengah heran, mereka menanyakan mengapa yang datang bapaknya?

Pertanyaan-pertanyaan yang meneror saya secara psikologis, saya maklumi. Sebabnya, warga Indonesia belum sepenuhnya sadar akan peran dan pembagian kerja antara ibu dan bapak, antara perempuan dan laki-laki. Walaupun kampanye mengenai gender kaitannya dengan keadilan terhadap perempuan dalam segala aspek hidup cukup gencar, massif namun belum memberikan hasil berarti. Bahkan, penghalangnya malah dari kaum perempuan sendiri. Mereka tidak bangga ada laki-laki datang di Posyandu. Alhasil, "ketaklaziman" laki-laki mengikuti kegiatan perempuan seperti Posyandu menjadi pemandangan ganjil, lucu, dan mungkin tabu.

Pernyataan ini beralasan, karena Posyandu yang pada mulanya diperuntukkan bagi siapa pun warga, kini jadi acara perempuan. Makin nampaklah kuasa laki-laki dalam peran pengasuhan anak yang dibebankan pada perempuan. Lebih parah lagi, ada mitos bahwa Posyandu dan sejenisnya yang identik dengan perempuan itu dikultuskan oleh kaum perempuan.

Saya jadi terkenang lagu "Aku Anak Sehat" yang populer di tahun 90-an. /Aku anak sehat tubuhku kuat/karena ibuku rajin dan cermat/Semasa aku bayi/selalu diberi ASI/makanan bergizi/ dan imunisasi// Berat badanku ditimbang selalu/ Posyandu menunggu setiap waktu/Bila aku diare ibu telah waspada/pertolongan oralit telah siap sedia//. Secara tersurat, lagu tersebut menjelaskan bahwa perempuanlah yang mengurusi anak ke Posyandu sehingga menjadi anak sehat.

Sejarah Posyandu

Posyandu merupakan pos multifungsi, antara lain melatih ibu-ibu untuk rajin dan cermat, mengurusi imunisasi dan penambahan makanan bergizi, mengurusi penimbangan, dan kesehatan balita lainnya. Begitulah yang seharusnya terjadi di semua wilayah di Indonesia. Posyandu bahkan merupakan tempat konsultasi KB, pendidikan anak usia dini terpadu, kesehatan manula, sosialisasi program kesehatan dari tingkat kabupaten, dan pelayanan kesehatan bagi semua warga. Sungguh lengkap semestinya.

Posyandu dimulai sejak tahun 1970 melalui program Keluarga Berencana (KB) yang digagas Haryono Suyono dengan pendekatan kesehatan berformat klinik dengan bantuan dokter. Pada awal 1980 program KB bekerja sama dengan tenaga medis membentuk pos-pos KB dan pos penimbangan untuk mengumpulkan para akseptor. Program tersebut dikenal sebagai Gerakan Ibu Sehat dan Sejahtera (GISS).

Posyandu dikukuhkan pada tanggal 29 Juni 1983 dalam sebuah kerja sama antara Kepala BKKBN dengan Menteri Kesehatan yang terbagi dalam lima meja, yaitu pemeriksaan, penimbangan, KB, imunisasi, dan gizi. Posyandu pernah mengalami masa kejayaan dan berfungsinya sebagai wadah kesehatan masyarakat kecil.

Belakangan Posyandu mundur, bahkan disinyalir 60% Posyandu di Indonesia ada pada titik kematian. Pada tahun 1990 tercatat 65.000-70.000 bidan desa dan pada tahun 2005 jumlahnya tinggal 22.000 orang. Kemunduran dan kematian Posyandu antara lain disebabkan kecilnya dana, bahkan banyak di antaranya tanpa sepersen pun dianggarkan. Coba kita tilik ulang, seberapa besar APBD masing-masing kabupaten di Jawa Barat yang menganggarkan kegiatan Posyandu jika dibandingkan dengan proyek pembangunan stadion, jembatan, pengadaan buku, dan rumah susun yang macet?

Setelah berjalan lebih dari tiga dasawarsa, Posyandu menjadi ujung tombak kesehatan masyarakat kecil. Hanya saja, banyak orang tidak paham. Selama ini orang hanya tahu Posyandu adalah tempat berkumpulnya ibu-ibu untuk menimbang bayi mereka.

Pelajaran berharga saya dapatkan ketika suami datang di Posyandu dan menemui keampangan negara dalam mengurusi kesehatan rakyatnya. Di sinilah kentara bahwa Posyandu kita mengalami disfungsi sebagai penjaga amanat UUD 1945. Kasus yang sering kita dengar mengenai busung lapar dan kematian ibu melahirkan adalah sebuah ironi sebuah negeri kaya raya yang mematok 20% APBN di bidang kesehatan.

Pencanangan revitalisasi Posyandu dari presiden dengan dana 75 miliar diharapkan dapat mewujudkan masyarakat kecil sehat. Kesehatan mesti dijamin pemerintah dan terjangkau masyarakat. Revitalisasi Posyandu bukan semata slogan untuk membangun citraan, tapi karena memang masih banyak masyarakat dengan gizi buruk, busung lapar, polio, kematian ibu-anak, dsb. Artinya, melalui Posyandu sesungguhnya kemerdekaan hakiki masyarakat kelas bawah tercermin di sini.

Pentingnya pendidikan gender

Gerakan "Suami Siaga" yang dicanangkan pemerintah masa Orde Baru selayaknya diperhatikan kembali. Hal yang vital dan mendasar bagi masyarakat adalah pembagian peran antara laki-laki dan perempuan yang seimbang dalam rumah tangga. Mengingat pendidikan gender kita saat ini memperihatinkan. Tugas dan fungsi perempuan dalam ranah domestik, sosial, bahkan politik masih dipinggirkan.

Membaca Posyandu saat ini, ada tiga hal yang ingin saya sampaikan. Pertama, pentingnya pendidikan kesehatan untuk masyarakat kecil. Hal ini bisa diberikan melalui kampanye atau lewat ruang publik yang menyentuh masyarakat pelosok. Kedua, perlunya pendidikan gender bagi masyarakat luas. Persoalannya adalah, masih banyak perangkat desa-dusun yang menganggap perempuan sebatas kanca wingking dan tidak penting. Apabila kaum laki-laki turut serta dalam kegiatan Posyandu, niscaya ketidakadilan terhadap perempuan dapat dikurangi, misalnya kerja dan tanggung jawab ganda (double bourden), pemiskinan secara ekonomi (marginalized), anggapan tak penting dalam urusan politik (subordination), dan kekerasan fisik dan psikis (violence). Sebab di Posyandu akan melihat sendiri bagaimana mengurusi kesehatan anak.

Ketiga, dana revitalisasi Posyandu yang dianggarkan untuk penanganan gizi dan operasional selayaknya diperhatikan ulang oleh penentu kebijakan. Bukan soal pembandingan dengan bidang lain, tetapi prioritas kesehatan bagi masyarakat bawah. Hal ini pula yang saya pikir berkaitan dengan ketersediaan (kedatangan) dokter, bidan, dan perawat di lapangan. Masih banyak Posyandu yang hanya ditangani kader, sehingga acaranya sekadar menimbang saja. (Penulis, pemerhati perempuan, Guru SMPN 1 Cipatat, Bandung Barat)**

Artikel yang Berkaitan

0 komentar:

-

Post a Comment