-

Monday, June 06, 2011

Masa Kecil Zaman Gorombolan Bag 3

Kekacauan Tatar Sunda dalam Sajak

SEBELUMNYA diceritakan, masyarakat Garut merasa tidak aman dana atidak nyaman hidup di bawah ancaman gerombolan DI/TII pimpinan S.M. Kartosuwiryo. Anak-anak disuruh bersembunyi sedangkan orang-orang yang sudah dewasa masuk menjadi anggota Organisasi Keamanan Desa (OKD). Mereka dilatih baris berbaris dan bela diri serta menggunakan senjata. Bagaimana situasi selanjutnya? Inilah akhir ceritanya yang ditulis H. Usep Romli H.M..
JIKA ditinjau dari masa dan keadaan, penduduk pedesaan Jawa Barat, baru mengalami kemerdekaan pisik, tahun taun 1962. Ya-itu setelah gorombolan DI/TII berhasil ditumpas, serta pemimpinnya, SM Kartosuwiryo ditangkap bl.Mei 1962 di Gn. Rakutak, Majalaya, oleh pasukan batalyon 328/Kujang 2 Siliwangi pimpinan Letda Suhanda. Bukan 17 Agustus 1945. Sebab setelah proklamasi, negara masih kacau akibat penjajah Walanda masih ingin menjajah Timbul "perang kamerdekaan", atau "revolusi pisik" mempertahanka kedaulatan RI (1945-1949). Th.1949, 7 Agustus, Negara Islam Indonesia, diproklamasikan Sejak saat itu,pekampungan, pedesaan, dan pekotaan kecil, terutama di Priangan Timur (Ciamis, Tasikmalaya, Sumedang, Garut), tiap saat diserang gorombolan bersenjata. Para penduduk terpaksa mengungsi ka tempat-tempat aman. Baik untuk sementara selama keadaan belum pulih, maupun untuk selamanya. Ratusan kampung dan desa mendasdak kosong melongpong.Ratusan hektar sawah, ladang, huma, kolam, dibiarkan terlantar. Siapa mau menggarap ? Jika ada yang berani, pasti oleh tentara akan dituding kerjasama dengan DI/TII. Jika selamat sampai tiba panen, hasilnya belum mungkin dapat dimakan sendiri.Sebab pasti akan dirampas oleh gorombolan yang telah lama mengintai.

Beberapa sastrawan Sunda, melukiskan keadaan derita sengsara warga pedesaan. Seperti tak akan menemukan hidup, begitu matahari tenggelam dan malam mendatang. KTS (Kadir Tisna Sujana, lhr. Di Subang, 1912), menuliskan suasana muram penuh ketakutan itu dalam sajaknya berjudul "Samar" nu ditulis tahun 1955 :

Hyang Surya/Atuh ulah surup/Kumaha kuring//
Keungkang kareueung/hemar-hemir/biheung nimu isuk//
Beuheung asa bet/sirah asa bek/angen asa clep//
Anjeun pananggeuha/pangreugreug, pangharepan/rek iklas?//


Demikian pula Kis Ws (Kiswa Wiriasasmita, lhr.1922 di Ciamis), dalam "Sareupna di Padesaan Sunda" (1956). Keindahan senja berhias lembayung jingga, sirna. Pedesaan berubah menjadi "rumah gila", yang penghuninya sudah kehabisan suara dan airmata, akibat tak tahan lagi menanggung derita siksa kekejaman sesama manusia :

Layung kuning teu matak resmi/marakbak panas ngarerab/Mojang desa geus teu bisaeun im-ut/ah !ah! sareupna lawang siksaan//
Malakal maot ngabring marengan peuting/godogan timah ti naraka jahanam panas ngagolak/tapi geus taya umat ceurik jumerit/
Da rek ngajerit taya tanaga/rek ceurik cipanon garing//
Itu panon-panon surem carelong/waruga nu ngan tinggal Kulit+tulang/hamo mampuh mareuman seuneu naraka//
Tapi mun ieu padesaan/geus robah jadi rumah gila/Endahna layung jeung imutna mojang desa/baris pulih sabihari//


Pendapat Yus Rusamsi (lhr di Kuningan, taun 1934) juga sama. Tatar Sunda waktu itu, penuh dengan segala sesuatu yang membuat takut dan bergidik. Senja datang membawa pertanda harus siaga. Awan hitam menambah seram. Bulan terang ternyata membawa bimbang, sebab tak ada lagi gadis perawan menabuh gondang, tak ada lagi jejaka bujang gaya berdandan. Semua gagu membisu menunggu subuh, mengharap terang datang memulihkan raga masih berisi nyawa, untuk segara melangkah mencari nafkah ("Peuting di Kampung", 1959). Dalam sajak lainnya "Pasundan" (1959), Yus Rusamsi menegaskan :

Lain kembang ti kayangan/nu nyambuang sapasundan/tapi/getih ti langit nu nyakclakan/hinis hideung nurih ati/congo pesok ngarorek genggerong/ gurat bumi tilu kali/kingkilaban nu nyaksian//

Ajip Rosidi (lhr.1938 di Jatiwangi, Majalengka), dalam sajak "Tanah Sunda" (1957), merasakan sekali bahwa " tungtung bedil ngincer dada". Tanah Sunda yang elok permai oleh "hejo pagunungan, paul lautan" benar-benar "taya kamarasan ngan katugenahan", "taya katengtreman ngan ancaman". Sehingga terpaksa mengungsi jauh ke kota, sebab "langit hibar lembur musnah", agar dapat berjuang memperbaiki keadaan dengan penuh cinta dan tresna kepada tanah kelahiran..

Begitu pula Ayatrohaedi (lhr.1939 di Jatiwangi, Majalengka). Ia merasa dalam setiap langkah perjalanan, di tanah kelahiran selalu mendapat ancaman kiri kanan. Bukan belaian kasih sayang ayah dan bunda yang menyambut datang dan mengantar pergi. Melainkan "raga pangarahan ngabarkeun pedang ancaman/taun hareup rebut pati// ("Lemahcai", tanpa taun).

Sekarang, Tatar Sunda sudah bebas dari ancaman kekacauan bersenjata, setelah kekuatan DI/TII runtuh th. taun 1962. Namun, mungkin ada ancaman lain, berupa kerusakan alam yang semakin merajalela. Gunung-gunung gundul, bukit-bukit gersang, sungai-sungai kering kerontang, dan polusi merambah di mana-mana. Suatu keadaan yang tak mustahil lebih menyusahkan dan membhayakan daripada zaman gorombolan, 40-50 tahun yang lalu.

Catatan : sajak-sajak dalam tulisan ini, dikutip dari buku "Kanjutkundang, Antologi Prosa-Puisi Sunda Sabada Perang", susunan Ajip Rosidi dan Rusman Sutiasumarga (Balai Pustaka, 1963).

Artikel yang Berkaitan

0 komentar:

-

Post a Comment