-

Thursday, September 08, 2011

Biarkan Hati Menjawabnya

Biarkan Hati Menjawabnya

 Oleh Abi Muhammad Ismail Halim

Seorang bertanya kepada gurunya yang mulia, “Kebanyakan orang mengatakan bahwa saya ini orang yang baik, maka bagaimana saya bisa tahu bahwa saya benar-benar orang baik?” Sang guru pun berkata:  “Nampakkanlah sikap dan perilaku yang selama ini kamu sembunyikan di hadapan orang-orang baik.  Jika mereka merasa senang, maka itu pertanda bahwa engkau adalah orang baik.  Sebaliknya jika mereka merasa tidak senang, maka itu adalah pertanda bahwa engkau bukan orang baik.”

Rasulullah SAW telah menjelaskan kepada para sahabatnya bahwa,  “Kebajikan itu adalah baiknya budi pekerti dan dosa itu apa-apa yang meragu-ragukan dalam jiwamu dan engkau tidak suka dilihat orang lain dalam melakukan hal itu”.   Bahkan dalam hadis lain disebutkan bahwa  sesungguhnya dari apa yang telah didapat oleh manusia dari kata-kata kenabian yang pertama adalah, “Jika engkau tidak malu, berbuatlah sekehendakmu.”

Ketika sahabat lain bertanya kepada Rasulullah SAW tentang ‘kebaikan', beliau pun bersabda,  “Mintalah fatwa dari hatimu”.  “Kebaikan itu adalah apa-apa yang tentram jiwa padanya dan tentram pula hati padanya. Dan dosa itu adalah adalah apa-apa yang syak dalam jiwa dan ragu-ragu dalam hati, walaupun orang-orang memberikan fatwa padamu dan mereka membenarkannya”.

Sesungguhnya Allah SWT telah memberikan ilham berupa potensi di dalam jiwa manusia serta hidayah untuk dapat membedakan dan memilih jalan keburukan (kefasikan) dan kebaikan (ketakwaan) sebagai wujud dari kesempurnaan ciptaan-Nya.  “Dan jiwa serta penyempurnaan (ciptaan-Nya), maka Allah mengilhamkan ke dalam jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan” (QS 91:7-8).  “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebajikan dan kejahatan)” (QS 90: 10).

Dan Allah SWT telah berfirman pula di dalam Alquran mulia,  “Hanya pada Tuhanmu sajalah hari itu tempat kembali.  Pada hari itu akan diberitakan kepada manusia apa yang telah dikerjakannya, dan apa yang dilalaikannya.  Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri.  Meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya” (QS 75: 12-15).

Tujuan utama dari ibadah puasa, sebagaimana digariskan oleh Allah SWT (QS 2: 183), adalah agar kita bertakwa atau bertambah takwa.  Selain penghapusan kesalahan dan pengampunan dosa, takwa membuahkan furqan.

Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqan dan menghapuskan segala kesalahan-kesalahanmu dan mengampuni (dosa-dosa) mu.  Dan Allah mempunyai karunia yang besar” (QS Al-Anfal(8): 29).

Dalam bahasa lugas furqan berarti kriteria, pembeda antara kebenaran dan kebatilan.  Menurut ulama tafsir, di dalamnya terkandung makna ketegaran jiwa (tsabatul qulub), kejernihan mata hati (quwwatul-bashaair), dan petunjuk terbaik (husnul hidayah).

Ibadah puasa melatih manusia untuk bersikap tegar dalam menyikapi dan menghadapi berbagai kenyataan, permasalahan, kesulitan dan tekanan hidup.  Puasa melatih manusia untuk berani berkata tidak untuk semua hal yang tidak disukai Allah SWT, apalagi yang dilarangnya.  Selain melatih ketajaman “mata” (sight) untuk menangkap berbagai fakta puasa juga melatih kejernihan “mata hati dan pikiran” (insight) membaca apa yang ada di balik fakta.  Dalam Insight terkandung kemampuan untuk secara jernih dan intuitif melihat keadaan dari suatu situasi yang kompleks (perspectiveness) serta kemampuan untuk memahami dan menemukan solusi secara mandiri (self-awareness).  Puasa membebaskan manusia dari "bussines as usual" sehingga dapat lebih peka menangkap sinyal-sinyal Ilahi.

Puasa dengan tujuan takwa mengasah ketajaman mata, hati, pikiran dan kesadaran kita untuk membedakan kebenaran dan kebatilan.  Dengan furqan (kriteria),  kita dapat mengambil keputusan dan tindakan terbaik dengan tegar sesuai kriteria dan petunjuk Allah SWT.  Kepada Allah SWT kita berlindung dari hati yang menutup diri terhadap pancaran cahaya Ilahi.  Kepada Zat Yang Maha Kuasa Membolak-balikkan hati, kita memohon agar dapat melihat kebenaran sebagai kebenaran, melihat kebatilan sebagai kebatilan, di manapun, sampai kapanpun.

Wallahu 'a'lam.


Penulis adalah sahabat Republika Online yang tinggal di Texas, USA

 


sumber : www.republika.co.id

Artikel yang Berkaitan

0 komentar:

-

Post a Comment